Home / Romansa / PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA / BAB 8 : TARING DAN ES

Share

BAB 8 : TARING DAN ES

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-01-19 15:05:27

"Lari!" teriak Riel, instingnya berteriak bahaya.

Ia mendorong Liora dan Arista ke belakangnya, menciptakan perisai manusia di antara mereka dan ancaman yang mengintai. Tiga Grimwolf besar, makhluk mengerikan perpaduan serigala dan iblis, telah mengepung mereka.

Mata merah mereka menyala garang di bawah cahaya rembulan pucat yang menembus celah-celah pepohonan yang menjulang tinggi. Hutan malam itu, yang tadinya sunyi, kini dipenuhi aura permusuhan yang pekat.

"Gimana caranya kita lari? Mereka mengepung kita!" balas Liora dengan nada panik, jantungnya berdebar kencang di dadanya.

Setiap detak jantungnya terasa seperti genderang perang yang memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Dia bisa merasakan aroma amis dan busuk yang menyengat dari Grimwolf, bau khas predator yang lapar.

Air liur menetes dari taring mereka yang tajam dan panjang, berkilauan seperti pecahan kaca di bawah cahaya bulan. Bulu mereka yang kasar dan berwarna gelap tampak seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan hutan.

"Kita harus bertarung," kata Riel dengan suara mantap, meskipun ia sendiri merasakan gentar di dalam hatinya.

Ia menghunus pedangnya dengan gerakan cepat dan pasti. Cahaya perak memancar dari bilah pedang itu, memantulkan cahaya bulan dan menciptakan garis cahaya yang membelah kegelapan.

Kilauan perak itu tampaknya mengganggu Grimwolf, membuat mereka menggeram rendah dan menunjukkan deretan gigi tajam mereka.

"Aku bisa bantu!" kata Liora, mencoba memanggil kekuatan sihirnya.

Kali ini, dia berusaha lebih fokus dan tenang, mengingat latihan-latihan yang telah ia lakukan.

Dia memejamkan mata sejenak, membayangkan danau yang membeku di musim dingin, permukaannya yang keras dan licin tertutup lapisan es tebal.

Dia membayangkan angin dingin yang bertiup di atas danau, membawa butiran salju yang menusuk kulit. Sensasi dingin yang menusuk langsung terasa di telapak tangannya, menyebar ke seluruh lengannya seperti aliran listrik.

"Jangan gegabah, Liora!" seru Arista dengan nada khawatir, mengeluarkan dua belati dari balik jubahnya yang gelap.

Gerakannya lincah dan cepat, menunjukkan bahwa ia terbiasa dengan pertarungan jarak dekat.

"Mereka berbahaya. Grimwolf bukan lawan sembarangan. Mereka kuat, cepat, dan sangat agresif." Arista mengamati gerak-gerik Grimwolf dengan seksama, mencari celah dalam formasi mereka.

Tiba-tiba, Grimwolf pertama menerjang, menerkam Riel dengan taringnya yang terbuka lebar, mencoba merobek dagingnya.

Riel dengan sigap menghindar ke samping, gerakannya cepat dan tepat, menghindari serangan maut itu. Dengan gerakan memutar, ia menebaskan pedangnya, mengenai bahu Grimwolf itu.

Makhluk itu mengaum kesakitan yang memekakkan telinga dan mundur selangkah, darah hitam pekat menetes dari lukanya.

Dua Grimwolf lainnya, melihat rekan mereka terluka, menyerang Arista dengan ganas. Mereka bergerak cepat dan lincah, melompat dan menerkam dengan kecepatan yang luar biasa, membuat Arista kewalahan.

Ia harus bergerak mundur selangkah demi selangkah, menghindari serangan-serangan yang datang dari berbagai arah. Liora melihat Arista terdesak dan dengan cepat melepaskan sihirnya. Ia mengangkat tangannya dan memfokuskan pikirannya.

Dua pilar es tiba-tiba muncul dari tanah dengan suara gemeretak yang keras, tepat di antara Arista dan dua Grimwolf yang menyerangnya. Pilar-pilar es itu tinggi dan kokoh, menciptakan penghalang yang efektif. Grimwolf terkejut dan mundur beberapa langkah, memberi Arista kesempatan untuk mengatur napas dan menyerang balik.

"Keren!" seru Arista, senyum tipis terukir di wajahnya saat ia memanfaatkan kesempatan itu.

Ia melempar salah satu belatinya dengan akurat ke arah Grimwolf yang paling dekat. Belati itu melesat di udara dan tepat mengenai sasarannya, menembus leher Grimwolf itu. Makhluk itu jatuh ke tanah dengan suara gedebuk, menggelepar beberapa saat sebelum akhirnya diam.

Riel berhasil melukai Grimwolf yang pertama, tapi dua lainnya masih menyerangnya dengan ganas, mencoba membalas dendam atas luka rekan mereka. Liora melihat Riel mulai kelelahan, napasnya mulai tersengal dan gerakannya mulai melambat. Dia tahu dia harus melakukan sesuatu, dan dengan cepat.

Dia memejamkan mata lagi dan memfokuskan seluruh pikirannya. Dia membayangkan badai salju yang dahsyat, dengan angin kencang yang menderu dan butiran es yang menusuk seperti jarum. Dia merasakan sensasi dingin yang luar biasa di tangannya, kali ini jauh lebih kuat dan intens dari sebelumnya. Kekuatan sihirnya mengalir deras di dalam dirinya.

Dia membuka matanya dan mengulurkan tangannya ke depan. Angin dingin tiba-tiba bertiup kencang, mengguncang pepohonan di sekitar mereka. Butiran es mulai berjatuhan dari langit, semakin lama semakin deras, menciptakan badai salju mini di tengah hutan. Grimwolf yang menyerang Riel terhuyung mundur, terkena badai es yang menusuk kulit dan mata mereka.

Riel memanfaatkan kesempatan itu dan menebaskan pedangnya dengan kekuatan penuh, menebas Grimwolf yang terakhir. Makhluk itu mengaum kesakitan sebelum jatuh ke tanah, mengakhiri pertempuran yang menegangkan. Grimwolf yang tersisa, melihat rekan-rekannya telah dikalahkan, melarikan diri ketakutan ke dalam hutan yang gelap.

Napas Liora tersengal-sengal. Dia merasa sangat lelah dan lemas, seluruh energinya terkuras. Dia melihat Riel dan Arista menghampirinya dengan raut lega di wajah mereka.

"Kamu hebat, Liora!" kata Riel, tersenyum bangga padanya.

"Kamu menyelamatkan kami. Tanpa kamu, entah apa yang akan terjadi."

"Aku... cuma mencoba membantu," kata Liora, masih terengah-engah dan mencoba mengatur napasnya. Dia melihat ke tangannya, masih merasakan sensasi dingin yang aneh dan sedikit gemetar.

"Kamu punya kekuatan yang luar biasa," kata Arista dengan nada kagum.

"Kamu harus terus melatihnya. Dengan latihan yang tepat, kamu akan bisa mengendalikannya dengan lebih baik."

Riel mengangguk setuju. "Kita harus segera pergi dari sini. Grimwolf itu mungkin akan kembali dengan bala bantuan. Kita tidak bisa mengambil risiko."

Mereka melanjutkan perjalanan mereka, kali ini dengan langkah yang lebih cepat dan hati-hati. Liora merasa bangga dengan dirinya sendiri. Dia akhirnya bisa menggunakan sihirnya dengan efektif, meskipun masih belum sepenuhnya terkendali. Dia juga merasa lebih dekat dengan Riel dan Arista setelah bertarung bersama, ikatan persahabatan mereka semakin kuat karena pengalaman yang berbahaya ini.

"Riel," kata Liora setelah beberapa saat berjalan dalam diam, pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian barusan.

"Kamu bilang Grimwolf itu bakal balik bawa temen-temennya. Apa kita nggak sebaiknya nyari tempat yang lebih aman? Tempat untuk beristirahat dan memulihkan tenaga?"

"Kamu benar," jawab Riel, mengamati sekeliling dengan cermat, mencari tanda-tanda tempat berlindung.

"Kita harus mencari tempat berlindung sebelum malam tiba sepenuhnya. Tempat yang terlindung dan sulit dijangkau oleh Grimwolf."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 10 : GUA KRISTAL

    "Gimana menurutmu? Lumayan 'kan?" Arista menunjuk ke sebuah gua yang tersembunyi di balik air terjun kecil.Airnya mengalir deras, menciptakan tirai air yang berkilauan diterpa cahaya bulan yang memantul di permukaan air kolam di bawahnya.Suara gemuruh air yang jatuh menciptakan suasana yang menenangkan, bercampur dengan suara serangga malam dan desau angin di antara pepohonan.Liora mengangguk kagum, matanya membulat melihat pemandangan di hadapannya."Keren banget! Kayak tempat persembunyian rahasia," serunya, suaranya hampir tertelan oleh suara air terjun.Dia merasa seperti masuk ke dalam dunia dongeng, sebuah tempat yang hanya ada dalam imajinasinya.Riel menyibak tirai air itu dengan gerakan anggun, memperlihatkan pintu masuk gua yang gelap. Mereka masuk ke dalam, dan Liora langsung merasakan perbedaan suhu. Di luar terasa sejuk, tapi di dalam gua terasa hangat dan lembap.Di dalamnya, gua itu jauh lebih luas dari yang mereka kira dari luar. Dinding-dindingnya tidak rata, melai

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 9 : API DI TENGAH KEGELAPAN

    "Kita nggak bisa terus-terusan lari kayak gini," Liora terengah-engah, memegangi lututnya yang terasa lemas.Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Mereka telah berlari cukup jauh, memacu langkah sekuat tenaga meninggalkan tempat mengerikan di mana mereka diserang oleh Grimwolf yang buas.Namun, senja mulai merayap, mewarnai langit dengan gradasi jingga dan ungu, menandakan malam akan segera tiba. Kecemasan semakin mencengkeram mereka karena belum menemukan tempat berlindung yang aman.Riel, dengan mata elangnya yang awas, mengamati sekeliling dengan cermat. Hutan di sekitar mereka tampak sunyi, namun keheningan itu justru terasa mencekam."Kamu benar," sahutnya, suaranya terdengar serius."Kita butuh tempat yang aman sebelum malam tiba. Grimwolf jauh lebih berbahaya saat gelap. Penglihatannya dalam kegelapan sangat tajam, dan insting berburunya semakin kuat."Arista, yang juga tampak khawatir, menunjuk ke arah tebing batu yang agak jauh dari tempat mereka berdiri."D

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 8 : TARING DAN ES

    "Lari!" teriak Riel, instingnya berteriak bahaya.Ia mendorong Liora dan Arista ke belakangnya, menciptakan perisai manusia di antara mereka dan ancaman yang mengintai. Tiga Grimwolf besar, makhluk mengerikan perpaduan serigala dan iblis, telah mengepung mereka.Mata merah mereka menyala garang di bawah cahaya rembulan pucat yang menembus celah-celah pepohonan yang menjulang tinggi. Hutan malam itu, yang tadinya sunyi, kini dipenuhi aura permusuhan yang pekat."Gimana caranya kita lari? Mereka mengepung kita!" balas Liora dengan nada panik, jantungnya berdebar kencang di dadanya.Setiap detak jantungnya terasa seperti genderang perang yang memompa adrenalin ke seluruh tubuhnya. Dia bisa merasakan aroma amis dan busuk yang menyengat dari Grimwolf, bau khas predator yang lapar.Air liur menetes dari taring mereka yang tajam dan panjang, berkilauan seperti pecahan kaca di bawah cahaya bulan. Bulu mereka yang kasar dan berwarna gelap tampak seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan h

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 7 : JEJAK DI PEGUNUNGAN

    "Jadi, kita benar-benar akan ke sana?"Liora menunjuk ke arah pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan. Puncak-puncaknya diselimuti salju abadi, tampak gagah sekaligus menakutkan, sebuah benteng alam yang dingin dan misterius. Bayangan awan yang bergerak di lerengnya memberikan kesan hidup, seolah-olah pegunungan itu sendiri sedang mengamati mereka.Riel mengangguk, mengencangkan tali tas ranselnya yang tampak berat."Pegunungan Aethel. Tempat Crysalis Aetheria disembunyikan. Kita harus berangkat sekarang sebelum Umbra menemukan cara untuk melacaknya." Nada suaranya tegas, mencerminkan urgensi situasi mereka. Waktu adalah musuh mereka, dan setiap detik yang terbuang bisa membawa konsekuensi yang mengerikan."Tapi, Arista bilang tempat itu berbahaya," kata Liora, kerutan kecil muncul di dahinya. Kekhawatiran jelas terpancar dari matanya. Ia teringat peringatan Arista tentang ganasnya alam Pegunungan Aethel, tentang badai salju yang tiba-tiba, tebing curam yang mengancam, dan makhlu

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 6 : JEJAK DI PERMADANI

    "Jadi, artefak itu penting sekali, ya?"Liora bertanya pada Arista, nada suaranya menekankan betapa krusialnya informasi tersebut.Mereka berdua berjalan menyusuri koridor istana, yang kini tampak jauh berbeda dari sebelumnya. Dinding-dindingnya retak di beberapa bagian, memperlihatkan batu bata di baliknya, dan beberapa permadani mewah robek menganga akibat serangan Umbra yang baru saja terjadi. Suasana istana yang tadinya megah dan dipenuhi cahaya kini terasa tegang dan suram, aura ketakutan menyelimuti setiap sudutnya.Arista mengangguk dengan sungguh-sungguh."Sangat penting. Itu adalah Crysalis Aetheria, jantung dari kekuatan sihir Elysia. Tanpa artefak itu, sihir kita akan melemah secara drastis, seperti api yang kehabisan bahan bakar. Kita akan menjadi sangat rentan terhadap Umbra dan kekuatan gelap mereka. Bayangkan sebuah perisai yang tiba-tiba menghilang, itulah yang akan terjadi pada Elysia.""Kedengarannya seperti barang mistis yang hanya ada di legenda-legenda kuno," kome

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 5 : DALAM CENGKERAMAN 'UMBRA'

    "Lepasin aku!" Liora berteriak, suaranya tercekat di antara gemuruh pertempuran yang sayup-sayup terdengar.Ia meronta sekuat tenaga dalam cengkeraman Umbra yang menyeretnya dengan kasar di sepanjang koridor istana. Cengkraman itu begitu kuat dan kasar, mencengkeram pergelangan tangannya hingga terasa ngilu dan memar mulai membayang di kulitnya. Setiap langkah Umbra terasa seperti siksaan, menyeretnya semakin jauh dari hiruk pikuk pertempuran yang menandakan harapan.Umbra itu, makhluk bertubuh tinggi dengan kulit kelabu gelap dan mata merah menyala, hanya menyeringai, memperlihatkan deretan gigi-giginya yang runcing dan tajam seperti taring serigala. Seringai itu bukan senyum, melainkan sebuah ekspresi predator yang menikmati mangsanya."Kamu pikir kamu bisa kabur, manusia?" desisnya dengan suara serak yang parau, suara yang merayap di tulang belakang Liora, mengirimkan gelombang rasa takut yang dingin dan menusuk.Suara itu bukan hanya serak, tetapi juga bergetar dengan kekuatan gel

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 4 : BAYANGAN DI CERMIN

    "Susah banget sih fokus sama air!" Liora menghela napas panjang, butiran keringat membasahi dahinya.Ia duduk bersila di atas lantai kayu ruang latihan, matanya tertuju pada telapak tangannya yang kosong. Beberapa jam berlatih intensif bersama Riel belum membuahkan hasil yang signifikan. Perasaan frustrasi mulai merayapinya.Riel, yang duduk bersandar di dinding di hadapannya, mengamati Liora dengan sabar. "Memang butuh waktu, Liora. Jangan terlalu memaksakan diri. Proses ini membutuhkan kesabaran dan ketekunan.""Tapi, kamu bilang ini satu-satunya cara aku bisa kembali," sahut Liora dengan nada suara yang meninggi, mencerminkan kekecewaannya."Bagaimana kalau aku tidak bisa menguasainya? Bagaimana kalau aku gagal?" Nada putus asa terdengar jelas dalam setiap kata yang diucapkannya."Kamu pasti bisa," kata Riel dengan mantap, menatap Liora dengan tatapan yang penuh keyakinan dan dukungan."Kamu sudah berhasil memunculkan bunga matahari itu. Itu bukti nyata bahwa kamu memiliki potensi

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 3 : SENTUHAN AETHER

    "Jadi, gimana caranya aku belajar sihir?" tanya Liora, duduk bersila di atas bantal di ruang latihan istana.Ruangan itu luas dengan lantai batu yang dingin dan beberapa target latihan tergantung di dinding, saksi bisu latihan para kesatria dan penyihir istana selama bertahun-tahun. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela-jendela tinggi, menerangi debu yang menari-nari di udara.Riel, yang berdiri di depannya dengan postur tegap, bahunya lebar dan rahangnya tegas, tersenyum tipis. Senyum itu, meskipun singkat, mampu meredakan ketegangan di wajah Liora."Pertama-tama, kamu harus merasakan Aether.""Aether?" Liora mengerutkan kening, dahinya membentuk lipatan-lipatan kecil. "Itu apaan?"Inti dari semua sihir di Elysia," jelas Riel, suaranya tenang dan berwibawa."Energi yang mengalir di alam dan di dalam diri setiap makhluk hidup. Bayangkan seperti aliran sungai yang tak terlihat, menghubungkan setiap daun yang berguguran, setiap hembusan angin, dan setiap detak jantung.""Keden

  • PUTRI PENGUBAH TAKDIR ELYSIA    BAB 2 : ISTANA DI ATAS AWAN

    "Serius, ini beneran istana?" Liora mendongak, matanya membulat menelusuri bangunan megah yang menjulang tinggi di hadapannya. Istana itu bukan sekadar tumpukan batu; ia tampak hidup, bernapas dengan keanggunan yang tak tertandingi. Dinding-dindingnya terbuat dari batu putih yang berkilauan seperti mutiara di bawah cahaya matahari yang menembus pepohonan tinggi di sekitarnya, dihiasi ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan makhluk-makhluk mitos dan adegan-adegan dari kisah-kisah kuno. Menara-menara yang ramping dan anggun menjulang seolah menembus awan, puncaknya dihiasi bendera-bendera berkibar yang menampilkan simbol-simbol yang tak dikenal Liora. Riel tersenyum tipis, melihat kekaguman di wajah Liora. “Selamat datang di Asteria, Istana Bintang. Kediaman para elf,” ucapnya dengan nada bangga. Liora masih terpukau, matanya terus menjelajahi setiap detail bangunan itu. “Keren banget! Kayak di film-film fantasi,” gumamnya, suaranya hampir Dibandingkan dengan gedung-gedung p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status