"LARI!"
Teriakan Riel yang keras dan penuh urgensi itu memecah keheningan malam hutan yang mencekam. Instingnya yang setajam silet menjerit—BAHAYA! Dengan gerakan sigap yang tak kusangka bisa dilakukan seorang pangeran, ia mendorong aku dan Arista dengan kasar ke belakang tubuhnya, secara refleks menjadikan dirinya perisai manusia.
Ancaman itu kini bukan lagi sekadar lolongan jauh. Ia nyata. Menakutkan. Dan sangat lapar.
Tiga ekor Grimwolf besar—makhluk mengerikan perpaduan antara serigala neraka dan iblis kelaparan—telah mengepung kami dengan rapat, gerakan mereka nyaris tanpa suara di atas hamparan daun kering. Mata merah mereka yang buas menyala garang di bawah cahaya rembulan pucat yang berhasil menyusup malu-malu melalui celah pepohonan yang menjulang tinggi. Hutan yang tadinya terasa senyap dan sedikit angker ini kini sesak oleh aura permusuhan yang begitu pekat hingga terasa mencekik leherku.
"Gimana caranya lari, Riel?! Mereka sudah mengepung kita dari semua sisi!" Aku balas membentak, lebih pada diriku sendiri sebenarnya, mencoba melawan rasa panik yang mulai merayapi setiap sel tubuhku. Suaraku bergetar hebat, jantungku bertalu-talu di rongga dada, bunyinya lebih keras dari genderang mau perang. Sial, sial, sial! Terkepung monster raksasa di tengah hutan antah-berantah macam ini. Skenario terburuk nomor berapa lagi ini yang harus kualami?
Setiap degup jantungku terasa bak genderang perang yang memompa adrenalin hingga ke ujung jari-jariku yang dingin. Aroma amis dan busuk yang menyengat, khas predator lapar yang sudah berhari-hari tidak makan, menusuk hidungku dengan kejam. Ugh, parfum Grimwolf ternyata sebusuk ini.
Air liur kental menetes dari taring-taring mereka yang panjang dan runcing, berkilauan mengerikan di bawah sinar bulan yang temaram. Bulu kasar berwarna hitam legam membuat mereka laksana bayangan yang hidup, nyaris menyatu dengan pekatnya kegelapan hutan di sekitar kami.
"Kita bertarung." Suara Riel terdengar begitu mantap dan tenang, seolah menghadapi tiga monster pembunuh ini adalah sarapan paginya. Meski begitu, aku bisa menangkap secuil getar gentar yang coba ia sembunyikan di balik nada tegasnya. Dasar Pangeran Elf sok pahlawan, batinku sinis, meskipun sejujurnya ada sedikit rasa salut yang menyelinap di sana.
Gerakan Riel saat menghunus pedang peraknya begitu cepat dan pasti, nyaris tak terlihat. Bilah pedang itu langsung memantulkan cahaya rembulan yang redup, menciptakan seberkas garis terang yang seolah membelah kegelapan malam. Kilau perak yang menyilaukan itu agaknya cukup mengusik para Grimwolf. Mereka serempak menggeram rendah, suara yang keluar dari tenggorokan mereka lebih mirip suara batu yang digerus, sambil memamerkan deretan gigi-gigi mereka yang setajam silet.
"Aku… aku akan bantu!" Aku memberanikan diri, berusaha memanggil kembali kekuatan sihir es yang tadi sempat kurasakan. Kali ini harus berhasil, Liora! Jangan cuma jadi beban yang bisanya teriak-teriak saja!
Aku berusaha lebih fokus, lebih tenang, memanggil kembali semua ingatan tentang latihan-latihan membosankan bersama Riel yang ternyata ada gunanya juga di saat genting seperti ini. Aku memejamkan mata erat-erat. Bayangan danau beku di puncak musim dingin yang tadi berhasil kuciptakan terlintas lagi di benakku—permukaan es yang keras, licin, dan begitu tebal. Angin dingin yang menderu-deru di atas permukaan danau itu, membawa butiran-butiran salju tajam yang menusuk kulit.
Dan sensasi itu… dingin yang menggigit itu kini terasa begitu nyata di kedua telapak tanganku, menjalar cepat ke seluruh lenganku laksana aliran listrik beku. Aku bisa!
"Jangan gegabah, Liora!" seru Arista khawatir, suaranya sedikit tegang. Dua belati perak telah tergenggam erat di kedua tangannya, ditarik dari balik jubah gelapnya dengan gerakan secepat kilat yang memukau. Gerakannya begitu lincah dan efisien, jelas sekali membuktikan kebiasaannya dalam pertarungan jarak dekat. "Grimwolf bukan lawan enteng, Liora," Arista memperingatkan lagi, matanya yang setajam elang kini awas mengamati setiap gerak-gerik monster buas itu, mencari celah sekecil apa pun. "Mereka kuat, cepat, dan sangat agresif."
Tanpa aba-aba sedikit pun, Grimwolf pertama menerjang maju!
Monster itu melompat dengan kecepatan luar biasa ke arah Riel, taring-taringnya yang terbuka lebar siap merobek daging Pangeran Elf itu. Tapi Riel lebih sigap. Dengan gerakan berkelit yang gesit dan terukur, ia berhasil menghindari serangan mematikan itu dengan selisih hanya beberapa senti. Sebuah gerakan memutar yang indah namun mematikan, dan pedang peraknya menebas dengan akurat, mengenai bahu si Grimwolf.
AUMAN KESAKITAN yang memekakkan telinga meledak dari tenggorokan makhluk itu. Ia mundur selangkah dengan terhuyung, darah hitam pekat yang kental menetes deras dari lukanya yang menganga.
Melihat rekan mereka terluka, dua Grimwolf lainnya serentak menyerbu Arista dengan lebih buas dan kalap. Mereka bergerak begitu cepat dan lincah, melompat dan menerkam dari berbagai arah secara bersamaan. Arista mulai terlihat kewalahan. Ia terpaksa mundur, selangkah demi selangkah, berusaha keras menghindari rentetan serangan cakar dan taring yang mengancam.
Aku melihatnya terdesak. Sekarang atau tidak sama sekali, Liora!
Aku mengangkat kedua tanganku, memusatkan seluruh daya dan konsentrasiku yang tersisa pada sensasi dingin di telapak tanganku.
KRAK! KRAK!
Dua pilar es yang kokoh dan runcing tiba-tiba mencuat dari tanah dengan suara gemeretak keras yang memecah keheningan, menjulang tinggi dan kokoh tepat di antara Arista dan kedua Grimwolf yang menyerangnya. Dinding es dadakan! Para Grimwolf itu terkejut bukan main, refleks melompat mundur beberapa langkah. Arista mendapatkan jeda berharga sepersekian detik untuk mengatur napas dan bersiap menyerang balik.
"Keren, Liora!" seru Arista, senyum tipis penuh semangat terukir di wajahnya yang berkeringat seraya memanfaatkan kesempatan emas itu. Satu belatinya melesat dengan akurat dari tangannya, berputar di udara, dan menancap telak di leher Grimwolf yang paling dekat dengannya.
GEDEBUK! Makhluk raksasa itu jatuh tersungkur ke tanah dengan suara berat, menggelepar hebat sesaat, lalu diam tak bernyawa, mata merahnya kini meredup. Satu tumbang!
Riel masih berduel sengit dengan Grimwolf yang tadi ia lukai. Monster itu, meskipun bahunya terluka parah, masih menyerangnya dengan brutal dan membabi buta, jelas ingin membalas dendam atas lukanya. Aku melihat Riel mulai terlihat kepayahan; napasnya tersengal hebat, dan gerakannya sedikit melambat.
Giliranku lagi untuk beraksi, pikirku cepat. Cepat, Liora, cepat!
