Axela dan Bianca duduk di sofa sederhana dalam rumah Andra. Pandangan mereka menelusuri setiap sudut ruangan, mencoba memahami kehidupan laki-laki yang begitu berbeda dengan mereka. Tidak ada barang-barang mewah, hanya ada beberapa perabotan biasa yang menunjukkan kesederhanaan hidup Liam.
Setelah beberapa waktu, Andra muncul kembali dari dapur. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kelelahan dan luka yang belum sepenuhnya pulih. Dia membawa tiga kotak susu cokelat, satu-satunya yang bisa dia tawarkan sebagai jamuan untuk tamunya. Dengan senyum yang penuh ketulusan, dia memberikan satu kotak susu kepada Axela dan satu lagi kepada Bianca. "Maaf, hanya ini yang aku punya, "kata Andra dengan memberikan selembar kertas Bianca tertegun melihat cara Andra berkomunikasi. Calon suami sahabatnya itu benar-benar bisu, tidak bisa berbicara. Axela mengabaikan hal itu dan menatap Liam dengan serius. "Menikahlah denganku!" pintanya dengan tegas. Andra menatap Axela dengan tatapan penuh kebingungan dan skeptis. Dia mengambil secarik kertas dan mulai menulis dengan tangan yang gemetar. "Kamu sepertinya sedang mabuk, Miss, "tulisnya, menunjukkan tulisan itu kepada Axela. Axela menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak, aku serius. Menikahlah denganku!" Andra menghela napas, matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Dia kembali menulis, kali ini tangannya bergetar lebih kuat. Kenapa semua orang sangat suka membuat lelucon pada orang-orang lemah? Apa itu begitu menyenangkan?" Ekspresinya menunjukkan rasa muak dan keputusasaan. Sudah terlalu sering dia diperlakukan semena-mena oleh orang-orang kaya yang menganggapnya tak lebih dari objek ejekan. Bianca akhirnya membuka suara, suaranya penuh dengan pengertian dan kesungguhan. " Ini bukan lelucon. Kami berbicara tentang pernikahan kontrak. Ini bisa menguntungkan kalian berdua." Andra menatap Bianca dengan skeptis, tetapi ada sedikit keraguan dalam tatapannya. "Mengapa aku? Apa yang kau harapkan dariku ?"tulisnya dengan lambat, memperlihatkan kertas itu kepada Bianca dan Axela. Axela menatap Andra dengan mata yang mulai menunjukkan kejujuran yang jarang ia perlihatkan. "Kakekku ingin aku menikah. Dia memilihmu. Aku tidak mengerti kenapa, tapi aku harus melakukannya untuk memenuhi keinginan Kakek dan mempertahankan warisanku. Kau tidak perlu khawatir tentang hal lainnya. Kita akan membuat perjanjian. Kau bisa tetap menjalani hidupmu tanpa campur tanganku. Aku juga tidak akan ikut campur dalam hidupmu," katanya dengan suara yang terdengar lebih lembut dari sebelumnya. Andra menatap Axela dan kemudian menoleh ke arah Bianca, mencari penjelasan lebih lanjut. Bianca mengangguk pelan. "Ini adalah kesempatan untukmu juga. Kami bisa memastikan kau mendapat dukungan finansial yang layak. Kau bisa terus hidup seperti biasa tanpa ada yang tahu tentang status pernikahan kalian. Ini hanya formalitas," tambahnya, mencoba meyakinkan Andra bahwa ini adalah tawaran yang saling menguntungkan. Andra terdiam, memandang Axela dan Bianca secara bergantian. Ia merasa bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Namun, di balik kebingungannya, ada sedikit harapan. Mungkin, ini adalah kesempatan baginya untuk keluar dari kesulitan yang selalu menghantuinya. Dengan napas yang berat, Andra menulis satu kalimat terakhir di kertasnya. "Aku butuh waktu untuk berpikir. "Ia menunjukkan kertas itu kepada Axela dan Bianca, berharap mereka memahami perasaannya. Axela mengangguk, mencoba menahan emosi yang bergemuruh di dalam dirinya. Ambil waktu yang kau butuhkan, beri kami jawaban dalam 24 jam kedepan. Kami butuh kepastian." Suaranya lembut namun tegas, menyiratkan urgensi dan kerentanannya. Andra menatap Axela,matanya penuh dengan pertanyaan dan kebingungan. Dia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Kenapa harus dia? Kenapa hidupnya selalu penuh dengan cobaan? *** Bianca sedang menyetir mobil menuju mansion Axela. Sesekali dia melirik ke arah sahabatnya yang menatap kosong ke luar jendela, tangan Axela masih erat menggenggam kotak susu cokelat yang diberikan Andra tadi. Dalam hening yang mengisi mobil, Bianca akhirnya memecah keheningan. "Kau membawanya