Akash memboyong Asha yang kini menjadi istrinya dan Kinasih–Ibu mertuanya, ke rumah pribadi yang letaknya di luar lingkungan keluarga Kurniawan.
Rumah itu cukup mewah untuk ditinggali sebuah keluarga kecil, meskipun tentu tidak semewah rumah keluarga Kurniawan. Sebelumnya rumah itu hanya dihuni olehnya tanpa pengurus rumah tangga. Dua kali dalam sepekan dia akan memanggil jasa bersih-bersih untuk membersihkan rumah.
“Di bawah ada dua kamar, di atas juga ada dua kamar,” ucap Akash saat memasuki ruang tengah. “Di rumah ini tidak ada ART, biasanya akan ada yang datang membersihkan dua sampai tiga kali sepekan,” lanjutnya.
“Kamarku di atas, Ibu mau tidur di kamar atas atau bawah, terserah," lanjut Akash.
Meskipun Akash bersikap dingin di hadapan orang lain, tapi dengan Kinasih dia masih menjaga hormatnya. Bukan karena Kinasih adalah ibu mertuanya, tapi karena sejak pertama kali Kinasih masuk ke rumah orangtuanya, sejak itu juga Kinasih memberikan perhatian lebih pada Akash. Bukan sekedar sebagai ART pada anak majikannya, tapi selayaknya perhatian ibu pada anaknya.
“Ibu di kamar bawah saja ya.” Akash mengangguk setuju.
“Saya dimana?” tanya Asha sambil menunjuk dirinya. Akash menaikkan sebelah alisnya, menyilangkan kedua tangan di depan dada dan mencondongkan badannya sedikit ke kuping Asha.
“Kalau kamu mau menjalani pernikahan ini dengan baik, maka kamu tahu kamu harus tidur dimana kan?” bisiknya sebelum kembali menarik diri. Asha menelan salivanya kasar dan mengangguk pelan.
“Sana ikut suamimu, istirahat di kamarnya.” Asha mengekori Akash ke lantai atas, masuk ke sebuah kamar yang lebih luas dari kamar pembantu di rumah keluarga Kurniawan.
Klik.
Asha melihat Akash mengunci pintu kamar dan mendekat ke arahnya.
“Kamar ini kedap suara, apapun yang terjadi di kamar ini hanya kita berdua yang akan tahu,” ucap Akash dengan nada dingin. “Di luar kamar ini, kita akan terlihat seperti sepasang suami istri, tapi di sini kita punya kehidupan masing-masing.”
Asha diam, menunggu Akash kembali bicara.
“Aku tidur di kasur, kamu tidur di sofa.” Asha melihat ke arah sofa yang ditunjuk Akash. “Di ruang ganti ada satu lemari kosong yang belum di isi, kamu boleh pakai. Tapi jangan sekali-kali menyentuh barang-barang milikku,” lanjutnya membuat Asha mengangguk pelan.
“Jangan berharap aku akan menyentuhmu, ingat kesepakatan kita. Tidak akan ada hubungan fisik antara kita sampai aku katakan kalau kita bisa melakukannya.” Asha menatap Akash yang berjalan ke arah kamar mandi. “Satu lagi,” ucap Akash saat berhenti di depan kamar mandi. “Jangan ikut campur apapun urusanku, statusmu memang istriku, tapi kamu gak boleh masuk dalam duniaku.”
Hancur hati Asha mendengar kalimat demi kalimat yang dikeluarkan Akash. Tapi sesakit apapun, Asha tidak bisa membalas semua perkataannya. Bukankah dia sudah menyetujui semua itu di hotel sebelumnya.
***
Pukul 03.00 pagi Asha terbangun seperti biasanya. Dilihatnya Akash yang tertidur nyenyak dengan pakaian singlet di kasur sambil memeluk guling.
Asha berdiri, berjalan ke kamar mandi dan membersihkan diri. Dia lalu mengambil wudhu dan keluar lalu melaksanakan sholat malam–seperti biasanya.
Dilaksanakannya shalat tahajud dua rakaat, untuk bermunajat dan mengadu pada Tuhannya. Diperlama sujudnya, air matanya menetes tanpa disadari.
Selesai dia mengucapkan salam, Asha memuja-muja Tuhannya, melantunkan beberapa dzikir untuk merayu sang pemilik kehidupan. Setelah itu diangkat kedua tangannya ke udara, membaca istighfar, sholawat dan akhirnya melangitka doa.
“Ya Allah, aku percaya ada kebaikan dalam tiap takdir yang Kau tetapkan pada tiap makhluk-Mu.”
"Termasuk pernikahan ini, aku tahu kami memulainya dengan buruk, tapi Kau pasti punya cara untuk menjadikan pernikahan ini menjadi lebih baik.”
