Lavani tengah berada di dalam mobil, memijit kepalanya. Rasa pusing dan sakit begitu menyiksanya, tadi dia terbangun dengan tergesa karena panggilan telepon dari Sivan. Dia baru teringat kalau hari ini akan ada rapat penting.
Dengan terburu-buru dia bangun dan pergi ke salon untuk mempersiapkan dirinya.
Beruntung hari ini rapat selesai dengan cepat, dengan terburu-buru dia langsung meninggalkan kantor.
“Nyonya, tuan Janggala menelepon katanya hari ini makan malam bersama akan ditunda sampai minggu depan.” Ujar si supir ketika mereka tengah berada di jalan.
Lavani melirik ke arah spion dan mengangguk.
Tidak peduli.
Masa bodoh dengan makan malam bersama atau apapun itu, tidak penting. Dia juga tidak iingin berada di rumah kalau saja kepala sialannya tidak merasakan nyeri. Dia lebih baik pergi ke klub malam dan bersenang-senang disana ketimbang harus terkukung di dalam rumah.
Mobil memasuki garasi dan Lavani turun dari dalam mobil. Dia berjalan memutar karena pintu yang menuju ruang belakang dari garasi sedang di perbaiki.
“Kayaknya saya sering banget lihat kamu pulang sendiri ketimbang bareng sama Gala.” Suara Nancy menginterupsi langkahnya, Lavani menghela napas dan menoleh pada Nancy yang tengah duduk di sebuah kursi taman dengan cangkir teh di tangan.
“Gala masih sibuk ma, kita tadi juga ketemu karena rapat bareng.” Ujar Lavani dengan suara yang rendah, dia tidak ingin berdebat dengan wanita tua itu sekarang. Kepalanya sedang benar-benar sakit.
“Kamu ‘kan bisa nunggu dan bareng pulangnya.”
“Gala masih ada kerjaan ma, ini aja Gala batalin rencana kita buat makan malam bareng.” Lavani mulai tidak sabar dengan mertuanya.
Nancy berdehem, menyeruput perlahan teh hangat di dalam cangkirnya. Dia kemudian menaruhnya dan melirik ke arah Lavani.
“Kapan kamu berniat punya anak? Pernikahan kalian sudah masuk usia empat tahun, sudah terlalu lama berduaan.”
Lavani menghela napas, dia membuang muka dan memutar bola matanya. Pembahasan yang tidak akan pernah ada habisnya.
“Vani sama Gala sudah bicara mengenai ini ma, kami sepakat untuk menunda.”
“Mama gak yakin Gala setuju.” Ucap Nancy, dia memperbaiki gaunnya sebelum melanjutkan ucapannya. “Gala suka anak kecil, dan dia tahu benar prioritas pernikahannya adalah untuk menghasilkan keturunan. Mama juga mau menimang cucu. Mau sampai kapan kamu menunda? Kamu terlalu asik pergi ke klub malam dan bersenang-senang.”
Lavani menelan ludahnya, kepalanya berdenyut kencang. Percakapan ini selalu berulang setiap hari jadi pernikahannya dengan Janggala, ibu mertuanya selalu mendesak dia dan Janggala untuk memiliki seorang anak.
“Kamu gak usah takut badan kamu bakalan berubah, kalau perut kamu bergelambir kamu bisa ke Korea Selatan untuk melakukan operasi plastik untuk memperbaikinya. Atau kamu ketakutan gak bisa lagi menikmati dunia malam yang kamu senangi itu?”
“Ma, mama sudah tahu gimana kehidupanku sebelum aku menikah sama Gala. Aku juga sudah bilang ke mama kemungkinan akan menunda karena aku ingin mengejar karirku terlebih dahulu. Aku baru saja mendapatkan kesempatan memimpin perusahaan cabang tiga tahun belakangan ma, aku masih berusaha menyesuaikan diri.” Lavani berkata dengan suara parau, dia berusaha menahan marah dan sakit kepalanya secara bersamaan.
“Omong kosong..” Nancy berkata, ujung bibirnya naik ke atas, dia menatap Lavani dengan tatapan sinis. Nancy berjalan mendekat ke arah wanita itu. “Kamu mungkin bisa mengelabui Gala dengan omonganmu yang hebat itu, tapi kamu gak bisa membohongi saya. Kamu pasti berusaha dengan keras ya agar tidak kebobolan?” Tangan wanita tua itu kemudian merogoh saku baju terusan yang dia pakai dan melempar banyak sekali kotak pil kontrasepsi ke wajah Lavani.
Lavani tertegun karena serangan yang secara mendadak itu, semua kotak pil kontrasepsi yang dia sembunyikan di kamar salah satu asisten rumah tangga menampar wajahnya.
Dia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari asisten rumah tangga yang dia titipi pil-pil itu.
“Kamu gak usah mencari mbak Ria, saya sudah pecat dia. Kamu dengan seenaknya bekerja sama dengan asisten rumah tangga saya untuk menyembunyikan pil-pil ini, persetan dengan omonganmu! Kamu dengan sengaja mengkonsumsi pil-pil jahanam itu agar tidak hamil.” Ucap Nancy dengan suara yang begitu rendah namun tajam, dia berjalan meninggalkan Lavani yang masih terdiam.
Beberapa asisten rumah tangga langsung menyerbu Lavani, membantu wanita itu masuk ke dalam rumah dan membereskan pil-pil kontrasepsi itu. Tubuh Lavani bergetar, dia masih tidak bisa bereaksi.
Para asisten membawanya ke dalam kamar dan meninggalkannya seorang diri.
Wanita itu buru-buru mencari ponselnya dan menelepon seseorang.
“Aku gak bisa! Aku gak bisa terus-terusan sandiwara kayak gini!” Ucapnya dengan napas memburu, dia bahkan tidak bisa memekik karena khawatir semua orang yang berada di rumah ini bisa mendengarnya.
“Kenapa? Ada apa?” Suara pria diujung telepon terdengar khawatir.
“Gak bisa Siv, aku gak bisa begini terus! Aku gak sanggup bersandiwara dan tahan berumah tangga dengan Janggala! Aku bisa gila karena mama!”
“Apa yang terjadi?”
“Mama nemuin kotak pil kontrasepsiku di kamar mbak Ria!” Ujarnya sambil menggigiti jarinya dengan panik, dia menekan dahinya dengan jari karena rasanya sudah begitu sakit.
“Van, jangan panik. Dengar, mama pikir kamu pakai pil itu untuk mencegah kehamilan kamu dengan Gala ‘kan?” Tanya Sivan diujung telepon.
Lavani mengangguk meskipun dia tahu Sivan tidak bisa melihatnya.
“Van, dengar. Sandiwara kamu belum terbongkar, kita berdua belum ketahuan punya hubungan apapun. Tenang Van!”
“Harus sampai kapan Siv? Aku harus sampai kapan bertahan dengan ini semua? Ayo kita pergi aja, aku mau sama kamu.” Rengek Lavani, dia mondar mandir kesana kemari di dalam kamar.
“Sabar ya, sabar. Kita akan segera pergi setelah kantor cabang di Permadani selesai. Kita harus atur rencana supaya semua supplier bisa ditangan kita. Kita hancurkan PT. TANTRA WIBAWA..” Sivan berkata, berusaha menenangkan Lavani.
Lavani duduk diujung kasur, dia mengacak rambutnya. Airmata jatuh ke pipinya.
“Aku sayang kamu Siv..”
“Aku juga Van, aku sayang kamu juga..”
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar