Share

BAB IV

        ''Wah! Jawaban yang kamu berikan sangat berbeda dari pelamar lainnya. Nilai ijazah kamu, juga tidak buruk. Stabil di angka 8. Yang paling saya suka, kamu begitu percaya diri, dan sangat ramah,'' ucap Zea. Ia seperti sedang memberi sinyal yang positif untuk Sara.

           “Jadi, keputusannya bagaimana, Mbak?” tanya Sara. Ia benar-benar tidak sabar untuk mendengar jawaban dari Zea.

Meskipun Zea terlihat memujinya, Sara masih tidak berani menyimpulkan apa maksud dari pujiannya itu.

Zea menepis bibirnya, lalu mengulurkan tangan. “Selamat! Kamu diterima di toko kue ini. Mulai besok, kamu sudah bisa bekerja,” jawab Zea dengan tersenyum ramah. 

           “Alhamdulilah. Terima kasih banyak, Mbak,” ucap syukur Sara karena ia bisa diterima kerja di toko kue tersebut. 

Sara kembali termenung. Ada perasaan lega karena ia sudah mempunyai pekerjaan. Namun, di sisi lain, ia juga bingung mau tinggal di mana untuk sementara waktu. 

          “Kamu mikirin apa? Belum punya tempat tinggal?” tanya Zea pada Sara. Tampaknya sedari tadi Zea sudah memperhatikan gerak-gerik, dan raut wajah Sara yang sudah bisa dibaca isi pikirannya. 

          “Iya, Mbak. Saya belum punya tempat tinggal,” kata Sara dengan nada merendah. Kemudian, kembali menatap wajah Zea. 

        “Tenang saja, di sini ada messnya, kok. Kalau kamu mau, bisa tidur di kamar belakang.'' Zea menunjuk letak kamar menggunakan jari telunjuknya.

        “Benarkah, Mbak?” tanya Sara setengah tidak percaya.

Zea mengangguk pelan. ''Iya, mana mungkin aku berbohong.'' 

       “Terima kasih banyak, Mbak, “ ucap Sara  melanjutkan perkataannya yang belum sempat selesai. Wajah Sara pun terlihat kembali normal.

        “Kamu bisa tempati sekarang. Oh ya, kamu pasti belum makan, kan? Ini ada beberapa kue yang sudah melebihi kadar penyimpanan, bisa kamu makan kalau memang mau. Jangan khawatir, masih layak untuk dimakan, kok.” Zea menyodorkan beberapa kue yang tidak bisa dijual kembali keesokan harinya. 

      Sara melihat satu per satu dari kue tersebut, ada brownis, kue isi cokelat dengan toping chococips, kue gulung, kue keju parut, serta dua biji donat dengan toping meses dan keju. Sebelum mengambil, ia membayangkan terlebih dahulu bagaimana kelezatan kue-kue itu. Karena sebelumnya, ia tidak pernah mencicipi salah satu dari mereka.

 

Kemudian, Sara mengambil kue isi cokelat sebagai makanan pembuka. Lalu menggigitnya secara perlahan sambil menikmati rasa manis isian cokelat yang lumer di dalamnya. Selanjutnya, ia memakan kue parut keju. Jujur saja, ini pertama kalinya ia merasakan yang namanya keju. Sara terlihat begitu lahap hingga tanpa disadari, semua kue tersebut berhasil ia habiskan dalam sekejap.

       “Uhmm, lezatnya,” gumam Sara sambil mengelus perutnya yang semakin buncit.

 Tidak lama kemudian, ia segera menuju ke kamarnya yang berada di bagian paling belakang dengan diantar Zea. Kamar tersebut berada di bagian belakang, tepatnya di sebelah kamar mandi karyawan. Kamar yang hanya memiliki luas 2,5x2,5 meter persegi itu cukup bersih, dan rapi. Kamar tersebut memiliki dinding berwarna biru muda, dengan sebuah lukisan angsa putih yang menempel di dinding atas ranjang tidur. 

      “Ini beneran kamar saya, Mbak?” Sara sedikit heran kenapa kamar yang disediakan untuk seorang karyawan begitu bagus, dan rapi, bahkan sangat bersih.

      “Beneranlah, Mbak. Ada yang salah?” tanya Zea kepada Sara. 

      “Enggak, kok, cuma saya heran saja, kenapa kamarnya bisa sebersih ini, bahkan meskipun sederhana, detail kamar ini bisa dibilang cukup tertata,” ucap Sara sambil menunjukkan raut muka keraguan.

 

        “Sebenarnya pemilik toko ini orangnya masih muda, tampan dan baik. Meskipun sikap dia itu agak kaku, tetapi sangat memperhatikan nilai kemanusiaan. Ia sengaja memberikan fasilitas lebih di kamar ini karena ia pikir kenyamanan saat tidur adalah hal yang sangat penting,” tutur Zea menjawab pertanyaan yang sempat mengganggu pikiran Sara. 

‘Ehm, baik sekali, ya, bosnya,' ucap Sara dalam hati. Ia juga berusaha membayangkan sosok seperti apa bosnya itu.

        Di lain sisi, ia begitu tertarik dengan prinsip yang dimiliki bosnya. Terlebih lagi ia masih muda, dan tampan. Tidak hanya ketampanannya saja yang ingin ia ketahui, tetapi juga sosok manusia yang bisa memanusiakan manusia.  

Zea pergi meninggalkan Sara sendiri, ia menyerahkan tanggung jawab penuh untuk mengelolah kamar itu, kepada Sara.

Sara mengeluarkan semua isi tasnya, lalu menata semua bajunya di dalam lemari. Lemari tersebut sangatlah kecil, untung saja pakaian yang ia bawa tidaklah banyak, jadi tidak memakan banyak tempat. 

Tangan Sara tiba-tiba terhenti ketika memegang boneka panda miliknya. Ia begitu mengingat masa-masa bersama boneka tersebut di rumahnya. Sebenarnya sampai sekarang, ia tidak tahu siapa yang memberikan boneka tersebut untuknya. Yang ia tahu, boneka tersebut sudah bersamanya semenjak ia kecil. 

Dibilang rindu, tetapi merindukan siapa. Kenangan apa yang harus dirindukan? Begitulah yang ada di benaknya saat ini. Air mata dari kedua sudut matanya jatuh seketika secara bersamaan. Jika tidak ada kenangan yang harus dirindukan, barangkali ia merindukan seseorang yang ingin dipeluknya. 

         ‘Ah, sudahlah,’ katanya dalam hati sambil menguatkan dirinya sendiri. 

Ada hal yang harus ia sadari bahwa ada atau tidaknya ia di rumah, tidak akan membuatnya menjadi berharga di mata orang tuanya sendiri. Kedua matanya terpejam secara perlahan bersama bekas cucuran air mata yang masih menempel di kedua pipinya. Mungkin, kini pikiran alam bawah sadarnya sudah melayang entah sampai mana. 

**

Keesokan harinya.

Ini menjadi hari baru untuk Sara. Sara si gadis muda yang lemah, kini tidak akan ada lagi. Karena ia akan bertempur dengan dunia yang sesungguhnya. Ia segera mengenakan pakaian putih dengan sentuhan batik berwarna cokelat di bagian ujung lengan, serta model kancing baju yang terpasang menyamping. 

Kemudian, ia juga mengenakan celana leggings hitam, ditambah kain warna cokelat yang diselempangkan di bagian pinggulnya. Sungguh ini dress code toko yang sangat detail, dan terlihat begitu cantik bagi siapa saja yang memakainya. 

        “Permisi, mau beli kue yang mana, Mas?”

Seorang laki-laki berahang tegas sedang berdiri di depan etalase kue. Melihat hari yang masih sangat pagi, Sara pikir kalau laki-laki itu adalah salah satu pelanggan di toko ini.

        “Kamu karyawan baru?” tanya laki-laki tersebut pada Sara. Ia menatap Sara dengan tajam.

    Sara menjadi salah tingkah, dan bingung. 

      “Panggil kepala toko kamu sekarang!” perintah laki-laki tersebut dengan menganggat jari telunjuknya. 

Mendengar hal itu, Sara sontak terkejut, lalu segera memanggil Zea untuk menemuinya. Langkah Sara begitu cepat,  napasnya tersengal-sengal karena ia sedikit berlari. Sedangkan Zea, ia pun segera mengikuti Sara dari belakang. 

Zea menatap orang itu dari belakang, ia merasa tidak asing lagi dengan fisik laki-laki itu. Setelah membalikkan badan, alangkah terkejutnya Zea kalau orang yang Sara maksud adalah Amar, yaitu bosnya sendiri.

        “Maaf, Pak. Saya tidak tau kalau Bapak datang ke sini, jadi tidak ada persiapan.” ucap Zea, terlihat begitu sungkan.

        “Sara, ini Pak Amar, bos kita,” tutur Zea sambil melihat ke arah Sara. 

        “Maaf, Pak, tadi saya ….”  

        “Lupakan,” ketus Amar sambil memalingkan wajahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status