( PoV Albert )"Kamu nggak ngejar Amel, Al?" Aku menatap Asmara tak berkedip untuk memastikan apakah dia benar Asmara atau bukan. Ku tatap wajahnya yang sayu, wajah yang selama ini selalu ku lihat di wajah Asmara karena memang kondisinya yang lemah sedari kecil, yang tak ku temukan dari wajah Asmara yang ku temui saat dia hilang ingatan tempo lalu."Nggak. Ngapain?" Aku tersenyum menatapnya. Melihat wajah ayunya, membuat jantungku terasa tak normal. Berdetak begitu cepat. Aku bahkan hampir lupa dengan Amel yang baru saja mengamuk karena cemburu melihat Asmara sedang berada di rumahku."Ya, kasihan aja sih. Aku nggak enak juga. Kalian bertengkar kan gara-gara aku tadi kalau aku nggak salah denger." Asmara menunduk. Menunjukkan kalau dia memang berada dalam penyesalan saat ini. Membuatku tak rela jika wajah wanita yang ku cintai itu menjadi murung karena sikap Amel yang kekanak-kanakan."Dih, apaan sih. Nggak, bukan gara-gara kamu. Amelnya aja yang kayak anak kecil. Cemburu nggak jelas.
( PoV Asmara )Kulihat Albert yang tampak kelelahan, tertidur di tepi tempat tidurku. Wajahnya yang tampan terlihat sayu karena terlalu banyak terjaga untuk menjagaku. Aku merasa begitu bersalah karenanya. Bagaimana ada seorang lelaki yang sebaik dirinya. Mencintai seorang wanita yang tak mencintainya dengan begitu besar. Wanita penyakitan seperti diriku.Ku belai lembut wajahnya. Ku telusuri setiap inci dari lekukan di wajah tampan itu untuk mencari kekurangannya. Kekurangan yang membuatku tak mencintainya. Namun semakin aku mencarinya, aku semakin tak mendapatkannya. Bahkan semakin aku melihatnya, wajahnya terlihat semakin tampan. Lantas, apa yang dalah denganku? Mengapa aku dengan sombongnya mengacuhkan seseorang yang tanpa cela ini? Mengapa aku tak bisa sedikitpun memberikan hatiku untuk lelaki yang sudah memberikan segalanya untukku ini? Mengapa aku tak bisa sedikit saja melihat cinta tulus dari lelaki yang sudah banyak berkorban untukku ini?Ah, rasanya aku benar-benar sudah gil
( PoV Asmara )"Waktu itu aku nyari-nyari kamu Ra. Aku telusuri seluruh jalanan kayak orang gila biar bisa nemuin kamu." Albert menatapku. Tatapannya sayu. Dia sepertinya masih memendam perasaan kecewa kepadaku, dengan kepergianku waktu itu."Maafin aku, aku udah banyak salah sama kamu Al." Aku menunduk. Aku tak berani menatap matanya. Semakin aku menatapnya, semakin aku merasa tak pantas untuk mendapatkan maaf darinya."Aku nggak apa-apa Ra. Mungkin kamu takut sama aku malam itu. Mungkin kamu nggak mau deket lagi sama aku yang saat itu sedang kumat. Jadi kamu memutuskan untuk pergi. Dan aku ngerti." Albert semakin erat menggenggam tanganku. Sudah ku duga, dia tak akan marah kepadaku, sebesar apapun kesalahanku. Dia akan selalu memaafkanku meskipun aku telah membuatnya terluka. Sikapnya itulah yang membuatku semakin menyesal karena tak bisa mencintainya."Kamu udah banyak merawat aku Al, jadi aku nggak akan mungkin pergi hanya karena penyakit kamu itu." Ya. Malam itu aku mengetahui sa
( PoV Asmara )"Ra, lain kali jangan ceroboh lagi, Oke?" Aku menoleh ke arah lelaki yang saat ini tiba-tiba sudah duduk di hadapanku. Matanya yang indah sangat jelas mengatakan kepadaku kalau dia sedang memberiku peringatan akan satu hal. Sebentar aku menatapnya. Kemudian ku lanjutkan kegiatanku yang tadi sebelum dia datang, memakan cilok depan sekolah yang sudah terkenal mantap cita rasanya. Cilok jadul yang masih khas rasanya."Apa sih Al? Dateng-dateng ngatain orang ceroboh." Aku tak bersemangat. Aku memang sedang menghindar dari lelaki ini. Aku tak mau segalanya sia-sia karenanya. Aku memang tak pernah membencinya. Aku bahkan sempat mengaguminya. Namun aku tak boleh terlihat akrab dengannya. Lebih tepatnya tak boleh terlihat akrab lagi dengannya. Meskipun rasanya memang sedikit aneh jika aku harus menjauhinya."Aku lihat kamu kemaren sama Pak Aksara di mall Ra. Awalnya sih kayak nggak yakin. Tapi kayaknya beneran deh itu kamu Ra. Emm, beneran kamu sama Pak Aksa pacaran Ra?" Hah? Ak
