Share

Chapter 2

5 bulan kemudian…

Tak terasa sudah selama itu berlalu. Hari dimana ada luka yang timbul karena cinta. Dan selama itu juga Matthew berangsur-angsur menajalani kehidupan seperti biasa. Sejak saat itu ia tak mencoba menghubungi Fleur lagi dan menghapus kontak Fleur seminggu kemudian.

Sebulan awal ia masih terasa bagaikan orang mati namun terlihat hidup. Entahlah apa maksudnya yang jelas ia benar-benar mengenaskan. Sampai Carl kembali menjadi ibu bagai Matthew selama sebulan penuh. Datang pagi buta, membersihkan apartement Matthew, menyiapkan sarapan, ke kampus, kembali ke apartement saat siang untuk memberi Matthew makan siang, kembali lagi ke kampus, lalu kembali lagi ke aparement saat malam untuk memberikan makan malam untuk Matthew dan terakhir akan pulang saat Matthew tertidur pulas.

Hey, ayolah, bukankah mereka terlihat seperti pasangan – oh sudah cukup itu mengerikan.

Jangan tanya bagaimana dengan tugas kampus Matthew. Yap, tentusaja, semua akan beres saat seorang pria bernama Carl Hence masuk kedalam hidupmu. Sungguh sangat beruntung!

Kacamata antiradiasi melekat dan menggantung sempurna di hidung mancung Matthew. Ia tengah berkutat serius dengan laptopnya sedari tadi. Tangannya menari lancar di atas keyboard dan matanya meneliti dengan serius apa yang tengah terpampang di layar laptopnya tersebut.

Butuh waktu yang sangat lama untuk akhirnya ia menyelesaikan laporannya, padahal ia sudah mulai mengerjakannya 4 hari yang lalu dan baru selesai sekarang.

Ia melepaskan kacamatanya dan melakukan sedikit peregangan untuk merilekskan otot-otot badannya yang ikut kaku. Matthew kemudian mengambil kopi yang ia pesan beberapa jam yang lalu saat akan mulai mengerjakan tugas. “Sudah dingin” ucapnya setelah meneguk kopinya.

Matthew lalu melirik ponselnya untuk mengecek jam.

03.00 pagi.

Tak terasa hari sudah berganti. Hari ini juga merupakan deadline untuk tugas laporannya. Ia kembali menatap layar laptopnya, mengarahkan kursornya dan meng-klik sesuatu disana dan mengirimkan laporan miliknya. Selesai.

Dirasa semua sudah beres, ia berpindah dari tempat duduknya menuju ke kamarnya. Kelas hari ini hanya ada disiang hari, sangat cukup untuk ia beristirahat sejenak. Hah, sungguh, kuliah di jurusan kedokteran begitu melelahkan dan juga menyenangkan.

(.)

“Bagaimana kuliahmu?” suara wanita paruh baya itu terdengar dalam panggilan yang tengah dalam mode loudspeaker. Aksen british yang begitu kental dalam bahasa koreanya

“Ya seperti biasa. Aku tengah sibuk dengan kelulusanku sebelum koas”

Seperti biasa, kebiasaan rutin sang ibu untuk menelpon dan menanyakan kabar anaknya seperti yang tengah di lakukan Ny. Dwyne Flint.

“Jangan sampai lupa untuk makan, ibu tak mau kau menjadi mayat hidup seperti tempo hari.”

Terkekeh. Matthew ingat ketika ia dalam mode suram akibat patah hati. Ia sampai tak menjawab panggilan dari ibunya selama 2 minggu dan baru akan ia hubungi balik di minggu selanjutnya. Ibu mana yang tak khawatir jika anaknya tiba-tiba menghilang tak bisa di hubungi dalam 2 minggu, lalu tiba-tiba sang anak kembali menghubunginya dengan keadaan kehilangan banyak berat badan. Mengingat itu membuat Dwyne ingin segera menyusul anaknya dan menampar gadis yang menyakiti sang buah hati.

Cukup lama ibu dan anak itu bercengkrama melalu panggilan telepon untuk melepas rindu, lalu kemudian sang ibu izin untuk mengakhiri panggilan di karenakan ada tamu yang datang ke butik.

Setelah panggilan di akhiri, Matthew kembali berkutat dengan laptopnya untuk menyelesaikan skripsinya. Setelah skripsi ini, ia akan wisuda untuk gelar S1 nya, lalu di lanjutkan dengan koas semester depannya. Cukup rumit mendapat gelar dokter, namun pasti selalu saja ada hal yang menyenangkan terjadi dalam dunia kedokteran.

(.)

Gadis dengan raut wajah Asia itu menatap pantulan dirinya di cermin besar yang tergantung dekat meja riasnya. Ia sibuk membalikkan tubuh kecilnya ke kann dan ke kiri guna meneliti tak ada yang kurang pada dress berwarna merah jambu hasil jahitannya sendiri.

Sempurna.pikirnya sambil merekahkan senyum manisnya. Sangat manis.

Ia lalu beralih ke meja riasnya. Mencermati jenis make up apa saja yang ia punya selain lipstick dan bedak pemberian Madam Altha untuknya.

“Nelle..”

Wanita berbadan sedikit gemuk dengan pakaian birawatinya tengah berdiri di ambang pintu kamar yang di biarkan terbuka.

“Madam..” sahut gadis itu.

“Wah, biar ku lihat, kau memakai baju baru?”

Pertanyaan itu sontak membuat gadis itu tersenyum malu dan mengangguk pelan. “Kau menjahitnya lagi?” tanya lagi Madam Altha yang dijawab oleh anggukan oleh gadis itu.

Senyum bangga terukir di wajah Madam Altha. Lynelle Chloe, benar-benar anak yang mandiri. Kebanyakan dress miliknya merupakan hasil dari jahitannya sendiri, sangat pandai. Tak hanya menjahit miliknya, beberapa anak-anak juga ibu-ibu di desa ini meminta Lynelle untuk membuatkan mereka pakaian dan hal itu dengan senang hati di iyakan oleh Lynelle.

“Madam, aku tak punya riasan lain selain bedak dan lipstick yang Madam berikan seminggu kemarin” ucapnya Nelle dengan sedikit semberut. Wanita berusia 36 tahun itu menghampiri Lynelle dan mengelus rambut kecoklatan miliknya. “Tak apa, hanya berdandan seadanya kau tetap menawan.”

Ia kemudian memutar badan Lyelle yang tadinya membelakangi meja rias nya menjadi menghadap ke meja rias yang juga memiliki cermin itu. Madam Altha mengambil sisir dan mulai menyisir rambut panjang Lynelle. “Tak perlu berias yang berlebihan, kita ke kota hanya untuk menghadiri acara gereja. Lagipula kau sudah sangat menawan dengan dress cantikmu ini”

“Bukankah orang-orang di kota akan berias ketika mereka menghadiri acara?” ucap Lynelle sambil menatap Madam Altha dari cermin meja riasnya. “Tidak juga..” balas Madam Altha.

“Selesai.” Madam Altha selesai mengikat model kepang rambut panjang Lynelle. Ia kemudian menatap pantulan Lynelle dari cermin, memegang pudak sempit gadis itu dan sedikit membukung untuk mensejajarkan kepalanya dengan Lynelle dari samping.

“Tuhan tak melihat umatnya berdasarkan riasan mereka sayang.” Jeda sesaat.

“Tak masalah jika kau seadanya, yang terpenting adalah..” Madam Altha menggemam tangan mungil Lynelle dan mengarahkannya untuk memegang dada gadis itu lalu berkata “hatimu..”

“Selama hatimu benar-benar tulus, Tuhan pasti tahu kau yang paling terindah di antara semuannya.” Suara lembut dermawan milik Madam Altha membuat Lynelle tak jadi berkecil hati. Gadis itu tersenyum dan membalikkan badanya memeluk Madam Altha dengan sayang.

Sungguh, ia sangat menyayangi Madam Atlha dan tak mau kehilangannya.

“Marilah. Tuan Josep sudah siap di depan. Kita akan terlambat jika tak bergegas.”

“Ah, baiklah. Aku mengambil tas kecilku dulu.”

Lynelle bergegas mengambil tas rajut selempang berukuran sedang dengan warna yang senada dengan dress miliknya. Memasukkan barang penting dan sebuak buku catatan kecil dan tan tak lupa dengan bucket hat berwarna abu-abu.

“Nelle, jangan lupa pakai coat dan dan sarung tanganmu. Cuaca sedang hujan akhir-akhir ini” ucap Madam Altha yang kini sudah berada di runag tengah.”

“Iya madam”

“Oh dan jangan lupa pakai boot mu dan kaos kaki.”

Huh, merepotkan.

Menggurut dalam hati, itu yang dirasakan Lynelle. Sama saja ia tak bisa memperlihatkan Dress miliknya jika tertutup oleh coat yang sedikit kebesaran untuknya. “Saja bohong..” gerutuhnya pelan.

Ia kemudian bergegas untuk keluar rumah karena Madam Altha sudah memanggilnya berkali-kali. Secepatnya ia keluar rumah, tak lupa menguncinya dan masuk kedalam mobil lalu berangkat ke kota.

Ini bukan kali pertamanya ke kota. Namun tetap saja, ia merasa sedikit gugup tiap menuju ke kota.

(.)

“Matthew Flint.” Salah seorang professor memanggil Matthew yang baru saja keluar dari perpusatakaan kampus.

“Ya Prof?” balasnya setelah menghampiri sang dosen yang cukup dekat dengannya.

“Kau ada urusan setelah ini?” Sedikit menimbang terlebih dahulu, memikirkan apa saja yang akan ia lakukan setelah ini. Mungkin hanya perlu melanjutkan skripsi nya yang sedikit lagi akan beres. Mungkin bisa di undur sedikit  pikirnya. “Tak ada. Ada apa Prof?”

“Ah, aku ada acara gereja sore ini. Bisa kah kau menemaniku ke London? Aku tak dapat menyetir terlalu jauh, hahahaha” ya cukup wajar, mengingat sang professor telah berusia 63 tahun,cukup melelahkan jika pria tua ini harus menyetir ke London yang menempuh sekitar sejam lebih.

“Oh tentu saja. Aku akan bersiap-siap dulu, lalu akan ku jemput di rumah Professor, tenang saja”

Sangat baik dan sopan. Professor itu memberi anggukan dan menepuk pundak Matthew sebelum akhirnya beranjak pergi dari sana.

Selanjutnya Matthew bergegas kembali ke apartement untuk membersihkan diri sebelum berangkat ke London.

(.)

Westminster Catherdal merupakan salah satu gereja yang cukup terkenal di London tepatnya di kawasan Victoria St. Sore itu keadaan gereja cukup ramai dan kebanyakan dari mereka yang menghadiri adalah yang menggunakan kain penutup di kepala mereka dengan ukuran yang sedang hingga besar sampai menutup sebagian badan mereka. Itu untuk perempuan dan untuk lelaki ada beberapa dari mereka yang menggunakan pakaian biasa, ada juga yang menggunakan dress panjang hingga mata kaki.

Madam Altha juga Lynelle sudah tiba sekitar 30 menit yang lalu. Kini mereka tengah membantu birawati lain untuk menyiapkan makanan juga di bantu oleh beberapa perempuan dengan kain yang menutupi kepala mereka.

Ini merupakan pemandangan baru bagi Lynelle. Ia jadi selalu mencuri-curi pandang untuk memperhatikan para gadis-gadis itu yang mungkin lebih tua dari pada dirinya?

“Ah biar ku bantu.” Kata salah satu dari mereka. Lynelle baru saja akan mengangkat kue-kue dalam wadah berukuran besar yang nantinya akan di bagi kedalam wadah yang lebih kecil untuk di tata lalu di sajikan.

“Aku baru pertama kali melihatmu, siapa namamu?” tanya gadis itu sambil membatu Lynelle.

“Ah,a-aku Lynelle. Lynelle Chloe. Panggil Nelle saja”

“Salam kenal. Aku Almeera” gadis bernama Almeera itu mengulurkan tangannya yang di sambut dan di jabat oleh Lynelle.

“Jadi, biar ku tanya lagi, Ini pertama kalinya kau kesini?”Almeera kembali mengulang pertanyaannya untuk Lynelle. Gadis berwajah Arab itu senantiasa memberikan senyumnya kepada Lynelle yang membuat Nelle merasa tak terlalu canggung.

“Eum ya, tapi ini bukan pertama kalinya aku ke kota. Namun tetap saja, eum aku sedikit,- gugup?” ucapnya lalu terkekeh.

“Ah, biar ku beri tahu, ini kegiatan yang biasa di lakukan gereja saat umat muslim sepertiku tengah melakukan puasa. Gereja akan selalu mengadakan bulan puasa setiap bulannya.” Jelas Almeera

Ah seperti itu. Ucapnya dalam hati sembari mengangguk.

Hal seperti ini bukan hanya di lakukan di Wistminster Catherdal. Namun Gereja St. James juga melakukan kegiatan serupa. Tak hanya di hadiri kaum muslim, beberapa pemeluk agama lain juga datang untuk ikut sekaligus merasakan kebersamaan toleransi yang luar biasa ini.

Begitulah kegiatan para perempuan di salah satu bilik dalam gereja.

Sementara itu. Matthew dan juga sang professor baru tiba di lokasi yang sama. Sang professor keluar terlebih dahulu kemudian diikuti oleh Matthew dibelakangnya. “Hey Simon!” seorang pastor yang tadinya tengah bercengkrama dengan sekumpulan pria di sana. Ia langsung menyapa begitu menyadari kedatangan sang professor bersama dengan Matthew.

“Haha, Philip.” Sapaan khas pria tua. Mereka berpelukan sejenak lalu kembali saling menanyakan kabar masing-masing.

“Lalu, siapa pria muda yang tampan ini Simon?”

Tentu saja pertanyaan itu di tujukan oleh sosok pria bernama Matthew Flint. “Oh dia salah satu mahasiswa terbaikku. Hahaha” mungkin terdengar berlebihan, namun ya, begitu adanya.

“Oh, Philip. Kenalkan, ini Matthew Flint, salah satu mahasiswa terbaikku. Dan Matthew, ini Pastor Philip kerabatku sejak masa sekolah” jelas professor Simon.

“Halo anak muda. Aku dulu setampan dirimu ketika masih muda. Benarkan Simon?”

Lolucon khas orangtua yang membuat Matthew terkekeh. Itu sedikit agak lucu namun ia juga sedikit tersipu karena di katakan tampan. “Ah terima kasih pastor”

Para tamu sore itu tengah sibuk berbicara dengan rekan atau kerabat mereka masing-masing. Saling menceriakan peristiwa terkini, saling bertukar pengalaman dan lainnya.

Matthew tengah menyimak bagaimana pria dengan usia yang berbeda-beda di hadapannya ini saling bertukar opini tentang topic pembahasan mereka. Kemudian secara tak sadar berganti menjadi lolucon yang membuatnya ikut tertawa mendengar kisah itu.

Tak terasa waktupun berlalu dengan cepat. Sudah pukul 05.30 sore, yang berarti sekitar 30 menit lagi acara akan di mulai.

Mereka yang berada di luar gereja, mulai memasuki gerja dan duduk di kursi yang di sediakan. Lalu para perempuan yang bertugas untuk menyiapkan makanan tadi, mulai keluar bersama dengan makanan yang akan di hidangkan.

Tepat pukul 06.05, umat muslim mulai melakukan buka puasa yang di ikuti oleh hadirin lainnya dengan menyantap makanan yang tersedia. Suasana begitu harmonis yang damai. Melihat begitu tingginya toleransi ini, memberi kehangatan tersendiri bagi mereka yang hadir di sana.

Hari sudah gelap bertepatan dengan acara yang juga sudah selesai. Namun beberapa dari mereka masih tinggal untuk membantu membereskan gereja atau bahkan kembali melanjutkan obrolan yang tertunda.

Matthew memilih untuk duduk di salah satu kursi panjang di bawah pohon dekat gereja tersebut sementara professor Simon masih melanjutkan obrolan dengan kerabatnya.

“Aww.. sstt..”

Suara meringis itu terdengan oleh Matthew, ia pun berbalik ke sumber suara dan mendapatkan seorang gadis tengah menunduk sambil menatap telapak tangan kirinya.

Apakah dia terluka?

Gadis itu kembali meringis perih yang membuat Matthew memberanikan diri menyapanya. “Hey dik, kau tak apa?”

Gadis dengan dress berwarna merah jambu itu berbalik dan menatap ke arah Matthew yang duduk di belakangnya yang terhalangi pohon dengan mata berkaca-kaca. Terlihat seperti menahan sakit.

“A-aku terjatuh saat membantu Madam membereskan gereja di dalam” ucapnya sambil terisak. Matthew kemudian mendekati sang gadis, “Biar kulihat” ucapnya. Namun gadis itu terlihat sedikit ketakutan. Matthew sedikit memaklumi itu, ia termasuk orang asing untuk si gadis dengan dress pink ini.

“Tak perlu takut, aku calon dokter” ucapnya.

Sedikit percaya, gadis itu memperlihatkan telapak tangannya yang tergores. Matthew juga melihat lutut sang gadis ikut terluka juga. “Tunggu ya, aku akan mengambil obat di mobil” kalimat dari Matthew mendapat anggukan singkat dari gadis itu.

Ia lalu berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana dan kembali dengan sebuah kotak obat yang sengaja ia simpan di dalam mobilnya untuk berjaga-jaga. Matthew berlutut di hadapan gadis tersebut, meminta izin terlebih dahulu untuk mengangkat sedikit dressnya agar tidak menutupi luka di lututnya.

Ia membersihkan luka-luka tersebut dengan alcohol yang membuat si gadis kembali meringis dan menangis menahan perih. Hah, ia tak melakukan hal yang salah tapi Matthew merasa bersalah karena membuat gadis kecil itu menangis menahan perih.

Setelah di rasa cukup, ia mengolehkan obat merah disana, lalu meniupnya. “Sudah.” Ucapnya ketika sudah selelsai mengobati luka si gadis.

“Hey tak usah menangis. Lukanya biarkan saja sampai mengering. Jangan di kelupas, karena itu akan membuatnya berbekas dan agak susah hilangnya” pintah Matthew yang lagi-lagi hanya di jawab dengan anggukan oleh sang gadis.

Menggemaskan.

“Terima kasih, kak” ucap gadis itu.

Entahlah, hanya dengar suara lembut sang gadis, Matthew merasa sedikit salah tingkah? Ia berdehem lalu menjawab “sama-sama”

Hening kembali menyelimuti mereka.

Tak ada satupun yang berani membuka suara sampai sang gadis kembali berkata “Lynelle Chloe. Panggil saja Nelle” ucapnya sambil mengulurkan tangannya yang tak terluka. Matthew terlebih dahulu menatap tangan kurus kecil milik Lynelle sebelum menjabat uluran tangan gadis itu “Matthew Flint”

Tangannya sangat lembut. Ucap Matthew dalam hati.

Aroma manis juga menyeruak dari tubuh Lynelle. Begitu memabukkan dan seperti tak asing?. Oh astaga ada apa dengan Matthew? Ia kembali berdehem untuk tak membuat canggung suasanan. Atau hanya dirinya saja yang merasa canggung?

Setelah perkenalan singkat itu, mereka kembali membisu. Matthew yang mendadak merasa tak karuan pun memilih diam karena sibuk bertanya pada diri sendiri, ada apa denganku?

“Kak aku masuk dulu, mungkin Madam tengah mencariku” ucap Lynelle secara tiba-tiba yang membuat Matthew sedikit tersentak karenanya. “O-oh, ya. T-tentu saja” ucapnya terbata-bata. Mengapa juga aku gugup?ia kembali merutuki dirinya yang mendadak aneh ini.

Lynelle pun beranjak pergi dan masuk kedalam gereja. Matthew merasa sedikit lega, entah karena apa. Aroma Lynelle pun masih berbekas padahal tak ada seorangpun disana.

Pertemuan pertama yang gila. Mana mungkin secepat itu menyukai seseorang yang baru? Ini bahkan belum lama sejak ia putus dengan Fleur. Ada-ada saja.

“Matthew, ayo kita pulang”

Entah sejak kapan Professor Simon sudah berada di samping mobilnya. Namun itu cukup membuat Matthew untuk menyadarkan dirinya yang sungguh sangat aneh. Faktor ditinggalkan pasangan dengan mengenaskan mungkin?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status