Kembali aku memejamkan mata, memfokuskan seluruh tekad dan sisa energi yang kumiliki. Badai salju dahsyat. Angin yang menderu kencang. Butiran-butiran es setajam jarum yang menusuk. Sensasi dingin yang luar biasa kembali menjalari kedua tanganku, kini terasa jauh lebih kuat, jauh lebih intens dari sebelumnya. Kekuatan sihir es dalam diriku bergolak deras, siap meledak.
Aku membuka mata, mengulurkan kedua tanganku lurus ke depan.
Seketika, angin dingin bertiup kencang di sekitar kami, mengguncang pepohonan hingga daun-daun peraknya berjatuhan. Butiran-butiran es mulai turun dari langit yang gelap, awalnya hanya gerimis kecil, namun kian lama kian deras, menciptakan badai salju mini di tengah hutan tropis yang aneh ini! Grimwolf yang sedang menyerang Riel terhuyung mundur dengan panik, matanya yang merah menyala perih, kulitnya yang tebal serasa ditusuk ribuan jarum es yang tajam.
Riel tak menyia-nyiakan celah sepersekian detik itu. Dengan sisa tenaga terakhirnya, ia menebaskan pedang peraknya sekuat tenaga. TEPAT MENGENAI GRIMWOLF TERAKHIR! Auman kesakitan yang mengerikan, lalu tubuh raksasa itu ambruk ke tanah dengan suara berdebam keras.
Pertempuran singkat namun menegangkan ini akhirnya berakhir.
Grimwolf yang tadi berhadapan dengan Arista dan sempat terluka parah, melihat semua rekannya tewas mengenaskan, nyalinya langsung ciut. Dengan geraman ketakutan, ia berbalik dan kabur tunggang langgang ke dalam hutan gelap, menghilang ditelan bayang-bayang.
Napasku masih tersengal hebat. Lelah, lemas, seluruh energiku serasa terkuras habis sampai ke tetes terakhir. Aku melihat Riel dan Arista menghampiriku, raut lega yang luar biasa jelas terpasang di wajah mereka yang kini basah oleh keringat dan sedikit noda darah.
"Kamu… kamu hebat sekali, Liora!" Riel tersenyum tulus, ada nada bangga yang tak bisa disembunyikan dalam suaranya yang sedikit terengah. "Kamu benar-benar menyelamatkan kami semua malam ini. Tanpa sihir es-mu tadi…" Riel menggeleng pelan, tak melanjutkan kalimatnya. Tapi aku sudah paham maksudnya. Kami mungkin sudah jadi santapan malam para Grimwolf itu.
"Aku… aku cuma berusaha semampuku," jawabku, masih terengah-engah, mencoba mengatur napasku yang memburu. Aku menatap kedua tanganku yang sedikit gemetar, sisa sensasi dingin aneh dari sihir es itu masih terasa samar. Lumayan juga, ya, untuk seorang pemula sepertiku, batinku, ada sedikit rasa bangga yang menyelinap, tapi juga sedikit ngeri membayangkan jika tadi aku gagal.
"Kekuatanmu itu luar biasa besarnya, Liora," Arista menimpali, nada kagum yang tulus tak bisa ia sembunyikan. "Kau harus terus melatihnya. Dengan kendali yang lebih baik lagi, kamu akan menjadi penyihir yang makin dahsyat."
Riel mengangguk setuju. "Tapi sekarang, kita harus segera cabut dari sini. Grimwolf yang kabur tadi bisa saja kembali lagi membawa pasukan yang lebih banyak. Kita tidak boleh mengambil risiko."
Kami bertiga bergegas melanjutkan perjalanan, langkah kami kini terasa lebih cepat, namun kewaspadaan kami justru ditingkatkan berkali-kali lipat. Aku, meskipun kelelahan luar biasa, merasakan secercah kebanggaan yang hangat di hatiku. Akhirnya, sihirku benar-benar berguna, bahkan sangat efektif, walaupun kontrolnya masih jauh dari kata sempurna. Tidak sia-sia aku hampir mati kedinginan dan frustrasi saat latihan tadi, pikirku sinis tapi juga puas.
