“Kamu di sini anak baru, jadi harus berhati-hati. Kalau tidak tau, tanya. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang membuat pelanggan saya kecewa. Saya tidak suka kesalahan, apalagi kecerobohan,” kata Amar. Ia menatap tajam wajah Sara. Meskipun ia memiliki bibir yang tebal, ia sangat pandai mengecam orang lain dengan sangat mudah.
“Baik, Pak, saya mengerti,” jawab Sara seraya menunduk.
‘Dasar orang songong,’ gerutu Sara dalam hatinya.
Sara tidak habis pikir dengan sifat bosnya yang begitu angkuh. Ternyata ekspektasinya terlalu berlebihan, ia pikir bosnya adalah orang yang baik hati dan ramah, kenyataannya adalah orang terangkuh yang pernah ia temui.
“Pergilah, saya mau berbicara dengan Zea!” perintah Amar kepada Sara. Rupanya ia tidak ingin pembicaraannya dengan Zea didengar oleh orang lain.
Lagi pula, Sara juga tidak berselera menguping pembicaraan orang.
“Kamu budek? Kenapa masih di sini?”
Sara benar-benar fokus dengan rasa kesalnya, sampai-sampai ia tidak mendengar perintah Amar.
“B-baik, Pak.” Sara segera meninggalkan mereka berdua.
Dengan perasaan cemas, ia segera kembali bekerja. Sara hanya khawatir pembicaraan mereka ada sangkut pautnya dengan Sara. Bagaimana kalau kinerjanya dinilai buruk oleh Amar hingga akhirnya malah dipecat. Membayangkan saja rasanya sudah tidak sanggup, apalagi jika itu menjadi nyata.
Jarum jam berjalan begitu cepat, Amar si pria dingin sudah pergi meninggalkan toko kue tersebut. Ada perasaan lega di wajah Sara karena sejauh ini, posisinya masih aman.
**
Keesokan harinya. Sara melakukan pekerjaan seperti biasanya. Mulai bangun pagi, menyapu di segala ruangan, mengelap meja, lalu menunggu pembeli datang. Sebenarnya, toko kue tersebut memiliki lima karyawan, yang pertama Zea, Sara, dan tiga orang lainnya yang berada di bagian dapur.
Toko kue ini diberi nama Rolla Bakery. Sejauh ini, hanya Amar yang tahu arti dari nama tersebut. Rolla Bakery memiliki banyak cabang. Di Surabaya pun ada lima cabang, salah satu cabang yang masih tergolong baru, adalah cabang yang saat ini mempekerjakan Sara.
“Kamu suka, ya, sama Pak Amar?” Spontan pertanyaan itu terlontar dari lisan Zea.
“Apa, suka? Bahkan dekat dengannya pun rasanya sangat menyeramkan!” Sebuah pertanyaan yang mendarat dari mulut Zea, tidak tahu kenapa, Sara merasa ada maksud lain dari pertanyaan itu.
“Oh iya? Lantas, apa kamu membencinya?”
Sara takut pertanyaan itu sekaligus jebakan baginya. Namun, buat apa Zea menjebaknya?
“Tidak, aku juga tidak membencinya. Bagaimana mungkin aku bisa menyukai atau membenci seseorang tanpa sebab! Lagi pula, saya dan Pak Amar masih baru kemarin bertemu.”
“Oh, baguslah. Saya tau, meskipun Pak Amar memiliki sikap yang tidak begitu mengenakkan, dia juga seorang pria yang tampan. Jadi, pasti banyak para wanita di luar sana yang mengaguminya,” jawab Zea sambil menatap Sara dengan tatapan kosong. Kali ini, ia seperti berbicara tentang dirinya sendiri.
Sara tidak membantah. Karena apa yang Zea ucapkan memang benar! Selain kaya raya, ia juga memiliki wajah yang begitu tampan. Meskipun definisi tampan sangat banyak, yang jelas, Amar sangat memenuhi standarisasi ketampanan.
“Termasuk Mbak Zea sendiri?”
“Menurut kamu?” tanya balik Zea sambil tersenyum tipis pada Sara. Kemudian, ia sengaja meninggalkan Sara.
Sara segera membalikkan badan, mengangkat kaki untuk melanjutkan aktifitasnya. Tidak sengaja ia melihat Amar dan Zea berbincang-bincang di ruang depan. Kelihatannya memang sangat akrab, bahkan dari sekian banyak karyawan, cuma Zea-lah yang bisa membuat Pak Amar tertawa begitu lepas.
Sara masih tetap berdiri di tempatnya sambil membayangkan sosok misterius seorang Amar. Memang benar yang dikatakan Zea, ia adalah laki-laki idaman wanita. Tampan dan sukses, siapa yang tidak mau dengan laki-laki tersebut.
‘His, rupanya otakku sudah gila,’ gerutunya dalam hati.
Sara tidak bisa menerima kalau sebenarnya ia juga mulai memuji bosnya sendiri. Sara segera pergi untuk melanjutkan pekerjaannya karena takut Zea maupun Amar tahu kalau dirinya sedang memperhatikan mereka berdua.
Karena terlalu tergesa-gesa, ia tidak sadar bahwa di depannya ada pot bunga mawar yang berhasil membentur kaki kanannya. ‘Argh, perih,' rintihnya dalam hati.
Salah satu duri mawar merah tersebut berhasil menggores kaki Sara. Karena tidak bisa menjaga keseimbangan pijakannya, hanya butuh waktu sekian detik, tubuh Sara seperti sedang melayang lepas di udara.
Sara terpejam, lalu merasa ada sentuhan tangan yang merangkulnya dari belakang. Bagaimana bisa, ia terjatuh di dalam dekapan Amar.
Sangat hangat, namun harus segera dilepas.
Jantung Sara berdegup kencang. Sepasang mata yang menatapnya benar-benar membuat Sara mabuk dengan tanda tanya. Sara masih berada dalam posisi yang sama, ia terus memandang wajah Amar dengan detail. Hidungnya seperti kuncup bunga mawar. Begitu pun bibirnya yang memiliki proporsi sangat komplit antara bibir atas dan bawah. Alisnya juga begitu tebal dan hitam seperti malam, membuat Amar terlihat begitu menawan.
‘Dia sangat tampan!’ celetuknya dalam hati.
“Lain kali hati-hati! Kalau jalan pakai mata, baju saya jadi kotor, kan, gara-gara nempel sama badan kamu!” ucap Amar kepada Sara sambil melepaskan pelukkannya dengan sangat kasar.
Sara masih mematung, belum sempat Sara membalas perkataannya, Amar langsung pergi tanpa mengucap permisi.
Sara memegang bahu, jejaknya masih terasa hangat. Mencoba menarik napas dengan pelan, lalu berusaha menetralkan detak jantung yang berdetak begitu cepat. Berulang kali berusaha berpikir normal, bahwa kejadian itu hanya sebuah kebetulan, tetapi mengapa rasanya begitu candu?
“Sara, kaki kamu berdarah!” Zea melihat kaki Sara yang mengeluarkan darah segar dari celah-celah kulit.
''Tadi kaki saya menyenggol duri mawar itu, Mbak.'' Sara menunjuk sebuah pot bunga, yang sudah berserakan di atas lantai. Rupanya pot itu tidak sengaja ia senggol, sewaktu badannya mau terjatuh.
''Bukannya seharusnya kamu berada di depan, ya? Ngapain kamu di sini?'' tanya Zea, ia seperti sedang mencurigai Sara. Dengan kemampuannya, ia berusaha menelitik kejujuran Sara.
“Saya tadi cuma kebetulan lewat, kok,” jawabnya sebisa mungkin. Ia tidak ingin Zea merasa curiga terhadapnya, karena ia berada di tempat yang tidak semestinya.
“Yasudah, lima menit lagi toko buka, kamu harus standby di dalam,” perintah Zea pada Sara.
“Baik, Mbak.” Sara langsung masuk ke toko dengan tergesa-gesa.
Tidak lupa ia merapikan baju dan mengucir rambutnya dengan pita. Ia mau terlihat rapi saat melayani orang yang hendak membeli kue di toko tersebut. Satu per satu pembeli datang bergantian. Namun, kali ini pembeli yang datang justru kebanyakan pelanggan baru.
Sebenarnya, kehadiran Sara di toko kue tersebut tentu membawa pengaruh baik, dari mulut ke mulut orang memuji bahwa ada pelayan toko yang cantik sekali dan juga ramah. Hingga banyak orang yang penasaran untuk datang membeli kue sekaligus ingin melihat sosok pelayan yang dibicarakan orang-orang sekitar.
Rumor mengenai keberadaan Sara membuat para pembeli banyak yang berdatangan, dan menarik simpati banyak orang, sudah sampai di telinga Zea. Raut wajahnya pun menggambarkan kecemasan tanpa sebab, sesekali berusaha menarik napas, lalu membuangnya. Bersikap biasa-biasa saja menjadi jalan ninja agar tidak terlihat cemas. ‘’Bagaimana mungkin hanya karena seorang pelayan … apa dia mempunyai ilmu marketing yang jauh di atasku?’’ Tanya Zea pada dirinya sendiri, setengah tidak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya. Keberhasilan Sara dalam menarik minat pembeli, menciptakan teka-teki khusus untuk Zea. ‘’ Apa cuma karena dia cantik? ’’ Lagi-lagi ia bertanya pada diri sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwa diam-diam dirinya juga mengakui kecantikan Sara. Bahkan sesekali ia membandingkan dirinya sendiri dengan Sara. Namun tetap saja, ia tidak
‘’Mas, are you okay? Hallo!!’’ ‘’Oh ya, ini mbak uangnya!’’ Dengan segera Anda menyulurkan uang berwarna biru tua, yang ia ambil dari dalam dompetnya.Kali ini, matanya masih tidak bisa terpental dari wajah Sara. Meskipun Andra melamun, ia tetap sadar dan mendengar dengan jelas nominal yang Sara ucapkan tadi. ‘’Terimakasih,’’ ucap Sara pada Andra dengan sedikit mengukir senyum di bibirnya.Mempunyai alis tebal berwarna hitam pekat, justru semakin menghiasi wajah Sara. Bagi Andra, setiap kali Sara tersenyum, setiap itu juga ia merasa jatuh hati berulang kali. Sebuah bibir yang memiliki warna merah merekah, membuat senyuman itu terlihat seperti bunga mawar yang baru saja mekar.Sebenarnya ada tanda tanya yang tertanam di benak Sara saat ini, mengenai sikap Andra yang seringka
Sara memberikan handphone itu kepada Andra, ia juga mengetahui kalau handphone yang ia temukan bukanlah barang murah, tentu saja ia sangat berhati-hati untuk menjaganya, sampai pemilik asli handphone tersebut datang untuk mencarinya.Sara bukanlah orang yang cacat teknologi, ia sangat tahu bahwa brand terkenal yang berpusat di California itu, tentunya mempunyai harga belasan juta. Terlebih lagi handphone tersebut menyongsong type terbaru di kelasnya. Di lain sisi, Sara cukup pintar untuk menelitik sesuatu berdasarkan pengamatannya.Dengan lihainya, Andra sengaja mengecek handphone miliknya dengan detail, ia tidak mau Sara sampai curiga kalau sebenarnya dirinya hanya berpura-pura. ‘’Aku akan membalas budi, dengan memberikan handphone yang serupa seperti yang kamu temukan,’’ tutur Andra
‘’Ada apa ini? Suara kalian kedengaran sampai dalam,’’ tanya Zea yang hadir diantara mereka. ‘’Ini nih, Kak, salah satu karyawan di toko ini ada yang jadi pencuri,’’ ucap Ratri sambil melempar lirikan tajam kepada Sara, gadis tersebut seakan-akan memberi kode kakaknya bahwa yang ia maksud sebagai pencuri adalah seseorang yang berada di sampingnya itu. ‘’Omong kosong! Hentikan omong kosongmu itu, apa yang kamu tuduhkan sama sekali tidak benar,’’ ucap Sara sambil mengangkat jari telunjuknya. Zea menatap Sara dengan ketat, sepertinya ia ingin membaca pikiran Sara melalui kedua matanya. Sementara itu, kosentrasi Zea mend
‘’Jika kamu tidak salah, lalu dari mana kamu mendapatkan handphone itu, Nona?’’ Amar rupanya tidak menelan mentah-mentah omongan dari Ratri, untung saja ia masih bisa berusaha adil, dan menjadi penengah mereka. Hebatnya lagi, dalam situasi seperti ini, ia masih bisa mempertahankan kewibawaannya dengan tidak mudah terpancing dengan hasutan orang. Zea masih terdiam membeku, sorot matanya kali ini menggambarkan rasa kagum pada hatinya. Sifat Amar yang tegas, cara bicaranya yang tertata, semakin memperlihatkan bahwa ia adalah orang yang berpendidikan.‘’Saya mendapatkan Hp ini dari seorang pria, Pak! Dia adalah salah satu customer tetap toko ini. Kemarin handphone dia ketinggalan di sofa depan, dan aku tidak sengaja menemukannya. Selang beberapa jam,
‘’Saya yakin, pencuri yang sebenarnya adalah orang yang baru saja bekerja di sini.’’ Semua orang menatap ke arah Ratri, dan Sara. Karena dibandingkan dengan yang lain, mereka berdua adalah keluarga baru di bakery ini. ‘’Apa dia tidak mempercayai penjelasanku?’’ batin Sara dalam hatinya. Yang ia takutkan saat ini adalah kehilangan pekerjaan, sekaligus tempat tinggalnya, karena dituduh mencuri. Jika hanya dituduh oleh Ratri, ia tidak terlalu kepikiran. Yang jadi masalah adalah ketika Amar, sang pemilik toko meragukan kejujurannya.Imajinasinya bekerja dengan bebas, ia membayangkan bagaimana sesuatu yang tidak-tidak bisa menimpa dirinya. Namun ia tetap bersikap tenang, dan yakin kalau Tuhan akan berpihak kepada orang yang benar. Bahkan ia juga bersiap-siap jika nantinya harus menghadi
‘’Tidak perduli apa alasanmu, karena tidak ada pembenaran untuk suatu kejahatan,’’ Amar sangat geram dengan sikap Zea yang seolah-olah membenarkan perbuatannya itu.Dipandanginya wanita berkulit sawo matang itu, ada perasaan iba di hati Sara. Meskipun perbuatannya salah, bagaimana pun juga dia adalah orang yang pertama kali menerima kedatangan Sara. Namun dirinya tidak bisa apa-apa, membela pun percuma, karena memang Zea sudah terbukti salah. Seandainya Sara tahu kalau sebenarnya Zea juga tidak menyukainya, dan mempunyai niat buruk kepadanya, belum tentu perasaan ibanya masih ada. Bisa jadi alasan tersebut bisa mengubah perasaan Sara menjadi rasa benci. &n
‘’Bukankah Tuan memiliki karyawati bernama, Sara?’’ tanya Anton, dengan menempelkan siku kanannya pada tangan kirinya. ‘’Apa yang menarik dari gadis, itu?’’ ‘’Menurut saya, dia adalah gadis yang jujur. Sara juga bukan orang pendendam, lagipula dia lumayan pintar daripada karyawan yang lainnya,’’ jawab Anton. ‘’Kau berbicara seperti itu bukan karena kau menyukainya, kan?’’ ‘’Usia saya sudah tak lagi muda, meskipun saya seorang duda, tapi saya masih tau umur. Lagipula, bukankah saya lebih cocok menjadi seorang paman baginy