"Laurent?"
Lirih Pras sambil berjalan mendekat. Lalu langkahnya terhenti dan diam sedikit menjauh sambil mengamati wanita itu didepan loket pengambilan obat.
Laurent memasukan satu plastik kecil berwarna putih berisi obat kedalam tas yang ia bawa. Dengan anggun ia berjalan meninggalkan rumah sakit. Ia berdiri menunggu taksi. Gestur tubuh Laurent tetap anggun walau ia tak memakai make up dan sepatu hak tingginya. Ia hanya memakai sepatu hak datar, celana jeans biru, dan sweater warna hitam. Rambutnya ia gerai dan tampak natural.
Taksi warma biru itu berhenti, Laurent masuk kedalamnya. Pras segera berlari keluar jalan utama dan menghentikan taksi yang lewat.
"Ikuti taksi itu pak, jangan sampai hilang jejak,"
Pras lalu menghubungi Galang kalau ia pergi sebentar dan tanpa membawa mobilnya.
Taksi yang ditumpangi Pras berhenti tak jauh dari taksi Laurent yang berhenti. Wanita itu turun dan berjalan kedalam area pusat grosir. Pras menatap takjub dengan area tersebut. Ia selama ini hanya tau dari berita di televisi.
Ia lalu mengikuti Laurent. Ia sunggung penasaran dengan kegiatan wanita tersebut setelah semalam tampak begitu berkelas.
Setelah sempat kehilangan jejak, Pras akhirnya menemukan Laurent tengan duduk berkutat dengan banyak kertas dan menatap layar laptop.
Ia menatap nama papan yang terdapat di depan toko pakaian wanita itu.
'LAURENTS'
Hanya itu. Pras terkekeh. Menatap wanita yang tampak sibuk. Ia beranjak saat beberapa pembeli menanyakan sesuatu. Dengan ramah dan cekatan, Laurent melayaninya. Dibantu seorang pegawainya. Pras tak risih berada di kerumunan orang yang lalu lalang. Hingga tak ia sadari jika Laurent mengetahui keberadaannya. Ia bersedekap dan mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Pras.
Mau tak mau Pras berjalan mendekat.
"Ngapain?"
Tanya Laurent masih dengan posisi yang sama.
"Just looking around. This is your store?"
Pras menunjuk ke sekitar toko. Laurent menjawab dengan anggukan. Mereka terdiam. Laki-laki dewasa itu bingung harus membahas apa.
"Udah selesai lihat-lihatnya. Pulang sana!"
Laurent menunjuk ke arah jalan keluar. Pras terkekeh. Ia justru masuk kedalam toko dan melihat-lihat. Ide muncul dikepalanya.
"Apa- kamu punya baju untuk perempuan yang baru melahirkan?"
Pras berbalik badan dan berdiri menatap Laurent.
"Daster? Aku nggak ada kalau itu. Kalau baju santai dan berkancing depan banyak. Pilih aja,"
Laurent masih datar-datar saja menjawab pertanyaan Pras. Ia menelisik Pras yang tampak- berbeda. Membuat Laurent harus berdehem beberapa kali.
"Carikan aku sepuluh pakaian itu,"
Ucap Pras. Ia lalu tersenyum. Laurent memutar bola matanya dan mulai mencari di rak gantung.
"Apa istrimu berat badannya naik banyak? Aku harus pilih ukurannya."
Laurent menatap Pras sejenak.
"Bukan istriku. Adik ipar ku. Beberapa jam lalu baru melahirkan,"
"Oh .... "
Laurent lalu berbalik badan lagi dan memilih beberapa pakaian.
"Toko ini punya mu?"
Pras berdiri dibelakang Laurent.
"Hm,"
Jawabnya santai. Laurent sudah mendakatkan sepuluh pakaian. Ia lalu meminta pegawainya merapihkan baju ke dalam paper bag sedangkan ia memproses pembayaran. Pras mengeluarkan kartu magic warna hitam nya.
Laurent terkekeh.
"Kamu bisa beli pakaian ber merk di mall besar. Kenapa beli disini, pakai kartu ini juga, huh."
Laurent sedikit merasa tersinggung. Pras hanya tertawa.
"Apa kamu mau aku pindahin toko mu di Mall besar?"
Laurent mendongak. Ia menatap sinis.
"Aku bangga sama toko ini. Usaha yang ku rintis dari NOL, nggak penting Mall besar atau terkenal."
Jawaban Laurent membuat sudut bibir Pras tertarik sedikit. Namun ia mendekatkan wajahnya ke hadapan Laurent.
"Tapi modalnya dari kamu jadi pelacur kan?"
Bisik Pras. Laurent diam. Ia menatap Pras lekat.
"Nah, itu tahu, nggak perlu dijelasin 'kan, sir,"
Laurent tersenyum sinis. Pras berdiri tegap dan mengangguk.
"Terima kasih sudah berbelanja, bye."
Laurent melambaikan tangan dengan senyuman sinis. Pras tertawa. Ia lalu duduk di kursi dekat meja tempat Laurent duduk. Menatap bingung apa yang mau dilakukan Pras.
"Ngapain lagi?"
Keluh Laurent.
"Duduk. Nggak masalah 'kan. Aku pelanggan, pelanggan itu raja."
Jawab Pras santai.
"Terserah kamu lah, aku sibuk."
Laurent kembali berkutat dengan pekerjaannya. Ia juga mengontrol pembelian online. Ia benar-benar serius melalukan pengelolaan toko pakaiannya.
Sudah dua jam Pras duduk di kursi itu tanpa mengeluh. Hal itu justru membuat Laurent jengah. Ia menoleh menatap Pras.
"Masih betah? Mau kamu apa si Pras?"
Laurent bertanya dengan lembut. Membuat Pras menoleh dan ikut tersenyum.
"udah sore kan, sekarang bisa temenin aku cari kado untuk dua keponakan kembar ku? Tapi nggak di sini,"
Pras beranjak. Laurent masih menatap bingung.
"Mall besar."
Jawab Pras sambil mengangkat tangannya saat melihat sosok Andreas muncul. Laurent menatap bingung.
"Aku nggak bisa Pras. Masih banyak kerjaan."
Tolak Laurent sopan. Pras menggeleng.
"Gantian. Aku udah temenin kamu kerja, kali ini gantian. Temenin aku cari kado terbaik untuk si kembar,"
Sebenarnya tujuan Pras itu tentang obat yang dimiliki Laurent. Namun Pras tak melihat gelagat mencurigakan dari wanita di hadapannya itu.
Laurent menatap malas namun ia beranjak. Membawa tas dan memakai sepatu hak tingginya.
"Sepatu hak tinggi?"
Tunjuk Pras.
"Ya. Kenapaaa, protes apa lagi?"
Laurent mulai kesal. Pras terkekeh.
"Seenggaknya aku nggak mau bikin kamu malu karena aku kelihatan pendek sedangkan kami tinggi tegap."
Laurent berjalan menghampiri salah satu pegawainya dan berbicara sesuatu. Lalu ia menyelipkan kacamata hitam nya diatas kepala dan tersenyum sambil menatap Pras sebelum ekspresi wajahnya menjadi datar kembali.
"Ayo,"
Laurent berjalan mendahului Pras. Belanjaan Pras dibawa Andreas. Ia berjalan mengekor Laurent.
Andreas menatap bingung dengan boss nya. Yang mau berada di pusat grosir itu dan berdesakan dengan banyak orang.
"Diam dan jangan banyak komentar Andreas."
Ucap Pras sebelum ajudannya itu bertanya.
***
"Buruan pilih Pras. Aku harus ke toilet."
Ucap Laurent kesal. Pras cukup lama membandingkan hadiah satu dengan lainnya.
"Sana ke toilet. Aku tunggu di sini,"
Tanpa banyak bicara, Laurent berlari ke toilet. Pras hanya melirik sambil tersenyum.
Tak lama Laurent kembali dengan wajah lebih temang.
"Setelah ini ikut aku ke rumah sakit. Aku mau bertemu keponakan ku itu,"
Laurent membelalakan kedua matanya.
"Nggak bisa. Aku mau pulang,"
Tolak Laurent mentah-mentah. Pras menghadap ke Laurent.
"Oke. Aku bayar kalau gitu. Gimana?"
Entah mengapa sosok Pras yang dingin berubah menjadi iseng dan memaksa. Juga tampak lebih santai saat berbicara. Membuat Andreas harus melaporkan ke Galang atas perubahan sikap seorang Pras.
"Pras,"
"Ya,"
"Otak kamu perlu asupan apa sampai melihat orang lain dengan sebuah harga? Aku emang wanita bookingan, tapi bukan berarti untuk jalanin hal kaya gini kamu duitin juga. Serendah itu kamu lihat seorang pelacur kaya aku?"
Laurent berbicara tenang dan suara rendah.
Pras menghela nafas sebentar. Menatap Laurent lekat.
"This is you. Semalam. Bukan,"
Ucapan Pras membuat Laurent diam tak menjawab. Ia menatap lekat Pras yang juga menatapnya.
"Aku ikut. Dan nggak perlu bayar apapun,"
Ucap Laurent sambil berjalan mengambil dua selimut bayi sebagai kado pemberiannya. Pras mengekor dengan menatap bingung.
"Kado dari aku untuk si kembar. Aku nggak mau kesana nggak bawa apa-apa, lagian nggak mungkin kamu bilang ke mereka, kamu ke rumah sakit sama seorang pelacur, udah pelacur, nggak bawa kado, apa-ap--"
Laurent membulatkan matanya. Ia merasakan benda kenyal milik Pras menempel di miliknya dan terasa manis. Bibir itu menempel dan Pras melumatnya sebentar. Lalu perlahan terlepas.
"Berisik,"
Pras lalu mengeluarkan kartu hitamnya kepada petugas kasir yang terkejut melihat pemandangan didepannya.
To be continue,
Mereka berdua melangkahkan kaki kedalam Lobby rumah sakit dengan kedua wajah saling merengut.Ciuman singkat di bibir yang diberikan Pras ke Laurent membuat ia dihadiahi tamparan di wajahnya. Laurent pun membayar sendiri hadiah untuk bayi kembar adik ipar Pras."Rent,"Panggil Pras pelan. Laurent tak mengindahkan. Ia menatap angka yang tertera di dinding lift hingga berhenti dan pintu terbuka.Laurent keluar terlebih dahulu. Lalu menghentikan langkah kakinya karena ia tak tahu dimana letak kamarnya. Ia membiarkan Pras berjalan mendahului tanpa berbicara.Kamar disudut lorong terlihat terbuka pintunya. Seorang perawat baru saja keluar dari sana.
Suara dan orang lalu lalang tampak jelas terlihat diarea kantor markas besar polisi. Media masa, elektronik juga ramai, tak lupa infotaiment bersama para lambe-lambe hadir.Laurent berdiri didekat mobil polisi yang terparkir. Ia sedang bersama Janeta, teman yang selama ini membantunya dalam mencari keberadaan Laura, kembarannya.Janeta memberi tahu kalau Laura tidak ada di tanah air. Laurent harus lebih sabar lagi untuk mencari tau dimana saudaranya itu."Tapi gue nggak bisa hopeless kan net?""Ya jangan lah. Tetep optimis untuk hasil terbaik. Gue bakal cari tau terus rent. Gue mau tanya ke elo,"Laurent mengangkat kaca matanya keatas kepalanya. Ia mengangguk.
Passpor warna hijau dan berlambang burung garuda sudah dipegang Laurent. Ia duduk di kursi besi dengan satu kaki menyilang dikaki satunya lagi. Menunggu Pras yang masih belum datang juga. Sedangkan terakhir saat mereka berpisah di Mall, Pras bilang kalau jam lima pagi sudah stand by di terminal internasional.Laurent mencepol rambut nya menyisakan helai-helai anak rambut ditengkuknya. Baju lengan panjang oversize warna coklat tua berpadu dengan celana jeans hitam dan sepatu wedges hitam membuatnya tampak santai namun tetap feminim."Maaf lama,"Ucap Pras dengan suara deep voicenya. Ia berjalan bersama Andreas yang membawakan koper besar milik Pras."Kita cuma empat hari kan. Bawaan kamu kenapa kaya orang mau pindahan,
Pras berjalan dibelakang Laurent. Membututi wanita itu yang asik melirik ke berbagai toko yang ada di daerah pusat kota. Salah satu tujuan wisatawan juga. Sore sudah semakin menghilang berganti menjadi gelapnya malam. Pras merasa perutnya lapar. Makanan yang tadi ia makan baru ia habiskan setengah."Temani saya makan."Pras menarik pergelangan tangan Laurent dan berjalan masuk ke kedai mie china."Siapa suruh ikutin aku" Dumel Laurent. Ia kesal juga, karena belum puas melihat-lihat."Karena kamu nggak nurut sama saya Rent, jangan pakai celana sependek itu. Bahaya. Ini bukan Jakarta. Dijakarta aja kamu bisa nggak aman. Apalagi di sini,"Pras menuangkan teh hangat dari teko kecil yang mereka pesan.
Laurent nekat. Wanita berperawakan mirip blasteran turkey, phillipine dan manado itu pergi meninggalkan apartemen Pras dengan mengenakan pakaian santai. Ia menyusuri jalanan pusat kota hingga ke pasar yang ramai, dan beberapa rumah sakit. Ia berjalan kaki. Topi hitam yang ia kenakan membuat wajahnya tersamarkan juga.Satu persatu tempat makan pun ia terulusuri. Ia yakin yang kemarin ia lihat adalah Laura. Saudara kembarnya.Hampir tengah hari namun usaha Laura nihil. Ia kini memilih duduk di taman. Diam memikirkan harus mencari Laura dimana lagi. Bulir air mata kembali jatuh. Ia menghapusnya dengan cepat.Sesosok pria menatapnya lekat. Cenderung seram. Laurent beranjak dan pindah masuk ke restaurant cepat saji. Ia takut dengan tatapan pria tadi. Perasaannya menjadi tak karuan. Namun ia bingung dengan perasaan itu.***Pras terkejut saat membuka pintu apartemen tapi tak mendapati Laurent. Ponsel
Apa yang ada dikepala saat kita mendengar kata 'PERPISAHAN', kecewa, sedih atau justru senang. Namun kata terakhir itu yang tak terjadi diantara Pras dan Laurent walau mulut mereka berkata OK."Saya pinjam hp kamu rent?" Telapak tangan Pras sudah berada didepan wajah Laurent.Mereka sedang berada dibandara, waktu boardinh juga sudah tiba dan mereka berjalan menuju ke pesawat."Untuk" Laurent menatap bingung."Sini" Pras menghentikan langkah. Laurent memberikan ponselnya. Tak lama ponsel itu mengarah ke wajah Pras."Nih, takut kamu kangen aku" Pras memberikan ponsel ke tangan Laurent lagi, yang kemudian direspon dengan kekehan."Hp kamu mana, sini" kini berganti Laurent yang meminta. Pras memberikan. Laurent melakukan hal yang sama."Takut kamu kangen" Kekehan L
Lama Pras dan Laurent saling berpelukan. Sebenarnya mereka berdua seperti merasa terikat. Tapi mereka abaikan karena Laurent sendiri berfikir itu hanya ada karena biasa."I have to go Pras. Terima kasih sekali lagi" Laurent melepaskan pelukannya. Mereka bertatapan."Can i kissed you rent. For, the last time, until- saya nggak tau kapan bisa ketemu kamu lagi" Laurent tersenyum. Lalu menggelengkan kepala."Simpan itu di waktu yang tepat. Kalau memang kita bisa ketemu lagi dalam keadaan sendiri" Laurent lalu masuk kedalam mobil Pras. Ia menurunkan kaca Mobil dan melambaikan tangan.Pras mengangguk. Gemuruh berbeda terasa di hatinya, sungguh ingin ia ungkapkan. Namun sekali lagi, ia takut mengecewakan Laurent.***Satu bulan sudah sejak perpisahan Pras dan Laurent dibandara, masih menyisakan rasa yang mengganjal di hati Pras. Ia sudah kembali ke Swiss. Namun isi ke
Dengan langkah tegap dan pasti, Pras menuju ke mobilnya yang sudah terparkir di depan loby terminal internasional bandara. Ia mengenakan setelan jas licin berwaena abu-abu tua dan kemeja putih. Sunggu Pras sudah tak sabar untuk segera bertindak.Pintu mobil tertutup sesaat setelah Pras duduk di kursi penumpang. Andreas sudah berada didalam mobil lebih dulu."Sejauh mana dia bertindak?" Pras membuka kaca mata hitamnya dan membaca berkas yang diberikan Andreas."Laurent- Laurent tidak ada di apartemennya pak. Dia sudah sejak kemarin ada di Penhouse Pedro." Andreas tampak ragu saat mengucapkan hal itu.Pras mengepalkan jemarinya. Ia menatap ke jalanan yang tampak lowong."Pertemuan pak Pras dan Pedro di restaurant korea, saya sudah pesankan ruangan VIPnya""Apa kamu bawa hasil kita cari Laura di Hongkong? Saya mau kasih ke Laurent""Bawa pak. Dan, saya dapat informa