"Jadi… kita benar-benar akan ke sana?" Suaraku tercekat saat menunjuk ke arah barisan pegunungan yang menjulang sangar di kejauhan. Rasanya seperti menunjuk ke sarang naga.
Puncak-puncaknya yang runcing, diselimuti salju abadi yang berkilauan dingin, tampak begitu gagah sekaligus luar biasa menakutkan. Seperti benteng alam raksasa yang sengaja dibangun untuk menghalau para pengganggu. Bayangan awan-awan kelabu yang bergerak cepat di lereng-lerengnya seolah memberinya nyawa, seakan pegunungan itu sendiri tengah mengawasi setiap gerak-gerik kami dengan tatapan dingin.
Mengintimidasi sekali, batinku, berusaha keras menyembunyikan getar samar di suaraku. Jangan sampai kelihatan cupu di depan Pangeran Elf dan pengawal supernya.
Riel mengangguk, satu gerakan pasti sambil mengencangkan tali ransel kulitnya yang tampak berat dan sudah sering tergores.
"Pegunungan Aethel," ujarnya, matanya tak lepas dari puncak-puncak bersalju itu, ada semacam kekaguman sekaligus keseriusan di sana. "Tempat Crysalis Aetheria disembunyikan. Kita harus berangkat sekarang juga, Liora, sebelum para Umbra itu berhasil mencium jejak kita dan sampai lebih dulu."
Waktu adalah musuh kami sekarang. Setiap detik yang terbuang bisa berarti bencana.
"Tapi… tapi Arista bilang tempat itu berbahaya banget," suaraku kini terdengar lebih lirih. Kerutan kecil muncul di dahiku yang mulai terasa dingin. Aku teringat semua cerita seram Arista: badai salju dahsyat yang datang tanpa peringatan, tebing-tebing curam yang licin, dan entah makhluk-makhluk liar macam apa yang mengintai di balik setiap batu.
Benar-benar paket liburan komplit yang sama sekali tidak kuminta, sinisku dalam hati, mencoba menghibur diri.
"Memang," sahut Riel, tatapannya masih lurus ke arah pegunungan itu. Dasar Pangeran Elf, nyalinya pasti terbuat dari baja. "Tapi kita tidak punya banyak pilihan lain, Liora. Risiko ini… harus kita ambil. Demi Elysia."
Tak ada getar keraguan sedikit pun dalam suaranya. Hanya tekad sekeras baja.
Arista, yang berdiri diam di samping Riel, menepuk bahuku dengan lembut. Senyumnya yang tipis berusaha menenangkan kegelisahanku. "Jangan khawatir, Liora. Kami berdua akan melindungimu. Kau tidak akan sendirian."
Kami bertiga akhirnya meninggalkan batas aman istana Asteria. Kepergian kami meninggalkan jejak keheningan yang dalam, sebuah kontras yang begitu tajam dengan hiruk pikuk kehidupan istana sebelum semua kekacauan ini dimulai.
Langkah demi langkah membawa kami semakin dekat menuju kaki pegunungan yang mengancam itu. Awal dari sebuah perjalanan berbahaya yang mempertaruhkan segalanya.
Pemandangan di sekitar kami mulai berubah drastis. Hutan hijau yang lebat perlahan menipis, berganti dengan hamparan bebatuan kasar berwarna kelabu dan padang rumput kering. Vegetasi yang tadi memanjakan mata menghilang, memberi jalan pada lanskap tandus yang terasa begitu… memusuhi.
Udara semakin dingin, anginnya terasa seperti ribuan jarum es yang menusuk hingga ke tulang. Angin gunung itu membawa aroma khas yang belum pernah kuhirup: campuran tajam antara salju abadi dan batu-batu dingin yang lembap.
"Dinginnya bukan main! Asli, ini sih lebih dingin dari kutub utara!" Aku menggosok-gosok lenganku dengan panik. Gigiku mulai bergemeletuk tak terkontrol. Hebat, baru permulaan saja aku sudah hampir jadi es loli rasa manusia.
Riel, yang berjalan di sampingku, hanya tersenyum tipis melihat tingkahku. Dengan gerakan tak terduga, ia melepas jubahnya yang tebal, lalu dengan hati-hati menyampirkannya di bahuku.
"Pakai ini. Lumayan untuk menahan dingin." Jubah itu tampak sedikit usang, namun terawat baik—saksi bisu petualangan yang telah ia lalui.
Aku sedikit tersipu, kaget sekaligus… entahlah. Kehangatan langsung menjalar dari jubah itu, bukan hanya kehangatan fisik. "Makasih banyak, Riel," gumamku pelan, menunduk malu. Aroma samar kayu cendana yang familiar dan menenangkan menguar lembut dari jubah itu.
