PERNIKAHAN
- Puspa Keguguran? Puspa tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Dua hari yang lalu dia kebingungan saat tahu positif hamil. Bagaimana cara memberitahu suaminya? Sedangkan Bram sangat dingin dan mendiamkannya. Kalau diberitahu apakah Bram percaya kalau itu anaknya? Harusnya Bram percaya. Sebab di hari pernikahan mereka Puspa sedang haid dan suaminya tahu hal itu. Kemudian Bram ke Semarang selama lima hari. Setelah pulang Sony sakit typus dan mesti opname. Setelah suasana stabil, suatu malam menjadi milik mereka. Dirinya memang salah. Tapi Puspa hanya berusaha menutup aibnya sendiri. Luka yang pernah membuatnya putus asa dan putus harapan. Berharap mendapatkan sandaran, tapi suami yang berpengalaman tahu dan tidak bisa terima. "Kenapa tadi kamu nggak cerita kalau lagi hamil?" tanya Pipit yang membantunya minum air putih. Puspa tidak harus di kuret karena janinnya yang baru berumur sekitar empat minggu sudah luruh semua. Dia hanya perlu minum obat dan istirahat. "Masih terlalu awal kalau kuceritakan, Pit." "Kamu telepon dulu suamimu. Pak Bram harus dikabari." "Nggak usah." "Loh, kok nggak usah?" "Mas Bram nggak di rumah, Pit. Lusa baru kembali dari Surabaya," jawab Puspa dengan suara lemah. Di area bawah sana terasa nyeri. Perutnya juga tidak nyaman. Sejak tadi malam sebenarnya dia sudah merasakan hal itu. Dipikirnya wanita hamil pasti akan mengalaminya. Ternyata pagi ini dia keguguran. Tadi Puspa mampir ke rumah sahabatnya setelah mengantarkan Sony ke sekolah. Mungkin terlalu stres yang menyebabkan janin itu tidak bisa bertahan. Dada Puspa terasa sebak. Bayangan sikap Bram yang begitu dingin berkelindan dalam benak. Sedih sekali rasanya. Air mata mengalir dari sudut netra. Pipit menggenggam jemarinya untuk menguatkan. Yang ia tahu, pasti Puspa sangat sedih kehilangan calon bayinya. Ah, Pipit tidak tahu apa-apa karena Puspa tidak pernah bercerita pada sahabatnya. Sedekat apapun mereka, tapi aib itu dan segala permasalahannya dengan Bram, cukup dipendam sendiri. Kecuali sikap Vanya yang tidak bisa menerimanya sebagai ibu tiri diketahui oleh Pipit. "Pit, temani aku di sini dulu ya. Beberapa jam lagi aku bisa minta pulang. Toh aku sudah nggak apa-apa." "Kamu perlu perawatan paling tidak sampai besok." "Nggak usah. Dokter bilang kalau aku sudah lebih baik, boleh pulang." "Kamu nggak ngabari orang tuamu juga?" Puspa menggeleng. "Belum ada yang tahu aku hamil. Biar saja. Lagian janin ini sudah nggak ada." Pipit heran memperhatikan sahabatnya. Kondisi seperti ini seharusnya dia butuh support dan perhatian terutama dari suami. Tapi kenapa Puspa justru tidak ingin memberitahu mereka. Dia mengenal baik Puspa sebagai gadis yang periang. Namun sekarang terlihat memiliki beban. "Puspa, kamu ada masalah?" "Nggak ada. Aku hanya sedih. Oh ya, Pit. Gimana aku bisa pulang dengan memakai celana penuh darah ini. Bisa minta tolong untuk membelikan rok dan celana dalam untukku?" "Aku bisa ke rumahmu untuk mengambilkan baju ganti." "Nggak usah. Tolong belikan saja, ya. Nggak perlu bagus yang penting bisa kupakai ganti untuk pulang. Uangnya ada di tasku itu." Puspa memandang atas meja. Pipit yang curiga dengan sikap sahabatnya, bangkit dan mengambil tas di meja. Setelah Puspa memberikan uang, gadis sebaya dengan Puspa melangkah pergi. Air mata Puspa mengalir deras setelah Pipit keluar. Inikah jalan terbaik untuknya? Lebih baik janin itu gugur di tengah kemelut rumah tangganya. Belum tentu Bram bahagia mengetahui kehamilannya. Andai dia ingin memastikan itu anaknya apa bukan, Bram bisa melakukan tes DNA. Tapi tidak menjamin lelaki itu bisa menerima, walaupun anak itu benihnya sendiri. Memiliki anak dari perempuan ternoda, mungkin bukan keinginannya. Bisa jadi sekarang Bram telah merencanakan perpisahan. Dia hanya menunggu waktu yang tepat karena sang mama masih dalam keadaan kurang sehat. Dan Puspa harus siap jika saat itu akhirnya tiba. Secepat inikah? ***L*** "Puspa, kalau kamu ada masalah. Ceritakan padaku. Nggak mungkin kamu bisa memendam semuanya sendirian. Ada apa, sih? Kamu nggak bahagia dengan pernikahanmu? Aku tahu Vanya nggak menyukaimu." Pipit khawatir melihat Puspa. "Aku hanya sedih karena keguguran, Pit. Soal Vanya, sudah kuanggap hal biasa. Nggak semua anak tiri bisa menerima sepenuh hati kehadiran bapak atau ibu tirinya. Begitu juga sebaliknya." "Tapi kenapa kamu nggak mau ngabari suamimu kalau kamu keguguran?" "Setelah Mas Bram pulang, pasti kukasih tahu. Kalau sekarang kukabari, aku khawatir akan membuatnya cemas." "Oh, ya sudah. Kirain kamu lagi ada masalah." Puspa tersenyum getir."Bagaimana, May?" teriak Dikri. Tidak sabar menyambut Maya yang keluar dari kamar mandi malam itu."Bentar!"Dikri mondar-mandir menunggu. Dia berharap ada kabar bahagia malam ini. Sudah membayangkan memiliki anak perempuan yang cantik. Biar terobati rindunya pada Denik.Maya keluar dari kamar mandi."Bagaimana?" "Aku hamil," ucap Maya dengan suara bergetar dan netra berkaca-kaca. Menunjukkan testpack dengan garis dua di tangannya.Mata Dikri membelalak dan langsung memeluk Maya dengan erat, hampir tak percaya dengan kabar bahagia itu meski harapannya begitu besar. "Alhamdulillah."Akhirnya setelah dua bulan menikah, Maya baru hamil. Biar menepis dugaan sebagian orang kalau mereka menikah diam-diam karena Maya hamil duluan.Tidak adanya resepsi dan nikah dadakan membuat beberapa orang berprasangka buruk. Apalagi Maya seorang janda."Besok kita cek ke dokter, Mas. Baru ngasih tahu orang tua kita.""Iya." Dikri masih speechless. Tak henti ia mengucap syukur. Masih diberikan kesempatan
"Sampai sekarang Rayyan belum tahu kalau akulah yang menghancurkan harapannya. Semoga sampai kapanpun dia nggak akan pernah tahu, Ma.""Baiklah kalau gitu. Kita nggak usah ngadain resepsi saja." Bu Ira mengelus punggung putranya sambil tersenyum. Dalam hati berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja. Dikri dan Maya bahagia.***L***Dua bulan sudah Dikri dan Maya menjadi pasangan suami istri. Mereka tinggal di rumah orang tua Maya karena Bu Anang di Surabaya menunggui Mika yang hendak bersalin. Tiap akhir pekan mereka menginap di rumah orang tua Dikri atau berkunjung ke Surabaya.Maya membuka jendela dapur saat matahari pagi sudah menerobos masuk. Tiap selesai salat subuh, ia akan sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan. Selalu memastikan pagi mereka dimulai dengan sarapan bersama sebelum berangkat kerja. Meski sama-sama sibuk. Salah satu kebiasaan mereka adalah mengatur makan siang bersama setidaknya dua kali seminggu. Kalau Dikri ada acara di luar kantor, ia akan menjemput Maya untu
