Janggala sudah berada di kantor tepat waktu, hari ini dia ada rapat dengan pemegang saham dan direksi membahas kantor cabang baru yang akan didirikan dalam waktu dekat ini.
Pembahasan kali ini mengenai lokasi dan beberapa hal lain yang mungkin akan menyita waktu yang lumayan.
Dia mengecek ponselnya, sudah pukul dua siang. Tidak ada kabar dari Lavani, tadi pagi dia pergi lebih dulu sebelum wanita itu bangun. Dia mengirimkan pesan berpamitan namun tidak ada balasan.
“Ka, bisa cek sekretaris Lavani gak? Dia sudah datang ke kantor belum?” Tanya Janggala ketika Siska baru saja masuk ke dalam ruangannya dengan membawa banyak berkas, wanita bermata sipit dengan rambut hitam tergulung rapi itu menatapnya.
“Loh, bu Vani sama Sivan sudah datang dari sejam lalu pak. Tadi ke ruangan rapat duluan karena ada beberapa hal yang harus dipersiapkan.”
Janggala mengerenyitkan dahinya, Lavani tidak membalas pesannya tapi sudah datang ke kantor sejam lalu.
Hatinya tidak begitu menyukai hal itu namun dia kemudian membuang pikiran-pikiran buruk.
“Sudah beres persiapannya? Ayo kita mulai aja, sepuluh menit lagi pasti sudah datang semua.” Kata Janggala berusaha untuk bersikap profesional.
Siska mengangguk, mengambil beberapa berkas dan tablet untuk persiapan rapat. Dia berjalan di belakang Janggala. Semenjak kembali dari New York atasannya itu terlihat begitu berbeda, entah karena kini Janggala sudah dewasa atau karena sudah menikah, dia terlihat semakin tampan dan juga karismatik.
Semua karyawan disini memanggilnya dengan sebutan “Tuan Pangeran.”
Janggala tegas pada semua karyawannya, dia terkenal galak dan pelit senyum. Namun ketika dia bersama dengan sang istri, dari tatapan wajah sampai ekspresi, semuanya berubah. Sudah jelas sekali kalau pria itu mencintai istrinya.
“Selamat siang.” Suara Janggala menggema di ruangan, dia menggunakan microphone yang ada di meja. Tempatnya duduk membuatnya bisa melihat semua orang yang hadir di ruang rapat.
Ada sekitar tiga puluh orang yang hadir, termasuk pemegang saham dan direksi.
“Kita mulai saja rapat mengenai lokasi dan rencana pembangunan kantor cabang.” Ucapnya.
Dia memimpin rapat dengan baik, semua masukan dipilah dan didiskusikan dengan baik. Sesekali dia melirik ke arah Lavani, wanita itu mengenakkan jas dan kemeja berwarna putih dengan warna celana serta sepatu yang senada. Rambut hitam panjang dan lurusnya terlihat kontras dengan warna putih yang berada di tubuhnya.
Dia cantik.
Selalu cantik.
Tubuhnya yang langsing dan tinggi itu selalu membuat Janggala jatuh hati, terutama matanya yang menyihir sejak kali pertama mata mereka bertemu di Rumah Sakit.
“Kami punya usulan tempat yang cocok untuk kantor cabang.” Lavani tiba-tiba bersuara ketika beberapa orang bertanya mengenai lokasi yang cocok. Semua mata kini tertuju padanya, dia kemudian duduk agak maju, tangannya menyentuh meja rapat.
“Karena kantor cabang ini nantinya akan mengurus bahan mentah untuk produksi, saya kira ada baiknya dibuka di tempat yang selama ini menjadi pemasok sayuran perusahaan.”
“Maksud anda Desa Permadani?” Tanya salah satu yang hadir di rapat.
“Betul, selama ini sudah bertahun-tahun desa itu menjadi salah satu pemasok bahan mentah perusahaan. Saya rasa ada baiknya dirikan kantor cabang disana dan perbaiki sistemnya, kualitas mereka bagus tapi kita selalu menunggu lama untuk dapat jumlah yang kita pinta.” Lavani menjelaskan dengan suara yang tenang.
“Tapi desa itu hanya dihuni oleh seratus kepala keluarga, itu desa kecil dan jarak dari sini kesana memakan waktu sampai lima jam. Desa Permadani berada tepat di kaki gunung.” Ujar pak Hartono, salah satu pemegang saham PT. TANTRA WIBAWA.
“Lagipula akan sulit kalau secara mendadak membeli lahan disana.”
“Keluarga Tantra punya tanah disana.” Pernyataan Janggala membuat semua orang di ruangan beralih menatapnya. “Tapi untuk membuatnya menjadi sebuah kantor cabang mungkin akan diperlukan beberapa hektar lagi.”
“Tidak bisa, itu akan memakan banyak waktu. Kita butuh tahun ini sudah selesai.” Pak Ibrahim kini bersuara, dia menyandarkan punggungnya ke kursi.
“Bisa, biarkan saya yang handle. Saya dan Janggala.” Sivan bersuara, membuat orang-orang di ruangan mulai riuh.
Tidak ada yang mempercayai kinerja Sivan meskipun selama berada di kantor cabang yang dibawahi oleh Lavani prestasinya gemilang. Semua orang di ruangan sudah diberikan ultimatum oleh Nancy untuk tidak mempercayai Sivan, mereka tahu urusan Nancy dan Sivan adalah ranah pribadi namun seluruh kekayaan mereka ada di tangan Nancy.
Mereka tidak ingin berulah.
“Kalau begitu, untuk lokasi sudah ditentukan.” Ucapan Janggala membuat seluruh ruangan semakin riuh, mereka tidak menyetujui keputusan Janggala.
“Mohon di dengarkan, saya disini bukan untuk menopang ide istri saya. Tapi apa yang Lavani usulkan ada benarnya, selama ini kita agak kesulitan mengenai bahan mentah untuk produksi. Satu-satunya yang cocok hanyalah hasil panen desa Permadani, hanya saja selama ini kita tidak pernah ikut campur masalah penanaman dan lainnya. Saya rasa sekaranglah waktunya.”
Penjelasan Janggala membuat semua orang di dalam ruangan tutup mulut. Mereka tidak mampu membantah atasan mereka yang masih muda itu. Meskipun usianya masih terbilang muda sejumlah prestasi sudah diraih oleh Janggala, kemampuannya sebagai seorang CEO tidak bisa disepelekan.
Janggala membubarkan rapat pukul lima sore, ketika dia keluar dari ruangan dia mencari Lavani. Namun wanita itu tidak ada disana, dia mengecek ruangannya. Nihil.
“Lavani pulang duluan, katanya kepalanya masih pusing.” Sivan berkata, berjalan mendekat ke arah Janggala sambil tersenyum.
“Oh, kakak gak kembali ke kantor?”
“Jam 5 Ga, waktunya pulang. Kamu juga bereskan semuanya dan pulang, temani Lavani.” Ucap Sivan sambil menepuk pundak sang adik.
“Semalam kakak sama Lavani?”
Sivan menghentikan langkahnya kemudian menoleh pada Janggala yang menatapnya, “Enggak. Kakak kemarin ada pertemuan dengan pak Rudy. Kenapa?”
Janggala mengangguk, “Gak apa-apa, kemarin Vani pergi sama siapa ya ke klub?”
Sivan terdiam sesaat sebelum akhirnya tertawa, “Tanyakan sama istrimu dong Ga. Dasar kamu ini, kakak duluan ya.”
Janggala hanya tersenyum kecil, dia masuk ke dalam kantor dan mengepalkan jarinya. Semalam ketika dia mau tidur, Lavani mengigau.
Dalam igauannya dia menyebut nama Sivan.
“Vaaan, Sivan! Jangan tinggali aku..”
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar