แชร์

BAB 6 : SEBUAH RAHASIA

ผู้เขียน: TenMaRuu
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-01-19 14:17:29

"Jadi, artefak itu… sepenting itu, ya?"

Aku menatap Arista, mencari secercah kepastian di tengah kekacauan yang baru saja kami lewati. Rasanya seperti baru saja selamat dari film horor, tapi sekarang kami malah sibuk membahas benda pusaka.

Kami bertiga—aku, Arista, dan Riel yang terus waspada—menyusuri koridor Istana Asteria. Kesan megah dan anggun yang sempat membuatku melongo tadi kini lenyap tak berbekas. Dinding-dinding batu putihnya yang dulu berkilauan kini retak di banyak tempat, memperlihatkan lapisan bata kasar di baliknya.

Beberapa permadani sutra mewah yang harganya pasti selangit, kini robek menganga dengan menyedihkan.

Saksi bisu dari serangan brutal para Umbra barusan.

Udara yang tadinya beraroma bunga dan rempah kini terasa berat, menyesakkan. Aura ketakutan seolah menyelimuti setiap sudut, merayap di kulitku seperti kabut dingin yang menusuk.

Arista mengangguk, wajah cantiknya terlihat begitu serius. "Sangat, sangat penting, Liora."

Ia berhenti sejenak, memastikan aku benar-benar mencerna setiap katanya.

"Itu adalah Crysalis Aetheria. Jantung dari semua kekuatan sihir di Elysia."

Kalimat itu terasa begitu berat. Arista melanjutkan penjelasannya, "Tanpanya, sihir kami semua akan melemah drastis. Seperti api unggun yang kehabisan kayu bakar di tengah malam musim dingin. Kita akan menjadi sangat, sangat rentan."

Matanya menatap lurus ke depan, seolah melihat kengerian itu dengan begitu jelas. "Bayangkan saja sebuah perisai raksasa yang selama ini melindungi negeri ini tiba-tiba lenyap. Itulah yang akan terjadi jika Crysalis jatuh ke tangan yang salah."

"Kedengarannya… seperti barang mistis dari legenda kuno yang suka diceritain Nenek sebelum tidur," gumamku. Aku mencoba membayangkan sebuah kristal raksasa bercahaya yang menjadi sumber semua sihir.

Tipikal banget cerita fantasi, sih. Tapi sayangnya, ini nyata dan aku terjebak di dalamnya.

"Memang begitu awalnya, Liora," sahut Arista, nadanya lebih serius dari sebelumnya. "Kisah tentang Crysalis Aetheria diturunkan dari generasi ke generasi. Banyak yang menganggapnya hanya mitos, dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak elf yang nakal."

Tatapan mata biru safirnya menajam, memancarkan tekad yang kuat.

"Tapi ini nyata. Sangat nyata."

"Dan para Umbra itu menginginkannya," lanjutnya. "Mereka ingin menguasai Aether—sumber utama semua kekuatan magis di dunia ini. Mereka ingin menenggelamkan Elysia ke dalam lautan kegelapan abadi."

Kalimat terakhirnya menggantung di udara, penuh dengan kengerian yang tak terbayangkan.

"Jika mereka berhasil…" Arista menarik napas dalam, suaranya bergetar. "Elysia akan hancur berkeping-keping. Semua keindahan dan keajaiban yang kau lihat tadi… akan lenyap selamanya, ditelan bayangan."

Kami berhenti di depan sebuah pintu kayu gelap yang tampak sangat tua, mungkin usianya sudah berabad-abad. Permukaannya dihiasi ukiran rumit yang menggambarkan sejarah panjang Elysia, seolah memancarkan aura misterius dari dunia lain yang terlupakan.

"Ini adalah ruang arsip kerajaan," kata Arista, suaranya sedikit lebih pelan, penuh hormat. "Mungkin, hanya mungkin, kita bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan Crysalis di sini. Di antara catatan-catatan kuno yang sudah lama terlupakan."

Dengan derit panjang yang menggema, Arista mendorong pintu berat itu hingga terbuka. Kami bertiga melangkah masuk dengan hati-hati.

Ruangan arsip itu ternyata luar biasa luas. Rak-rak buku kayu raksasa menjulang tinggi hingga menyentuh langit-langit batu yang melengkung. Isinya dijejali ribuan gulungan perkamen rapuh, buku-buku bersampul kulit tebal, dan tablet-tablet batu bertuliskan simbol misterius yang sukses membuat kepalaku pening.

Aroma khas debu berabad-abad dan kertas tua yang lembap langsung menyergap, membuatku bersin kecil.

"Wah, ini sih kayak perpustakaan rahasia di film petualangan!" bisikku takjub, mataku berbinar menatap tumpukan pengetahuan kuno di sekelilingku.

Lumayan juga, buat nambah-nambahin suasana dramatis di tengah pelarian ini.

Arista tersenyum tipis melihat reaksiku. "Memang. Hanya segelintir orang yang diizinkan masuk ke sini. Informasi di dalamnya sangat berharga dan dijaga dengan ketat."

Kami mulai menyisir rak-rak buku yang menjulang. Aku mencoba membaca beberapa judul, tapi semuanya ditulis dalam bahasa Elf kuno yang sama sekali tidak kumengerti. Simbol-simbolnya yang rumit dan artistik itu membuatku semakin pusing.

"Susah banget nyarinya kalau begini," keluhku pada diri sendiri. Ini sih namanya mencari jarum di tumpukan jerami raksasa, persis.

"Aku bantu membacanya," kata Arista, seolah mendengar keluhanku. Ia lalu menatap kami dengan serius, suaranya mendesak, "Tapi kita harus bergerak cepat. Para Umbra bisa kembali kapan saja."

Arista mulai membolak-balik gulungan perkamen dengan kecepatan luar biasa, matanya yang tajam bergerak lincah. Riel ikut mencari, fokusnya terbagi antara membantu dan mengawasi pintu. Sementara aku, aku hanya bisa mengamati sekeliling, berharap menemukan petunjuk visual yang mungkin terlewat oleh mata elf mereka.

Tiba-tiba, pandanganku terpaku.

Di dinding paling ujung ruangan, tergantung sebuah permadani raksasa yang megah. Warnanya sudah sedikit memudar, tapi gambarnya masih sangat jelas: peta Elysia dengan detail yang luar biasa. Hutan zamrud yang lebat, pegunungan tinggi bersalju, dan danau biru yang berkilauan seperti permata.

Nyaris seperti jendela ajaib yang langsung memperlihatkan dunia luar.

"Arista! Riel! Lihat ini!" seruku, sebuah firasat kuat mengatakan aku menemukan sesuatu yang penting.

Mereka segera mendekat. "Ini peta kuno Elysia," kata Riel, mengangguk pelan. "Jauh lebih detail dari peta modern di ruang strategi."

"Tapi…" Arista menyipitkan matanya. "Ada yang aneh di sini."

Aku ikut menajamkan pandangan, mengikuti arah tatapannya. Dan aku melihatnya. Sebuah simbol kecil, tersembunyi dengan cerdik di antara gambar jajaran pegunungan, nyaris menyatu dengan tenunan.

Bentuknya seperti kristal, dan entah bagaimana, simbol itu tampak berkilauan samar di bawah cahaya obor kami.

"Itu dia!" seru Arista, suaranya bergetar penuh kelegaan.

"Crysalis Aetheria! Simbol ini… pasti menandai lokasinya!"

"Di mana itu?" tanyaku tak sabar, jantungku ikut berdebar kencang.

Arista menunjuk ke bagian pegunungan tertinggi di tengah permadani. "Di Pegunungan Aethel. Tepat di jantung Elysia." Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap kami bergantian. "Tapi itu wilayah yang sangat berbahaya. Banyak legenda menceritakan tentang makhluk buas penjaga dan jebakan magis kuno di sana."

BRAK! BRAK! BRAK!

Suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa terdengar dari luar, semakin mendekat!

"Mereka kembali!" bisik Arista panik, matanya melebar. "Kita harus pergi. Sekarang!"


Kami melesat keluar dari ruang arsip dan bersembunyi di balik pilar batu besar. Dari kejauhan, beberapa prajurit Umbra berjalan dengan angkuh, pedang gelap mereka terhunus, mata merah menyala mereka memindai setiap sudut.

"Kita harus segera keluar dari sini bersama Riel," bisikku pada Arista, rasa cemas kembali menyergap. Otakku benar-benar kacau karena panik.

"Dia aman bersama kita," balas Arista, berusaha menenangkanku meski jelas ia sendiri tegang. "Fokus kita sekarang adalah keluar tanpa terdeteksi."

Kami bergerak mengendap-endap seperti ninja amatiran, menyusuri koridor yang kini terasa seperti labirin maut. Bau asap dan anyir darah semakin menusuk hidung, menambah kengerian di istana yang terkepung ini.

Saat hampir mencapai pintu keluar sayap barat, kami berbelok di sebuah sudut remang-remang dan langsung berhadapan dengan dua prajurit Umbra yang berjaga.

Tanpa menunggu komando, Riel menerjang maju.

Gerakannya begitu lincah dan cepat. Pedang peraknya berkelebat di udara, memancarkan cahaya menyilaukan saat menangkis setiap serangan pedang gelap dengan presisi yang mengagumkan.

"Riel!" seruku tanpa sadar.

"Kalian cepat cari jalan keluar!" teriaknya, tanpa mengendurkan serangannya yang mematikan. "Aku akan menyusul!"

"Kita sudah menemukan petunjuk lokasi Crysalis!" seruku lagi, berharap memberinya tambahan semangat.

"Di mana?!" tanyanya, matanya yang biru kehijauan memancarkan harapan kuat di tengah napasnya yang tersengal.

"Pegunungan Aethel!" jawab Arista cepat.

Riel mengangguk sekilas. Dengan satu gerakan memutar yang tak terduga, ia berhasil menebas satu Umbra hingga terjungkal. "Pergi sekarang! Tempat ini sudah tidak aman!"

Dengan bantuan terakhir dari Riel—yang akhirnya menumbangkan kedua musuh itu dengan beberapa tebasan mematikan—kami bertiga akhirnya berhasil lolos dari istana.

Kami berlari sekuat tenaga menuju hutan lebat di luar batas istana, tak berani menoleh ke belakang.

Perjalanan berat menuju Pegunungan Aethel baru saja akan dimulai.

Sebuah perjalanan berbahaya yang, entah bagaimana, akan menentukan nasib seluruh Elysia.

Dan aku, Liora si anak SMA biasa, ada di tengah-tengahnya. Luar biasa sekali liburan dadakanku ini.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (3) : PENGAKUAN SAAT KAU TERTIDUR

    Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (2): CERITA DUA DUNIA

    Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    EXTRA BAB (1) : KENAPA DIA TAK TIDUR?

    (Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 60: DUA DUNIA, SATU TAKDIR

    Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 59: MENYUCIKAN JANTUNG HUTAN

    Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 58: UNICORN

    Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status