Ponsel Pipit berdering dan gadis itu keluar dari kamar perawatan. Air mata Puspa kembali tumpah. Sesalnya begitu dalam. Seharusnya dia jujur saja sejak awal. Kehilangan Bram sebelum pernikahan terjadi, tentu lebih baik daripada menjalani keadaan seperti ini. Dirinya serasa sangat tidak berharga di hadapan lelaki rupawan itu.
Tentu Bram menyesal. Kenapa setelah kehilangan bidadari, sekarang mendapatkan perempuan sehina dirinya. Malam sebelum keberangkatan Bram ke Surabaya, ia mendapati lelaki itu termenung di ruang kerja. Menghadap foto keluarganya yang masih tergantung di dinding. Foto-foto mantan istrinya masih terpasang rapi di kamar anak-anak dan ruang kerjanya. Kalau di dinding ruang keluarga sudah diturunkan semua. Dirinya bukan pengganti wanita itu. Karena selamanya Sandra tidak akan pernah tergantikan. Istilahnya sekarang, Bram hanya melanjutkan hidup dengan menikahinya. Semua sudah habis untuk orang lama. Kalimat yang pernah seliweran dan ia baca di beranda akun media sosialnya, kini menjadi kenyataan dalam hidupnya. Ah, andaian Puspa jadi ke mana-mana. Menerka-nerka sendiri. Dia tidak bermaksud menipu, dia hanya ingin Bram bisa menerima apa adanya. Seperti dia yang rela dan bersedia menjadi ibu sambung untuk Vanya dan Sony. Akan tetapi, lelaki punya egoisme yang mutlak mengenai hal itu. Dia memiliki segalanya, tidak hanya wajah tampan, badan bagus, suara nge-bass, bisnis sukses, dan kaya. Apa yang kurang coba? Makanya dia juga menginginkan perempuan sempurna. ***L*** "Bunda, sakit ya. Wajah Bunda pucat gitu." Sony yang sedang makan malam memperhatikan Puspa yang duduk di depannya. "Saya hanya masuk angin, Dek. Yuk, dihabisin makannya. Terus salat Isya." "Bunda gitu lho, Bun. Jangan 'saya'." "Iya," jawab Puspa sambil tersenyum. Mereka hanya makan malam berdua saja. Vanya memilih makan di kamar. Setiap kali papanya tidak ada di rumah, anak itu semaunya sendiri dan tidak pernah mau mendengar apa yang dikatakan Puspa. "Bunda, sudah minum obat?" "Sudah tadi." "Papa pulang kapan, Bun?" "Besok kalau nggak lusa, Dek." Percakapan mereka terhenti saat ponsel milik Sony berdering di meja. "Papa telepon, Bun." Wajah bocah lelaki itu spontan berbinar. "Jawab saja. Tapi nggak usah bilang kalau bunda sakit, ya." "Kenapa?" "Nggak apa-apa. Bunda hanya masuk angin. Sekarang sudah lebih baik." Puspa tersenyum seramah mungkin supaya Sony percaya. "Angkat teleponnya." Sony menjawab telepon. Sedangkan Puspa bangkit dari duduknya untuk membawa piring Sony yang sudah kosong ke dapur. Tubuhnya masih terasa lemas. Untuk berjalan saja masih susah. Namun Puspa memaksakan diri. Biasanya sore hari, dia ke rumah mama mertua untuk menemani meski hanya sejenak. Tapi sore tadi dia tidak sanggup berjalan walaupun rumah sang mertua hanya dipisahkan oleh halaman samping. Semoga saja waktu Bram pulang nanti, dia sudah pulih. ***L*** "Kak, pamitan dulu dong sama, Bunda!" Sony menegur kakaknya yang membuka pintu mobil. Namun Vanya melengos tidak peduli dan langsung masuk mobil. Membuat sang adik berdecak lirih. "Bun, Sony berangkat sekolah dulu ya. Kalau Bunda nggak sakit, Sony malah senang di anterin Bunda saja." Bocah lelaki itu mencium punggung tangan Puspa. "Nanti kalau sudah sembuh, Bunda yang antar jemput Sony lagi." "Oke, Bun. Tadi malam papa bilang kalau sore nanti papa sudah pulang." Puspa mengangguk meski dalam dada deg-degan. Jadi Bram tidak jadi pulang besok? Mana kondisinya belum pulih benar. Tapi apa mungkin Bram peduli. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Bram tidak mungkin seperti suami lainnya yang melepas rindu setelah beberapa hari tidak bertemu istrinya. Bram sudah enggan menyentuh. Setelah melambaikan tangan pada Sony, Puspa kembali ke dalam. Dia langsung ke kamar dan mengganti seprai serta membersihkannya. Termasuk memasang pengharum ruangan. Beberapa skin care-nya di atas meja rias dimasukkan ke dalam pouch dan disimpan dalam lemari. Jika mau pakai tinggal membawanya keluar kamar. Selama menunggu sore, Puspa tidak tenang. Setelah Bram pulang apa yang akan terjadi. Andai saja dia berani mengambil keputusan untuk pergi, sudah ia lakukan. Tapi dia tidak akan pergi tanpa memberikan penjelasan. Jika dia pergi, hanya akan meninggalkan kekacauan. Namun ia takut sekali. Jika Bram tahu, apa keadaan tidak lebih buruk lagi. Puspa belum mengenal lebih jauh bagaimana suaminya ini. Semua orang mengenalnya sebagai lelaki yang baik. Sebagai bos, sebagai tetangga, sebagai warga desa yang baik. Tapi untuk pasangannya, Puspa belum mengenal secara mendalam. Wanita itu berjingkat saat mendengar suara mobil Bram memasuki garasi. Ternyata suaminya pulang lebih cepat dari perkiraannya. Next .... Selamat membaca 🥰"Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat