Kedua mata mereka saling menatap. Laurent menunggu Pras bercerita, sesuai janjinya saat ia sudah melakukan tugasnya.
Kini mereka berada di sebuah Bar yang tak jauh dari apartemen tempat Laurent tinggal.
"Tell me?"
Laurent bersedekap. Menunggu Pras mulai bercerita. Pras tampak mengerikan saat menatap Laurent lekat dengan setelan jas yang benar-benar menampakan siapa dirinya. Seseorang dengan kekayaan berlimpah tak kan habis mau sampai kapan pun.
"Kenapa lihatinnya kaya gitu? Ada yang aneh?"
Laurent menaikan sebelah alisnya. Menatap tajam ke Pras. Yang di tatap justru tersenyum dan menegakan duduknya.
"Mereka semua saingan bisnis saya, nggak ada yang baik. Semuanya pura-pura. Saya malas sebenarnya datang, harusnya orang kepercayaan saya, tapi karena satu dan lain hal, mau nggak mau jadi saya yang hadir."
"Bukan temen beneran?"
Laurent menatap bingung. Pras pun bingung dengan pertanyaan wanita dihadapannya.
"Mm- maksud ku, dari semua yang hadir, nggak ada yang benar-benar teman kamu? Semuanya saingan,"
Laurent menatap lekat. Pras mengangguk.
"Hampir dua puluh lima tahun saya berkecimpung di dunia bisnis besar. Saya tau mana orang yang tulus mana yang enggak, makanya mereka segan sama saya 'kan,"
Ia memainkan gelas wine ditangannya. Laurent lalu memajukan tubuhnya condong kedepan. Menopang dagunya dengan tangan kanan dan menatap lekat Pras.
"Tebak. Kalau aku. Tulus atau enggak,"
Pras menatap Laurent. Ia tersenyum tipis lalu ikut memajukan wajahnya. Menatap lekat kedua mata Laurent.
Lama mereka berdua saling menatap.
"Kamu-"
Pras menjeda ucapannya.
"Menyedihkan .... "
Lanjutnya. Lalu ia bersandar di kursinya sambil terkekeh. Laurent tertawa.
"Sok tahu."
Ucapnya lagi. Ia lalu mengeluarkan ModVape dari tas kecil yang ia bawa dan menghisapnya, asap tebal kembali terhembus dari bibir sexynya. Kedua matanya menatap layar ponsel yang ia pegang.
Wajahnya mengernyit. Ia fokus. Ada sedikit masalah dengan pengiriman baju model terbaru dari konveksi dan barang importnya.
"Shit!"
Umpatnya sambil mengetik di layar ponsel dengan cepat.
Pras menatap lekat. Ia lalu melirik ke ModVape milik wanita dihadapannya lalu mengambil dan menelisik.
"Ini yang lagi trend dipasaran?"
Ucap Pras. Laurent tak menggubris. Wanita elegan itu masih fokus di ponselnya.
Pras meletakan kembali ModVape dan menatap Laurent yang menunggu balasan pesan singkat dengan mengetuk-ngetuk meja dengan kuku jarinya yang lentik dan tak begitu panjang.
"Aku harus pergi. Urusan penting."
Laurent beranjak dan memasukan Mod Vape kedalam tasnya. Ia beranjak terburu-buru hingga lututnya terbentur meja. Ia mengaduh tapi kedua matanya terus menatap ponsel.
"Duduk."
Pinta Pras.
"Hah?"
Laurent menatap heran,
"Duduk aku bilang rent,"
"No. Aku buru-buru."
Pras beranjak dan menekan bahu Laurent untuk duduk kembali. Laurent risih.
"Apaan si Pras!"
Laurent melotot. Pras menggeser kursinya dan duduk mendekat.
"Ada masalah apa?"
Laurent diam. Ia menatap Pras ragu untuk bercerita. Ia menggeleng. Lalu ponsel miliknya berdering. Ia berbalik badan dan menempelkan ponsel ke telinganya.
"Ya gimana? Bisa!"
"...."
"Ahh.. syukurlah. Yaudah, besok kita cek, dan lusa kita data ulang untuk yang import. Bikin panik,"
Laurent lalu tampak lebih tenang dan melirik Pras.
"Lihatinnya nggak bisa biasa aja. Kalau udah nggak ada yang di obrolin, aku mau pulang,"
Laurent menatap Pras.
"Berapa klaim nya. Saya harus transfer berapa?"
Pras mengeluarkan ponsel miliknya. Laurent terkekeh.
"Nggak usah. Udah cukup."
Jawaban Laurent membuat Pras diam dan kembali menatap wajah cantik wanita didekatnya. Laurent tersenyum.
"Why?"
Pras penasaran. Laurent kembali menatap serius ke wajah Pras. Ia lalu mendekat, semakin mendekat ke telinga Pras.
"Because, your lips so tasty,"
Goda Laurent sambil berbisik. Ia lalu mundur dan beranjak.
"Terima kasih atas uang nya sir Pras, good night,"
Laurent tersenyum dan beranjak. Ia mengeratkan tali mantel yang ia kenakan lalu berjalan meninggalkan Pras yang masih duduk menatap kepergiaannya.
Ia terkekeh sambil menempelkan ibu jari di sudut bibirnya sendiri.
'Me too Laurent. Your lips so tasty too.'
***
Kedua lelaki itu duduk di depan ruang operasi. Aira dimundurkan satu hari dari jadwal melahirkannya. Jevan di titipkan dirumah oma dan opanya. Galang akan menyambut bayi kembarnya, ia tak mau nanti Jevan malah merasa di abaikan.
"Semalem gue booking perempuan lang,"
Ucap Pras sambil duduk bersedekap disebelah Galang.
"What! Becanda lo kak,"
Galang tampak tak suka. Pras mengangguk. Ia pun menceritakan semuanya.
Akhirnya Galang paham dan mendengus. Menoleh ke Pras yang tampak tenang.
"Nikah lagi kak. Lo nggak harus sendirian seumur hidup. Lo butuh tempat berbagi,"
"Ada emangnya perempuan yang mau sama pria mandul kaya gue. Kalau pun one day gue mati dengan ninggalin kekayaan segitu banyaknya. Tugas lo buat sebar itu semua ke orang-orang susah. Mau mereka agamanya apa, sukunya apa, lo atur lang."
"Ck- mulut lo kalo ngomong. Nih kak, pasti ada. Gue yakin, lo jangan nyusahin diri lo pake main lonte segala. Gue nggak suka, Aira juga,dia udah kepikiran juga,"
Pras terkekeh.
"Lo- nggak 'belok' kan, nggak akan main pedang-pedangan kan?"
Galang menatap lekat dan khawatir.
"Gila lo. Ya enggak lah! Gue masih normal. Sialan lo. Sekarang lo bawa tiga lonte didepan gue juga bisa gue hajar mereka sampe puas. Lo nggak tau boss lo ini seperkasa itu!"
Galang menatap geli dan meremehkan.
"Tiga cewek. Kecengklak tuh pinggang baru rasa lo kak. Udah mau lima puluh bro,satu aja udah cukup,"
Pras tertawa.
"Lang,laki-laki itu diatas empat puluh justru lagi kuat-kuatnya. Hati-hati lo, Aira bisa bunting terus nanti,"
Pras menyenggol bahu Galang. Galang menatap serius.
"Beneran?! Wah, kebeneran, gue mau punya banyak anak sebelum umur empat lima,"
Samber Galang yang kesenangan. Seakan mendapat pencerahan dari ucapan Pras.
"Beruntung nya lo lang, semua normal. Gue mau main sama berapa puluh cewek juga nggak akan ada yang bunting. Takdir gue terlalu hebat,"
Kekehan Pras justru membuat Galang sedih.
"Adopsi anak deh kak kalo gitu,"
Galang memerikan pilihan dan saran.
"Anak siapa? Anak guguk. Lo pikir gue nggak harus cari pasangan dulu. Aneh aja lo kalo kasih saran kadang-kadang,"
"Cewek yang semalem. Gimana? Apa dia sama kaya lonte lainnya?"
Galang menatap Pras. Ia tau kakaknya itu akan menjawab jujur. Pras menunduk lalu terkekeh.
"Dia beda. Kelihatan dari sorot mata dan sikapnya. Jaga diri banget dan bikin- penasaran,"
Galang tertawa. Ia beranjak.
"Gue udah feeling. Deketin lah. Coba cari tau, siapa tau jodoh,"
Pras menatap Galang dengan wajah terkejut. Bersamaan dengan terbukanya pintu ruang operasi dan meminta Galang masuk ke dalam ruang observasi.
"Pak Galang, silahkan mengadzan kan putra dan putri kembarnya,"
Galang mengangguk. Pras memberikan ucapan selamat kepada Galang terlebih dahulu. Ia berjalan menuju ke kantin rumah sakit untuk membeli beberapa camilan dan minuman,karena sejak beberapa jam lalu, Galang tak makan atau minum apapun. Ia terlalu khawatir dengan operasi Aira.
Ting
Pintu Lift terbuka. Pras berjalan dengan gagahnya. Namun kedua matanya menuju ke satu sosok yang ia kenal.
"Laurent?"
To be continue,
"Laurent?"Lirih Pras sambil berjalan mendekat. Lalu langkahnya terhenti dan diam sedikit menjauh sambil mengamati wanita itu didepan loket pengambilan obat.Laurent memasukan satu plastik kecil berwarna putih berisi obat kedalam tas yang ia bawa. Dengan anggun ia berjalan meninggalkan rumah sakit. Ia berdiri menunggu taksi. Gestur tubuh Laurent tetap anggun walau ia tak memakai make up dan sepatu hak tingginya. Ia hanya memakai sepatu hak datar, celana jeans biru, dan sweater warna hitam. Rambutnya ia gerai dan tampak natural.Taksi warma biru itu berhenti, Laurent masuk kedalamnya. Pras segera berlari keluar jalan utama dan menghentikan taksi yang lewat."Ikuti taksi itu pak, jangan sampai hilang jejak,"
Mereka berdua melangkahkan kaki kedalam Lobby rumah sakit dengan kedua wajah saling merengut.Ciuman singkat di bibir yang diberikan Pras ke Laurent membuat ia dihadiahi tamparan di wajahnya. Laurent pun membayar sendiri hadiah untuk bayi kembar adik ipar Pras."Rent,"Panggil Pras pelan. Laurent tak mengindahkan. Ia menatap angka yang tertera di dinding lift hingga berhenti dan pintu terbuka.Laurent keluar terlebih dahulu. Lalu menghentikan langkah kakinya karena ia tak tahu dimana letak kamarnya. Ia membiarkan Pras berjalan mendahului tanpa berbicara.Kamar disudut lorong terlihat terbuka pintunya. Seorang perawat baru saja keluar dari sana.
Suara dan orang lalu lalang tampak jelas terlihat diarea kantor markas besar polisi. Media masa, elektronik juga ramai, tak lupa infotaiment bersama para lambe-lambe hadir.Laurent berdiri didekat mobil polisi yang terparkir. Ia sedang bersama Janeta, teman yang selama ini membantunya dalam mencari keberadaan Laura, kembarannya.Janeta memberi tahu kalau Laura tidak ada di tanah air. Laurent harus lebih sabar lagi untuk mencari tau dimana saudaranya itu."Tapi gue nggak bisa hopeless kan net?""Ya jangan lah. Tetep optimis untuk hasil terbaik. Gue bakal cari tau terus rent. Gue mau tanya ke elo,"Laurent mengangkat kaca matanya keatas kepalanya. Ia mengangguk.
Passpor warna hijau dan berlambang burung garuda sudah dipegang Laurent. Ia duduk di kursi besi dengan satu kaki menyilang dikaki satunya lagi. Menunggu Pras yang masih belum datang juga. Sedangkan terakhir saat mereka berpisah di Mall, Pras bilang kalau jam lima pagi sudah stand by di terminal internasional.Laurent mencepol rambut nya menyisakan helai-helai anak rambut ditengkuknya. Baju lengan panjang oversize warna coklat tua berpadu dengan celana jeans hitam dan sepatu wedges hitam membuatnya tampak santai namun tetap feminim."Maaf lama,"Ucap Pras dengan suara deep voicenya. Ia berjalan bersama Andreas yang membawakan koper besar milik Pras."Kita cuma empat hari kan. Bawaan kamu kenapa kaya orang mau pindahan,
Pras berjalan dibelakang Laurent. Membututi wanita itu yang asik melirik ke berbagai toko yang ada di daerah pusat kota. Salah satu tujuan wisatawan juga. Sore sudah semakin menghilang berganti menjadi gelapnya malam. Pras merasa perutnya lapar. Makanan yang tadi ia makan baru ia habiskan setengah."Temani saya makan."Pras menarik pergelangan tangan Laurent dan berjalan masuk ke kedai mie china."Siapa suruh ikutin aku" Dumel Laurent. Ia kesal juga, karena belum puas melihat-lihat."Karena kamu nggak nurut sama saya Rent, jangan pakai celana sependek itu. Bahaya. Ini bukan Jakarta. Dijakarta aja kamu bisa nggak aman. Apalagi di sini,"Pras menuangkan teh hangat dari teko kecil yang mereka pesan.
Laurent nekat. Wanita berperawakan mirip blasteran turkey, phillipine dan manado itu pergi meninggalkan apartemen Pras dengan mengenakan pakaian santai. Ia menyusuri jalanan pusat kota hingga ke pasar yang ramai, dan beberapa rumah sakit. Ia berjalan kaki. Topi hitam yang ia kenakan membuat wajahnya tersamarkan juga.Satu persatu tempat makan pun ia terulusuri. Ia yakin yang kemarin ia lihat adalah Laura. Saudara kembarnya.Hampir tengah hari namun usaha Laura nihil. Ia kini memilih duduk di taman. Diam memikirkan harus mencari Laura dimana lagi. Bulir air mata kembali jatuh. Ia menghapusnya dengan cepat.Sesosok pria menatapnya lekat. Cenderung seram. Laurent beranjak dan pindah masuk ke restaurant cepat saji. Ia takut dengan tatapan pria tadi. Perasaannya menjadi tak karuan. Namun ia bingung dengan perasaan itu.***Pras terkejut saat membuka pintu apartemen tapi tak mendapati Laurent. Ponsel
Apa yang ada dikepala saat kita mendengar kata 'PERPISAHAN', kecewa, sedih atau justru senang. Namun kata terakhir itu yang tak terjadi diantara Pras dan Laurent walau mulut mereka berkata OK."Saya pinjam hp kamu rent?" Telapak tangan Pras sudah berada didepan wajah Laurent.Mereka sedang berada dibandara, waktu boardinh juga sudah tiba dan mereka berjalan menuju ke pesawat."Untuk" Laurent menatap bingung."Sini" Pras menghentikan langkah. Laurent memberikan ponselnya. Tak lama ponsel itu mengarah ke wajah Pras."Nih, takut kamu kangen aku" Pras memberikan ponsel ke tangan Laurent lagi, yang kemudian direspon dengan kekehan."Hp kamu mana, sini" kini berganti Laurent yang meminta. Pras memberikan. Laurent melakukan hal yang sama."Takut kamu kangen" Kekehan L
Lama Pras dan Laurent saling berpelukan. Sebenarnya mereka berdua seperti merasa terikat. Tapi mereka abaikan karena Laurent sendiri berfikir itu hanya ada karena biasa."I have to go Pras. Terima kasih sekali lagi" Laurent melepaskan pelukannya. Mereka bertatapan."Can i kissed you rent. For, the last time, until- saya nggak tau kapan bisa ketemu kamu lagi" Laurent tersenyum. Lalu menggelengkan kepala."Simpan itu di waktu yang tepat. Kalau memang kita bisa ketemu lagi dalam keadaan sendiri" Laurent lalu masuk kedalam mobil Pras. Ia menurunkan kaca Mobil dan melambaikan tangan.Pras mengangguk. Gemuruh berbeda terasa di hatinya, sungguh ingin ia ungkapkan. Namun sekali lagi, ia takut mengecewakan Laurent.***Satu bulan sudah sejak perpisahan Pras dan Laurent dibandara, masih menyisakan rasa yang mengganjal di hati Pras. Ia sudah kembali ke Swiss. Namun isi ke