Share

Bogem mentah

Hani gegas menuju lemari, ia ingin segera mandi dan beristirahat. Dibukanya lemari besar itu, baju-bajunya tertata rapi di sana, seperti setahun belakangan. Aiman menatanya lagi, persis sama dengan cara Hani. Hanya satu yang aneh, ia tidak menemukan pakaian dalamnya. 

Bolak-balik dicarinya dari tahapan teratas sampai bawah tetap tidak ditemukan. Kekesalannya membuncah lagi, di mana Aiman menyimpan pakaian dalamnya? 

Ia juga marah membayangkan lelaki itu dengan lancang menyentuh barang yang sangat pribadinya itu. 

Hani berbalik menghadap Aiman yang ternyata sedang memperhatikannya. Namun, pura-pura memainkan lagi laptopnya saat kepergok. 

"Mas!" panggilnya dengan menekan amarah. "Di mana pakaian dalamku?"

"Di lemari," jawab Aiman santai. 

"Lemari mana?" Hani nyolot lagi. 

"Memangnya lemari ada berapa di kamar ini?"

"Jangan becanda, Mas! Dulu aku menyimpannya di sini," tunjuknya kasar pada ruang yang kosong dalam lemarinya. 

"Berarti kamu tidak tahu fungsi ruang-ruang itu dalam lemari. Kan ada laci tempat khusus underwear," jawabnya lagi masih dengan pura-pura menatap laptop. Ya, Hani yakin hanya pura-pura karena layarnya juga mati. 

Laci ia bilang? Bukankah laci itu hanya dipakai menyimpan pakaian dalam Aiman? Sejak pertama, Hani tidak pernah menyimpan underwearnya menjadi satu dengan punya Aiman. 

Dengan kasar Hani berbalik menghadap lemari, menarik laci tempat penyimpanan pakaian dalam Aiman. Benar, miliknyapun ada di sana, bercampur dengan punya lelaki itu. 

Kekesalannya sudah tidak dapat ditahan. Segera ia keluarkan semua miliknya. Ia tidak sudi pakaian dalamnya bersatu dengan punya Aiman. 

"Harus ya, dipindahin lagi," sindir Aiman pelan. 

"Siapa yang menyuruh kamu memindahkan barang-barangku?" hardik Hani lagi. 

"Ibu mau datang lusa, Han."

"Datangnya kan lusa, kenapa harus dipindahkan sekarang?"

"Takutnya ibu datang lebih cepat, kalau kamarnya sudah kosong kan enak. Besok tinggal dibersihkan. Masa harus dadakan dipindahin saat ibu sudah datang. Nanti ibu curiga."

"Malah bagus, ketahuan sekalian. Tidak perlu capek menjelaskan...."

"Han!" Aiman menatap Hani nyalang. 

Hani hanya mendengkus, kemudian berlalu menuju pintu kamar. 

"Kamu mau ke mana?" tanya Aiman heran. 

"Mandilah, masa ke planet mars."

"Di situ ada kamar mandi, kenapa mesti keluar?" Aiman menunjuk pintu di pojok kamar. Memang ada kamar mandi di kamar pribadinya. Namun, Hani lebih memilih menggunakan kamar mandi belakang. Malas juga harus terus melihat wajah lelaki itu. 

Hani langsung keluar tanpa berkata-kata lagi. Ia membersihkan diri kemudian rebahan di sofa ruang TV. Setelah mengambil selimut dan bantal dari kamar sebelah. 

Wanita itu memutuskan tidur di sofa, malam ini. Tak sudi rasanya harus seranjang lagi dengan lelaki egois itu. 

Lelah jiwa raga membuat kantuk datang lebih cepat. Bahkan TV masih menyala, saat Hani berpindah ke alam mimpi. 

Aiman heran karena Hani tak kunjung kembali ke kamar, ia turun dari tempat tidur, menyimpan laptop yang sejak tadi hanya properti sandiwaranya. Menyambar kaos yang mengait di belakang pintu. Dingin juga ternyata bertelanjang dada, pikirnya. Tadi sengaja tidak memakainya untuk menarik perhatian Hani.

Aiman keluar kamar, menuju ruang tengah yang lampunya menyala. Ia menggeleng saat dilihatnya wanita yang dicarinya bergelung di bawah selimut, di sofa dengan TV yang menyala. 

Setelah mematikan TV, Aiman berjalan mendekati Hani. Ia bersimpuh di depan wanita yang terpejam itu. Napasnya terlihat teratur, pertanda ia sudah tidur. 

Aiman menatap lekat wajah lelah itu. Ia mendekatkan wajahnya. 

"Apakah kamu benar-benar marah?" bisiknya di depan wajah Hani. Tangannya perlahan terangkat, lalu dengan ragu menyentuh rambut wanita itu. Diusapnya lembut. 

"Maaf," bisiknya lagi. Aiman mendekatkan lagi wajahnya, hingga napas hangat Hani terasa menyapu wajahnya. Lama, ia menatap wajah itu, hingga puas. Aiman tersenyum sebelum kembali mendekatkan lagi wajahnya ke wajah yang terpejam itu. Bibirnya hampir menyentuh bibir yang sedikit terbuka itu. Saat….

Bugh. 

Sebuah bogem menghantam wajah Aiman tepat di tulang hidungnya. Lelaki itu nyaris terjengkang, ia memegangi hidung. Matanya berkunang-kunang. Darah merembes di antara jari-jari tangannya yang memegangi hidung. 

"Mas Ai?" Hani terlonjak kaget saat dilihatnya Aiman mengaduh memegangi hidung. 

Hani menyibak selimut lalu bangkit menghampiri lelaki itu. 

"Maaf, Mas. Aku kira kamu maling. Abisnya kamu ngapain pegang-pegang kepalaku segala," ucapnya dengan nada bersalah. 

Aiman tidak menjawab, ia masih menikmati rasa pusing dan perih di hidungnya akibat bogem wanita itu. 

"Maaf Mas, sini aku bantu obati," ucap Hani lagi dengan tatapan menyesal dan kasian melihat Aiman kesakitan. Diambilnya handuk kecil dan batu es untuk mengompres wajah Aiman yang membiru akibat tinjunya. 

"Masih sakit?" tanya Hani setelah mengompres wajah lelaki itu. Aiman mengangguk. Sial. Niat hati ingin mencium bibir Hani, malah hidungnya dicium bogem mentah perempuan penyuka olahraga itu. 

"Ya udah, tidur sana. Biar besok bangun baikan," Hani membereskan baskom bekas kompres dan hendak berlalu ke dapur. Saat tangan Aiman menahannya. 

"Aku akan cepet baikan kalau kamu temani tidur malam ini."

"Apa?" Mata Hani melotot. 

"Eh, maksudnya ... kamu tidur lagi di kamar ya, seperti dulu. Kita berbagi lagi tempat tidur," mata Aiman nampak memohon. 

"Nggak, aku di sini aja!" ujar Hani malas. 

Aiman nampak kecewa. "Ya udah, aku juga mau tidur disini," tukasnya tak mau kalah. Ia kemudian merebahkan diri di sofa bekas Hani. 

Hani melotot melihatnya. Lalu buru-buru loncat ke arah sofa. Ia tidak mau daerah kekuasaannya diambil Aiman. 

Namun, terlambat! Aiman sudah merebahkan diri di sana. Adegan rebutan sofa pun terjadi hingga Hani kalah dan jatuh ke lantai. Padahal ia sudah sekuat tenaga mempertahankannya. 

Dengan kesal Hani berdiri, lalu mengambil selimut yang terserak begitu saja di lantai. Kemudian dengan langkah-langkah kasar berjalan menuju kamar Aiman. Masuk, dan langsung merebahkan diri menghadap dinding, menutup tubuhnya dengan selimut hingga menutupi kepala. 

Aiman yang melihat itu bersorak pelan. Meneriakkan kata 'yes' dengan pelan juga. Kemudian menyusul Hani ke kamar. 

Ia tersenyum senang, setidaknya satu rencananya berhasil, membuat Hani pindah lagi ke kamarnya. Untuk rencana selanjutnya nanti dipikirkannya lagi. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tati Marliah
Kereen.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status