"Mas Huda, diminum dulu. Camilannya juga, Mas. Maaf seadanya," ucap Bu Sri begitu sopan. Dia menawariku teh yang hampir dingin dan pisang goreng.Aku pun menyeruput teh itu hingga beberapa teguk. Suasana masih cukup pagi, perumahan ini pun cukup ramai dengan suara anak-anak yang bermain di samping rumah. Kebetulan rumah Mbah Minah berdampingan dengan taman kecil."Semua masa lalu mertua dan istri saya sudah Mbah jelaskan. Saya ucapkan terima kasih, Mbah. Saat mendengar semua cerita ini, saya yakin Ningrum akan terluka, tapi setidaknya cerita kni akan membuat hidupnya jauh lebih tenang. Tak disesaki berbagai pertanyaan dan kebingungan. InsyaAllah lukanya tak akan lama. Saya yang akan berusaha membantu melupakan masa kelamnya."Mbah Minah manggut-manggut lalu menatapku beberapa saat."Mira anak yang shalehah. Mbah yakin, sepertinya Ningrum juga demikian. Sama-sama shalehah. Mbah lihat dari ketulusanmu, Nak. Harusnya Mbah yang bilang terima kasih karena kalian tak memperkarakan ini. Ngga
Mayangsari Zahrana. Dia nggak salah juga memperkenalkan dengan nama Sari, sebab itu memang bagian dari nama panjangnya.Namun sepertinya dia sengaja menggunakan itu untuk menyembunyikan jati dirinya. Mungkin dia mengerti cepat atau lambat aku akan mencari tahu soal ini.Mayang tersenyum tipis menatapku lalu melangkah pelan menuju teras. Tempat di mana aku berada."Hai, Mas. Dugaanku benar, kan? Kamu pasti di sini. Gimana? Sudah tahu semua tentang masa lalu ibu mertua dan istrimu?" tanya Mayang dengan nada mengejek. Entah apa maksudnya.Apa karena ibu Mira hanya sebagai istri kedua? Hingga Mayang bisa meremehkannya begitu saja? Padahal dia tak tahu bagaimana pengorbanan dan perjuangan ibu mertuaku itu, makanya terlihat begitu mengejek. "Aku sudah mendengar semua penjelasan Mbah Minah dan Pak Herman. Dan sejauh ini aku sangat bangga dengan segala pengorbanan ibu mertuaku, juga istriku. Memangnya kenapa, May? Ada yang salah dengan mereka hingga kamu seolah begitu menghina?" tanyaku dat
Masa lalu ibu Mira menjadi pelajaran yang cukup berharga buatku. Banyak hikmah yang dapat kuambil di dalamnya.Detik ini, kustel rekaman itu di atas meja. Seluruh keluarga berkumpul untuk mendengarkan semua penjelasan Mbah Minah. Tak ada yang bersikap biasa saat Mbah Minah mulai menjelaskan masa lalu keponakannya.Ibu dan Ningrum saling berpelukan. Mereka saling menguatkan. Sementara Mila dan Mbak Sinta menunduk dalam isak. Mereka kembali menyeka buliran kecil yang menetes di kedua pipinya."Ya Allah, Mas. Kasihan ibu." Lirih kudengar suara Ningrum lalu dia limbung begitu saja di pelukan ibu. Aku membopong Ningrum menuju kamar, sementara ibu berusaha mengusap kening Ningrum dengan minyak angin.Mbak Sinta pun membuatkan teh hangat untuk Ningrum. Aku cukup lega sekarang. Karena saudara-saudara Ningrum sepertinya semakin bertambah sayang.Mereka berusaha menghibur Ningrum dan memupuk hatinya agar tak selalu berkubang dalam duka.Ibu selalu mengingatkannya, apapun yang terjadi Ningrum te
Sebuah panggilan masuk. Om Burhan. Mungkinkah Mayang sudah menjelaskan semua masa lalu itu pada papanya?"Assalamu'alaikum, Huda. Gimana kabarnya?" suara Om Burhan terdengar serak. Tak seperti biasanya yang cukup keras dan tegas."Wa'alaikumsalam, Om. Alhamdulillah baik. Om sendiri apa kabar? Saya juga baru pulang dari Jakarta kemarin," balasku."Baik juga, Da. Mayang sudah cerita semuanya." Lirih kudengar jawaban dari Om Burhan. Dia tak lagi melanjutkan obrolan, mendadak diam dan hening sesaat."Om ....""Kita harus bertemu, Da. Firasat Om waktu itu ternyata benar. Entah mengapa saat kalian datang dua bulan lalu, ada perasaan berbeda saat menatap kedua mata Ningrum. Ada rasa aneh yang cukup sulit Om jelaskan. Om tak menyangka jika dia adalah Arum. Anak kandung Om sendiri," ucap Om Huda kemudian."Iya, Om. Kita memang harus ketemu. Walau bagaimanapun Ningrum dan Om ada hubungan darah. Kita selesaikan masalah ini baik-baik, tapi saya masih agak sibuk tiga atau empat bulan ke depan kare
"Mayang, kamu yang merencanakan kecelakaan Gina, kan?" ucap Mas Huda lagi dengan tatapan tajam.Mayang terlihat gelagapan dan salah tingkah. Tak hanya dia, tapi juga laki-laki di sampingnya yang sempat di penjara beberapa bulan itu.Dari penampilannya, sepertinya laki-laki itu bukan dari golongan menengah ke bawah. Penampilannya cukup rapi, kulit bersih terawat dan ponsel serta outfit yang dia pakai pun terlihat mahal.Pantas jika Mas Huda bilang pada ibu untuk tak perlu mempermasalahkan berapa bulan atau tahun hukuman penabrak Gina, sebab seringkali ketukan hukuman tak sesuai dengan kenyataan di lapangan.Entahlah, sering kali uang mengalahkan kebenaran yang ada. Orang bilang, hukum bisa dibeli. Selagi ada uang, tak perlu takut dengan bui. Tumpul ke atas dan tajam ke bawah sudah amat lumprah dan bukan hal yang perlu dirahasiakan lagi."Mayang!" Mas Huda sedikit membentak. Aku gegas memanggil anak-anak untuk keluar dari area bermain dan siap-siap pulang.Mas Huda meminta Mayang untuk
Hari ini, hari yang cukup bersejarah buatku. Hari dimana Mas Huda mempertemukanku kembali dengannya. Pertemuan pertama pasca kutahu tentang masa lalu ibuku.Muhammad Rizal Burhanudin. Laki-laki yang seharusnya kupanggil papa itu tersenyum tipis menatapku saat dia keluar dari mobilnya.Tak seperti saat pertama kali bertemu, Om Burhan memakai kursi roda sementara sekarang dia memakai kruknya.Mas Huda ikut membantu laki-laki lebih setengah abad itu untuk duduk di ruang tamu. Ibu pun mulai menanyakan kabar atau basa-basi lainnya, sementara Mbak Sinta dan Mila sibuk di dapur untuk membuatkan minum dan menyiapkan camilan."Ningrum apa kabar?" tanya laki-laki itu setelah ngobrol dengan ibu. Wajahnya begitu teduh dengan senyum tipis di bibirnya.Jika dilihat dari wajahnya memang terlihat sopan, kalem dan berwibawa. Namun tak tahu bagaimana dalamnya hati seseorang, karena toh ibuku dulu juga tak merasakan cinta yang adil darinya hingga aku terbuang dari dekapannya."Alhamdulillah baik, Om," b
Masalah demi masalah datang menghampiri, tapi ada saatnya mereka akan pergi. Begitu pula masa lalu yang menyakitkan hati, akan berganti dengan senyum dan tawa di masa kini.Sekian lama aku merenung, mengeja kembali apa yang telah terjadi selama ini. Perlahan mencoba mengikhlaskan meski terlalu sulit kulakukan.Rasanya masih terselip kecewa, sakit hati, terluka dan cemburu dalam dada. Semua perasaan sakit yang bertumpuk dan campur aduk.Tak mungkin bisa hilang sehari dua hari, tapi aku tetap berusaha untuk melupakan dan menggantinya dengan senyum.Tak mungkin juga terus menerus membayangkan dan meratapi masa lalu, karena saat ini ada orang-orang yang begitu mencintai dan membutuhkan cintaku.Orang-orang yang kuyakin Allah kirimkan untuk menggantikan mereka yang telah menyakiti. Tetap yakin bahwa semua ini adalah bagian dari qadarNya yang indah.Buktinya kini DIA mengganti semua luka dan air mata itu dengan senyum dan tawa. Dikelilingi orang-orang yang selalu mencintaiku dan menyebut na
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara yang begitu kukenal dari luar. Laki-laki itu sudah berdiri di sana dengan senyum tipisnya. Dia menatapku dan Mbak Sinta sembari menganggukkan kepala."Wa'alaikumsalam." Aku dan Mbak Sinta menjawab salamnya lirih. Laki-laki itu Mas Rudy, mantan suami Mbak Sinta.Entah mengapa saat ini penampilannya sangat berubah. Kusut, kurus dan seperti menyimpan banyak masalah hingga membuat wajahnya tak sefresh dulu."Eh, Mas Rudy. Masuk, Mas. Silakan duduk," ucapku kemudian, mempersilakan Mas Rudy untuk duduk di sofa single bersebelahan denganku dan Mbak Sinta.Aku tak tahu kenapa Mas Rudy tiba-tiba datang ke sini. Biasanya dia hanya mampir di teras, ngobrol sebentar menanyakan kabar Mbak Sinta atau anak-anaknya, titip salam lalu pamit pergi.Mungkin dia melihat Mbak Sinta di sini jadi sekalian ngobrol. Barangkali memang ada sesuatu yang cukup penting yang akan dia obrolkan dengan Mbak Sinta. Entahlah.Berulang kali aku lihat Mas Rudy wira-wiri di depan tokoku.