Pras. Pria dengan usia matang, kehidupan mapan, namun dengan takdir yang tak banyak bagi seorang laki-laki akan sanggup menjalani. Ia menjadi duda diusia empat puluhan dan MANDUL. Tak akan bisa memberikan keturunan bagi wanita manapun. Hingga ia tak ingin menjadikan pernikahan sebagai GOAL hidupnya lagi. Kegagalan dengan mantan istrinya dulu sudah membuat dirinya tak ingin berurusan dengan wanita. Apalagi jatuh cinta. Takdir lain dihidupnya membawa ia mengenal wanita BOOKINGAN pria kelas kakap, yang memiliki alasan tersendiri kenapa ia menjalani profesi terselubung itu. Laurent. Nama wanita tersebut. Pras akhirnya kembali mau tak mau dekat dengan seorang wanita. Namun ia takut, jika Laurent tau ia memiliki kekurangan, apa Pras akan kehilangan seorang wanita yang sudah mengacak-ngacak hatinya lagi? Dan juga Laurent. Ia takut jika Pras akan tau masalah didirinya akan beranjak pergi?
Lihat lebih banyakHai, ini cerita author pertama yang agak- eheemm, mohon maaf kalau masih
banyak kekurangan(Sengaja dikurang-kurangin kok, nyerempet aja dikitttt)---------
PRAS JOSEPH HADILAKSMONO. atau di dunia bisnis ia dikenal dengan panggilan 'Sir', atau 'Pras' bagi orang yang dekat dengannya.
Salju dingin itu sama seperti hatinya yang kembali dingin setelah masa lalu pahit dengan mantan istri yang mengkhianatinya. Pakaian hangat yang ia kenakan pun sebenarnya masih belum bisa menutupi hawa dingin yang ia rasakan. Napasnya terasa berat, kedua matanya menatap nanar, sungguh ia tak ingin mati seorang diri. Kedua orang tuanya dua tahun lalu pergi selamanya. Ia anak tunggal dengan kekayaan berlimpah namun miskin kebahagiaan.
Gelas wiski ia pegang erat. Berniat sekedar menghangatkan tenggorokan tapi berakhir sia-sia. Ponselnya berbunyi. Ia meletakan gelas dan menerima panggilan dari tanah air - Indonesia.
"Ya," jawabnya dingin.
"Selamat malam waktu tanah air, Pak, apa kabar?" Suara yang lama sudah ia tak dengar.
"Ya. Kabar saya baik, kamu apa kabar, Galang. Ada hal penting apa sampai telepon saya." Pras masih berdiri didekat jendela besar rumahnya.
"Apa Pak Pras bisa kembali ke tanah air? Tiga hari lagi ada gala dinner untuk para pengusaha karena ada pembukaan beberapa brand ternama perhiasan, dan launcing mobil sport terbaru dari perusahaan eropa, kali ini saya minta maaf tidak bisa mewakili Pak Pras. Mereka meminta Pak Pras yang hadir."
Helaan napas terdengar dari Pras. Ia memijat pangkal hidungnya.
"Saya akan hadir. Siapkan hotel untuk saya menginap. Dua minggu. Saya juga merasa bosan di sini, sekaligus liburan sebentar."
"Baik, Pak. Apa Pak Pras butuh hal lain?" tanya Galang.
"Tidak. Ah- ada!" tegas Pras.
"Apa itu, Pak?"
Pras terkekeh sebentar. "Sampaikan salamku ke Jevan dan Aira, kapan Aira melahirkan bayi kembar kalian?"
Kekehan Galang terdengar begitu bahagia, Pras pun tersenyum.
"Tiga hari lagi Pak, dan Jevan sehat, dia udah nggak sabar jadi, Abang."
"Wah! Jagoan saya sudah siap ya jadi Abang. Ok. Saya bawa hadiah terbaik untuk Jevan dan si kembar. Tunggu barangnya sampai di sana nanti."
"Jadi merepotkan Pak Pras." Galang kembali terkekeh.
"Ck. Masih kaku. Panggil saya Kakak kalau bukan urusan kantor, Galang." gerutu Pras. Lalu tawa keduanya pecah.
Pras sudah menganggap Galang orang yang paling ia percaya mengurus perusahaannya di tanah air dan cabang lainnya di saat ia sudah lelah terjun langsung serta ia menganggapnya sebagai adik. "Ok, Kak. Siap. Safe flight. Gue siapin semua di sini. I have to go. Aira butuh sesuatu kayaknya."
"Ok. Bye."
Pras lalu menekan nomor lain setelah mematikan sambungan teleponnya. Ia berbicara sambil melangkahkan kaki ke arah tangga menuju ke kamar. "Ya. Siapkan semuanya, penerbangan besok ke Indonesia." Ia menelepon asistennya yang bekerja bersamanya di Swiss, Andreas, asli pribumi.
***
Seorang pramugari memberi tahu kalau tiga jam lagi akan mendarat di Jakarta. Pras mengangguk dan meletakan buku yang sedang ia baca ke dalam tas yang ia bawa. Ia melihat ke jendela pesawat. Matahari bersinar terang, ia kembali ke tanah kelahirannya. Ia juga tak sabar melihat Jevan yang sudah berusia empat tahun. Galang dan Jevan yang akan ikut menyambut kedatangannya. Hanya mereka. Sanak saudara lain ada di Surabaya.
Pesawat mendarat dengan sempurna. Ia menempati kelas bisnis. Tak banyak barang yang ia bawa. Bahkan koper pun tidak. Hanya satu tas ransel berbahan kulit dari merk terkenal dunia yang ia bawa. Kaca mata hitam ia kenakan. Tubuh tinggi kekarnya dengan potongan rambut cepak tak menggambarkan dirinya yang berusia hampir kepala lima.
Tak ada perasaan jet lag atau aneh. Ia berjalan santai dengan satu tangan ia masukan ke saku celana jeansnya. Hingga selesai pemeriksaan imigrasi pun ia lewati dengan lancar. Beberapa orang menghampiri dan memberi salam dengan membungkuk.
"Mobil sudah siap, Pak," ucap salah satunya.
"Andres. Apa permintaan saya sudah siap?" Ia melirik dari balik kaca mata hitamnya ke arah Andreas.
"Sesuai permintaan Pak Pras. Nanti akan siap di tempat." Andreas berbicara tanpa menatap ke kedua mata Pras, menunjukan kesopanan dan segan.
"Good. Saya satu mobil dengan Galang, mobil yang kalian siapkan, bawa kembali ke hotel. Sudah buka kamar untuk kalian, kan?"
"Sudah, Pak. Terima kasih."
"Ok."
Pras lalu berjalan kembali dengan empat orang ikut berjalan di belakangnya. Langkah Pras terhenti saat melihat cengiran anak kecil laki-laki yang berlari menghampirinya. Pras berlutut dan menyambut dengan rentangan kedua tangan.
"Sir," sapa bocah lelaki itu. Pras tertawa. Ia lalu memeluk dan mengangkat tubuh anak kecil itu ke gendongannya.
"Panggil apa tadi? Nggak denger?" ledek Pras.
"Sir." lalu anak kecil itu tertawa karena Pras mengeletikinya.
"Ok. I am so sorry uncle," tawa Jevan terdengar keras.
"Call me what?" Pras kini menciumi Jevan yang kegelian karena bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang lelaki dewasa itu.
"Uncle Pras. My uncleee! Geli uncle." Jevan tertawa. Pras lalu menurunkan Jevan dari gendongannya. Dan menyambut Galang dengan berpelukan ala pria.
"Welcome back, Kak..." ucap Galang.
"Thank you, Bro..." jawab Pras.
Mereka lalu berjalan ke arah mobil Galang yang juga, ia sendiri yang menyetir. Sedan hitam mahal itu melesat di jalan bebas hambatan.
"Bener mau mampir ke rumah dulu? Nggak ketemuan di hotel aja?" Galang melirik ke mantan bosnya yang sudah menjadi kakaknya itu.
"Nope. I miss your wife too, gue mau lihat perut Aira gendut. Your so luck dude. Gue nggak bisa rasain apa yang lo rasain. So let me see the baby bumb."
"Mulai, deh. Our kids is your kids too bro, Jevan boleh kok panggil kamu Dad, Papi, Ayah, or Bapak." Galang tertawa.
"Can i call you 'Dad', sir?" Ledek Jevan yang duduk di jok belakang. Pras menoleh ke belakang dan tertawa.
"Kecil-kecil udah bisa ngeledek?" Pras terkekeh.
"No. I just try to make you laught and i did it right?" sahut Jevan lagi. Pras dan Galang tertawa. Aira mendidiknya memang harus bisa membaur dengan siapa saja. Tak boleh merasa malu atau minder. Tapi kadang terlalu bawel juga untuk seorang anak kecil.
Mereka sampai di depan rumah Galang yang tak terlalu besar untuk seorang CEO perusahaan ternama. Pras turun dan di susul Jevan. Bocah kecil itu menggandeng tangan Pras dan berjalan ke dalam rumah.
"Aira..." sapa Pras dengan suara beratnya. Aira berjalan dengan perlahan. Perutnya sudah besar sekali.
"Kak Pras, apa kabar?" Aira berjabat tangan. Pras mengusap kepala Aira. Lalu berganti mengusap perut buncit wanita itu.
"Kamu apa kabar, sudah keras banger perut kamu. Aku baik-baik aja, Aira," jawab Pras.
"Iya. Hasil olahan Galang, nih. Kembar kali ini." Kekeh Aira. Pras tertawa. Galang masuk ke dalam rumah dan mengecup kening Aira. Lalu melirik Pras.
"Kita bikin Kak Pras iri sayang...." Galang tak risih. Ia menciumi wajah Aira di depan Pras yang hanya tertawa lalu berjalan masuk kedalam rumah itu. Ia langsung duduk di sofabed warna kuning terang dan memanggil Jevan sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat.
"Apa ini, Dad?" tanya Jevan ia lalu membukanya. Lembaran uang dollar ia letakkan di atas meja. Jevan bingung.
"Buat beli mainan," jawab Pras sambil merentangkan kedua tangannya ke udara.
"Home sweet home...." ucap Pras, ia lalu tersenyum sambil memejamkan mata.
"Pa! Ma! Ini kata Daddy Pras buat beli mainan. Bisa dapet berapa?" Jevan masih bingung. Galang berjalan menghampiri sambil berbicara,
"Sama toko-tokonya." Celetuk Galang sambil merapikan dan memasukan kembali ke dalam amplop.
"Kak, berlebihan ini." Galang protes.
"Shut your mouth, buat keponakan gue, uang segitu nggak ada artinya buat gue," jawab Pras sambil memejamkan mata.
"Kak, jangan begitu, Aira nggak bisa terimanya." Kini suara Aira terdengar. Pras membuka kedua matanya.
"Do what you wanna do, gue udah kasih buat Jevan. Terserah kalian sisanya mau diapain."
Kedua tatapan Pras mengintimidasi. Duda matang nan menggoda itu tak bisa dibantah. Galang dan Aira saling menatap. Ia lalu meninggalkan Pras yang sedang duduk santai di temani Jevan ke dalam kamar.
"Kita cari calon istri buat dia deh, Ra. Risih aku lama-lama kalau dia manjain anak-anak kita kaya gini. Keburu lapuk juga nanti." Galang tertawa hingga kedua matanya menyipit.
"Hus. Ngaco ngomongnya. Nggak lihat tuh penampilan dia masih setegap itu. Om-om inceran cabe-cabean banget ituh. Sugar daddy. Tapi aku nggak mau kalau sampai dia punya baby sugar atau pelacur buat jadi one night standnya dia, Ya."
"Makanya. Kita jodohin sama siapa ya?" Galang mondar mandir di dalam kamarnya.
"Sabar aja dulu. Dua minggu kan di sini, siapa tau ada jalannya nanti, kita fokus ke ini duit segepok 10.000 dollar mau diapain. Ini kalo di rupiahin bisa buat bayar sekolah Jevan sampe lulus TK dua tahun kali."
"Salah anggap dia Kakak, sekarang, kalau manjain Jevan sampe segini. Kenapa nggak dari dulu aja kan ya, aku jadi nggak perlu lewatin fase kerja di pabrik." Aira melotot mendengar penuturan suaminya itu.
"Eh... eh... eh... mau buka kisah lama?!" Aira berkacak pinggang.
"Hahaha, nggak sayang, ah, sikembar mau lahir, aku puasa dong, empat puluh hari?"
"Iya dong, Papa Galang, enak kan, pu-a-sa." Pelotot Aira. Galang menunduk lesu sambil mengusap perut buncit Aira.
"Makanya. Jangan kelupaan cabut melulu," ledek Aira. Ia lalu melepaskan tangan Galang dan berjalan ke arah lemari.
"Idih. Aku disalahin. Kamu kan yang suka nahan-nahan,'dikit lagi, Lang, jangan, cab--" Aira membekap mulut Galang dengan tangannya.
"Aku cabein mulut kamu mau?!" Pelotot Aira lagi. Galang terkekeh. Ia lalu mengecup kening dan bibir Aira.
"Biarin. Aku mau punya anak banyak pokoknya," Galang memeluk Aira walau perutnya terhalang kedua anak kembarnya di dalam perut istri tercintanya itu.
"Aku kasian sama Kak Pras, dia nggak bisa kasih keturunan ke perempuan mana pun." Suasana menjadi sendu. Galang setuju dengan ucapan Aira.
"Mudah-mudahan ada wanita yang bisa terima kondisi Kak Pras suatu saat nanti."
Bersambung,
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen