Share

Bubur ayam

Hani terbangun saat merasakan tubuhnya tidak bisa bergerak. Sesuatu terasa menghimpitnya. Matanya perlahan terbuka dan ia mendapati sebuah tangan melingkari perutnya. 

Hani terlonjak, dengan cepat ia melepaskan tangan lalu mendorong tubuh pemiliknya. Wajahnya merah menahan marah. 

Aiman yang kaget, mengerjap bingung. Tubuhnya disentakkan begitu saja.

"Kenapa, Han?" tanyanya serak. 

"Kenapa kamu bilang? Kamu sudah mencuri-curi kesempatan memelukku," tudingnya marah. 

"Cuma meluk aja...." jawabnya pelan. 

"Cuma katamu? Jadi kamu sengaja menyuruhku tidur di sini, biar kamu bisa pegang-pegang aku, hah?" hardiknya galak. 

Aiman diam, ia tidak mau membuat Hani semakin marah. Sepertinya wanita itu sudah tidak menginginkannya lagi. Tidak seperti di awal-awal pernikahan mereka. Hani begitu gencar menggodanya. Namun, kini seakan terbalik, kenapa ia yang ingin mendapatkan wanita itu? 

"Maaf, Mas tidak sengaja. Mungkin ngigau, tidak sadar meluk kamu," ucapnya dengan raut bersalah. Ia tidak mau semua jadi kacau. Sepertinya memang harus pelan-pelan meluluhkan wanita itu. 

Hani mendengkus, kemudian turun dari tempat tidur, membawa selimut, lalu berjalan keluar kamar. Aiman hanya bisa menatap kepergian Hani dengan nanar.

Teringat betapa Hani dulu begitu agresif, begitu gencar menggodanya dengan berbagai cara. Bahkan pernah suatu ketika begitu ekstrim sampai nyaris celaka. 

Sebenarnya bukan Aiman tidak peka, hanya saja saat itu, ia sungguh belum bisa menerima wanita lain di hatinya. Ia tahu dirinya salah, telah mengungkung Hani dalam ikatan pernikahan, tetapi tidak pernah memberinya hak sebagai istri. Pantaslah kalau sekarang wanita itu lelah dan ingin lepas.

Namun, kenapa ia tidak rela? 

Aiman keluar kamar. Dilihatnya Hani meringkuk lagi di sofa yang semalam mereka perebutkan. Sebegitu bencikah Hani padanya sekarang? Ah, andai rasa ini datang lebih cepat.

***

Hani keluar dari kedai bubur ayam langganannya pagi ini. Seperti biasa, setelah lari pagi, wanita itu akan mampir ke sana untuk sarapan. Bila biasanya ia akan makan di sana. Kali ini entah kenapa ia ingin makan di rumah saja. 

Sejak Aiman selalu menolak masakannya, Hani selalu jajan untuk kebutuhan perutnya. Entah sarapan atau makan malam.

Sekantong plastik bubur ayam yang ditempatkan dalam wadah styrofoam persegi panjang ia tenteng ditangan kanannya. Sedang tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku jaket olah raga. 

Hani mulai menyusuri jalanan yang ramai. Suara klakson motor di belakangnya, sungguh mengganggu. Beberapa kali pengendara di belakangnya itu membunyikannya. 

Hani mengumpat kesal. Rasanya ia sudah berjalan di pinggir. Jalanan juga masih lega. 

Hani berbalik dengan kasar dan hendak memarahi pengendara di belakangnya yang terus saja membunyikan klakson. Namun, mulutnya urung terbuka, saat matanya menangkap Aiman sang pengendara itu. 

"Udah selesai olah raganya? Naik yuk," ajaknya. Sungguh percaya dirinya tinggi sekali lelaki ini, pikir Hani. Ia dengan lancang memakai motor miliknya. 

Hani membalikkan lagi tubuhnya tanpa berkata-kata. Lalu melangkah tanpa mempedulikan Aiman. Ia malas jadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang. 

Aiman menjejerinya dengan sepeda motor. 

"Ayo naik, biar tidak capek," ajaknya lagi. Namun, Hani tetap cuek. 

"Kok ninggalin sih, tadi padahal Mas juga mau joging lho," ucap Aiman lagi saat Hani masih diam membisu. 

"Eh, itu bubur ayam, ya? Kok cuma beli satu? Padahal Mas juga mau lho," lanjutnya yang membuat Hani semakin muak. 

"Tunggu sini, ya, Mas beli dulu. Nanti kita makan bareng," Aiman memutar balik motor ke arah kedai bubur, dan Hani pun buru-buru lari meninggalkan tempat itu. 

Lari Hani tak beraturan saat ini. Bukan olah raga, tetapi lari menghindari Aiman. Ia ingin cepat sampai rumah sebelum lelaki itu menyusulnya. 

Namun, nasib tak berpihak padanya, Aiman ternyata selesai lebih cepat. Lelaki itu bisa menyusulnya. 

Dengan kondisi Hani tetap berjalan dan Aiman yang menjejeri dengan motor, mereka terlihat seperti pasangan yang tengah bertengkar. Si istri kabur dan suami menyusulnya. Itu pasti pikiran para tetangga yang melihat mereka. Terbukti sejak tadi ada beberapa yang bertanya. 

"Kenapa istrinya, Mas Ai?"

"Marahan kok, di jalan?"

"Udah naik aja Mbak, suaminya udah nyusul-nyusul, kasian."

"Udah baikan aja Mbak. Selesaikan di rumah aja, jangan di jalanan!"

Telinga Hani panas. Ingin ia berteriak kalau dirinya sedang olahraga, dan Aiman malah menyusulnya. Bukan seperti yang mereka sangka. 

Sedang Aiman hanya mengangguk dan tersenyum menanggapi komentar mereka. 

Sampai di rumah Hani sudah sangat kesal. Apalagi melihat Aiman yang tanpa merasa bersalah sama sekali dengan praduga mereka. 

"Mas Ai! Ngapain sih gangguin aku terus, tidak ada kerjaan lain apa?" hardiknya keras. 

"Yang gangguin siapa? Aku cuma mau jemput istri pulang olahraga, takut kecapean, salah, ya?" jawabnya sambil mengangkat kedua tangan. 

Duh, ingin rasanya Hani menambah biru di wajah Aiman dengan melayangkan lagi tinjunya. Yang namanya olahraga memang cape, Bambang. 

Hani menggelengkan kepala kesal, lalu berjalan menuju dapur. Lebih baik sarapan, daripada mengurusi keabsurdan Aiman, pikirnya. 

Setelah mencuci tangan, ia segera membuka bungkusan bubur ayam miliknya. Duduk di meja makan menghadapi seporsi bubur ayam yang sudah sedikit dingin. 

Baru satu suapan. Tiba-tiba Aiman duduk di depannya, dengan sama membuka bungkusan miliknya. 

Hani menghentikan sejenak suapannya. Ini pertama kalinya mereka duduk berdua dalam satu meja, untuk makan bersama. Ingin ia abai dan meneruskan sarapan. Tapi tatapan Aiman yang tak lepas dari dirinya membuatnya tidak nyaman. 

Hani berhenti menyuap, lalu mengangkat wadah buburnya, dan pergi menuju ruang tengah. Lebih baik sarapan di sana, pikirnya. 

Namun, siapa sangka saat ia sudah duduk di depan TV dan kembali menyuap, Aiman pun menyusul dan duduk di sampingnya. Sangat dekat. 

Hani menggeser bokongnya, memberi jarak tubuh mereka. Nmaun, Aiman kembali bergeser mendekat. 

Hani melirik judes ke arah Aiman yang sedang menyuap dan tersenyum padanya. Dibuangnya lagi pandangan dengan kasar. 

"Enak ya, buburnya," ucap Aiman yang terdengar basi di telinga Hani. 

"Kamu mau kacangnya? Ini ambil, aku tidak suka," lanjutnya seraya memindahkan butiran kacang kedelai goreng dari wadah miliknya ke milik Hani tanpa menunggu persetujuan Hani. 

Hani kembali menghentikan suapannya. Apa-apaan lelaki ini, ia bersikap seolah mereka pasangan akrab. 

"Tapi ganti kerupuk, ya. Soalnya punyaku cuma sedikit." Kali ini Aiman menyomot kerupuk di atas bubur Hani. 

Mata Hani melotot. Sungguh ia tidak mengerti dengan kelakuan laki-laki di sampingnya ini. Kenapa Aiman jadi begitu cerewet dan menyebalkan seperti ini? Padahal dulu begitu dingin. Suaranya saja jarang terdengar di rumah ini. 

"Han, kamu off kan, sekarang?" tanya Aiman lagi setelah beberapa saat. Dari mana juga ia tahu, batin Hani. 

"Mumpung kita libur bareng, jalan-jalan, yuk."

Uhuk ... uhuk ... tiba-tiba Hani tersedak suapan bubur yang baru masuk ke mulutnya.

"Kenapa, Han?" Aiman kaget karena tiba-tiba Hani tersedak dan batuk-batuk parah. Ia buru-buru mengambilkan air dan menyodorkan ke depan wajah Hani yang memerah. 

"Kamu tidak apa-apa, Han?" tanyanya dengan wajah khawatir. 

"Tidak apa-apa, Mas. Hanya sepertinya aku harus ke dokter THT," jawab Hani serak. 

"Kenapa?"

"Pendengaranku sepertinya sudah terganggu. Tadi aku mendengar ada yang mengajakku jalan-jalan," sindir Hani pedas. Bagaimana tidak, setelah lebih setahun mereka menikah. Baru kali ini Aiman mengajaknya jalan-jalan di saat Hani sudah ingin melepas semuanya. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tati Marliah
Kereeenn......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status