PERNIKAHAN - Bidadari Kecil "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Di depan pintu ada Rayyan bersama Najiya yang tengah hamil besar."Hai, Ray. Ayo, masuk!" Dikri bangkit dan menyambut tamunya. Mereka jarang sekali bertemu dan berkomunikasi lewat telepon. Rayyan pasti lebih sibuk setelah menikah.Maya memperhatikan pasangan itu. Dia belum pernah melihatnya. Karena hampir kenal semua teman-teman Dikri."Nikah nggak ngabarin sih, Mas," protes Rayyan sambil bersalaman. Kemudian ia dan Najiya menyalami Maya, Pak Maksum, dan Bu Ira. Dikri mengenalkan Maya pada Rayyan dan Najiya."Mari silakan duduk," ujar Bu Ira."Maaf, rencananya kan mau tunangan dulu. Tapi kami langsung nikah siri atas saran keluarga. Baru nanti mendaftarkan pernikahan ke KUA. Kapan kalian datang?""Tadi pagi. Dan kami dikasih tahu sama Budhe. Alhamdulilah, saat berulang kali kutanyai Mas Dikri bilang nggak punya pacar. Eh tiba-tiba saja nikah. Rupanya main rahasia selama ini."Dikri tertawa. "Tanyakan ke Budhe, giman
"Apa dulu itu, kamu menyukai gadis lain, Dik? Makanya dengan berbagai alasan kamu menunda pernikahan kita?" Namun pertanyaan itu hanya terucap dalam dada. Dia tidak akan menanyakannya dan tidak usah tahu. Yang penting mereka sekarang berkomitmen untuk melangkah beriringan membina masa depan. Lupakan masa lalu. Sepahit apapun itu. Dirinya sudah menerima Dikri dan menerima seluruh kisahnya."Kita akan saling mencintai sampai kapanpun, May." Dikri mengecup puncak kepala istrinya. Ia menyadari betapa beruntungnya memiliki Maya. Dikri berjanji dalam hati untuk selalu menjaga Maya, melindunginya, dan menjadi suami yang setia.Maya mengeratkan pelukan. Keduanya terhanyut dalam perasaan dan tuntutan kebutuhan ragawi. Ternyata Maya sudah mengenakan gaun istimewa untuk suaminya. Membuat mereka tidak sabar untuk segera tenggelam menikmati malam pernikahan.Sarangan menjadi saksi keduanya untuk menyempurnakan hubungan. Maya tidak pernah tahu, bahwa dia bukan yang pertama bagi Dikri. "Dik, kita
"Setelah ini kamu dan Dikri harus mulai membahas mau tinggal di mana, May. Sebab Dikri pun sekarang menjadi anak tunggal. Jangan sampai hal begini akan jadi masalah. Kalau Mas, maunya kamu nemenin Mama," kata Bayu."Mas Bayu, nggak usah khawatir deh. Mama akan ikut aku ke Surabaya. Nungguin aku lahiran. Jangan khawatir, ada ART di rumah jadi Mama hanya duduk mengawasi saja saat kami tinggal kerja. Iya kan, Ma?" Si bungsu merangkul bahu mamanya.Sejak menikah, Mika memang mau mengajak mamanya tinggal bersama. Tapi Bu Anang menolak dengan alasan, kasihan Maya sendirian."Sekarang Mbak Maya kan sudah menikah, Ma. Ada suami yang jagain. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi."Bu Anang memandang Maya. Anak yang paling dekat dengannya. Dibanding dengan kedua saudaranya. Maya yang mungkin bisa dibilang kurang beruntung. Itu pun karena ada andil orang tua yang memaksakan kehendak."Nggak apa-apa Mama ikut ke Surabaya. Kalau pengen pulang ke Nganjuk kan bisa kami jemput. Pengen ke Surabaya bisa
PERNIKAHAN- Semalam di Telaga Sarangan "Mbak, dulu dia mengulur-ulur waktu nikahin aku. Sekarang dia maunya buru-buru. Kami nikah secepat kilat kayak habis di gropyok hansip saja.""Sssttt, jangan ngomong begitu. Memang takdir jodoh kalian baru sekarang," jawab sang kakak ipar seraya mengaplikasikan bedak di wajah Maya. "Apapun yang pernah terjadi, Mbak salut kalian bisa kembali bersama. Ini jodoh yang sempat belok arah namanya." Nafa, istrinya Bayu terkekeh. "Mbak aja kaget waktu dikabari mama.""Aku sendiri rasanya nggak percaya. Padahal aku sudah mengubur dalam-dalam harapan itu.""Kalian ini jodoh yang tertunda. Mbak doain kalian bahagia. Jangan tunda, segeralah punya momongan. Usiamu sudah tiga puluh tiga tahun, kan?"Maya mengangguk. Make up sudah selesai. Maya membuka lemarinya dan mengambil kebaya warna putih tulang. Itu baju yang ia pakai di hari pernikahan adik perempuannya. Mika. Baru setahun yang lalu, pasti masih muat. Modelnya simple, masih mewah kebaya pengantin saat