PERNIKAHAN
- Serba Salah Suaminya pulang malah membuat Puspa bingung harus bagaimana. Menyambutnya atau pura-pura tidak tahu. Serba salah sampai tubuh Puspa gemetar. Suara langkah kaki Bram melewati teras. Sedangkan Puspa masih mematung dengan wajah pias. Ketika hendak melangkah untuk menyambut Bram ke ruang tamu, kakinya terhenti saat mendengar suara Vanya dan Sony lebih dulu menyambut papa mereka. "Kukira Papa pulang sore." Suara Vanya terdengar. Gadis itu baru pulang sekolah beberapa menit yang lalu. "Kerjaan papa sudah selesai, makanya buru-buru pulang." "Besok Sony ada pertandingan sepakbola antar sekolahan di stadion, Pa. Papa, bisa nganterin nggak? Bunda sakit soalnya." Dada Puspa berdesir mendengar Sony memberitahu papanya. Jantung berdentum hebat menunggu apa reaksi sang suami. "Sakit apa?" Pertanyaan datar Bram. "Masuk angin katanya." "Oke. Papa mau mandi dulu. Nanti malam sambil makan, kita ngobrol lagi." Puspa mundur ke belakang supaya tidak terlihat oleh Bram yang melangkah menaiki tangga. Untuk beberapa menit Puspa diam di ruang santai yang bersebelahan dengan ruang tamu. Tempat itu biasanya digunakan Bram untuk merokok sambil menikmati taman rumah yang dihuni berbagai bunga dan tanaman hias. Di sana juga ada kolam ikan koi dengan air terjun buatan yang gemercik airnya sangat menenangkan. Apa perlu ia menyusul suaminya naik ke lantai dua? Tapi pada akhirnya Puspa memilih bertahan di sana. Biar Bram selesai mandi lebih dulu. Sementara Bram yang masuk kamar diam sejenak memperhatikan suasana ruang pribadinya sedikit berbeda. Seprai yang baru diganti dan pengharum ruangan kesukaannya. Pandangan terpaku pada meja rias yang bersih dari perlengkapan make up milik Puspa. Lelaki itu menghela nafas panjang. Kemudian melepaskan kemeja dan masuk kamar mandi. Tubuhnya terasa lengket setelah aktivitas seharian ini. Selesai salat asar, pintu kamarnya diketuk. "Masuk!" ucapnya. Perlahan pintu terkuak. Puspa berdiri di ambang pintu. "Mas, mau dibuatin kopi apa teh?" tanya Puspa hati-hati. Biasanya dia tidak pernah mengetuk pintu kamar kalau hendak masuk sebelum ada permasalahan di antara mereka. "Terima kasih. Aku sudah ngopi," jawab Bram sambil melipat sajadah. "Oh, iya." Puspa kembali menutup pintu perlahan. Nyaris tak bersuara. Wanita itu menuruni tangga pelan-pelan sambil berpegangan pada teralis pembatas dari logam. Tubuhnya masih lemas. Di tangga paling bawah nyaris terjatuh. "Mbak Puspa, kenapa?" Mak Sri tergesa menghampiri dan memegangi lengannya. "Nggak apa-apa, Mak. Saya kesandung tadi." Puspa berbohong. "Mbak, pucet banget. Apa perlu saya kerokin. Mas Sony bilang, Mbak Puspa masuk angin." "Nggak usah, Mak. Saya sudah lebih baik," tolak Puspa. Kemudian buru-buru melangkah ke pintu samping saat mendengar Bram membuka pintu kamar dan melangkah hendak menuruni tangga. Ia belum siap untuk berhadapan dengan suaminya dalam keadaan begitu lemah. Tubuhnya harus pulih dulu. "Mbak Puspa, Ibu ingin bertemu. Beliau menunggu di joglo." Wanita setengah baya yang menjaga Bu Dewi menghampiri Puspa. "Iya, Mak Siti. Saya akan ke sana." Mak Siti melangkah pergi lebih dulu. Sedangkan Puspa mengikuti dengan langkah pelan. Wanita itu diam sejenak di tengah taman. Menyaksikan matahari sore di langit barat. Begitu indah merona jingga. Semilir angin terasa sejuk di kulitnya. Puspa paling suka menikmati suasana seperti ini. Dihirupnya udara dalam-dalam untuk menyegarkan paru-parunya. Bu Dewi yang duduk di kursi tersenyum melihat kedatangan sang menantu. "Nduk, mama sampai kangen sama kamu. Dua hari ini kamu nggak ke mari. Kata Sony kamu sakit. Wajahmu pucat gitu." Sang mertua memperhatikan wajah menantunya dengan dahi berlipat. Bu Dewi khawatir. "Saya hanya masuk angin, Ma. Alhamdulillah sudah mendingan sekarang ini." Puspa masih menutupi kenyataan yang sebenarnya. "Beneran kamu hanya masuk angin? Sebaiknya periksa ke dokter, siapa tahu kamu lagi hamil." Wajah Puspa pias. Makanya buru-buru menunduk untuk menyembunyikannya. Kesehatan sang mertua belum stabil, makanya dia harus hati-hati kalau berbicara. "Nggak perlu, Ma. Ini sudah mendingan." "Bram sudah pulang?" "Iya, barusan sampai rumah." "Syukurlah!" Tidak lama kemudian Bram muncul. Wajah Bu Dewi tambah semringah. Dielusnya kepala sang putra yang tengah mencium punggung tangannya. Puspa diam dengan tangan yang mulai berkeringat. Bertemu suami sendiri, kenapa terasa menakutkan begini. Sebelumnya Puspa bukan perempuan seperti ini, lemah dan tidak berdaya. Sebenarnya dia gadis energik, gampang bergaul, dan berani menghadapi apapun. Namun setelah peristiwa itu, telah merubah segalanya. "Bawa Puspa periksa ke dokter, Bram. Istrimu sakit itu." Bu Dewi bicara pada putranya. Lelaki itu memandang sekilas Puspa yang duduk di sebelah sang mama. "Oh, nggak usah, Mas. Aku sudah nggak apa-apa," tolak Puspa menjawab tatapan datar suaminya."Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat