Share

FOTO PROFIL

Akhirnya aku bisa bernafas lega. 

Setelah negosiasi alot dengan mertua dan orang tuaku, akhirnya mereka memberiku kesempatan kedua, dengan catatan aku tak berhubungan lagi dengan Vania. 

Aku iyain saja, agar mereka segera pulang. Aku harus menyelesaikan kekacauan ini dengan Namira. 

Kini mereka semua sudah pulang. Tinggalkan aku dan Namira, juga kedua anakku yang sedari tadi ternyata diasuh oleh Dina, adikku. 

Rupanya adikku membawa kedua anakku pergi keluar, agar kedua anakku tak mendengarkan pertengkaran kakek dan neneknya denganku. 

Setelah menidurkan Dafa dan Dafi, Namira keluar kamar anak-anakku. Sementara, aku menunggunya di ruang keluarga. 

Sebenarnya aku ingin membuka ponselku. Tapi, aku masih trauma. Ada banyak pesan yang ada di situ, dan aku enggan membalasnya. Rata-rata mereka menanyakan tentang status W* ku. Biarlah waktu yang akan menjawabnya.

“Dek, Mas mau bicara....”panggilku pada Namira yang baru keluar dari toilet sambil menepuk sofa di sebelahku. 

Namira keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sudah diusap dengan handuk, sementara anak rambutnya basah. Tandanya dia selesai wudhu. Sebentar lagi akan pergi tidur. 

Raut mukanya masih sama seperti saat aku pulang tadi. Dingin. Padahal, biasanya dia tak seperti ini. 

Namira biasanya sangat manja dan cerewet. Terutama untuk urusan anak-anak. 

Bahkan, dia tak membiarkan aku istirahat hingga kami tertidur karena dia akan memintaku ini itu saat aku sampai rumah. 

Kini, melihatnya dingin seperti ini, hatiku terasa kosong. 

Namira akhirnya duduk di sebelahku. Dia masih diam. 

“Mira, apa yang dibilang ayah ibu, mama dan papa tidak benar. Aku tidak selingkuh,” ucapku lagi. Aku ingin meyakinkan Namira bahwa tuduhan mereka salah. 

Namira hanya mengangguk. Tak sedikitpun melirikku. 

“Mira, lihat aku,” ucapku kemudian. 

Aku tak suka dia berubah seperti ini. Ini semua gara-gara mertua dan orang tuaku yang menuduhku sembarangan. 

Dia menatapku, tapi bukan tatapan hangat. Justru sebaliknya. Tatapan dingin yang sebelumnya tak pernah kudapatkan darinya. 

“Kamu percayakan padaku?” tanyaku lagi. 

Aku bingung dengan sikapnya. Bahkan, aku menjadi bingung harus berkata apa padanya. 

“Tergantung,---” ucapnya menggantung. 

“Apa maksudmu?” 

“Jika kamu layak aku percayai. Kalau tidak?”

Apa? Dia menyebutku ‘kamu’? bahkan, empat tahun menikah dengannya, tak pernah dia ber-kamu-kamu padaku. 

Belum sempat aku meminta klarifikasinya, ponselku meraung-raung. 

Aku menatap Namira yang melirik ponsel di atas meja yang berkedip-kedip. 

Hatiku mencelos saat melihat foto yang terpampang di layar. 

Vania! Bahkan Vania mengganti foto profil W* nya dengan foto berdua denganku. Bahkan, aku sedang merangkul pinggang rampingnya dengan mesra.

Mati aku!

Seketika Namira berdiri dari duduknya. Dia meninggalkanku dengan sorot mata yang tajam. 

“Mira, tunggu!” ucapku sambil mengejarnya ke kamar. Sementara, ponselku masih meraung-raung karena panggilan yang belum kujawab. 

“Angkat dulu teleponnya. Kasihan dia menunggumu. Kangen kayaknya,” sindir Mira. 

Aku hanya berdiri mematung di ambang pintu, mirip orang bodoh, saat melihatnya merebah dan menarik selimut. 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status