“Jadikanlah kami pasangan yang saling mencintai dan saling mengasihi karena-Mu. Berikanlah kami keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”
“Ya Allah, jadikanlah pernikahan kami sebagai ladang amal dan kebaikan. Berikanlah kami cinta dan kasih sayang yang tulus, serta kekuatan untuk saling menopang dan memahami satu sama lain. Aamiin yaa Allah."
Selesai melaksanakan sholat sunnah, Asha kembali ke sofa tempatnya beristirahat.
“Aku gak tahu apakah pernikahan ini akan berakhir bahagia kelak, apakah akan ada cinta antara kita atau malah hanya permusuhan. Tapi Allah memberikanku gelar sebagai seorang istri dilengkapi dengan tanggung jawab yang harus aku emban. Tidak apa kalau kewajibanmu tidak kamu tunaikan dalam waktu dekat, tapi aku punya kewajiban yang harus aku lakukan Kash,” lirih Asha pada dirinya sendiri sambil melihat suaminya yang masih terlelap.
“Jadi maaf kalau aku memutuskan untuk melanggar kesepakatan yang kita buat, aku akan berjuang dalam pernikahan ini,” lanjutnya.
Asha lalu membereskan sajadah dan mukenanya, lalu kembali membaringkan badannya di sofa.
“Tuntun aku Allah, permudah jalanku, apapun akhirnya nanti aku serahkan pada-Mu ya Rabb.”
Masih ada waktu sedikit untuk beristirahat sebelum adzan subuh menggema, maka Asha memutuskan untuk kembali tidur.
***
Pagi pukul 07.00.
Asha yang sejak subuh tadi menyibukkan diri di dapur kembali masuk ke kamar dan membawa segelas kopi dan air putih untuk Akash.
Kata Ibu, Akash tidak terbiasa sarapan berat, dia lebih suka menyesap secangkir kopi hitam dan itupun dilakukan di dalam kamar–sendiri.
Saat masuk, Akash sedang ada di kamar mandi. Setelah menaruh kopi, Asha lekas membuka lemari dan mengambil pakaian ganti untuk Akash. Kemeja biru langit, jas dan celana hitam serta dasi biru gelap.
Asha meletakkannya di atas kasur sebelum Akash keluar dari kamar mandi. Setelah itu, dia memilih keluar kamar dan melanjutkan pekerjaannya merapikan rumah bersama Kinasih.
Bersamaan dengan itu Akash keluar dari kamar mandi dan menghirup wangi kopi. Kakinya melangkah ke dekat nakas lalu menyesap kopi yang sudah disiapkan.
“Pas,” lirihnya sambil mengembalikan gelas kopi ke atas nakas.
Saat dia berbalik badan berniat berjalan menuju ruang ganti, sebelah alisnya terangkat saat melihat pakaiannya sudah siap di atas kasur.
Akash tidak berpikir panjang, dia lekas memakai semua pakaian yang sudah disiapkan.
“Serasi,” pikirnya saat mematut diri di depan cermin.
Selesai berpakaian Akash menghabiskan kopinya, mengambil tas kerja dan keluar dari kamar. Melangkah santai ke ruang depan dan mengambil sepatunya yang masih tertata rapi di rak.
Matanya melirik sekilas pada jajaran sepatu di rak. Bersih, rapi bak belum pernah disentuh debu meskipun hanya secuil.
Satu sudut bibirnya tertarik, meski tidak lama. Karena beberapa detik kemudian Asha datang dan bicara.
“Mas Akash mau bawa bekal ke kantor gak?”
Akash melirik Asha.
“Mas?”
“Erik?”Mendengar nama itu disebut, sontak membuat Indira menoleh pelan, melihat suaminya yang sedang melihat ke arah ponselnya. “Mas, tadi sebut nama siapa?” tanyanya memastikan.“Erik,” jawab Rama.“Siapa? Erik siapa?” tanya Indira.“Aku juga gak tahu sayang, ini Akash yang kirim pesan.” Rama menunjukkan ponselnya ke arah Indira.[Kenal Erik?]Indira spontan mundur perlahan, bayangan beberapa tahun lalu bermain di kepalanya. Rama kaget melihat sikap Indira yang berubah. Wanita itu bahkan terus berjalan mundur bahkan ia abai pada panggilan suaminya, hingga punggungnya membentur dinding.
Erik menoleh, sosok Akash berjalan pelan menghampiri. Melihat Akash datang Gara dan Esa memilih memindahkan food tray milik mereka ke meja lain sambil terus memperhatikan Akash. Berjaga-jaga kalau Erik mencari masalah dan Akash terpancing.“Anda siapa?” tanya Erik dengan tatapan tajam.Akash menarik satu sudut bibirnya, mengulurkan tangannya yang langsung diraih oleh Asha. Melihat itu Erik mengerutkan keningnya, lalu menatap Akash yang menarik pelan Asha ke arahnya.“Seharusnya Pak Arjuna sudah mengatakan apa posisi Asha di CPM, dan kalau anda menganggap kerjasama dengan CPM penting, harusnya anda berhenti membuat ulah dan mengganggu istri saya.”Erik bergeming, matanya menelisik Akash dari ujung rambut ke ujung kaki. Seperti sedang menghitung sia
“Asha,” sapaan halus itu membuat Asha menoleh pelan pada sumber suara. Ternyata, di seberang meja yang ia pilih sudah lebih dulu duduk Rama, Indira dan Anna dengan tiga mangkuk es krim yang menggugah selera.“Hei!” Asha yang menyadari kehadiran keluarga Rama begitu senang dan lekas menghampiri mereka.“Gabung sini aja ante Asha, ini banyak kursi kosong nih,” ajak Anna.Belum juga Asha menjawab, Atha lebih dulu mengambil tempat duduk di samping Anna. Mau tidak mau Akash dan Asha pun di meja yang sama dengan Rama dan Indira.Obrolan ringan tercipta begitu saja, ada canda yang hadir dari obrolan Anna dan Atha. Lalu sedikit mengarah ke haru ketika mereka membicarakan tentang kehamilan Indira dan Asha yang berdekatan waktunya.“Berarti nanti, Anna bakal punya dua adik sekaligus ya. Satu dari Bunda Dira, satu lagi dari Ante Asha.” Mata Anna berbinar ketika mengucapkan hal itu, ia bisa membayangkan akan menggendong dua bayi kecil sekaligus.Asha dan Indira hanya bisa mengulum senyum melihat
Asha merasa seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga sore itu. Ia menundukkan kepala sebentar, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan sisa energi yang tersisa setelah seharian penuh rapat dan koordinasi proyek.Tangannya terulur ke belakang leher, memijat pelan bagian yang terasa kaku. Sesekali ia menggeleng kecil, berusaha mengusir rasa pening yang mulai merayap dari pelipis ke belakang kepala.“Ternyata kerja sendiri secapek ini ya?” gumamnya pelan.Ini memang pertama kalinya dia mengurus pekerjaan sendiri tanpa Akash. Biasanya, rasa lelah itu bisa ditepis dengan melihat wajah Akash yang menyungging senyum, tapi hari ini… jangankan senyum, bahkan melihat wajah Akash saja tidak bisa.Asha merapikan tasnya, menatap layar ponsel sekilas&mda
Sepanjang rapat berjalan, Asha berusaha fokus pada presentasi dan data pendukung yang ditampilkan di layar. Saat semua orang fokus pada pembahasan kerjasama, Erik justru malah mencari celah—melempar komentar yang terlalu personal, menggodanya dengan nada bercanda yang sama sekali tidak pantas untuk suasana formal.“Kamu gak pernah berubah ya Sha, selalu serius dan… tetap cantik dan menarik,” ucapnya setengah berkelakar. Arjuna yang mendengar itu belum menunjukkan reaksi apapun, justru beberapa rekan kerja Erik yang memberi teguran kecil.Sayangnya, dia tidak mengindahkan teguran dari rekan kerjanya itu dengan dalih, dia sudah mengenal Asha sebelumnya.Asha menegakkan badan, menatapnya dingin dari ujung meja dan berkata, “tolong jaga batasan Anda tetap profesional, Pak Erik.”Erik menyungging senyum tipis. “Jangan terlalu serius Sha,” ucapnya dengan senyum licik yang dibuat-buat.Arjuna, yang duduk tak jauh dari mereka, sudah sejak awal memperhatikan perubahan ekspresi Asha. Ia mungkin
Mood Akash hampir saja berantakan saat melihat Esa dengan kejahilannya.Beruntung saat itu Asha mengambil alih kedua piring dan meletakkannya di hadapannya. Ia menyendok satu sendok makanan dan menyuapi Akash, hingga pria itu mengulas senyum. Lupa sudah dia pada kesalnya pada Esa.Esa dan Yudha hampir tersedak melihat tingkah atasan mereka, ingin tertawa tapi melihat tatapan tajam Asha pada mereka, membuat keduanya akhirnya memalingkan muka dan menahan tawa.Masalahnya, yang melihat kejadian itu bukan satu dua orang, tapi seisi kantin memperhatikan bagaimana Akash bertingkah seperti anak-anak di hadapan istrinya.Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar, tapi kali ini Asha menuliskan telinganya. Ia memilih melayani suaminya yang sedang mode manja dan clingy. Tidak peduli dengan tatapan dan bisikan orang-orang di sekitarnya.“Lagi?” tawar Asha saat melihat piring pertama sudah kosong.Akash menggeleng, tapi piring di hadapan Asha ditarik mendekat ke arahnya. “Sekarang biar Mas yang suapi