“Tidak, mama tidak akan pernah mengizinkan kamu untuk bersama Dirra!” Suara perempuan paruh baya itu terdengar lantang di udara, suaranya menggema di dalam ruang tamu luas dan megah.
Dia duduk di sebuah sofa, matanya tajam, kerutannya mulai terlihat namun wajahnya tetap terlihat penuh wibawa, kecantikan itu tidak pudar dimakan waktu. Rahang yang tegas, sorot mata yang penuh dengan intimidasi.
“Aku sudah ngelakuin apa yang mama mau selama dua bulan terakhir, setelah papa meninggal aku mau melanjutkan usaha dan bekerja menggantikan papa. Mama berjanji akan membiarkan aku melakukan apa yang aku mau!” Kini pria muda di depannya berteriak balik, wajahnya diliputi dengan kemarahan, ada getar dalam suaranya yang mendadakan dia tengah menahan semuanya.
“Tapi bukan untuk bersama Dirra!”
Napas pria itu keluar satu-satu, dia berusaha untuk mengaturnya karena jujur saja dia benar-benar diluar kendali sekarang. Dia bisa melakukan banyak hal termasuk menyakiti ibu kandungnya sendiri.
Janggala sudah berusaha melakukan yang terbaik atas permintaan ibunya agar bisa bersama Dirra.
“Dirra itu dari keluarga tidak terpandang! Apa kata orang jika mereka tahu menantu keluarga Tantra bukan dari keluarga yang tersohor?!”
“’Aku gak peduli! Aku cuma mau Dirra!”
“Kamu bisa gak peduli, tapi semua petinggi perusahaan termasuk mama cukup peduli akan hal itu. Sudah jangan bicara omong kosong, jangan tambahkan keburukan keluarga kita setelah ayah kamu membawa anak haram masuk ke rumah ini! Lupakan Dirra dan fokus pada perusahaan saja!” Ucapan ibunya seperti sebuah ultimatum pada Janggala, wanita paruh baya itu pergi meninggalkannya seorang diri di ruang tamu.
Janggala mengacak rambutnya frustasi.
Ini tahun kedua dia dan Dirra berpacaran, sejak mereka bersama sampai hari ini orangtuanya tidak pernah menyetujui hubungan keduanya. Tidak ada yang salah dengan Dirra, kecuali hanya karena dia lahir dari keluarga biasa-biasa saja.
Dia mengecek lagi ponselnya, selama dua bulan terakhir dia tidak menghubungi Dirra bahkan tidak membalas pesannya. Tidak ingin fokusnya pada pekerjaan teralihkan, karena sekali saja dia membalas pesan Dirra, yang hanya ingin dia lakukan adalah bertemu dengan perempuan itu.
Dua hari lalu Dirra menghubunginya berkali-kali tidak seperti biasanya, dia mengirimkan pesan yang begitu banyak dan isinya sama. Dia ingin bertemu.
Janggala juga ingin bertemu, tapi tidak sekarang.
Dia mendengus kesal, seandainya dia punya kemampuan lebih untuk membangkang ibunya, dia pasti lakukan. Dia ingin kawin lari bersama Dirra, namun dia juga tahu kalau Dirra perlu dinafkahi. Dia ingin segera menyelesaikan kuliahnya dan pergi jauh dari keluarganya bersama Dirra.
Ponselnya bergetar lagi, nama Dirra muncul lagi disana.
Ini masih pagi dan Dirra sudah menghubungi lebih dari sepuluh kali, nampaknya begitu genting.
Gala, aku di depan rumah kamu.
Pesan itu masuk dan Janggala membeku, ada apa?
Dia berlari ke ruang depan setelah membaca pesan itu, samar-samar dia mendengar suara ibunya tengah memaki dan berteriak-teriak kencang.
“Pergi! Saya gak akan sudi menikahkan anak saya dengan putri dari keluarga biasa saja!” Wanita paruh baya itu memekik dengan kencang, tangannya dia acungkan dengan tinggi memberi isyarat pada ketiga orang di depannya untuk hengkang dari kediamannya.
“Dirra?! Ayah? Ibu?” Janggala berseru, mendekati ibunya yang kemudian meminta penjaga menghadang pria itu lebih mendekat. Janggala terkejut dengan perlakuan ini.
“Anak saya tidak menghubungi selama dua bulan seharusnya kamu tahu alasannya!”
Dirra tengah menangis dipeluk ibunya, sedangkan wajah ayahnya begitu marah menatap Janggala yang tidak mengerti duduk perkaranya.
“Anak ibu harus bertanggung jawab, bagaimanapun janin yang dikandung anak saya adalah darah daging Janggala!”
Bagai petir di siang bolong Janggala terkejut mendengar ucapan ayah Dirra, matanya melotot dan mulutnya menganga.
“Dir, apa maksudnya?” Tanya Janggala, berusaha mencari jawaban dari Dirra yang masih memunggunginya dan menangis.
“Gak, saya gak percaya! Bisa saja itu bukan darah daging anak saya, mana saya tahu anakmu menjual diri pada orang lain atau tidak?”
Tangan ayah Dirra hampir melayang untuk menghantam ibu Janggala namun sebuah tamparan di pipi lebih dulu sampai pada ibu Janggala. Pipi wanita memerah, matanya terbelalak karena terkejut. Gerakan itu begitu cepat sehingga dia tidak mampu bereaksi.
Ibu Dirra menamparnya dengan keras sampai kupingnya berdengung.
“Jaga ucapan anda. Anak saya hanya melakukan itu dengan anak anda karena perasaan cintanya. Anak saya tidak semurahan yang anda kira.” Ucap wanita itu, tanpa membentak namun suaranya begitu tegas.
“Pergi! PERGI KALIAN! SAYA TIDAK AKAN MERESTUI HUBUNGAN JANGGALA DENGAN DIRRA SAMPAI KAPANPUN!” Ibu Janggala berteriak, meminta para satpam untuk menarik pergi ketiga orang dihadapannya.
“Kami akan pergi, tapi, hei Janggala! Kalau kamu memang seorang pria yang bertanggung jawab atas anakmu sendiri, kamu seharusnya tahu apa yang harus kamu lakukan.” Ujar ayah Dirra sambil menarik tangan Dirra yang kini mulai menoleh pada Janggala, mata keduanya bertemu.
Janggala masih terdiam di tempat, mencerna apa yang terjadi.
Dirra hamil?
Dia akan menjadi seorang ayah?
Tubuhnya bergerak, hendak mengejar Dirra namun dihentikan oleh para satpam bertubuh jauh lebih besar darinya.
“Diam Janggala, jangan mau termakan ucapan bodoh orang miskin seperti mereka!” Ibunya berkata dengan penuh amarah sambil masih memegang pipinya yang kini samar-samar terlihat bekas tangan ibu Dirra.
“Dirra hamil anakku, ma!”
“Persetan! Anakmu atau bukan, mama gak butuh! Mama gak mau punya cucu dari seorang wanita miskin seperti dia!”
Janggala berusaha melepaskan dirinya dari kedua satpam yang masih mencengkramnya, dia berusaha dengan kuat hingga akhirnya terlepas, dia berlari sekuat tenaga mengejar Dirra yang sudah masuk ke dalam mobil.
“Dir! Dirra!” Dia memanggil nama itu, kedua satpam di belakangnya kini mengejar.
“La! Gala!” Dirra hampir keluar dari mobil namun kedua orangtuanya menahan.
Mobil itu terus melaju meninggalkan kediaman keluarga Tantra.
Dirra menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia baru saja memoles bibirnya dengan sebuah lipbalm berwarna merah muda yang samar. Tidak ingin terlalu mencolok, dia memilih warna yang tidak begitu nampak dari kejauhan.Dia juga merapikan rambutnya yang dikuncir, berulang kali dia menatap dirinya sendiri di depan cermin sampai Dalenna datang menghampirinya dengan tangan yang dia lipat di dada dan wajah yang berkerut.“Ibu kesana kemari terus depan kaca, memang ada apa di depan kaca?” Tanya bocah itu penuh telisik, bibirnya maju ke depan dan matanya menatap Dirra seolah menghakimi.Dirra terlonjak mendengar pertanyaan itu, dia mengutuk dirinya sendiri. Siang ini Nancy mengirimkannya pesan, memberitahu kalau Janggala akan makan malam dan tidur di rumahnya, dia tidak bisa menemani makan malam karena ada urusan ke Beijing.Dia langsung memikirkan makanan apa yang akan dia masak untuk Janggala, dan karena itulah dia jadi terbawa suasana.Per
“Mungkin segitu aja yang bisa saya jelaskan untuk sekarang, selebihnya kalau ada masalah apapun bisa menghubungi sekretaris saya terlebih dahulu.” Janggala menutup rapat ketiganya hari ini, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore ketika akhirnya dia ditinggalkan sendirian di ruang rapat yang besar.Siska membuka pintu ruang rapat ketika Janggala tengah menutup kedua matanya dengan tubuh yang menempel pada kursi, wanita itu membawa sebungkus makanan dari restoran cepat saji di sekitar untuk makan siang Janggala yang tertunda.“Pak, makan dulu..” Katanya sambil membuka kotak berisi roti isi sayur dan daging. Ada kotak salad juga dan minuman energi yang dikemas dengan sangat rapi.Janggala menghela napas, sebenarnya dia sudah muak makan-makanan seperti ini. Dia sedang ingin makan-makanan Indonesia rumahan.“Kenapa kamu gak belikan saya nasi?”Siska menoleh dan terdiam sesaat, “Tapi bapak suka menolak kalau say
