Akash melihat sebuah mobil masuk ke pekarangan rumahnya, keningnya berkerut. Ia mengenali itu adalah mobil Rama, tapi untuk apa dia datang ke rumah?
Setelah mobil itu terparkir rapi, Rama keluar dari mobil, disusul Anna–putrinya dan Indira dari bangku penumpang di bagian belakang. Akash makin terkejut.
“Pagi,” sapa Rama sambil menyerahkan bungkusan berisi buah tangan pada Asha.
“Pagi Pak Rama, ada angin apa nih?” tanya Akash setengah bercanda.
Rama tersenyum tipis dan berkata, “lagi libur, gimana kalau panggil nama saja. Kita gak lagi di lingkungan kerja kan?” Akash mengangguk santai menanggapi ucapan Rama.
Ia lalu memperhatikan Indira dan Anna yang saling bergandeng tangan di belakan
Erik membawa kedua tamunya masuk ke ruang kerjanya yang tidak terlalu luas. Rama menaikkan sebelah alisnya, memperhatikan ruangan itu dengan seksama, satu kalimat sarkas muncul di kepalanya saat itu juga. ‘Baru jadi marketing saja, sudah mau macam-macam, apa menurutnya dia mampu melawanku?’Erik meminta keduanya duduk, pendingin ruangan yang biasanya menenangkan justru seakan membekukan udara. Akash duduk dengan ekspresi tenang tapi tegas, matanya menatap lurus pada sosok di seberangnya—Erik.Sementara di sisi kanan Akash, Rama bersandar sedikit ke kursinya, tatapan matanya tak kalah tajam, tapi lebih mengintimidasi karena diamnya. Ia sesekali mengamati ekspresi Erik, menunggu kapan tepatnya Erik menunjukkan rasa takutnya.“Ada perlu apa?” tanya Erik. “Kenapa kalian datang kemari?” tanya Erik.Badan Rama bergerak sedikit condong ke depan. Kedua tangannya menyanggah di atas pangkuan, sorot matanya tajam menatap Erik. “Sebetulnya pertanyaan itu tidak perlu anda tanyakan, karena saya ya
Setelah mendapat pesan dari Asha, Akash bergegas kembali ke kantor. Kali ini Rama mengikutinya dari belakang. Dua puluh menit berkendara, keduanya sampai di CPM dan bergegas ke lantai lima.Keduanya melangkah cepat, hingga beberapa karyawan melihat dengan sedikit bingung, apalagi keduanya tidak membalas sapaan, meskipun hanya dengan senyuman atau anggukan. Seolah ada hal besar yang harus mereka datangi saat itu juga.“Loh! Kok datangnya barengan?” tanya Asha kaget, saat melihat keduanya masuk ke ruangan.Akash mendekat, memegang kedua bahu Asha dan memperhatikan istrinya dengan seksama. “Kenapa? Apa dia datang dan mengganggu?” Asha mengerjap pelan.“Dia bilang apa Sha? Dia mengancam kamu lagi?” kali ini pertanyaan itu keluar dari Rama.Asha malah tertawa geli melihat kekhawatiran kedua pria itu. “Kok malah ketawa?” tanya Akash.“Kalian nih serius banget,” ucapnya. “Erik gak datang, dia juga gak ngancam, aku justru mau ngomongin sesuatu yang mungkin bisa membuat Erik berhenti mendekati
Siang itu, Akash dan Rama duduk berhadapan di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di kawasan Sudirman. Udara dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma kopi yang baru diseduh. Penampilan mereka yang rapi, cara bicara yang serius dan sebuah laptop yang terbuka di atas meja membuat orang-orang di sekeliling mereka akan berpikir kalau mereka sedang membahas pekerjaan. Siapa sangka, keduanya justru membicarakan soal pribadi.“Aku minta asistenku mencari tahu tentang Erik. Dan barusan aku dapat laporan, kalau tempat dia bekerja sekarang adalah perusahaan milik salah satu keluarga dari ayahnya. Secara profesional sebenarnya dia cukup bagus, tapi secara attitude—” Rama menggeleng.“Kakek juga tadi minta tolong Pak Bima untuk cari tahu lebih banyak tentang dia, sekaligus mencari celah aga
Malam itu kamar Indira dan Rama terasa hening. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar di antara lembutnya cahaya lampu tidur. Indira menatap langit-langit kamar sambil berbaring di samping suaminya, pikirannya melayang jauh. Bayangan masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur, entah kenapa kembali muncul kembali setelah mendengar nama Erik disebut.Rama menoleh pelan ke arah istrinya. Tatapannya lembut, tangannya menyentuh perut Indira yang masih terbilang rata, diusapnya pelan dan memberi kenyamanan untuk si puan. “Kenapa? Masih mikirin Erik?”Pertanyaan itu membuat Indira menoleh pelan pada suaminya. “Maaf ya Mas, aku gak pernah cerita ini sebelumnya, aku pikir—”Rama menggenggam tangannya yang terletak di atas selimut. “Jangan dipikirin terus Yang, aku janji akan jaga kamu dengan baik.”Indira mengangguk pelan. “Aku cuma takut kamu kecewa, Mas. Aku tahu aku salah karena gak cerita dari awal, aku cuma—”“Dir,” potong Rama. Pria itu menarik nafas dalam, menatap wajah
“Erik?”Mendengar nama itu disebut, sontak membuat Indira menoleh pelan, melihat suaminya yang sedang melihat ke arah ponselnya. “Mas, tadi sebut nama siapa?” tanyanya memastikan.“Erik,” jawab Rama.“Siapa? Erik siapa?” tanya Indira.“Aku juga gak tahu sayang, ini Akash yang kirim pesan.” Rama menunjukkan ponselnya ke arah Indira.[Kenal Erik?]Indira spontan mundur perlahan, bayangan beberapa tahun lalu bermain di kepalanya. Rama kaget melihat sikap Indira yang berubah. Wanita itu bahkan terus berjalan mundur bahkan ia abai pada panggilan suaminya, hingga punggungnya membentur dinding.
Erik menoleh, sosok Akash berjalan pelan menghampiri. Melihat Akash datang Gara dan Esa memilih memindahkan food tray milik mereka ke meja lain sambil terus memperhatikan Akash. Berjaga-jaga kalau Erik mencari masalah dan Akash terpancing.“Anda siapa?” tanya Erik dengan tatapan tajam.Akash menarik satu sudut bibirnya, mengulurkan tangannya yang langsung diraih oleh Asha. Melihat itu Erik mengerutkan keningnya, lalu menatap Akash yang menarik pelan Asha ke arahnya.“Seharusnya Pak Arjuna sudah mengatakan apa posisi Asha di CPM, dan kalau anda menganggap kerjasama dengan CPM penting, harusnya anda berhenti membuat ulah dan mengganggu istri saya.”Erik bergeming, matanya menelisik Akash dari ujung rambut ke ujung kaki. Seperti sedang menghitung sia