Share

PESUGIHAN TUMBAL JANIN
PESUGIHAN TUMBAL JANIN
Author: Syiffa Natasya

1.

"Mas, jangan lakukan ini, kasihan anak kita," ucap Riani sambil mengguncang lenganku yang tengah menatap bayangnya di cermin tempatku berdiri.

"Apa Mas lupa? Kita menginginkan adanya anak sudah lama, Mas! Ini pertama kalinya aku mengandung dan akan memberimu gelar sebagai seorang ayah!" 

Kini ia luruh, memegangi kakiku bahkan tendangan halus dari perutnya yang mulai membesar kurasakan. Kuhela napasku, menatap wajah yang payah dan putus asa di cermin. Sudah mati kah nuraniku?

Riani bangkit dari kakiku, mengusap air matanya yang membasahi wajah. Ia melangkah ke luar kamar tanpa menoleh kembali ke arahku. Bukan pura-pura tak punya hati. Bukan tak ingin memiliki buah hati. Namun, bagaimana jika memiliki anak tanpa memiliki harta benda? Sedangkan Pak Sujatmiko tengah mencecarku perihal hutang tiga ratus juta yang kupinjam beberapa bulan lalu.

Kurebahkan diri di ranjang. Menangis dengan sesak karena tengah terjadinya pergolakan batin. Pernikahan kami sudah 7 tahun dan baru ini pula Riani mengandung. Masih kuingat jelas betapa bahagianya istriku saat memberikan testpack garis dua ketika kami menikmati soto di tikungan jalan.

"Mas Andri, sarapan kali ini akan lebih nikmat karena aku punya kejutan."

Rianiku tersenyum hingga lesung pipinya tercetak jelas di ujung bibirnya. Sudah 7 tahun berlalu, cintaku masih sangat besar untuknya.

"Kejutan apa, Sayang?"

Kuletakkan sendok, mengurungkan niat untuk melahap soto daging yang masih mengepulkan asap. Sebuah kotak berwarna merah hati berukuran kecil ia geser ke meja di depanku. Masih dengan senyumnya, ia mengangguk menyuruhku membukanya.

"Kamu ... hamil?"

"Iya, Mas! Akhirnya, lebaran kali ini aku punya jawaban kalau ditanya kapan hamil." 

Ia tertawa. Kuusap rambutnya yang bergelombang karena istriku ini baru saja mencatoknya tadi pagi. Aku bahagia melihatnya bahagia. Ada anak atau tidak, bagiku tak masalah.

Kuusap nyeri di dada ketika masalahku kembali menghampiri kepala. Gara-gara Narendra, aku terlilit hutang bukan hanya pada Pak Sujatmiko, tapi juga di bank. Bisnis yang kugeluti bangkrut karena teman yang kupercayai mengorupsi uang restoran. Pengeluaran dan pemasukan tidak setara. Bahkan kini restoran yang kumiliki telah disita bank akibat bunga yang kian besar. Tersisa hanya rumah ini dan ruko kosong milikku. Meski itu pun sudah terlihat akan berpindah tangan pada Pak Sujatmiko jika tiga ratus juta masih belum bisa kukembalikan.

Aku berdiri, mencari Riani di seluruh rumah. Akan kubulatkan tekadku untuk kembali meraih kejayaan diri.

"Riani! Ri!"

Aku berteriak sembari membuka satu per satu ruangan di dalam rumah. Kubuka pintu kamar tamu, tidak ada. Beralih ke kamar mandi lantai atas dan bawah pun tak ada. Di mana istriku?

"Riani! Kita bicarakan ini baik-baik, Ri! Ini demi keberlangsungan hidup kita!"

Brak!

Aku menoleh ke arah kanan di mana Riani membuka pintu dengan keras. Pintu itu mengarah ke balkon kamar. Wajahnya penuh keringat, bahkan poninya pun basah. Seluruh tubuhnya gemetar menatapku.

"Keberlangsungan hidup apa yang kamu maksud, Mas? Kamu sendiri hendak menumbalkan bayimu hanya demi kepentinganmu!" jerit Riani.

Kujambak rambutku sambil berteriak begitu frustasi. Tanganku memukul tembok berulangkali. Kepentinganku? Bahkan aku membuatnya seperti ratu saat aku mengalami kejayaan hidup. Semuanya aku hamburkan hanya untuknya! Sekarang, bisa-bisanya ia bilang demi kepentinganku?