Dan yang terpenting, pertarungan barusan sepertinya membuat kami bertiga—diriku, Riel, dan Arista—terasa lebih dekat. Sebuah ikatan aneh yang mungkin hanya bisa ditempa dalam situasi hidup dan mati seperti ini.
"Riel," aku memecah keheningan beberapa saat kemudian, setelah kami berjalan cukup jauh dari lokasi pertempuran tadi. Pikiranku masih belum bisa lepas dari bayangan taring-taring tajam Grimwolf. "Soal Grimwolf yang kabur tadi… kalau dia benar-benar balik lagi bawa rombongan yang lebih banyak, kita bisa repot banget. Mungkin… mungkin nggak sebaiknya kita cari tempat yang aman dulu buat malam ini? Istirahat sebentar, pulihkan tenaga." Mumpung kami belum benar-benar jadi santapan berikutnya, tambahku dalam hati, sedikit bergidik.
"Kamu benar, Liora," Riel menyahut, matanya yang setajam elang kini awas mengamati sekeliling kami, mencari tanda-tanda tempat berlindung yang layak. "Kita harus segera mencari perlindungan sebelum malam semakin pekat. Tempat yang aman, dan sulit dijangkau oleh para Grimwolf itu."
Api unggun menjadi satu-satunya denyut kehidupan di dalam gua ini, cahayanya yang fana menari di dinding batu yang dingin. Di luarnya, malam Hutan Silvanus Raya membisikkan ancaman lewat setiap hembusan angin. Di dalam keheningan yang pekat ini, hanya ada dua suara: derak api dan… napasnya.Napas Liora.Dangkal, lemah, namun teratur. Sebuah ritme kecil yang menjadi sauh bagi kesadaranku, satu-satunya bukti bahwa ia masih bersama kami.Aku berlutut di sisinya, mengganti kain basah di keningnya. Wajahnya begitu pucat di bawah cahaya api, sebuah kanvas rapuh yang begitu kontras dengan semangat keras kepala yang biasa terpancar darinya.Sudah hampir dua hari ia seperti ini.Dua hari yang terasa seperti dua abad.Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa ketakutan ini terasa begitu asing? Aku telah menatap mata naga di jurang Mordath. Aku pernah berdiri di gerbang Asteria, menghadapi puluhan Umbra tanpa gentar.Namun, keheninganmu, Liora, kebisuan dari napasmu yang lemah ini, adalah musuh
Malam itu, kami menemukan sebuah ceruk di balik dinding batu yang cukup aman untuk beristirahat. Api unggun kembali menjadi pusat dari dunia kecil kami, apinya yang berderak pelan seolah menjadi satu-satunya musik di tengah keheningan Perbatasan Senja. Arista, dengan ketangkasannya, sedang sibuk memeriksa persediaan kami yang semakin menipis di sudut yang sedikit lebih gelap. Memberikan kami—aku dan Riel—ruang dan waktu yang anehnya terasa begitu privat. Aku duduk menatap api, memikirkan kembali kejadian tadi siang. Pohon raksasa yang bisa diajak ngobrol. Gila. Dunia ini benar-benar tidak ada habisnya memberiku kejutan. "Caramu menenangkan sang Treant tadi…" Suara Riel yang dalam tiba-tiba memecah lamunanku. Aku menoleh. Ia sedang duduk di seberang api, membersihkan pedang peraknya yang indah, tapi matanya menatapku dengan lekat. "…itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan di akademi elf mana pun, Liora." Aku bisa merasakan pipiku sedikit menghangat. Kenapa si
(Cerita ini berlatar di antara Bab 8 dan Bab 9 di Season 1 ini, saat beristirahat di dalam gua setelah pertarungan pertama melawan Grimwolf.)Malam di Pegunungan Aethel ternyata jauh lebih dingin dan sunyi daripada yang bisa kubayangkan. Di luar gua, angin melolong seperti serigala yang kesepian, tapi di dalam sini, kami punya kemewahan kecil: api unggun.Arista, dengan staminanya yang luar biasa, sudah terlelap di sudut gua yang paling terlindung. Napasnya teratur dan tenang. Sosoknya terlihat begitu damai, sangat kontras dengan sang pejuang mematikan beberapa jam yang lalu.Aku sendiri?hm.. Aku tidak bisa tidur.Aku duduk memeluk lututku di dekat api unggun, menatap lidah-lidah api yang menari-nari lincah. Tubuhku sudah tidak gemetar karena dingin, tapi ada getaran lain yang masih tersisa di dalam diriku. Aftershock. Gema dari pertarungan brutal tadi.Bayangan taring Grimwolf yang terbuka lebar, auman kesakitannya yang memekakkan telinga, dan bau anyir darah hitamnya yang menyengat…
Aku tersentak sadar sepenuhnya, napasku memburu liar, mataku membelalak ngeri menatap air mata air yang kini bersinar tenang.Seolah ia tidak baru saja menunjukkan kiamat di ambang mata kepadaku."Liora, ada apa? Demi bintang-bintang, apa yang kau lihat?" tanya Riel panik, tangannya yang menopang kepalaku terasa mengencang, getaran cemasnya menjalari tubuhku.Aku menatapnya dengan tatapan penuh horor, mencoba merangkai kata, tapi tenggorokanku terasa tercekat oleh ketakutan yang dingin."Ini… ini bukan hanya tentang Elysia," bisikku, suaraku bergetar hebat."Jika dia berhasil… Nenek… semua orang di rumah… mereka semua dalam bahaya."Aku menatap Arista, yang kini juga berlutut di sampingku dengan wajah pias dan cemas."Duniaku… duniaku juga dalam bahaya."Butuh beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagiku untuk bisa menjelaskan visi mengerikan itu. Aku menceritakan semuanya. Tentang cermin di loteng rumahku yang ternyata bukan sekadar pintu, tapi sebuah Jantung Kembar dari Mata
Ia berdiri dengan anggun, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan pelan yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Penjaga Mata Air Kehidupan itu menatapku. Dan aku tahu, ujian untuk membuktikan kelayakanku……telah berhasil kulewati.Sang unicorn perlahan menundukkan kepalanya yang agung, sebuah gestur penerimaan yang membuat hatiku yang tadi tegang langsung terasa lega. Ia melangkah ke samping, membukakan jalan menuju pohon willow raksasa dan sumber mata air yang bersinar di bawahnya."Dia… dia menerimamu," bisik Riel, suaranya penuh dengan kekaguman yang tulus.Aku mengangguk, masih tak bisa berkata-kata. Aku menundukkan kepalaku pada sang unicorn sebagai tanda terima kasih, dan ia hanya mengedipkan matanya yang besar dan biru, seolah berkata, 'Jalanmu telah terbuka. Jangan sia-siakan.'Dengan langkah yang kini terasa lebih mantap, aku mul
Seekor unicorn.Dan ia jelas sekali tidak terlihat senang dengan kehadiran kami.Ia berdiri dengan anggun di atas hamparan rumput hijau di pulau kecil itu, menghentakkan kakinya yang ramping ke tanah, dan mengeluarkan suara ringkikan rendah yang terdengar lebih seperti sebuah peringatan agung daripada sapaan selamat datang.Matanya yang berwarna biru langit yang dalam itu tidak menatap kami bertiga.Ia menatap lurus ke arahku.Dan aku tahu, tanpa perlu diberitahu, bahwa ujian untuk membuktikan kelayakanku di hadapan Mata Air Kehidupan……baru saja akan dimulai."Jangan bergerak," bisik Riel di sampingku, suaranya tegang. "Unicorn adalah makhluk yang sangat peka terhadap niat. Satu gerakan yang salah bisa dianggap sebagai ancaman."Aku hanya bisa mengangguk kaku. Aku bisa merasakan aura yang memancar darinya. Bukan amarah buta seperti sang Treant. Bukan juga kesedihan mendalam seperti Pohon Jiwa.Ini berbeda.Ini adalah kemurnian yang angkuh. Sebuah energi yang begitu bersih dan kuat hi