“Saya terima nikah dan kawinnya Asha Ai Pratiwi binti almarhum Bagas Ariadi dengan mas kawin seratus juta rupiah dibayar tunai.”
Setelah kata ‘sah’ menggema, Asha digiring keluar dari biliknya. Untuk sesaat Akash menatap dingin pada perempuan yang kini sah menjadi istrinya itu, tapi setelahnya mereka melanjutkan proses pernikahan hingga selesai.
Resepsi pernikahan dilangsungkan hingga siang hari. Meskipun pasangan Akash bukan dari kalangan yang setara dengannya, acara resepsi tetap dilangsungkan dengan meriah.
Banyak rekan bisnis Cakra yang datang dan memberikan selamat untuk pernikahan cucunya, meskipun banyak juga yang menyayangkan keputusan Cakra menikahkan cucunya dengan orang biasa, bukan dengan anak salah satu rekan bisnisnya yang sudah pasti sekelas.
Setelah acara selesai, keduanya masuk ke kamar hotel yang memang disiapkan untuk mereka. Asha bingung harus mulai dari mana, ini pertama kalinya dia berada dalam satu ruangan dengan seorang laki-laki. Dia bahkan bingung harus melakukan apa saat itu.
“Ini apa?” tanya Asha saat menerima selembar kertas dari Akash. Asha membaca pelan-pelan tiap kata-kata yang tertulis di atas kertas putih itu.
Seketika matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar.
“Kontrak pernikahan selama setahun?” tanyanya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. “Sejak kapan saya menyetujui pernikahan kontrak? Apa kita pernah membahas ini sebelumnya Tuan?” Kali ini Asha bertanya dengan nada yang lebih tegas.
“Tidak, tapi aku rasa kamu tidak akan kuat menikah denganku.” Asha menggeleng.
“Saya tidak ingin terikat dalam pernikahan kontrak,” tegasnya.
Akash menaikkan sebelah alisnya.
“Lalu kamu mau menikah denganku seumur hidupmu?” tanyanya.
“Saya bahkan tidak pernah berencana menikah dengan Tuan, Tuan yang membuat saya masuk dalam pernikahan ini tanpa bertanya. Bahkan saat ada kesempatan untuk membatalkan pernikahan ini pun Tuan tidak melakukannya. Kalau memang Tuan tidak ingin ada dalam pernikahan ini, kenapa melakukannya?” Asha berdiri di hadapan Akash, sedikit mendongak dan melihat mata laki-laki yang kini menjadi suaminya–mencoba tegar.
“Buat apa aku menggagalkan pernikahan yang memberikanku keuntungan? Aku dapat jabatan baru setelah ini di kantor, dan itu berkat pernikahan ini.” Kalimat itu terdengar begitu licik di telinga Asha.
“Maksud Tuan, Tuan menikahi saya hanya untuk…” kalimat Asha menggantung.
“Iya, buat apa lagi? Kamu pikir saya mau menikah denganmu kalau saya tidak punya keuntungan?” Asha menggeleng, tidak terima dengan penuturan Akash.
“Kalau begitu Tuan bisa melepaskan saya sekarang, bukankah keinginan Tuan sudah tercapai? Saya tidak ingin terikat dengan pernikahan kontrak seperti ini, ini salah.” Asha meremas kertas di tangannya dan membuangnya.
Kakinya melangkah, tangannya hampir menyentuh handle pintu berniat meninggalkan kamar itu dengan air mata yang mulai menggenang di pipinya.
“Selangkah saja kamu keluar dari ruangan ini, aku pastikan kamu akan menyesal Asha.” Asha menghentikan langkahnya. “Kalau Kakek tahu pernikahan kita berakhir secepat ini, apa menurutmu Kakek akan membiarkanmu dan ibumu tinggal di rumah kami lagi?” Asha bergeming.
“Uang mahar itu juga akan aku ambil kembali, lalu dengan apa kamu akan membayar semua hutangmu pada keluargaku?” Asha tercekat, kedua tangannya mengepal keras.
“Lanjutkan saja pernikahan ini, dan kalian bisa melunasi hutang-hutang kalian.” Akash berbalik badan, melihat Asha yang masih memegang handle pintu dalam diam.
“Saya tidak ingin terikat pernikahan kontrak,” tegas Asha singkat dan memutar badannya hingga kini mereka saling tatap. “Saya tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan, itu terlalu sakral untuk saya.” Suara Asha terdengar datar, tidak setegas sebelumnya.
“Lalu?” Mendengar pertanyaan Akasah, Asha memutar bola matanya, berpikir keras harus berkata apa. “Kamu bahkan tidak tahu kamu mau apa, tapi seenaknya menolak kontrak yang aku berikan.” Akash memilih duduk di pinggiran kasur, melepas tuksedo yang masih menempel di badannya, lalu melonggarkan dasinya.
“Kamu boleh pergi, tapi seperti yang aku bilang tadi… selangkah saja kamu keluar dari kamar ini, saat itu juga kamu akan menyesal," ucap Akash.
Asha meremat tangannya satu sama lain. Dia tidak punya pilihan apapun saat itu, dia benar-benar tidak tahu harus apa.
“Apa tidak ada jalan lain Tuan? Apa saja asal bukan kontrak pernikahan dan saya tidak harus menghadapi kemarahan Tuan besar.” Melihat Akash tidak menjawab pertanyaannya, Asha kemudian berjongkok dan mengambil kertas yang sudah tidak berbentuk itu kemudian membacanya.
‘Pernikahan macam apa yang akan aku lalui dengan semua kesepakatan ini?’ pikir Asha. ‘Apa aku bahkan punya gelar istri dengan semua kesepakatan ini?’
Asha mengangkat kepalanya dan kembali berdiri, dilihatnya Akash yang hanya diam tanpa bicara sambil membuka kancing kemejanya.
“Saya akan mengikuti semua isi kesepakatan ini, kecuali dua hal," ucap Asha, Akash melirik. “Pertama, tidak ada batas waktu. Siapapun boleh mengakhiri pernikahan kalau memang sudah tidak sanggup lagi, entah itu mencapai setahun, atau kurang dari setahun.” Akash mengangkat wajahnya, menatap pemilik netra hitam yang sedang bicara di hadapannya.
“Dan yang kedua, surat ini membatasiku untuk melakukan tugasku sebagai istri. Aku akan tetap melakukan tugas sebagai istri,” ucap Asha.
“Termasuk melayaniku?”
Asha menarik nafas sebelum menjawab. “Disini Tuan menulis tidak ada sentuhan fisik,” balas Asha.
“Tapi kamu bilang kamu akan melakukan tugasmu sebagai seorang istri, bukankah melayaniku juga bagian dari tugasmu?” Asha tercekat.
“Maksudku, tugas lain seperti menyiapkan pakaian, makan atau kebutuhan Tuan yang lain.” Akash berdiri berhadapan dengan perempuan yang masih memakai kebaya putih itu.
“Selebihnya?”
“Saya akan mengikuti yang lainnya. Saya tidak akan ikut campur urusan pribadi Tuan, tidak ada sentuhan fisik selama berdua kecuali Tuan mengizinkan. Saya juga tidak akan menuntut harta apapun setelah perpisahan nanti, termasuk nafkah selama menikah, saya akan menerima berapapun yang Tuan berikan, tanpa penolakan.” Akash menyilangkan tangan di depan dadanya.
“Yakin?” Asha mengangguk pelan.
“Oke, semua yang tertulis di kertas itu berlaku mulai hari ini, kecuali masalah waktu dan melakukan tugas yang kamu inginkan. Ingat…” Akash menggantung kata-katanya. “Jangan jatuh hati dalam hubungan ini, hubungan kita hanya sebatas di atas kertas. Kalau di luar aku memperlakukanmu dengan baik dan romantis, itu sebatas untuk membuat orang lain percaya pernikahan ini adalah pernikahan sungguhan, jadi jangan baper.”
Asha menelan salivanya kasar sambil melihat Akash yang berlalu ke kamar mandi.
Tidak ada yang tahu pernikahan macam apa yang akan dilaluinya setelah ini. Menikah dengan orang yang tidak mencintai dan tidak dicintainya sudah satu kekurangan menurutnya, ditambah dengan hubungan tanpa sentuhan fisik, apakah hubungan ini akan menjadi pernikahan platonis?
‘Ya Allah, aku percaya semua yang Kau takdirkan adalah yang terbaik untukku. Tolong Allah, tolong berikan kekuatan dan kemudahan untukku menjalani pernikahan ini dengan baik.’
Akash sudah sering mendengar kata ngidam sebelumnya. Tapi melihat dan ikut merasakan efeknya secara langsung baru kali ini.Asha–istrinya, benar-benar tidak bersikap seperti biasanya. Setelah insiden bau parfum yang tidak enak di penciumannya, beberapa hari kemudian wanita itu jadi banyak maunya, dan akan gampang baper kalau tidak sesuai keinginannya. Anehnya, itu hanya terjadi bila dia bersama Akash.“Mas, kemejanya ganti.” Asha menyodorkan satu kemeja berwarna soft pink pada Akash yang baru saja memakai kemeja putih untuk berangkat ke kantor.“Pink?” ucap Akash sambil menaikkan sebelah alisnya.Asha mengangguk antusias dengan senyum mengembang di wajahnya.“Harus?” tanya Akash ragu.
Sepanjang perjalanan pulang Asha lebih banyak diam. Entah kenapa dia merasa sikap Akash berlebihan. Matanya lebih banyak menatap ke arah jendela mobil, melihat lampu jalan yang menerangi trotoar, beberapa pejalan kaki sedang bertransaksi dengan pedagang kaki lima.Akash sendiri lebih fokus pada jalan. Dia tahu Asha sedang tidak hati, tapi dia tidak tahu apa yang salah, bukankah sekarang harusnya dia yang marah, kesal atau ngambek karena Asha tidak bisa dihubungi? Bagaimana kalau tadi apa-apa di jalan sementara tidak ada yang menemaninya. Dan dia tidak bisa dihubungi.Akash menghela nafas, matanya sesekali melirik Asha yang diam menghadap jendela.“Sha,” panggilnya lirih.“Hm,” jawab Asha singkat.
Pada akhirnya drama hari itu makin bertambah parah di jam pulang kerja. Saat keluar dari ruangan Akash, Asha bahkan tidak bisa bertahan sedetik saja berdiri di depan ruangan itu karena begitu banyak yang lewat dengan bau berbeda. Alhasil, ia mengurung diri dalam ruangan Akash.Masalahnya, Akash yang sejak siang tadi ada meeting di luar tidak menyadari kalau istrinya masih berada di kantor dan belum pulang. Selepas meeting di luar kantor dia bergegas pulang ke rumah karena berpikir Asha sudah sampai di rumah, ternyata ia masih belum pulang, padahal jam pulang sudah berlalu satu jam.“Belum pulang Bu?” tanya Akash saat menyadari ketidakhadiran Asha di rumah.Ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi istrinya setelah mendapat jawaban dari Kinasih.Tapi dicoba hubungi beberapa kali, wanita itu tidak menjawab.Ia mencoba menghubungi Ranti dan jawabannya, “tadi saya pulang Mbak Asha masih di kantor Pak.”Mendengar jawaban itu Akash segera mengambil kunci mobilnya dan kembali meluncurkan
Akash menyelesaikan ritual penyatuannya dengan Asha pagi itu sesuai permintaan istrinya. Permintaan yang tidak pernah diminta Asha sebelumnya, tapi pagi ini… wanita itu justru memulai lebih dulu.“Terima kasih,” ucap Akash sambil mengecup pipi istrinya.Wanita itu malah menutup wajahnya dengan selimut, nampaknya dia malu setelah memulai semuanya lebih dulu.“Mau mandi bareng gak?” tawar Akash.Asha tidak menjawab, tapi melihat selimut itu bergerak ke kanan kiri, Akash menebak istrinya tidak ingin mandi bersama. Pria itu mendekatkan wajahnya pada Asha dan berbisik, “tadi pintar banget mancing, kok udahannya Mas dicuekin?”“Maaaas.” Akash terkekeh mendengar teriakan pelan i
Pagi merambat pelan di kamar Asha, selesai melaksanakan sholat subuh tadi dia gegas menuju dapur, seperti biasa ia berniat membuat sarapan untuk keluarga kecilnya. Tapi baru selangkah kakinya menginjak dapur, bau bumbu dapur mengusik penciumannya. Tiba-tiba saja dia diserang rasa mual yang begitu berat. Itu membuatnya masuk ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya yang bahkan belum diisi apa-apa.“Kenapa Sha?” Kinasih menegur anaknya yang terlihat menggunakan kamar mandi samping dapur. Padahal biasanya dia tidak pernah ke sana.“Perut Asha mual Bu, bau di dapur gak enak banget,” keluhnya saat keluar dari kamar mandi sambil mengusap perutnya.“Bau?” Kinasih berjalan ke dapur, memastikan bau apa yang dimaksud putrinya. Tapi saat Ia sampai di dapur, ia tidak mencium bau apapun. La
Asha berlari turun dari lantai dua dan mencari keberadaan Akash. Saat melihatnya berada di ruang tengah Asha kembali berlari dan menghampirinya. Akash sampai menegur istrinya yang terus berlari itu.“Sayang, jangan lari-lari, ada baby di perut kamu.” Asha mengerjap, dia benar-benar lupa.“Maaf Mas,” ucapnya.“Ada apa? Kenapa lari-lari begitu?” tanya Akash setelah memastikan istrinya tenang dan duduk di sofa–di sebelahnya.Asha menatap suaminya lekat dengan tatapan curiga. “Apa?” tanya Akash bingung.“Jujur sama aku, Mas habis ngomong apa sama Pak Rama kemarin?” Akash mengernyit, ekspresi itu seolah mewakili pertanyaan