Share

10. Kembali ke Rumah Lama

( PoV Asmara )

"Hai!" Aku rebahkan tubuhku di samping Albert yang sedang asyik mendengarkan musik di atas tempat tidurnya. Aku datang untuk menemui Tante Astia karena aku merasa kesepian setelah Aksara pergi begitu saja dan tak ada kabar. Setidaknya di rumah ini, aku tak merasa sendiri. Namun sepertinya Albert tak menyadari kehadiranku. Buktinya dia sama sekali tidak keluar kamar, padahal aku sudah sekitar tiga puluh menit ngobrol bersama Tante Astia di ruang keluarga.

"Mara? Kapan dateng?" Albert duduk dan langsung melepas earphonenya. Dia tampak terkejut melihatku yang tiba-tiba berada di sampingnya. Ku amati ekspresi wajah Albert, dia tampak kembali seperti semula. Dia tak tampak murung seperti saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Berarti dia sudah tak marah denganku.

"Udah setengah jam aku ngobrol sama Tante Astia. Kamu ngapain sih, sampai nggak tahu aku dateng?" Aku bangkit dan duduk di samping Albert. Aku tersenyum. Bahagia rasanya melihat Albert sudah tak menekuk wajahnya. Dia terlihat begitu tampan. Ya, setidaknya wajah tampannya menjadi hiburan bagiku, setelah akhir-akhir ini Aksara mencampakanku. Tak datang kepadaku dalam waktu yang lama. Dan menemuiku sebentar, lalu pergi lagi. Itupun jika aku menemuinya di kantor, merengek memintanya datang. Dan setelah pergi, dia seperti menghilang. Tak bisa di hubungi, dan selalu tak ada kabar. Di kantor pun juga selalu absen. Entah kemana dia. Mungkin bertemu dengan wanita lain.

"Maaf Ra. Lagi asyik nih." Albert mengelus rambutku dengan lembut. Aku menikmatinya. Ya! Menikmati belaian lembut kakak angkatku.

Albert berdiri. Meletakkan ponsel dan earphonenya di atas meja belajarnya, kemudian kembali duduk di sampingku.

"Udah nggak cemberut lagi? Kenapa sih kemaren?" Ku letakkan kepalaku di atas bahunya. Ah, lama rasanya tak seperti ini. Selama ini aku memang menahan diriku untuk tak dekat dengannya karena aku menuruti permintaan Aksara. Aku juga sempat merasa risih dan merasa tak nyaman setelah Albert mengakui perasaannya kepadaku. Namun, entah karena apa aku tiba-tiba berubah. Bukan berubah menjadi mencintainya, namun berubah menjadi nyaman bersamanya, seperti saat dulu ketika aku masih tinggal bersamanya. Mungkin karena aku akhir-akhir ini merasa sendiri. Merasa Aksara tak punya waktu bersamaku. Merasa Aksara mencampakanku begitu saja. Merasa Aksara telah berubah dan tak seperti dulu. Sehingga aku butuh seseorang untuk menjadi teman dalam sepiku. Egois memang. Tapi, entahlah. Aku membutuhkannya.

"Nggak kenapa-kenapa kok. Udah lupain aja." Dia tersenyum manis.

"Aku nginep sini ya." Ku peluk lengan atas Albert. Aku rindu sekali kepadanya. Rindu sekali.

"Tumben? Nggak di marahin sama Om?" Dasar! Om Aksara maksudnya. Aku paham dan aku tak marah. Aksara memang Om-Om. Usianya saja sudah tiga puluh lima tahun. Sedangkan aku dan Albert, baru tujuh belas tahun. Jadi memang seharusnya aku memanggil Aksara dengan panggilan Om. Bukan malah memacarinya. Dan sekarang aku baru tahu rasa. Pacaran dengan Om-Om itu nggak mudah. Harus banyak-banyak bersabar. Apalagi Omnya ganteng dan sekaya Aksara.

"Om nya lagi nyebelin." Aku cemberut.

"Kenapa?"

"Udah nggak usah bahas dia ah. Aku pengen seneng-seneng sama Kakak terbaik aku di sini." Aku semakin erat memeluknya. Tak mau melepasnya. Mumpung ada kesempatan. Mumpung Aksara lagi menghilang.

"Jalan yuk. Masih jam delapan nih."

"Kemana?"

"Udah, ikut aja. Yuk!" Albert menarik tanganku dan mengajakku untuk keluar. Ku tatap wajah Albert yang berseri-seri. Dia tampak bahagia. Aku tahu dia menganggap dan melihatku sebagai seorang wanita, bukan sebagai seorang adik angkatnya. Tak apa. Apapun aku di matanya, ketika dia tak membenciku, itu sudah cukup buatku.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status