Kami melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan setapak sempit yang berkelok-kelok di antara bebatuan raksasa. Sesekali, kami harus mendaki tebing batu yang curam dan licin, atau menyeberangi aliran sungai yang airnya sedingin es.
Beberapa jam kemudian, saat matahari mulai condong ke barat, napasku sudah tersengal hebat.
"Hei, Tuan Beruang Kutub!" sindirku pada Riel yang tampaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh dingin maupun lelah. Energinya kayaknya nggak ada habisnya. "Kaki manusia biasa yang malang ini rasanya mau copot, tahu! Ada rencana buat istirahat sebentar, atau kita mau nge-trek terus sampai jadi fosil?"
Riel melirik ke arahku, ada sedikit geli di matanya. "Baiklah, Nona Pengeluh. Kita istirahat sebentar." Ia menunjuk ke sebuah gua kecil yang mulutnya tersembunyi di balik bongkahan batu besar. "Di sana sepertinya cukup aman."
Gua itu kecil dan gelap. Riel menjentikkan jarinya, dan dengan sihir kecil, api unggun langsung menyala di tengahnya. Lingkaran cahaya jingga yang hangat menari-nari di dinding batu, mengusir dingin yang menggigit.
Aku segera duduk di dekat api, memijat betisku yang mulai kram. "Riel," tanyaku setelah hening sejenak, "kenapa para Umbra begitu menginginkan Crysalis Aetheria itu? Apa segitu hebatnya?"
Riel menghela napas panjang, bayangan api bermain di wajahnya yang serius. "Mereka percaya, dengan menguasai Crysalis, mereka bisa mengendalikan aliran Aether di seluruh Elysia. Mereka ingin menciptakan dunia baru yang didominasi oleh kegelapan total, di mana sihir mereka menjadi absolut."
Ia berhenti sejenak, tatapannya menerawang. "Sebuah tatanan dunia yang bengis bagi semua ras lain."
"Seram banget," komentarku pelan, seketika merinding.
"Memang," sahut Riel, matanya terpaku pada api. "Itulah kenapa kita harus menghentikan mereka, Liora. Apa pun risikonya."
Hening kembali menyelimuti kami. Hanya suara derak api dan deru angin di luar gua.
"Liora," panggil Riel tiba-tiba, memecah keheningan. "Kenapa kamu mau repot-repot membantu kami? Kamu kan tidak punya urusan dengan Elysia."
Aku mengangkat bahu, menatap api. "Entahlah. Mungkin karena ini semua gara-gara aku yang nyasar ke sini? Anggap saja ini caraku bilang 'maaf sudah merepotkan'." Aku berhenti sejenak. "Lagipula, melihat dunia ini hancur gara-gara kecerobohanku… kayaknya itu bukan catatan yang keren buat ditulis di CV-ku nanti."
Atau di batu nisanku, tambahku dalam hati, sedikit bergidik.
Riel menatapku cukup lama, ada sorot yang sulit kuartikan di matanya. Campuran antara rasa terima kasih dan… mungkin sedikit kekaguman? "Kau orang yang baik hati, Liora."
Sialan, pipiku pasti sudah semerah tomat rebus sekarang. "Kamu juga, kok," gumamku pelan, cepat-cepat mengalihkan pandangan.
AUMMMMM! GRRRRR!
Lolongan serigala yang memekakkan telinga tiba-tiba terdengar dari luar gua. Begitu dekat. Jantungku serasa mau melompat keluar. Riel langsung berdiri tegak, pedang peraknya sudah terhunus bahkan sebelum aku sempat berkedip.
"Itu Grimwolf," desisnya, nadanya kembali dingin dan waspada. "Mereka mencium bau kita. Kita harus pergi. Sekarang juga!"
Kami bergegas keluar dari gua.
Dan mendapati diri kami sudah terkepung.
Beberapa ekor Grimwolf—serigala raksasa berbulu hitam legam—mengelilingi kami dengan rapat. Mata merah mereka menyala buas dalam kegelapan. Air liur menetes dari taring-taring tajam mereka yang berkilauan mengerikan.
"Sepertinya," kata Riel dingin, pedangnya berkilau samar di bawah cahaya rembulan, "kita kedatangan tamu tak diundang malam ini."
Aku menelan ludah dengan susah payah. Perjalanan kami baru saja dimulai, dan rintangan pertamanya sudah di depan mata.
Dan ini jelas bukan rintangan kaleng-kaleng. Pertarungan untuk bertahan hidup baru saja akan dimulai.
Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh
Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si
(Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…
Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata
Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul
Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi