Share

PONSEL BARU

“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!” ucap Burhan sambil bertepuk tangan mengejekku. 

Reza, staf di kantorku yang berdiri di belakang Burhan, sibuk dengan ponselnya. Apa dia mengambil gambar saat aku sedang berdua dengan Vania, untuk barang bukti? Entahlah. 

“Kupastikan setelah ini, kalian berdua akan dipecat!” Burhan membungkukkan badannya. Kedua telapak tangannya menumpu pada meja. Sementara pandangannya tajam menatapku dan Vania secara bergantian. 

“Han, tunggu!” panggilku saat dia sudah membalikkan badannya, meninggalkanku dan Vania yang masih mematung. 

Aku terpaksa harus setengah berlari untuk dapat mengejarnya, agar aku tak perlu bicara dengan volume yang keras. Tak mungkin aku membuat gaduh mall yang masih sepi ini. 

“Tolong, kamu jangan bawa masalah ini ke kantor. Kasihan keluargaku, Han,” ucapku mengiba saat Burhan sudah menghentikan langkahnya dan membalikkan badan berhadapan denganku. Tatapannya sangat tajam seperti hendak menerkamku. Padahal, sebelumnya dia adalah sahabat dekatku.  

“Kasihan keluargamu? Kamu masih ingat keluarga saat berdua dengannya?” telunjuk Burhan menunjuk Vania yang sedang menatap ke arah kami. Seketika Vania langsung menunduk saat menyadari dirinya dibicarakan oleh Burhan. 

“Justru aku menemuinya karena keluargaku, Han. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan Vania agar dia tidak mengangguku lagi,” ujarku berusaha meyakinkannya. 

“Terlambat! Nikmati saja buah yang akan kau petik,” ujarnya pedas sambil melangkah cepat meninggalkanku. 

“Han…Han…tunggu!” 

Burhan sama sekali tak mendengarkan panggilanku. Bahkan, Reza yang biasanya hormat padaku, kini menatapku dengan tatapan mengejek! Hancur sudah karirku!

“Van, sebaiknya kamu pulang. Jangan sampai ada yang melihat kita berdua lagi. Satu lagi, ganti foto profilmu itu!” ujarku memberi peringatan pada Vania. 

“Jangan mengancam. Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu ngga sok-sokan posting di status, semua akan baik-baik saja,” sungutnya. 

“Siapa yang sok-sokan? Justru kalau kamu ngga minta dikirim foto saat aku rapat, pasti ini semua tidak akan terjadi,” ujarku membela diri.

Kami terdiam. 

Kami memang tak ada yang benar dalam kasus ini. 

Tapi, aku hanya memintanya pengertian sedikit terhadap posisiku. 

Dia enak, masih single, masih muda. Masih bisa cari pekerjaan baru. 

Sedangkan aku? 

Karirku hancur. Istri mengancam minta cerai, habis sudah semuanya. Mana rumah cicilan belum lunas. Pusing kepalaku!

“Baik. Aku aku akan mengganti foto profilku, tapi syaratnya, segera kamu kasih nomor barumu. Ingat, kamu harus bertanggung jawab sampai aku mendapat pekerjaan yang baru. Aku kehilangan pekerjaan gara-gara kamu!” hardik gadis yang kemarin-kemarin aku kagumi. 

Dan kini dia berubah beringas seperti singa!

Vania berdiri, lalu beranjak meninggalkanku. 

Sementara, aku hanya bisa mengacak rambutku frustasi. 

Bagaimana bisa aku bertanggung jawab kepadanya, sementara aku tidak ada ikatan dengannya, melakukan apa-apa dengannya pun tak pernah. 

Kami hanya dekat. Hanya foto bersama. Lalu salahku dimana? 

Padahal yang nasibnya di ambang kehancuran tak hanya dia. 

Apa Vania tidak memikirkan nasibku? Aku bahkan diancam akan dipecat. Kehilangan pekerjaan. Lalu menafkahi keluargaku bagaimana? Membayar cicilan hutang bagaimana? 

Memikirkan ini semua, kepalaku rasanya mau pecah!

Aku memutuskan segera pulang, setelah tak lupa mampir ke konter ponsel untuk membeli ponsel dan nomor baru. Nomor yang khusus untuk Vania karena aku tak mau salah posting lagi jika harus menghubunginya. 

Semua kontak dan foto-foto bersamanya sudah kuhapus di ponsel yang lama. 

Aku harus terlihat serius memperbaiki hubunganku dengan Namira di hadapan orang tua dan mertuaku.  

Kupacu mobilku arah pulang. Aku harus segera tiba di rumah. Kalau bisa, sebelum Namira dan anak-anak pulang. 

Jangan sampai Namira mengetahui kalau Burhan memergokiku bertemu dengan Vania. 

Lebih baik aku segera tiba di rumah dan berjaga-jaga agar Namira tidak menerima panggilan telepon dari manapun. 

“Ayah!” 

Baru aku membuka pintu pagar, anak sulungku sudah berlari menghampiriku. Bajunya sudah baju rumah. Artinya, dia sudah pulang sedari tadi. 

“Kok meetingnya cepet?” tanya Namira saat aku mencuci tangan di wastafel dapur. Rupanya Namira sudah asyik memasak. 

Aku sering heran, perempuan yang kunikahi ini tak pernah kulihat santai-santai. Pusing aku melihatnya. 

Habis masak, mandiin anak, terus nyuapin, beres-beres, main sama anak, nanti ketemu masak lagi. Begitu terus. 

Bahkan, kalau aku di rumah, aku pun turut jadi korban. Minta tolong ini dan itu. 

Makanya, aku lebih suka pulang malam saja. Saat anak-anak sudah beres, tinggal tidur. Kalau tidak, pasti dia bakal nitip nyuruh aku main sama anak-anak. 

Bayangin, main sama anak-anak itu capek. Nggak bisa disambi baca chatingan, atau buka sosmed. Yang ada malah ponselku dipake mainan anak-anak. 

Belum lagi, Namira sangat galak dengan ponsel. Aku tak boleh main ponsel saat sedang sama anak-anak. 

“Ditanya kok diam saja?” Suara wanita gesit itu membuyarkan lamunanku. 

Aku segera menoleh ke arahnya yang sedang mengganti panci di atas kompor dengan penggorengan. 

Raut muka Namira masih dingin tanpa ekspresi. 

Padahal, biasanya tiap aku pulang kerja dia suka bergelayut manja dulu sebelum akhirnya berjibaku lagi dengan pekerjaannya, beres-beres, hingga rumahku terasa selalu nyaman. 

“I--Iya. Sudah selesai,” ujarku setengah tergagap. 

Memang kenyataannya aku meeting dengan Vania dan sudah selesai bukan?

“Jadi kamu sudah menjauhinya? Tak lagi berhubungan dengannya?” tanya Namira sambil pandangannya tetap fokus ke ayam di penggorengan. 

Mendengar pertanyaannya mataku melebar. 

Apa maksudnya? Jangan-jangan, Burhan sudah mengatakannya pada Namira? Kenapa kini istriku penuh dengan teka-teki? 

Baru dua hari, tapi dia sudah berubah begitu menyeramkan. 

“Tentu saja aku sudah tak berhubungan lagi dengannya. Lihat, nomornya sudah kublokir. Dia tak akan bisa menghubungiku lagi,” ujarku sambil meletakkan ponsel di meja makan. 

Ini hanya taktik agar dia mempercayaiku. 

Namira orangnya tidak kepo, dan ingin mengecek ponselku. Dia terlalu sibuk dengan urusannya. 

Namira menatap ponsel di atas meja itu sekilas saat dia meletakkan mangkuk sayuran dan sepiring lauk pauk di meja makan. 

“Terus yang tadi seharga lima juta beli apa?” ucapnya datar, sambil meletakkan piring makan. 

Mataku membulat sempurna. Lima juta? Dari mana dia tahu harga ponsel terbaru yang tadi aku beli? 

Berulang aku mencuri pandang ke wanita yang telah memberiku dua anak itu. Dia tampak tenang dan kalem. Ada apa ini? 

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dede Pangry
knp kau nikah kali masuh mau bebas!!! aneh yaa...punya istri sempurna gitu protes, kok malah suka am yg modal selangkangan...
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
W cekek bener nh co
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status