Share

2.

Setelah mengatakan itu, Riani membalik badan memunggungiku duduk di sofa. Yang kulihat, ia tengah menangis karena bahunya bergetar dengan kedua tangan sesekali seperti mengusap pipi. Aku tahu, ini keputusan yang sangat tidak mudah baginya.

"Kamu puas, Mas? Ini mimpiku ingin menjadi seorang ibu. Baru ini aku mengandung hingga membuatku sangat bahagia. Mbak Nuri yang selalu mengataiku mandul pun akan bungkam jika melihatku berbadan dua seperti sekarang. Ternyata, maksudmu agar aku tak sesumbar karena kamu memiliki tujuan keji biar adanya kita melakukan pesugihan ini, keluargamu tak curiga!"

Mataku berkaca-kaca dituduh oleh istriku sendiri. Aku pun menginginkan keturunan pada rumah tangga kami. Maksudku agar tak sesumbar karena itu dianggap pamali bagi orang Jawa. Tak baik jika belum mituni atau tujuh bulan, kata ibuku.

Kuusap keringat dan dada yang sesak. Akibat pukulan Baron dan Torso, dadaku seolah dihimpit beban berat. Aku memegang tembok untuk bisa bangkit dari lantai teras.

"Riani, Sayang," panggilku.

"Andaikan kata sayangmu dapat dibuktikan, Mas! Masalah keuangan saja kamu memilih merenggut kebahagiaanku," jawabnya.

Suaranya melirih dan bergetar. Aku menatapnya nelangsa. Andai bukan bunga yang sudah mengenai angka lima ratus juta beserta hutang, aku tak akan kepikiran untuk melakukan pesugihan tumbal janin. Ide gila ini pun aku peroleh dari Sigit dua bulan lalu.

"Pusing kali kutengok kau, Ndri."

Aku menoleh, rupanya Sigit datang dengan dua cewek cantik berpakaian seksi menggelayuti kedua lengannya. Kini aku menumpahkan segala susah deritaku ke club malam.

"Sejahtera rupanya kau, Git," balasku sambil terkekeh.

Lelaki bertubuh tambun itu menggeser kursi dan memesan minuman pada bartender. Dilihat dari caranya berbicara dengan kedua cewek seksi itu, kupastikan Sigit termasuk langganan di sini. Cara berpakaiannya sungguh parlente, menegaskan ia beruang.

"Restoranmu kenapa disita, Ndri? Rupanya, pelik sekali kehidupanmu hingga kau tenggak 3 botol minuman." Lalu Sigit tertawa kemudian menenggak air yang ia pesan.

"Narendra. Nggak nyangka aku Git, dia akan menipuku. Setiap hari dirinya lapor jika keuangan restoran merosot. Istriku ke sana untuk mengeceknya sendiri, sedangkan restoran dalam keadaan ramai hanya saja banyak menu yang tak bisa disajikan. Setoran selalu minus, tapi pengeluaran semakin banyak seperti biasa saat restoran banyak pelanggan. Terpaksa aku menghutang ke rentenir dan bank untuk menutup kerugian yang disebabkan Narendra karena ternyata, restoranku ia gadaikan."

Aku menghela napas. Nyatanya tiga botol minuman belum membuatku mabuk.

"Aku dan dia memang sepakat untuk bekerja sama. Tapi kenapa dia seperti ini setelah kuberi kepercayaan? Sekarang dia kabur, entah ke mana." Kutenggak lagi minuman haram ini hingga tetes terakhir.

Kudengar Sigit mengurungkan niat untuk menenggak air yang baru dituang. Ia kembali mendekatkan kursinya padaku sambil mencondongkan badan.

"Kenapa kau? Bisa kau pinjami aku duit, Git? Aku tak mau dipenjara terlebih gara-gara hutang."

Sigit tertawa. "Nggak akan kupinjami kau hutang, sudah pasti kau sulit untuk bayar. Tapi ... aku akan memberimu cara untuk mendapatkan duit secara cepat."

Kutegakkan badanku dan bersiap menunggunya berbicara.

"Aku bisa jaya begini karena melakukan pesugihan tumbal janin, Ndri. Kalau janin kan kita masih belum sayang. Dia masih nggak berbentuk, jadi kita nggak begitu kehilanganlah kalau pun menumbalkan. Dari pada kau dipenjara gara-gara hutang, lebih baik lakukan ini saja. Beristri banyak-banyak, biar mereka bisa memberi tumbal untukmu."

Saat itu, aku hanya tertawa mendengar usul nyeleneh Sigit. Namun, saat beberapa kali dipukuli, ucapan Sigit ada benarnya. Aku datangi Riani setelah dua bulan pertemuan dengan Sigit.

Kucari Riani yang sudah menghilang dari ruang tamu. Jika memang ia sudah setuju melakukan pesugihan ini denganku, perjalanan harus dimulai sore ini. Aku berjalan sempoyongan ke kamar, Riani ada di sana masih dengan tangis yang belum reda sedang mengusap perut.

"Anakku sayang, jangan merasa Ibu nggak sayang kamu. Meski kita belum bertemu, nyatanya rasa sayang ibu nyata. Kasih sayang ibu akan abadi, Nak."

Pilu, sangat pilu. Aku luruh di pintu kamar sambil menangis dan memegangi dada. Ya Tuhan, mengapa tak diberikannya solusi untuk masalahku ini? Bukankah katamu pernikahan itu meluaskan rezeki? Sekarang bahkan istriku tengah mengandung, tak adakah rezeki untuk anak kami ini?

Kuurut dada yang begitu sesak. Pepatah bilang, lelaki menangis hanya dalam hati, tapi sekarang air mataku tumpah ruah membasahi pipi. Sesak. Nyatanya nurani dan bisikan setan masih bergejolak di dalam sana. Masih terjadi perdebatan batin.

Suara tangis Riani menggema. Ia bahkan menutup pintu kamar. Dapat kurasakan apa yang ia rasakan. Bayi yang ia tunggu tujuh tahun, harus ia relakan kurang dari seminggu. Kuhela napas kasar, mencari ponsel untuk menghubungi Narendra. Namun, begitu menemukan, kutelepon ia, hanya suara operator saja.

Brak!

Riani kini buka lagi pintu kamar dengan satu koper yang ia bawa. Tangisnya kini tak ada. Namun, wajahnya begitu dingin menatapku. Rambut sebahunya ia ikat alakadarnya.

"Aku sudah puas menangis, Mas. Aku sudah puas mencari jawabannya sendiri, tapi tetap tak bisa. Hati kecilku bertanya-tanya, sepenting inikah uang? Aku ingin bercerai darimu, tapi terkesan aku yang penjahatnya di sini karena meninggalkan dirimu saat kesulitan karena masa jayamu pun aku nikmati.

Tapi ... apa benarkah langkah kita esok? Jahatkah aku yang tadinya menginginkan hadirnya anak justru kini membunuhnya? Mas-"

Napas Riani tersengal, kata terakhir yang ia ucapkan sambil menjerit. Lelah yang ia rasakan sangat aku pahami. Tangisnya lolos dari mata kirinya langsung ia hapus dengan punggung tangan. Bibirnya yang ranum bergetar, sedangkan tangannya meremas daster yang ia kenakan. Kini, ia yang berusaha mati-matian berdiri di hadapanku dengan kata sudah puas menangisnya, tetap saja ia hanya wanita yang ingin menjadi ibu. Rianiku luruh beserta koper yang jatuh.

"Baru setengah bulan ini tendangan anakmu dalam perut kurasakan, Mas Andri. Aku sangat menikmati setiap paginya mengalami mual muntah tanda aku hamil benar adanya. Sama sekali aku tak merasa adanya anak hanya menambah beban. Tapi," ucapnya terjeda.

Ia menangis lagi, kali ini lebih kencang.

"Jika kita berhasil dalam pesugihan ini, kurang dari seminggu, tendangan itu tak akan kurasakan lagi."

Suaranya melirih. Kini aku hanya memilih diam. Sudah 7 tahun pernikahan, aku tahu peliknya hubungan antara ibu dan istriku bagaimana perihal anak. Tak tuli dan tak lupa juga tangis Riani kala dicemooh Mbak Nuri dan Ibu karena tak kunjung hamil.

"Sudahi tangismu, Riani. Berduka barang sebentar boleh, tapi jangan berlarut-larut. Kita harus pergi sore ini agar tiga hari yang akan datang, kita bisa melunasi semua hutang piutang. Kamu nggak akan mau kan lihat aku dipukuli lagi?"

Tiba-tiba tangis Riani berhenti, matanya menatapku tak berkedip. Padahal aku hanya ingin membantunya agar tak berlarut-larut untuk memutuskan sesuatu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status