"Jadi, artefak itu penting sekali, ya?"
Liora bertanya pada Arista, nada suaranya menekankan betapa krusialnya informasi tersebut.
Mereka berdua berjalan menyusuri koridor istana, yang kini tampak jauh berbeda dari sebelumnya. Dinding-dindingnya retak di beberapa bagian, memperlihatkan batu bata di baliknya, dan beberapa permadani mewah robek menganga akibat serangan Umbra yang baru saja terjadi. Suasana istana yang tadinya megah dan dipenuhi cahaya kini terasa tegang dan suram, aura ketakutan menyelimuti setiap sudutnya.
Arista mengangguk dengan sungguh-sungguh.
"Sangat penting. Itu adalah Crysalis Aetheria, jantung dari kekuatan sihir Elysia. Tanpa artefak itu, sihir kita akan melemah secara drastis, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Kita akan menjadi sangat rentan terhadap Umbra dan kekuatan gelap mereka. Bayangkan sebuah perisai yang tiba-tiba menghilang, itulah yang akan terjadi pada Elysia."
"Kedengarannya seperti barang mistis yang hanya ada di legenda-legenda kuno," komentar Liora, mencoba mencerna informasi tersebut. Ia membayangkan sebuah kristal bercahaya yang menjadi sumber kekuatan magis.
"Memang begitulah awalnya," sahut Arista, nadanya serius.
"Kisah-kisah tentang Crysalis diturunkan dari generasi ke generasi, dianggap sebagai mitos belaka. Tapi ini nyata, Liora. Dan Umbra menginginkannya untuk menguasai Aether, sumber kekuatan magis di dunia ini, dan menenggelamkan Elysia dalam kegelapan abadi. Jika mereka berhasil, Elysia akan hancur, keindahan dan keajaibannya akan lenyap selamanya."
Mereka berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari kayu gelap yang tampak tua, dihiasi ukiran rumit yang menggambarkan adegan-adegan dari sejarah Elysia. Pintu itu tampak seperti pintu masuk ke dunia lain.
"Ini ruang arsip," kata Arista, menunjuk pintu tersebut.
"Mungkin kita bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan Crysalis di sini, catatan-catatan kuno yang mungkin terlupakan."
Arista mendorong pintu berat itu, dan mereka masuk ke dalam. Ruangan itu luas dan dipenuhi rak-rak tinggi yang menjulang hingga ke langit-langit, masing-masing rak dijejali gulungan perkamen, buku-buku kuno dengan sampul kulit yang usang, dan tablet-tablet batu bertuliskan simbol-simbol misterius. Aroma debu dan kertas tua begitu kuat, memenuhi udara dan membuat Liora sedikit bersin.
"Wah, seperti perpustakaan rahasia yang hanya ada dalam cerita,"
bisik Liora, matanya berbinar melihat sekeliling ruangan yang penuh dengan pengetahuan kuno. Ia merasa seperti berada di jantung sejarah Elysia.
Arista tersenyum tipis. "Memang. Hanya sedikit yang diizinkan masuk ke sini, para sejarawan kerajaan dan beberapa penyihir terpilih. Informasi yang tersimpan di sini sangat berharga dan dijaga ketat."
Mereka mulai mencari di antara rak-rak yang menjulang tinggi itu. Liora mencoba membaca beberapa judul buku, tetapi semuanya ditulis dalam bahasa Elf kuno yang ia sama sekali tidak mengerti. Simbol-simbol dan huruf-hurufnya tampak asing dan rumit baginya.
"Susah banget nyarinya kalau nggak ngerti bahasanya," keluh Liora, merasa frustasi karena tidak bisa membantu pencarian. Ia merasa seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
"Aku bisa membantumu," kata Arista, menawarkan bantuannya.
"Tapi kita harus cepat. Umbra bisa kembali kapan saja, dan kita tidak ingin terjebak di sini."
Arista mulai membaca beberapa gulungan perkamen dengan cepat, matanya bergerak lincah dari satu kata ke kata lain. Liora mengamati sekeliling, mencoba mencari petunjuk visual, sesuatu yang mungkin terlewat oleh Arista.
Tiba-tiba, matanya tertuju pada sebuah permadani besar yang tergantung di dinding di ujung ruangan. Permadani itu menggambarkan pemandangan Elysia secara detail, dengan hutan-hutan lebat, pegunungan yang menjulang tinggi, dan danau-danau yang berkilauan di bawah sinar matahari. Permadani itu tampak seperti jendela ke dunia luar.
"Arista, lihat ini!" seru Liora, menunjuk permadani itu dengan antusias. Ia merasa telah menemukan sesuatu yang penting.
Arista mendekat dan mengamati permadani itu dengan seksama.
"Ini peta Elysia," katanya, mengangguk. "Peta yang sangat detail. Tapi ada sesuatu yang aneh..."
Liora memperhatikan lebih detail, mengikuti arah pandang Arista. Ada sebuah simbol kecil yang tersembunyi di antara gambar pegunungan, hampir menyatu dengan motif permadani. Simbol itu berbentuk kristal, berkilauan samar di bawah cahaya obor yang tergantung di dinding.
"Itu dia!" seru Arista, suaranya dipenuhi harapan. "Crysalis Aetheria! Simbol ini pasti menandai lokasinya."
"Di mana itu?" tanya Liora, tidak sabar untuk mengetahui lokasinya.
Arista menunjuk ke bagian pegunungan di permadani. "Di Pegunungan Aethel, di jantung Elysia. Tapi itu wilayah yang berbahaya, Liora. Banyak makhluk buas yang mendiami pegunungan itu, dan ada juga jebakan-jebakan magis yang dipasang untuk melindungi Crysalis."
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa terdengar dari luar ruangan. Arista dan Liora saling bertukar pandang cemas, jantung mereka berdegup kencang.
"Mereka kembali," bisik Arista, suaranya bergetar. "Kita harus pergi dari sini, sekarang!"
Mereka berlari keluar dari ruang arsip dan bersembunyi di balik sebuah pilar besar yang berada di dekat pintu keluar. Dari kejauhan, mereka melihat beberapa Umbra berjalan di koridor, pedang mereka terhunus dan mata mereka yang merah menyala mencari-cari.
"Kita harus mencari Riel," bisik Liora, khawatir dengan keselamatan teman mereka.
"Dia mungkin sedang bertempur di bagian lain istana," kata Arista, mencoba menenangkan Liora.
"Kita harus berhati-hati dan sebisa mungkin menghindari mereka."
Mereka berjalan dengan hati-hati menyusuri koridor, bersembunyi di balik pilar dan bayangan, menghindari patroli Umbra yang semakin banyak. Suasana istana semakin mencekam, bau asap dan darah tercium di udara, menambah kengerian situasi.
Saat mereka berbelok di sudut koridor, mereka melihat Riel sedang bertempur melawan dua Umbra. Dia bergerak dengan lincah dan cepat, pedangnya berkelebat memancarkan cahaya perak, menangkis serangan-serangan Umbra dengan presisi.
"Riel!" seru Liora, lega melihat teman mereka masih hidup.
Riel menoleh dan melihat Liora dan Arista. Wajahnya yang tegang terlihat lega melihat mereka berdua selamat.
"Kalian baik-baik saja?" tanyanya, sambil terus bertarung, tidak mengendurkan serangannya.
"Iya," jawab Liora. "Kita menemukan petunjuk tentang Crysalis!"
"Di mana?" tanya Riel, matanya memancarkan harapan.
"Di Pegunungan Aethel," jawab Arista.
Riel mengangguk. "Kita harus segera ke sana. Tempat ini tidak aman lagi. Kita harus pergi sekarang juga."
Dengan bantuan Riel, yang berhasil mengalahkan Umbra yang menyerangnya, mereka berhasil melarikan diri dari istana yang diserang dan melarikan diri ke hutan di luar. Mereka tahu, perjalanan mereka ke Pegunungan Aethel baru saja dimulai, sebuah perjalanan berbahaya yang akan menentukan nasib Elysia.
