Share

Menampar Pelakor

"Aku tidak mau." Akbar menggeleng, ia juga menolak untuk bercerai dengan Aretha.

"Terserah kamu, mas. Tapi keputusan aku sudah bulat untuk bercerai, tidak ada yang perlu dipertahankan lagi," ujar Aretha. Baginya apa yang suami dan ibu mertuanya lakukan sudah tidak ada maaf lagi.

"Tapi aku tetep tidak mau cerai, Aretha kita menikah sudah lama. Apa nggak sayang kalau tiba-tiba kita bercerai hanya gara-gara masalah sepele," ujar Akbar. Aretha menyipitkan matanya, suaminya bilang masalah sepele. Tidak ada masalah sepele jika sudah menyangkut tentang perselingkuhan dan penghianatan.

"Kamu bilang masalah sepele, mas. Mungkin kalau hanya masalah ibumu yang memakai uangku untuk membangun rumah, masih bisa dipertimbangkan. Tapi yang kamu lakukan sudah sangat keterlaluan, mas. Kamu sudah berbohong, dan yang membuatku memilih untuk berpisah, karena kamu sudah menghianati pernikahan kita," ungkap Aretha. Seketika Akbar bungkam, ia menikah dengan Wanda karena permintaan ibunya. Sejujurnya Akbar masih sangat mencintai Aretha.

"Aretha, aku menikah dengan Wanda karena ada alasannya. Ibu sudah sangat menginginkan seorang cucu, karena kamu belum juga hamil. Itu sebabnya ibu menyuruhku untuk menikah dengan Wanda. Aretha seharusnya kamu berterima kasih kepada Wanda, karena dengan begitu kamu bisa tenang ketika sedang bekerja," ujar Akbar. Rasanya Aretha ingin tertawa mendengar hal tersebut.

"Apa, mas. Aku harus berterima kasih kepada pelakor itu, aku masih waras. Kamu pikir aku akan diam saja, dan satu lagi, kamu bilang aku bisa tenang ketika sedang bekerja. Kamu pikir aku bod*h, di rumah kamu enak-enakan sama istri muda, terus di negeri orang aku harus banting tulang bekerja untuk menghidupi kalian." Aretha menggeleng, tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya.

"Memangnya apa salahnya, kamu tidak perlu mengandung dan melahirkan. Kamu hanya cukup bekerja mencari uang, sedangkan tugas Wanda yang akan mengandung dan melahirkan. Kamu tidak perlu capek-capek hamil tapi sudah punya anak," ucap Akbar. Entah apa yang sebenarnya ada di otak Akbar, sehingga entengnya ngomong seperti itu.

"Hanya wanita bod*h yang akan menerima tawaran dari kamu, mas. Tapi sayangnya aku sama sekali tidak tertarik, lebih baik aku dikatakan mandul ketimbang harus menjadi sapi perah kamu dan ibumu," sahut Aretha. Ia tidak sudi melakukan seperti yang suaminya itu minta.

"Jadi kamu tidak mau?" tanya Akbar untuk memastikan. Padahal jika Aretha bersedia, Akbar pasti akan lebih mendahulukan istri pertamanya itu ketimbang istri keduanya.

"Enggak, lebih baik sekarang kamu pulang, mas. Pasti istrimu sudah mencarimu," usirnya, bahkan Aretha bangkit dan menarik koper milik suaminya lalu diletakkan di teras depan.

"Aretha kamu benar-benar keterlaluan." Akbar bangkit dan mengikuti langkah istrinya, ia benar-benar kesal dengan sikap Aretha yang seolah tidak peduli dengan suaminya sendiri.

"Kamu yang keterlaluan, mas. Sekarang juga kamu pergi dari sini." Aretha menutup pintu rumahnya dengan cukup keras, brak.

"Ya Tuhan, bisa-bisanya aku menikah dengan laki-laki seperti mas Akbar, laki-laki yang tidak punya otak." Aretha meratapi nasibnya yang mempunyai suami seperti Akbar. Laki-laki yang ia anggap baik, tapi kenyataannya sama seperti lelaki di luar sana.

***

Mendengar cerita dari Akbar, Wanda dan Lidya sangat terkejut. Mereka tidak menyangka kalau Aretha bisa berbuat setega itu, mengusir Akbar dan menolak tawarannya. Kini mereka kembali dilanda pusing, lantaran hutang yang banyak dan tidak di satu tempat saja. Sedangkan Aretha sama sekali tidak mau membantunya.

"Terus apa yang akan kamu lakukan, kalau Aretha saja sudah mengusirmu, dia juga tidak mau membantu," ujar Lidya dengan nada kesal. Bagaimana tidak kesal, berharap putranya akan berhasil membujuk istrinya, tapi kenyataannya gagal.

"Akbar juga nggak tahu, bu." Akbar mengusap wajahnya dengan gusar, lalu menyenderkan kepalanya di sandaran sofa. Sesekali Akbar memijit pelipisnya yang terasa amat pusing.

"Ini tidak bisa dibiarkan, sepertinya wanita mandul itu perlu dikasih pelajaran," gumamnya. Wanda cukup kesal setelah mendengar cerita dari suaminya itu.

"Mas aku pamit pergi sebentar ya," ucap Wanda seraya bangkit dari duduknya. Seketika Akbar membuka matanya yang sempat terpejam, setelah mendengar suara istrinya.

"Pergi ke mana?" tanya Akbar.

"Ke supermarket sebentar, yang ada di pertigaan," jawab Wanda.

"Ya sudah." Akbar mengangguk. Setelah itu Wanda melangkah masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas dan handphone.

Kini Wanda sudah dalam perjalanan menuju rumah Aretha, entah ada tujuan apa ia mendatangi istri pertama suaminya itu. Beruntung jarak rumah tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh menit Wanda sudah sampai di tempat tujuan. Wanda tersenyum lalu melangkahkan menuju teras rumah Aretha.

"Aretha, buka pintunya." Wanda mengetuk pintu rumah Aretha.

Cukup lama Wanda menunggu, hingga akhirnya pintu rumah terbuka. Wanda tersenyum melihat Aretha yang kini berdiri di hadapannya itu. Sedangkan sang tuan rumah justru mengerutkan kening ketika melihat istri kedua suaminya datang. Ada tujuan apa madunya datang, Aretha tidak tahu.

"Kamu, untuk apa datang ke sini?" tanya Aretha tanpa basa-basi.

"Kedatangan aku ke sini hanya ingin bilang, tolong kamu terima tawaran dari mas Akbar. Karena kita akan sama-sama untung," jawab Wanda. Mendengar itu Aretha justru diam, lalu mengerutkan keningnya.

"Tawaran, tawaran apa yang kamu maksud." Aretha menatap wanita yang berdiri di hadapannya.

"Kamu tidak usah pura-pura tidak tahu, bukankah mas Akbar sudah menawarkan agar kamu membatalkan perceraian kalian. Bukan itu saja, mas Akbar juga memintamu untuk menerima aku. Karena di sini hanya aku yang bisa memberikan ibu cucu, dan kamu cukup kerja seperti biasanya," ungkap Wanda.  Mendengar itu Aretha menggeleng, istri sama suami sama saja. Sama-sama tidak punya otak.

"Aku tidak mau jadi mesin ATM untuk kalian, itu sebabnya aku menolak tawaran dari mas Akbar, toh kita juga akan bercerai," sahut Aretha. Mendengar itu dada Wanda terasa bergemuruh, ternyata susah untuk mempertahankan Aretha agar tetap menjadi mesin penghasil uang untuk dirinya dan juga keluarga suaminya.

"Kamu menolaknya karena berita itu benar, berita jika kamu menjadi simpanan majikanmu di luar negeri. Itu sebabnya kamu ngotot mau cerai, agar bisa bebas berhubungan dengan laki-laki lain, terutama .... "

Plak, plak, dua tamparan mendarat sempurna di pipi mulus Wanda. "Jaga mulut kamu ya, aku meminta cerai bukan karena memiliki hubungan khusus dengan majikanku di luar negeri. Aku bukan wanita murah*n seperti kamu, aku masih punya harga diri. Aku meminta cerai karena tidak mau lagi dimanfaatkan oleh benalu seperti kamu dan keluarga suamimu itu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status