“Mencurigai?” Dalal —Ayah Lavani— menoleh pada Sivan yang tengah duduk di ruangannya dengan pandangan terkejut, wajah tuanya yang berkeriput itu mengerut dengan sempurna.Sivan tengah mengunjungi kediaman Lavani, semenjak dia dan keluarga Hanggara memiliki rencana untuk masuk dan mengambil alih keluarga Tantra, mereka tidak lagi bertemu di perusahaan JANJI HANGGARA.Terlalu riskan.Banyak faktor yang menyebabkan mereka beraktivitas diluar selain di kediaman pribadi keluarga Hanggara. Seperti biasanya, Sivan selalu datang setiap bulan selain untuk melaporkan progress rencana mereka juga membicarakan apa yang terjadi di keluarga inti maupun di kantor utama.Sivan baru saja memberitahu Dalal perihal kecurigaan Lavani mengenai Nancy yang tengah menyelidiki keduanya.“Saya rasa mama sudah mendapatkan berkas mengenai tragedi JANJI HANGGARA dan TANTRA WIBAWA beberapa tahun lalu kemudian memberitahukan hal itu pada Janggala, k
Lavani baru saja landing ketika dia menghidupkan ponselnya dan mendapat beberapa notifikasi pesan yang kebanyakan berasal dari pekerjaan. Ada beberapa telepon masuk dari klien serta Sivan dan satu nama membuat dia berhenti, Janggala?Selama pernikahan mereka yang sudah hampir lima tahun tidak pernah sekalipun pria itu meneleponnya ketika dia pergi untuk urusan ‘bisnis’ keluar negeri, ini kali pertamanya pria itu beberapa kali menelepon.Lavani mengerenyitkan dahinya sambil terus berjalan untuk mengambil koper, selesai dengan urusan koper dia menuju pintu keluar dan lagi-lagi dia dibuat terkejut.Pria tinggi itu melambaikan tangannya dengan senyum lebar di wajahnya, Janggala.“Gala?” Lavani berkata, mendekat ke arah Janggala sambil menyeret kopernya.“Kamu baca pesanku?” Tanyanya, mengambil alih koper Lavani.“Belum, baru saja aku lihat ada pemberitahuan kamu meneleponku..”
Janggala terjaga ketika telinganya mendengar suara-suara yang agak jauh, dia memicingkan matanya tatkala sinar matahari langsung menyorot wajahnya. Pantas saja dia merasa panas, seluruh tubuhnya kini bermandikan sinar matahari.Dia duduk di sofa, melepas jaketnya ketika dia menyadari kalau ini adalah rumah Dirra.Suara itu terdengar lagi, suara gelak tawa anak kecil. Tawanya begitu renyah.“Lenna bisa kok bu sendiri pasangnya..”“Gak boleh, ibu yang pasang. Walaupun jarumnya kecil, tetap bahaya..” Sahut Dirra.“Lenna ‘kan sudah besar!” Suara Dalenna kini terdengar dengan nada yang manja.“Oh, yang sudah besar tapi makan buah-buahannya gak pernah habis..”“Ibuuu!”Rengekan itu terdengar, percakapan ibu dan anak itu terjadi di ruang makan yang agak jauh ke dalam dekat dapur. Janggala mendengarnya dengan samar-samar, dia mengecek jam di dinding. Pukul delapan pagi.
Dirra terbangun pukul tengah malam, sudah terbiasa mengecek gula darah Dalenna. Dia membuka matanya pelan dan turun dari kasur, malam ini anak itu meminta tidur di kamarnya sendiri.Ya, Nancy membuatkan kamar untuk Dalenna di rumah ini yang tentu saja selama di desa Permadani tidak dimiliki oleh Dalenna. Bocah itu berjingkrak riang ketika pintu terbuka, tempat tidur dengan hiasan menggemaskan, warna tembok dengan tone lembut, pojok membaca serta meja belajar cukup besar, ditambah ada banyak boneka yang besar dan lembut.“Bu, Lenna mau bobok di kamar Lenna..” Katanya ketika baru saja selesai menyikat gigi di kamar mandi Dirra.“Memang gak takut?”Dalenna terdiam sebentar kemudian menoleh menatap Dirra lekat-lekat, “Boleh tidak ibu temani Lenna dulu?”Dirra terkekeh geli, mata bulat itu menatapnya penuh harap, bahasa yang Dalenna pilih selalu santun buah dari meniru orang-orang di sekitar