( PoV Asmara )"Nak Mara." Aku yang sedang fokus menatap anak-anak panti asuhan yang sedang begitu asyik menyantap puding jelly yang aku bawa, segera menoleh ke arah sumber suara."Iya Bu?" Aku tersenyum ke arah seseorang yang sedang berdiri di belakangku. Ibu Panti. Entah sudah berapa lama beliau berdiri di sana. Aku tak memperhatikannya."Pak Aksara ndak ikut?" Tanya beliau. Pertanyaan yang sebenarnya biasa saja bagi pasangan yang normal. Namun bagiku, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang membuatku sedikit merasa canggung kepada Beliau. Ku tatap Bu Panti sekejap. Sebelum akhirnya aku tersenyum kembali kepada beliau."Ada Buk, tuh, Aksara lagi nunggu di mobil. Dia lelah katanya Buk, jadi mau di mobil aja. Apa perlu aku panggil?" Ku tunjuk mobil sport berwarna hitam yang sedang terparkir di depan panti asuhan. Mobil itu memang sengaja aku pasang kaca yang gelap dan tak bisa di lihat siapapun dari luar. Biar tak ada yang tahu, aku sedang bersama dengan siapa. Yah, aku memang harus mera
( PoV Asmara )"Dingin banget. Ayo masuk." Aksara mengecup keningku sebelum akhirnya dia bangkit dan masuk ke dalam rumah. Malam ini hujan memang sangat deras. Seperti air yang di tumpahkan begitu saja dari atas langit dengan menggunakan selang raksasa. Hingga ketika mata ini melihat ke arah luar, kita tak bisa melihat apa-apa karena hujan yang memang sangat deras ini.Ku tatap Aksara yang berjalan masuk ke dalam rumah dengan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Dingin sekali memang. Aku yang memakai jaket tebal saja, hampir tak tahan di buatnya. Apalagi Aksara yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Dia pasti begitu kedinginan hingga memutuskan untuk masuk ke dalam rumah setelah menemaniku sekitar lima belas menit di teras rumah."Ayo cepetan. Nanti kamu sakit." Suaranya yang terdengar begitu indah di telingaku, kembali bergema dari dalam ruang tamuku yang besar. Aku tersenyum. Dia memang begitu memperhatikan kesehatanku.Akhir-akhir ini kondisi tubuhku memang begitu lema
( PoV Asmara )"Duh, kemana sih. Dari kemaren kenapa kayak menghindar sih." Aku menggerutu. Berkali-kali aku menelepon Aksara, namun sama sekali tak mendapat jawaban. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa ada yang aneh darinya. Mampir ke rumah hanya sebentar, dan buru-buru jika berbicara denganku di telepon. Bahkan dia juga sering mengabaikan teleponku. Gila memang."Ra, di cariin tuh, sama Mama." Albert menemuiku yang sedang sibuk menghubungi Aksara sambil menyantap bakso di kantin sekolah. Ku lihat dirinya yang juga membawa dan meletakkan bakso dan teh botol serta langsung duduk di hadapanku. Seketika langsung aku masukkan ponselku ke dalam sakuku. Bukan apa-apa, aku hanya tak enak saja jika membuat Albert merasa tak nyaman lagi."Iya. Aku sibuk banget sih Al memang. Belum sempet jenguk Tante Astia. Nanti deh kalau udah ada waktu, aku main ke rumah ya." Ku lanjutkan memakan bakso yang ada di hadapanku. Aku memang sangat lapar, karena dari tadi pagi belum sempat sarapan. Aku bangun
( PoV Asmara )"Ma, Mara datang Ma!" Albert berteriak ketika kami memasuki pintu rumahnya sepulang kami dari sekolah. Rumah model american house dengan dua lantai yang begitu besar. Rumah yang selama empat tahun belakangan ini aku tempati sebagai anak angkat dari Om Anggara dan Tante Astia. Ah. Rindu juga aku dengan rumah ini. "Ma!" Albert yang tak mendapat jawaban dari Tante Astia, meletakkan tas sekolahnya di sofa ruang keluarga, kemudian menaiki tangga, mencoba mencari tahu di mana Tante Astia berada. Aku menatap Albert yang sedikit berlari, seakan tak sabar ingin mempertemukan aku kembali dengan mama angkatku itu. Aku tersenyum kecil melihatnya. Ku edarkan pandanganku ke segala penjuru ruangan. Mencoba mencari kembali kenangan yang dulu begitu banyak aku kumpulkan, hingga akhirnya aku terpaksa harus meninggalkannya. Demi cinta. Entahlah. Entah mengapa akhirnya aku harus pergi. Padahal, tak sedikitpun aku tak merasa bahagia berada di rumah ini. Sebaliknya, aku layaknya seorang t