"Apa yang aku lakukan semua ini juga demi kamu, Riani! Bukan serta merta untukku! Kamu pun pernah bergelimang harta denganku. Apa kamu nggak mau berkorban sedikit saja untukku?" Kuambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Riani ... jika kita tumbalkan janinmu, kita nggak merasa kehilangan karena kita masih belum bertemu. Tumbal ini hanya untuk anak pertama kita saja. Kita bisa kaya lagi. Kamu tau sendiri, sekarang semua serba mahal. Hutangku pun ada di mana-mana. Tolong pikirkan itu, Riani."

Mata istriku menyipit sambil tersenyum sinis. "Kamu kira ... sesimple itu kamu jalanin pesugihan, Mas? Gila kamu. Kamu kira semudah itu hanya memberi tumbal satu janin udah ngebuat kamu kaya? Aku bukan anak kemarin sore yang bisa kamu bohongi."

TOK! TOK! TOK!

Suara ketukan beruntun membuat kami terdiam lalu menoleh ke arah pintu. Pintu utama bahkan sampai bergetar hebat seolah hendak rusak dari engselnya.

"ANDRI! KELUAR KAU DARI RUMAHMU, ATAU KUREMUKKAN KACAMU INI!"

Bergetar hebat badanku. Suruhan Pak Sujatmiko kini sudah datang sesuai janjinya minggu lalu. Bunga mencekik hingga benar-benar membuatku ingin mencekik diriku sendiri. Langkahku gontai menghampiri ke arah pintu.

"Andri! Mana kau!" Jerit lelaki berbadan besar di depan pintu yang sesekali mengintip melalui kaca jendela.

"Bang ... tolong beri saya waktu seminggu ini," ucapku ketika membuka pintu.

"Ugh!" Perutku ditendang oleh lelaki berbadan besar dengan luka baret di pipi kiri. Kupegangi perut yang terasa sangat sakit ini, sedangkan kerahku dipegangi oleh kawannya yang satu lagi.

"Bang ... saya janji, seminggu la-"

Bug!

Darah muncrat melalui mulut karena dadaku yang kini dipukul dengan kerasnya oleh lelaki di hadapanku. Pandangan mulai kabur dan berkunang. Tak tahu lagi. Apa aku akan mati dengan membawa hutang ini? Terhina sekali hidupku jika mati dalam keadaan membawa hutang. Narenda baj1ngan! Aku yang harus menanggung semua derita yang ia sebabkan.

"Bang ...." Aku merintih.

Kini kakiku tak sanggup menopang berat badanku. Aku lunglai di depan kedua lelaki ini. Dadaku sesak karena mengalami pukulan yang bertubi-tubi. Aku sudah berbaring di lantai dengan mata mengabur menatap ke dalam rumah melihat istriku menangis sambil jalan ke arahku.

"Janji doang, cuih! Udah berapa kali kamu bilang mau bayar seminggu ini, seminggu ke depan tapi tetap nggak ada!"

"Baron, lebih baik kita jarah saja isi rumahnya! Kita perk0sa istrinya! Bos pun udah ngizinin kita kalau kita nggak dapat setoran dari Andrianto!"

"Ja--jangan ...," ucapku lirih.

"BERI SAYA WAKTU 3 HARI! 3 HARI LAGI SAYA AKAN LUNASI HUTANG-HUTANG SUAMI SAYA! PERGI KALIAN DARI SINI DAN BILANG JANJI SAYA PADA SUJATMIKO!"

Aku terkejut mendengar suara istriku. Meski mataku mengabur akibat rasa sakit ini, aku masih belum tuli kalau itu suara Riani. Apa maksud Riani? Dari mana uang yang akan aku dapatkan dalam waktu 3 hari? Sedangkan dalam waktu seminggu pun sangat mustahil kudapatkan.

"Jangan bohong kau, Manis! Kalau kau bohong, habis kau kami nikmati!" ancam salah satu lelaki yang memukuliku.

"Saya Riani. Riani Kinasih. Saya tidak pernah ingkar pada janji saya! Sekarang ... pergi dari sini dan datang 3 hari lagi! PERGI!"

Aku merasa lega karena kedua preman suruhan Pak Sujatmiko pergi. Lenganku diangkat oleh Riani hingga susah payah aku berdiri. Kutatap wajahnya yang ayu dengan rahang mengetat.

"Kenapa kamu janjiin mereka tiga hari lagi ke mari, Riani? Bahkan untuk makan esok saja aku nggak punya uang sepeser pun."

"Mari, Mas. Aku ikhlaskan jabang bayiku ini untuk tumbal pertama agar hutang-hutangmu lunas. Akan tetapi, aku minta syarat."

"Apa syaratnya?"

"Hanya satu keturunanku yang akan menjadi tumbal. Tidak ada yang kedua dan ketiga! Jika itu terjadi, akan kuhabisi nyawamu dengan tanganku sendiri!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status