"Gimana menurutmu? Lumayan 'kan?" Arista menunjuk ke sebuah gua yang tersembunyi di balik air terjun kecil.Airnya mengalir deras, menciptakan tirai air yang berkilauan diterpa cahaya bulan yang memantul di permukaan air kolam di bawahnya.Suara gemuruh air yang jatuh menciptakan suasana yang menenangkan, bercampur dengan suara serangga malam dan desau angin di antara pepohonan.Liora mengangguk kagum, matanya membulat melihat pemandangan di hadapannya."Keren banget! Kayak tempat persembunyian rahasia," serunya, suaranya hampir tertelan oleh suara air terjun.Dia merasa seperti masuk ke dalam dunia dongeng, sebuah tempat yang hanya ada dalam imajinasinya.Riel menyibak tirai air itu dengan gerakan anggun, memperlihatkan pintu masuk gua yang gelap. Mereka masuk ke dalam, dan Liora langsung merasakan perbedaan suhu. Di luar terasa sejuk, tapi di dalam gua terasa hangat dan lembap.Di dalamnya, gua itu jauh lebih luas dari yang mereka kira dari luar. Dinding-dindingnya tidak rata, melai
"Kita nggak bisa terus-terusan lari kayak gini," Liora terengah-engah, memegangi lututnya yang terasa lemas.Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Mereka telah berlari cukup jauh, memacu langkah sekuat tenaga meninggalkan tempat mengerikan di mana mereka diserang oleh Grimwolf yang buas.Namun, senja mulai merayap, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu, menandakan malam akan segera tiba. Kecemasan semakin mencengkeram mereka karena belum menemukan tempat berlindung yang aman.Riel, dengan mata elangnya yang awas, mengamati sekeliling dengan cermat. Hutan di sekitar mereka tampak sunyi, namun keheningan itu justru terasa mencekam."Kamu benar," sahutnya, suaranya terdengar serius."Kita butuh tempat yang aman sebelum malam tiba. Grimwolf jauh lebih berbahaya saat gelap. Penglihatannya dalam kegelapan sangat tajam, dan insting berburunya semakin kuat."Arista, yang juga tampak khawatir, menunjuk ke arah tebing batu yang agak jauh dari tempat mereka berdiri."D
"Lari!" teriak Riel, instingnya berteriak bahaya.Ia mendorong Liora dan Arista ke belakangnya, menciptakan perisai manusia di antara mereka dan ancaman yang mengintai. Tiga Grimwolf besar, makhluk mengerikan perpaduan serigala dan iblis, telah mengepung mereka.Mata merah mereka menyala garang di bawah cahaya rembulan pucat yang menembus celah-celah pepohonan yang menjulang tinggi. Hutan malam itu, yang tadinya sunyi, kini dipenuhi aura permusuhan yang pekat."Gimana caranya kita lari? Mereka mengepung kita!" balas Liora dengan nada panik, jantungnya berdebar kencang di dadanya.Setiap detak jantungnya terasa seperti genderang perang yang memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Dia bisa merasakan aroma amis dan busuk yang menyengat dari Grimwolf, bau khas predator yang lapar.Air liur menetes dari taring mereka yang tajam dan panjang, berkilauan seperti pecahan kaca di bawah cahaya bulan. Bulu mereka yang kasar dan berwarna gelap tampak seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan h
"Jadi, kita benar-benar akan ke sana?"Liora menunjuk ke arah pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan. Puncak-puncaknya diselimuti salju abadi, tampak gagah sekaligus menakutkan, sebuah benteng alam yang dingin dan misterius. Bayangan awan yang bergerak di lerengnya memberikan kesan hidup, seolah-olah pegunungan itu sendiri sedang mengamati mereka.Riel mengangguk, mengencangkan tali tas ranselnya yang tampak berat."Pegunungan Aethel. Tempat Crysalis Aetheria disembunyikan. Kita harus berangkat sekarang sebelum Umbra menemukan cara untuk melacaknya." Nada suaranya tegas, mencerminkan urgensi situasi mereka. Waktu adalah musuh mereka, dan setiap detik yang terbuang bisa membawa konsekuensi yang mengerikan."Tapi, Arista bilang tempat itu berbahaya," kata Liora, kerutan kecil muncul di dahinya. Kekhawatiran jelas terpancar dari matanya. Ia teringat peringatan Arista tentang ganasnya alam Pegunungan Aethel, tentang badai salju yang tiba-tiba, tebing curam yang mengancam, dan makhlu
"Jadi, artefak itu penting sekali, ya?"Liora bertanya pada Arista, nada suaranya menekankan betapa krusialnya informasi tersebut.Mereka berdua berjalan menyusuri koridor istana, yang kini tampak jauh berbeda dari sebelumnya. Dinding-dindingnya retak di beberapa bagian, memperlihatkan batu bata di baliknya, dan beberapa permadani mewah robek menganga akibat serangan Umbra yang baru saja terjadi. Suasana istana yang tadinya megah dan dipenuhi cahaya kini terasa tegang dan suram, aura ketakutan menyelimuti setiap sudutnya.Arista mengangguk dengan sungguh-sungguh."Sangat penting. Itu adalah Crysalis Aetheria, jantung dari kekuatan sihir Elysia. Tanpa artefak itu, sihir kita akan melemah secara drastis, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Kita akan menjadi sangat rentan terhadap Umbra dan kekuatan gelap mereka. Bayangkan sebuah perisai yang tiba-tiba menghilang, itulah yang akan terjadi pada Elysia.""Kedengarannya seperti barang mistis yang hanya ada di legenda-legenda kuno," kome
"Lepasin aku!" Liora berteriak, suaranya tercekat di antara gemuruh pertempuran yang sayup-sayup terdengar.Ia meronta sekuat tenaga dalam cengkeraman Umbra yang menyeretnya dengan kasar di sepanjang koridor istana. Cengkraman itu begitu kuat dan kasar, mencengkeram pergelangan tangannya hingga terasa ngilu dan memar mulai membayang di kulitnya. Setiap langkah Umbra terasa seperti siksaan, menyeretnya semakin jauh dari hiruk pikuk pertempuran yang menandakan harapan.Umbra itu, makhluk bertubuh tinggi dengan kulit kelabu gelap dan mata merah menyala, hanya menyeringai, memperlihatkan deretan gigi-giginya yang runcing dan tajam seperti taring serigala. Seringai itu bukan senyum, melainkan sebuah ekspresi predator yang menikmati mangsanya."Kamu pikir kamu bisa kabur, manusia?" desisnya dengan suara serak yang parau, suara yang merayap di tulang belakang Liora, mengirimkan gelombang rasa takut yang dingin dan menusuk.Suara itu bukan hanya serak, tetapi juga bergetar dengan kekuatan gel
"Susah banget sih fokus sama air!" Liora menghela napas panjang, butiran keringat membasahi dahinya.Ia duduk bersila di atas lantai kayu ruang latihan, matanya tertuju pada telapak tangannya yang kosong. Beberapa jam berlatih intensif bersama Riel belum membuahkan hasil yang signifikan. Perasaan frustrasi mulai merayapinya.Riel, yang duduk bersandar di dinding di hadapannya, mengamati Liora dengan sabar. "Memang butuh waktu, Liora. Jangan terlalu memaksakan diri. Proses ini membutuhkan kesabaran dan ketekunan.""Tapi, kamu bilang ini satu-satunya cara aku bisa kembali," sahut Liora dengan nada suara yang meninggi, mencerminkan kekecewaannya."Bagaimana kalau aku tidak bisa menguasainya? Bagaimana kalau aku gagal?" Nada putus asa terdengar jelas dalam setiap kata yang diucapkannya."Kamu pasti bisa," kata Riel dengan mantap, menatap Liora dengan tatapan yang penuh keyakinan dan dukungan."Kamu sudah berhasil memunculkan bunga matahari itu. Itu bukti nyata bahwa kamu memiliki potensi
"Jadi, gimana caranya aku belajar sihir?" tanya Liora, duduk bersila di atas bantal di ruang latihan istana.Ruangan itu luas dengan lantai batu yang dingin dan beberapa target latihan tergantung di dinding, saksi bisu latihan para kesatria dan penyihir istana selama bertahun-tahun. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela-jendela tinggi, menerangi debu yang menari-nari di udara.Riel, yang berdiri di depannya dengan postur tegap, bahunya lebar dan rahangnya tegas, tersenyum tipis. Senyum itu, meskipun singkat, mampu meredakan ketegangan di wajah Liora."Pertama-tama, kamu harus merasakan Aether.""Aether?" Liora mengerutkan kening, dahinya membentuk lipatan-lipatan kecil. "Itu apaan?"Inti dari semua sihir di Elysia," jelas Riel, suaranya tenang dan berwibawa."Energi yang mengalir di alam dan di dalam diri setiap makhluk hidup. Bayangkan seperti aliran sungai yang tak terlihat, menghubungkan setiap daun yang berguguran, setiap hembusan angin, dan setiap detak jantung.""Keden
"Serius, ini beneran istana?" Liora mendongak, matanya membulat menelusuri bangunan megah yang menjulang tinggi di hadapannya. Istana itu bukan sekadar tumpukan batu; ia tampak hidup, bernapas dengan keanggunan yang tak tertandingi. Dinding-dindingnya terbuat dari batu putih yang berkilauan seperti mutiara di bawah cahaya matahari yang menembus pepohonan tinggi di sekitarnya, dihiasi ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan makhluk-makhluk mitos dan adegan-adegan dari kisah-kisah kuno. Menara-menara yang ramping dan anggun menjulang seolah menembus awan, puncaknya dihiasi bendera-bendera berkibar yang menampilkan simbol-simbol yang tak dikenal Liora. Riel tersenyum tipis, melihat kekaguman di wajah Liora. “Selamat datang di Asteria, Istana Bintang. Kediaman para elf,” ucapnya dengan nada bangga. Liora masih terpukau, matanya terus menjelajahi setiap detail bangunan itu. “Keren banget! Kayak di film-film fantasi,” gumamnya, suaranya hampir Dibandingkan dengan gedung-gedung p