pulang?" tanyanya dengan nada ingin tahu, matanya sejenak beralih dari jalan ke arah kotak susu di tangan Axela Axela tidak mengalihkan pandangannya, masih tertuju pada pemandangan luar jendela yang terus berlalu. Menghargai," jawabnya singkat. " Bianca mengernyitkan dahi, merasa bingung. Perlakuan Axela saat ini sangat berbeda dari Axela yang biasa dia kenal. Sahabatnya yang biasanya tegas dan tidak pernah mau menerima apapun dari orang lain, bahkan barang-barang branded sekalipun, kini justru menggenggam kotak susu cokelat yang tidak seberapa harganya dari Andra. Bianca mencoba mengabaikan suasana hening yang aneh di dalam mobil, namun akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi berputar di dalam kepalanya. "Xel, kau melihat luka lebam di wajahnya, serta bajunya yang sedikit lembab tadi?" tanyanya dengan hati-hati, sekilas melirik Axela yang masih menatap kosong keluar jendela. "Apa mungkin dia korban bully di kampus atau tempat kerjanya? Tapi, kemungkinan besarnya pembullyan di kampus. Apa dia dibully karena kedatangan kita tadi, atau memang dia sudah lama menjadi korban bully?" Axela menghela napas kasar, merasakan amarah dan frustasi yang membara di dalam dirinya. "Bukan urusanku!" jawabnya tegas. Dia tetap menatap keluar jendela. *** Axela duduk di meja kerjanya, mencoba fokus pada tumpukan berkas di hadapannya. Namun, pikirannya terus melayang, terbayang-bayang oleh ucapan Bianca di mobil tadi. "Apa benar calon suamiku adalah korban bully di kampus milik Kakek? Apakah luka-luka di wajahnya dan baju lembabnya akibat dari perlakuan buruk mahasiswa karena kedatanganku dan Bianca? Atau dia sudah lama menjadi sasaran kekejaman karena kekurangannya?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, membuatnya semakin gelisah. Ada sesuatu dalam tatapan Andra yang terluka yang menyentuh sisi lembut dalam dirinya. Dia tidak bisa mengabaikan perasaan ingin tahu yang semakin menguat tentang latar belakang dan kehidupan sehari-hari calon suaminya yang bisu itu. Axela meraih ponselnya, jari-jarinya bergetar saat dia mencari kontak bodyguard kepercayaannya. Setelah beberapa dering, suara tegas di ujung sana menjawab panggilannya. "Ya, Miss Xela?" "Brian," Axela mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. " Aku butuh bantuanmu. Aku perlu tahu lebih banyak tentang calon suamiku, Andra. Segala sesuatu. Mulai dari latar belakangnya, kehidupan sehari-harinya, hingga kondisi di kampus. Aku ingin tahu apakah dia benar-benar menjadi korban bully." Brian terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara penuh kepastian. "Baik, Miss Xela. Saya akan segera mencari informasi yang Anda butuhkan. Akan saya laporkan secepat mungkin." Axela menutup telepon dan merasakan sedikit kelegaan. Setidaknya, langkah pertama sudah diambil. Dia bersandar di kursinya, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong. Perasaan campur aduk menghantam hatinya, kebingungan, empati, dan rasa tanggung jawab yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. "Aku harus tahu kebenarannya. Entah kenapa sorot matanya mampu meluluhkan hatiku. Di dalam matanya banyak tersimpan luka yang terlalu lama dipendam. "batinnya. ***Chup... Chup... Chup...Axela mencium bibirsuaminya yang masih terlelap. Ciuman lembut itu mengganggu tidur Andra, membuatnya perlahan terbangun. "Selamat pagi," sapa Axela dengan lembut, senyum menghiasi wajahnya. Tangannya masih memeluk tubuh suaminya dengan erat.Andra yang mendengar suara istrinya, wanita yang paling tidak ia suka, langsung ingin menjauh. Ia lupa tangannya tergips, dan gerakannya menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa. "Diamlah, jangan banyak gerak.Tanganmu bisa-bisa akan lama sembuhnya," Axela menegur dengan lembut, masih memeluk tubuh suaminya."Itu ada MacBook keluaran terbaru dan paling canggih. Kau bisa menggunakannya untuk kebutuhanmu, terutama untuk kuliahmu. MacBook itu milikmu, aku juga membeli semua aksesorisnya. Kau tinggal menggunakannya saja,' " jelas Axela, menghirup aroma tubuh suaminya, merasa nyaman dalam pelukannya.Andra membuang napas perlahan, merasa tidak suka dengan sikap bossy dan pemaksaan Axela. "Apa yang kau inginkan, nenek lampir?
"Serius kamu?" tanya Jiang yang sudah berdiri di sisi pintu masuk mobilnya dengan Andra di sampingnya.Andra menganggukkan kepala dan membalas dengan gerakan tangan, "Aku serius, Nona. Aku masih ada urusan di sekitar sini. Kamu kembalilah dengan selamat tanpa kekurangan apapun. Aku akan kembali dengan keadaan baik juga. Jangan khawatirkan pangeran tampanmu ini."Andra membuka pintu mobil untuk mempersilakan sahabatnya masuk. Jiang, dengan berat hati, masuk ke dalam mobil, tak tega berpisah dengan sahabatnya yang tangan tergips. "Aku temani ya," tawar Jiang, tak sanggup meninggalkan Andra sendirian.Andra menggelengkan kepala sambil memasang seat belt untuk Jiang. Saat itu, Jiang menahan sekuat tenaga agar Andra tidak bisa mendengar suara detak jantungnya yang berdebar kencang. Bagaimana tidak, posisi mereka sangat dekat, dan Jiang bisa menghirup aroma tubuh sahabatnya.Andra , dengan tenang, gerakan tangan, "Pulang sekarang. Eommamu sudah menunggu di rumah. Dia tidak sabar untuk me
Pagi hari jam 6, Axela terbangun lebih dulu dari suaminya. Senyum hangat menghiasi wajahnya saat melihat mereka berdua tidur berpelukan. Lebih tepatnya, suaminya yang memeluk tubuhnya erat, menyembunyikan wajahnya di dada Axela . Dengan lembut, Axela mencium kening suaminya yang kini tidak lagi terasa panas. "Syukurlah,demamnya sudah reda," batinnya lega. Tangannya mengusap lembut rambut suaminya. "Kau terlihat begitu menggemaskan saat sedang tidur," bisiknya pelan, tidak ingin mengganggu tidurnya.Setelah beberapa saat menikmati momen tersebut, Axela tahu dia harus bersiap-siap untuk bekerja. Dengan hati-hati, dia melepaskan pelukan Andra dan menggantinya dengan guling sebagai pengganti dirinya. Dia beranjak dari tempat tidur,berusaha sepelan mungkin agar tidak membangunkan suaminya.Sebelum masuk kamar mandi, Axela lebih dulu memesan ponsel terbaru untuk suaminya. Dia tahu, ponsel Andra mati total karena terkena hujan semalam. Setelah memesan dan menyelesaikan pembayaran, Axela
Andra keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk melilit di pinggangnya. Axela yang sedang bermain ponsel segera menoleh dan berkata, "Kemari, aku bantu pakai baju dan mengeringkan rambut," suaranya lembut. Ia menaruh ponselnya di atas tempat tidur dan mengambil celana dalam suaminya untuk dipakaikan lebih dulu.Andra menghela napas dan melangkah menuju istrinya." Jangan malu, kita sudah berbuat lebih dari sekadar melihat satu sama lain," tangannya perlahan membuka lilitan handuk dan terpampang jelas benda pusakan suaminya yang memberikan dia kenikmatan. Dengan jahilnya, dia menyentuh itu dengan gerakan pelan dan berkata, "Kamu sangat imut jika sedang tidur seperti ini, tapi sangat buas jika sudah beraksi," godanya.Andra menjauhkan diri dari Axela, merasa tidak nyaman dengan gejolak yang timbul dalam dirinya. Axela tertawa kecil melihat reaksinya. " Hahaha..., takut kembali berbuat lebih?" Dia memakaikan celana dalam pada suaminya, diikuti celana dasar hitam yang sudah i
Waktu terus berjalan, tidak terasa sudah masuk jam makan siang. Perlahan, Andra dan Axela mulai membuka mata bersamaan. Axela bersikap biasa saja sedangkan Andra terlihat sangat syok, dia melepaskan pelukannya dari tubuh telanjang Axela . Mereka sama-sama telanjang di bawah selimut yang menutupi lekuk tubuh mereka.Axela tersenyum sinis, "Kenapa, terkejut dengan apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara serak karena baru bangun tidur.Andra mengabaikan perkataan Axela, dia melihat ke dalam selimut dan matanya membulat sempurna saat menyadari mereka berdua telanjang. Tangan Axela mengelus dada Andra . "Jangan berpura-pura polos. Kita baru saja melakukannya lagi," katanya dengan nada menggoda.Spontan Andra menyingkirkan tangan Axela dari tubuhnya. Axela keluar dari dalam selimut dengan menahan rasa perih di bagian bawahnya, mengabaikan tatapan Andra yang menatap tubuh telanjangnya. Axela dengan santainya mulai mengenakan kembali pakaiannya. "Bersiaplah, malam ini kau akan tingga
21 +++Bianca tiba di perusahaan dengan langkah cepat, memasuki lift dan menuju lantai di mana ruangan CEO berada. Pikirannya terus melayang ke pertanyaan yang menghantuinya, "Kenapa Axela memberikan kartu ATM itu langsung pada Andra ?" Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya tanpa henti. Saat pintu lift terbukadengan bunyi ding, Bianca segera keluar dan berjalan cepat menuju ruang kerja Axela . Ketika dia membuka pintu, ruangan itu kosong. Axela tidak ada di sana. "Ke mana dia?" gumam Bianca, merasa cemas dan bingung. Dia masuk lebih dalam ke ruangan, mencari sahabatnya di kamar yang ada di dalam ruang kerja itu, tapi Axela juga tidak ada di sana. Bianca segera mengambil telepon dan menelepon pihak lobi untuk menanyakan keberadaan Axela . Bianca : Ke mana perginya Miss Xela?. Karyawati: Miss Xela keluar dengan terburu-buru dua puluh menit lalu, Miss. Miss Xela tidak memberitahu ingin pergi ke mana. Bianca memutuskan panggilan telepon dan meraih ponselnya dari dalam tas,