Share

BLOKIR (8)

Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke mobil, mengambil ponsel yang sudah kusembunyikan di bawah bagasi mobil. Padahal, aku pikir ini adalah satu-satunya tempat teraman. Di rumah? Jelas tak mungkin. Namira sudah hafal setiap inci sudutnya.

Memang, membeli ponsel baru tentu amat sensitif bagi Namira. Dia sangat teliti dengan pengeluaran. Tak mungkin begitu saja ia akan mengijinkanku membeli barang mahal seperti ini. Apalagi, ada cicilan yang harus kami bayar setiap bulan.

Dengan lemah, kuserahkan ponsel itu padanya. Namira mengambil ponsel baruku tanpa berekspresi. Tangannya dengan gesit membuka tempat simcard, menariknya dan mengguntingnya jadi dua!

Bukan harga simcardnya. Tapi, Vania hanya punya nomor itu untuk menghubungiku. Sementara di nomor biasa, nomor Vania sudah kublokir.

Tapi, tenang! Nanti malam aku bisa membuka blokirnya saat Namira tidur dan memberitahukan ke Vania kalau rencana pertama gagal. 

Kuhembuskan nafas dengan kasar!

Sementara aku harus menerima kenyataan, bahwa ponsel baruku disita oleh Namira. Parahnya, dia meminta dusnya sekalian. Katanya mau dikembalikan ke toko mumpung masih baru. Dipotong harganya ngga apa-apa, asal jadi uang, katanya.

Duh! Kayak orang susah aja kamu, Mir! Batinku. 

Sejak aku di rumah, dua anakku malah semakin lengket denganku. Keduanya tak mau lepas dariku. Bahkan, ke toilet saja, mesti aku yang menemani. Padahal, jelas-jelas urusan satu ini aku paling malas. Tapi, Dafi malah menangis meraung-raung saat ia kuserahkan pada Namira kala harus ganti diapers. Termasuk mandi saja, juga mereka kompak minta denganku.

Seharian, aku benar-benar tak berkutik. Tapi, Namira pun rasanya juga tidak berleha-leha. Ada saja yang dia lakukan. Bikin cemilan lah, nyikat toilet lah, mengelap jendela lah. Sepertinya pekerjaannya tak ada habisnya. Padahal, aku sengaja mencuri pandang padanya sekedar ingin beristirahat, gantian mengasuh anak-anak. Buktinya, dia malah lebih sibuk. 

Saat aku mau mengusulkan gantian karena aku merasa jenuh, dia malah bilang, "Ya sudah, Mas Reno yang nyikat WC, ya,” ujarnya sambil hendak memberikan sikat WC padaku. Tentu saja aku menolak. Mendingan mengasuh anak-anak bisa sambil tiduran. Yang penting ngawasin mereka saja, asal anteng, nggak nangis. 

Dengan sabar aku menunggu datangnya malam. Apalagi yang hendak aku tunggu jika bukan membuka blokir nomor Vania. Demi menjaga wibawaku di depan Namira, bahkan aku tak memegang ponsel seharian. Ponsel itu aku letakkan di rak ruang tamu. 

“Mas, kalau anak-anak sudah mengantuk, diajak tidur saja,” ujar Namira usai mencuci semua perkakas dapur. Syukur deh dia masih mau memanggilku ‘Mas’. Sejak kemaren dia ber’kamu-kamu’ terus, sampai aku risih mendengarnya. 

Segera kugiring anak-anak ke kamar. Semakin cepat mereka tidur, semakin cepat aku bisa punya alasan mengambil ponselku dan menghubungi Vania. 

“Baca buku dulu, Ayah!” pinta Dafa sambil mengambil buku bacaan dari rak bukunya. Sementara Dafi sudah duduk di pangkuanku. Ya Salaam, kapan tidurnya bocah-bocah ini. 

Satu buku selesai, mata mereka masih terang. Entahlah, mungkin karena aku tak biasa membacakan buku untuk mereka. Jadi intonasiku aneh. Keduanya malah menertawaiku karena membaca apa adanya. Tidak seperti Namira yang bisa membaca laksana pembaca dongeng professional. 

“Lagi, Yah!” Dafa menyerahkan buku lain lagi. Padahal aku yakin semua buku itu sudah pernah dibacanya. Buktinya, semuanya sudah kucel. Tapi mengapa mereka tak juga bosan. 

Lebih dari satu jam aku menidurkan anak-anak. Hingga akhirnya mereka benar-benar terlelap. 

Dengan senyum bahagia, akhirnya aku dapat melangkah keluar dari kamar anak-anak. 

Keluar dari kamar, hanya satu titik tujuanku. Ponsel lamaku yang ada di rak. Baru aku menyentuh ponsel itu, samar kudengar Namira seperti sedang menerima telepon di kamar. 

Karena penasaran, kudorong sedikit pintu kamarku sehingga ada sedikit celah terbuka, agar suara Namira dapat jelas kudengar. 

“Aku sudah tak tahan lagi, Mas. Dia membohongiku terus,” suara Namira sambil terisak. 

Mas? Siapa? Mas Bram? Kakaknya yang kemaren ke sini? Tak tahan? Membohongi? Apa dia sedang mengadukanku. Aku harus cepat bertindak. 

“Dik!” panggilku pura-pura tak tahu kalau dia sedang menerima telepon. Kudorong pintu kamar hingga terbuka lebar. 

Wanita yang sudah kunikahi selama empat tahun ini segera menyusut air mata dengan lengan bajunya, lalu menoleh ke arahku. Tapi, ponsel ditangannya tidak terlihat sedang menyala. Dan dia tak mematikan sambungan teleponnya. Jangan-jangan dia membiarkan pembicaraan kami terdengar oleh kakaknya. 

“Kamu sedang terima telepon?” tanyaku sambil mataku tak lepas menatap ponsel ditangannya. 

“Nggak,” sahutnya sambil menggeleng. 

“Jangan bohong!” ujarku sambil merebut ponsel di genggamannya. Serta merta kuusap layar ponsel itu. Terkunci! Dan aku hafal sandinya, karena Namira memang tak suka mengutak-atik ponsel atau barang elektronik apapun. Saat kuperiksa, tak ada panggilan masuk maupun panggilan keluar. Lalu, dia tadi bicara dengan siapa?

“Kamu bicara dengan siapa, Dik barusan?” tanyaku menyelidik. 

“Aku? Aku tidak bicara dengan siapa-siapa...” jawabnya dengan intonasi datar. Lalu dia malah meninggalkanku. Dari ekor mataku, kulihat dia pergi ke kamar sebelah untuk mengecek anak-anak. 

Apa benar dia tidak bicara dengan siapa-siapa? Tadi kudengar dia terisak. Bahkan, seperti menyusut air matanya. Tapi, kenapa matanya tak terlihat seperti habis menangis? Membingungkan!

Aku jadi penasaran dengan isi ponselnya. Sudah lama memang aku tak mengeceknya. Lagi pula aku tak pernah tertarik untuk mengeceknya. 

Mataku membulat saat aku membaca pesan dari Widya. 

[Sebaiknya kamu ceraikan saja suami seperti dia. Apa lagi yang kamu pertahankan? Sebentar lagi dia juga sudah akan dipecat. Jadi pengangguran!]

Kurang ajar istrinya Burhan. Rupanya dia yang memprovokasi Namira untuk minta pisah dariku. Awas saja ya, kamu! Tak kuijinkan Namira pergi lagi dengannya. 

Kugenggam dengan kuat jari-jariku, hingga buku-bukunya pun memutih. Rahangku mengeras karena menahan marah.

Tapi aku penasaran, kenapa Namira tidak membalasnya? Bahkan, pesan ini sudah terkirim sejak tadi siang. Tunggu! Bukannya mereka tadi siang pergi bersama? Jangan-jangan Namira sudah merencanakan sesuatu dengan Widya. Aku harus waspada. 

Jangan sampai Namira minta cerai dariku. Aku harus menghalangi Namira berhubungan lagi dengan Widya. Segera kublokir nomor Widya di kontak ponsel Namira. Rasain kamu, provokator!

Aku segera menarik selimut, pura-pura tidur, saat kudengar gerakan Namira menutup pintu kamar sebelah. Ponselku dan ponsel Namira aku letakkan di nakas. Kututup mataku dan kuatur nafasku agar terdengar seperti orang sudah tidur. 

*****

Seperti hari-hari biasanya, kami sarapan bersama. Bedanya, biasanya aku memakai baju kerja. Kini aku hanya memakai baju rumahan. Begini rasanya tidak kerja. Tidak enak! Apalagi aku harus jadi pengasuh anak-anak selama tidak bekerja. Dan aku pun membayangkan, pasti gajiku bulan ini akan banyak dipotong karena efek skorsing ini. Duh! Gimana untuk menutup cicilan rumah dan mobilku? 

Nasi goreng yang biasanya terasa sedap, tiba-tiba sulit ditelan karena aku memikirkan nasibku. Hanya gara-gara salah posting, rusak semua rencana hidupku. 

Mendadak terdengar bel rumah kami berbunyi. Kami berempat yang sedang mengelilingi menja makan saling berpandangan. 

Ini masih jam setengah tujuh. Siapa tamu yang datang sepagi ini? 

Seperti biasa, Namira akan berinisiatif ke depan. Jilbab instan selalu tergantung di gantungan baju di dapur. Dia sengaja menaruhnya di situ agar jika mendadak ada tamu, dia tinggal menyambarnya. 

Perasaanku jadi tidak enak karena Namira tak kunjung kembali masuk. Dengan perasaan was-was, segera kususul dia ke depan. 

Langkahku terhenti saat melihat dua perempuan saling berkacak pinggang di teras rumah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status