Hani terbangun saat merasakan tubuhnya tidak bisa bergerak. Sesuatu terasa menghimpitnya. Matanya perlahan terbuka dan ia mendapati sebuah tangan melingkari perutnya.
Hani terlonjak, dengan cepat ia melepaskan tangan lalu mendorong tubuh pemiliknya. Wajahnya merah menahan marah.
Aiman yang kaget, mengerjap bingung. Tubuhnya disentakkan begitu saja.
"Kenapa, Han?" tanyanya serak.
"Kenapa kamu bilang? Kamu sudah mencuri-curi kesempatan memelukku," tudingnya marah.
"Cuma meluk aja...." jawabnya pelan.
"Cuma katamu? Jadi kamu sengaja menyuruhku tidur di sini, biar kamu bisa pegang-pegang aku, hah?" hardiknya galak.
Aiman diam, ia tidak mau membuat Hani semakin marah. Sepertinya wanita itu sudah tidak menginginkannya lagi. Tidak seperti di awal-awal pernikahan mereka. Hani begitu gencar menggodanya. Namun, kini seakan terbalik, kenapa ia yang ingin mendapatkan wanita itu?
"Maaf, Mas tidak sengaja. Mungkin ngigau, tidak sadar meluk kamu," ucapnya dengan raut bersalah. Ia tidak mau semua jadi kacau. Sepertinya memang harus pelan-pelan meluluhkan wanita itu.
Hani mendengkus, kemudian turun dari tempat tidur, membawa selimut, lalu berjalan keluar kamar. Aiman hanya bisa menatap kepergian Hani dengan nanar.
Teringat betapa Hani dulu begitu agresif, begitu gencar menggodanya dengan berbagai cara. Bahkan pernah suatu ketika begitu ekstrim sampai nyaris celaka.
Sebenarnya bukan Aiman tidak peka, hanya saja saat itu, ia sungguh belum bisa menerima wanita lain di hatinya. Ia tahu dirinya salah, telah mengungkung Hani dalam ikatan pernikahan, tetapi tidak pernah memberinya hak sebagai istri. Pantaslah kalau sekarang wanita itu lelah dan ingin lepas.
Namun, kenapa ia tidak rela?
Aiman keluar kamar. Dilihatnya Hani meringkuk lagi di sofa yang semalam mereka perebutkan. Sebegitu bencikah Hani padanya sekarang? Ah, andai rasa ini datang lebih cepat.
***
Hani keluar dari kedai bubur ayam langganannya pagi ini. Seperti biasa, setelah lari pagi, wanita itu akan mampir ke sana untuk sarapan. Bila biasanya ia akan makan di sana. Kali ini entah kenapa ia ingin makan di rumah saja.
Sejak Aiman selalu menolak masakannya, Hani selalu jajan untuk kebutuhan perutnya. Entah sarapan atau makan malam.
Sekantong plastik bubur ayam yang ditempatkan dalam wadah styrofoam persegi panjang ia tenteng ditangan kanannya. Sedang tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku jaket olah raga.
Hani mulai menyusuri jalanan yang ramai. Suara klakson motor di belakangnya, sungguh mengganggu. Beberapa kali pengendara di belakangnya itu membunyikannya.
Hani mengumpat kesal. Rasanya ia sudah berjalan di pinggir. Jalanan juga masih lega.
Hani berbalik dengan kasar dan hendak memarahi pengendara di belakangnya yang terus saja membunyikan klakson. Namun, mulutnya urung terbuka, saat matanya menangkap Aiman sang pengendara itu.
"Udah selesai olah raganya? Naik yuk," ajaknya. Sungguh percaya dirinya tinggi sekali lelaki ini, pikir Hani. Ia dengan lancang memakai motor miliknya.
Hani membalikkan lagi tubuhnya tanpa berkata-kata. Lalu melangkah tanpa mempedulikan Aiman. Ia malas jadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang.
Aiman menjejerinya dengan sepeda motor.
"Ayo naik, biar tidak capek," ajaknya lagi. Namun, Hani tetap cuek.
"Kok ninggalin sih, tadi padahal Mas juga mau joging lho," ucap Aiman lagi saat Hani masih diam membisu.
"Eh, itu bubur ayam, ya? Kok cuma beli satu? Padahal Mas juga mau lho," lanjutnya yang membuat Hani semakin muak.
"Tunggu sini, ya, Mas beli dulu. Nanti kita makan bareng," Aiman memutar balik motor ke arah kedai bubur, dan Hani pun buru-buru lari meninggalkan tempat itu.
Lari Hani tak beraturan saat ini. Bukan olah raga, tetapi lari menghindari Aiman. Ia ingin cepat sampai rumah sebelum lelaki itu menyusulnya.
Namun, nasib tak berpihak padanya, Aiman ternyata selesai lebih cepat. Lelaki itu bisa menyusulnya.
Dengan kondisi Hani tetap berjalan dan Aiman yang menjejeri dengan motor, mereka terlihat seperti pasangan yang tengah bertengkar. Si istri kabur dan suami menyusulnya. Itu pasti pikiran para tetangga yang melihat mereka. Terbukti sejak tadi ada beberapa yang bertanya.
"Kenapa istrinya, Mas Ai?"
"Marahan kok, di jalan?"
"Udah naik aja Mbak, suaminya udah nyusul-nyusul, kasian."
"Udah baikan aja Mbak. Selesaikan di rumah aja, jangan di jalanan!"
Telinga Hani panas. Ingin ia berteriak kalau dirinya sedang olahraga, dan Aiman malah menyusulnya. Bukan seperti yang mereka sangka.
Sedang Aiman hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi komentar mereka.
Sampai di rumah Hani sudah sangat kesal. Apalagi melihat Aiman yang tanpa merasa bersalah sama sekali dengan praduga mereka.
"Mas Ai! Ngapain sih gangguin aku terus, tidak ada kerjaan lain apa?" hardiknya keras.
"Yang gangguin siapa? Aku cuma mau jemput istri pulang olahraga, takut kecapean, salah, ya?" jawabnya sambil mengangkat kedua tangan.
Duh, ingin rasanya Hani menambah biru di wajah Aiman dengan melayangkan lagi tinjunya. Yang namanya olahraga memang cape, Bambang.
Hani menggelengkan kepala kesal, lalu berjalan menuju dapur. Lebih baik sarapan, daripada mengurusi keabsurdan Aiman, pikirnya.
Setelah mencuci tangan, ia segera membuka bungkusan bubur ayam miliknya. Duduk di meja makan menghadapi seporsi bubur ayam yang sudah sedikit dingin.
Baru satu suapan. Tiba-tiba Aiman duduk di depannya, dengan sama membuka bungkusan miliknya.
Hani menghentikan sejenak suapannya. Ini pertama kalinya mereka duduk berdua dalam satu meja, untuk makan bersama. Ingin ia abai dan meneruskan sarapan. Tapi tatapan Aiman yang tak lepas dari dirinya membuatnya tidak nyaman.
Hani berhenti menyuap, lalu mengangkat wadah buburnya, dan pergi menuju ruang tengah. Lebih baik sarapan di sana, pikirnya.
Namun, siapa sangka saat ia sudah duduk di depan TV dan kembali menyuap, Aiman pun menyusul dan duduk di sampingnya. Sangat dekat.
Hani menggeser bokongnya, memberi jarak tubuh mereka. Nmaun, Aiman kembali bergeser mendekat.
Hani melirik judes ke arah Aiman yang sedang menyuap dan tersenyum padanya. Dibuangnya lagi pandangan dengan kasar.
"Enak ya, buburnya," ucap Aiman yang terdengar basi di telinga Hani.
"Kamu mau kacangnya? Ini ambil, aku tidak suka," lanjutnya seraya memindahkan butiran kacang kedelai goreng dari wadah miliknya ke milik Hani tanpa menunggu persetujuan Hani.
Hani kembali menghentikan suapannya. Apa-apaan lelaki ini, ia bersikap seolah mereka pasangan akrab.
"Tapi ganti kerupuk, ya. Soalnya punyaku cuma sedikit." Kali ini Aiman menyomot kerupuk di atas bubur Hani.
Mata Hani melotot. Sungguh ia tidak mengerti dengan kelakuan laki-laki di sampingnya ini. Kenapa Aiman jadi begitu cerewet dan menyebalkan seperti ini? Padahal dulu begitu dingin. Suaranya saja jarang terdengar di rumah ini.
"Han, kamu off kan, sekarang?" tanya Aiman lagi setelah beberapa saat. Dari mana juga ia tahu, batin Hani.
"Mumpung kita libur bareng, jalan-jalan, yuk."
Uhuk ... uhuk ... tiba-tiba Hani tersedak suapan bubur yang baru masuk ke mulutnya.
"Kenapa, Han?" Aiman kaget karena tiba-tiba Hani tersedak dan batuk-batuk parah. Ia buru-buru mengambilkan air dan menyodorkan ke depan wajah Hani yang memerah.
"Kamu tidak apa-apa, Han?" tanyanya dengan wajah khawatir.
"Tidak apa-apa, Mas. Hanya sepertinya aku harus ke dokter THT," jawab Hani serak.
"Kenapa?"
"Pendengaranku sepertinya sudah terganggu. Tadi aku mendengar ada yang mengajakku jalan-jalan," sindir Hani pedas. Bagaimana tidak, setelah lebih setahun mereka menikah. Baru kali ini Aiman mengajaknya jalan-jalan di saat Hani sudah ingin melepas semuanya.
Hani berdiri mematung, ujung rambutnya dimainkan angin nakal di taman kota, sore ini. Di depannya, berdiri tak kalah kaku seorang lelaki dengan topi di kepalanya. Jarak mereka hanya dua meteran.Beberapa waktu berselang, mereka hanya saling tatap dalam kekakuan. Entah apa yang harus dilakukan. Hingga …."Sayang, dapat popcorn-nya?" Seorang lelaki lain muncul di belakang Hani menggendong anak lelaki kecil."Mas, mana popcorn-nya? Bayi kita sudah tak sabar, nanti dia ileran, lho." Seorang wanita lain juga muncul di belakang lelaki bertopi.Empat orang dewasa, berdiri kaku, dengan pandangan saling menatap tajam.Hening. Tak
Mengertilah Aiman sekarang, kenapa sejak pagi sang istri mendiamkannya. Membuat kepalanya serasa mau pecah. Memikirkan apa gerangan salahnya.Aiman masih menatap benda kecil pipih bergaris dua merah di telapak tangannya, sebelum melempar bunga di tangan ke atas sofa ruang tamu. Kemudian berlari menyusul sang istri yang sudah masuk meninggalkannya.Ditangkapnya tubuh sang istri, kemudian dibopong dan dibawa berputar-putar, untuk meluapkan rasa bahagia."Sayang ...kamu hamil lagi?" tanyanya sambil membawa tubuh Hani dalam bopongan berputar-putar.Hani memekik, seraya melingkarkan kedua tangan di leher sang suami."Mas, apaan sih kamu?
Sebulan berlalu ….Keluarga kecil itu, baru saja keluar dari RSJ tempat Sri dirawat. Mereka memang mengagendakan kunjungan rutin ke sana, untuk mengetahui perkembangan ibu dari sang kakak itu.Aiman sudah bersumpah akan mengobati wanita itu sampai sembuh. Bila nanti sudah benar-benar sembuh, ia juga akan menampung wanita itu. Akan menganggap Sri sebagai ibunya sendiri, sebagai pengganti Yuli. Itu dia lakukan sebagai bentuk penebusan dosa orang tuanya di masa lalu. Semoga dengan begitu, ayah, ibu, dan kakaknya tenang di alam sana.Tangan Aiman terjulur ingin membuka pintu mobil, saat seseorang memanggilnya. Semua menoleh ke asal suara. Tampak seorang lelaki berkacamata dan seorang gadis kecil di sana.
Jam tiga dini hari, Hani terbangun dengan kepala pusing. Wanita itu juga belum lama memejamkan mata. Ia menemani dulu sang suami mengisi perut dan mendengarkan semua ceritanya.Suara gumaman pelan terdengar dari sampingnya berbaring. Dipaksanya bola mata untuk terbuka karena penasaran dengan suara yang didengarnya.Suara itu ternyata keluar dari mulut Aiman yang tubuhnya menggigil, tetapi matanya terpejam. Hani segera bangkit, duduk di sebelah tubuh suaminya yang masih terbaring. Wanita itu menempelkan punggung tangannya di kening sang suami.Hani terperanjat, karena suhu tubuh itu begitu tinggi. Tubuh Aiman sangat panas. Pantaslah lelaki itu begitu menggigil.Hani segera beranjak ke dapur me
Aiman melangkah gontai mendekati tubuh yang meringkuk dan bersimbah darah, diiringi tatapan semua orang yang menyaksikan. Tubuh lelaki itu langsung meluruh dengan lemah tepat di sisi tubuh yang merintih itu.Tatapan nanar ia tujukan pada wajah pucat yang terus merintih, dan memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah. Ada dua luka di tubuh Arum. Satu di kaki, mungkin polisi menembaknya untuk melumpuhkannya, agar tidak kabur. Satu lagi di perut, karena wanita itu melawan, dan malah menyandera warga. Anak kecil pula. Mengancam dengan senjata tajam. Hingga akhirnya polisi harus menyarangkan lagi timah panas di perutnya.Semua warga yang menyaksikan tak ada yang bersuara. Mereka diam bahkan menahan napas. Semua penasaran drama apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua bersaudara itu.
Hani dijemput orang tuanya, mereka pulang setelah Hanan membaik. Sementara Aiman kembali ke tempat semula. Mungkin jasad sang ibu sudah dibawa ke rumah sakit. Namun, ia ingin mengurus Sri, dan mengetahui sejauh mana pencarian Arum.Aiman tak menyangka, keluarganya akan hancur seperti ini. Arum yang berubah kalap setelah mengetahui kisah hidupnya. Lalu ada wanita bernama Sri, yang menderita sekian lama, karena keputusan sang ayah di masa lalu. Hanan yang menjadi korban balas dendam Arum, dan terakhir sang ibu yang harus meninggal dengan tragis, di tangan anak yang sudah dibesarkan sejak bayi.Sungguh semua terjadi begitu cepat, di saat ia seharusnya tengah menikmati bulan madu setelah berhasil membawa wanita yang dicintainya dalam pernikahan kedua kalinya.S