Share

Food Truck

Author: Soju Kimchizz
last update Last Updated: 2025-05-28 09:38:31

Hembusan angin pagi membawa aroma embun dan tanah basah. Cuaca perlahan berubah, menandakan musim dingin yang mulai mengetuk. Para kru mulai mengenakan jaket tebal, dan para figuran terlihat saling menghangatkan tangan dengan kopi sachet yang dibagikan seadanya.

Di tengah hiruk pikuk lokasi syuting yang kembali aktif, Han Jiwon berdiri tak jauh dari monitor sutradara. Matanya memandangi satu titik—bukan layar, bukan naskah, tapi sosok gadis di pojok tenda figuran yang tengah meniup nasi dingin dari kotak makanannya.

Lee Hana.

Ada sesuatu dari gadis itu yang membuat pikirannya tak bisa diam. Bukan karena dia cantik luar biasa atau berperilaku menonjol. Justru karena kesederhanaan dan sikapnya yang... tulus. Tidak menjilat. Tidak mencoba menarik perhatiannya. Justru itu yang membekas di benaknya sejak malam di belakang bangunan itu.

"Hana," bisiknya lirih, seolah nama itu begitu pas di lidahnya.

"Hyung," ucapnya kemudian pada Yoon Chan, yang tengah asyik menyeruput kopi panas.

"Hm?"

"Bisa tolong belikan makanan enak buat semua kru dan figuran?"

Yoon Chan menoleh perlahan, mengerutkan dahi. "Semua? Kamu serius? Kita ngomongin hampir seratus orang, Jiwon."

Jiwon hanya mengangkat alis dan menyunggingkan senyum tipis khasnya. "Termasuk kamu, hyung. Kamu juga akan dapat makanan enak."

Yoon Chan memejamkan mata sejenak, tahu betul arah pembicaraan ini.

"Ini soal figuran itu, kan?" gumamnya.

"Hyung..." Jiwon menatapnya serius. "Namanya Hana. Dan... ini bukan hanya karena dia. Aku cuma sadar, kita terlalu terbiasa menganggap nyaman itu milik kalangan atas. Padahal, semua yang ada di lokasi ini kerja bareng. Mereka layak dihargai."

Yoon Chan menatap mata Jiwon lama. Ada sesuatu yang berubah di sana. Sesuatu yang lebih hidup dari biasanya.

"Baiklah," ucapnya pasrah sambil meraih ponsel. "Aku akan pesan makanan paling lengkap yang bisa dibeli dari food truck terbaik kota ini. Tapi jangan bilang aku gak ngingetin, ini bisa bikin gosip beredar."

"Biar saja," sahut Jiwon ringan. "Lagipula aku suka lihat mereka bahagia."

Beberapa jam kemudian, aroma ayam goreng renyah, sup hangat, dan jajanan khas Korea menguar dari tiga food truck yang terparkir di sisi lapangan. Para figuran, awalnya bingung, mendadak bersorak riang ketika Yoon Chan datang membagikan kupon makan.

"Ini dari Han Jiwon. Katanya kalian sudah kerja keras," ucap sang manajer, yang segera jadi rebutan pertanyaan dan ucapan terima kasih.

Hana berdiri terpaku, memandang kerumunan di dekat food truck. Seseorang menghampirinya, menyerahkan satu kotak makanan hangat dan menyebut nama si pemberi.

Ia terdiam, lalu tersenyum kecil.

Dari kejauhan, Jiwon memperhatikannya, berdiri bersandar di balik tiang lampu, hoodie-nya tertarik ke kepala. Tapi tatapan matanya hangat.

Dan untuk pertama kalinya dalam jadwal syuting yang melelahkan, udara dingin terasa... menyenangkan.

———

Langit malam di lokasi syuting tampak kelabu, dibungkus awan tipis yang menyembunyikan bintang. Udara semakin menusuk tulang, membawa aroma tanah dan kayu lembap. Setelah makan siang lezat yang mendadak jadi topik hangat di kalangan figuran, para kru kembali bekerja dengan semangat membara. Gelak tawa dan celoteh ringan sesekali terdengar di sela-sela aba-aba sutradara yang menggema.

Semua bekerja lebih giat malam itu, seolah makanan hangat juga membawa semangat baru.

"Sudah tengah malam! Istirahatlah semuanya!" teriak sutradara, diiringi suara tepuk tangan dan desahan lega dari para pemain serta kru.

Di dalam van hitam legamnya, Han Jiwon duduk bersandar, hoodie ditarik ke atas kepala, tubuh dibalut mantel tebal. Namun pikirannya tak bisa diam.

Ia menoleh ke arah tenda figuran. Tak ada tanda-tanda gadis itu keluar. Ia menunggu. Lima belas menit. Dua puluh lima. Empat puluh lima. Saat kelopak matanya mulai menurun karena kantuk, ia menangkap sosok yang ia kenal tengah melangkah pelan, jaket panjangnya mengepul tipis dari udara dingin yang bersatu dengan napasnya.

Hana.

Jiwon langsung membuka pintu van dan melangkah mengikuti dari kejauhan. Langkah Hana ringan, namun tenang, seperti terbiasa menyatu dengan malam. Ia berhenti di bawah sebuah pohon besar di pinggir area syuting, tempat terdapat bangku kayu tua yang hampir tersamarkan bayangan.

Jiwon mendekat perlahan, lalu duduk di sampingnya. Dinginnya bangku membuat tubuhnya sedikit bergidik.

"Hai," sapanya pelan. "Belum tidur?"

Hana menoleh, lalu tersenyum kecil. "Hai. Belum. Masih mau menikmati udara dingin yang aku suka."

"Udara seperti ini malah bikin aku pengen masuk selimut," balas Jiwon, membuang napas yang segera membentuk embun.

"Kalau kamu terus di dalam selimut, kamu gak akan nemuin malam seperti ini," ucap Hana sambil menatap langit kosong. "Ada damai yang aneh di antara dingin dan sepi."

Jiwon menatapnya sejenak. "Gimana syutingnya? Menyenangkan?"

"Sangat," jawab Hana penuh antusias. "Ini pertama kalinya aku dapet peran yang... ya, punya naskah, punya nama, dan ikut dalam satu rangkaian cerita penting. Biasanya aku cuma figuran yang lewat di latar, jadi siswa di kelas yang duduk di pojok."

Jiwon tertawa pelan. "Tapi kamu nggak kelihatan seperti orang baru."

Hana menoleh dan mengangkat alis. "Maksudnya?"

"Kamu tenang. Kamu tahu harus bagaimana menatap, bergerak, bahkan ketika kamu diam," ujar Jiwon, lalu menambahkan sambil tersenyum, "Itu keahlian langka."

Hana terdiam sebentar, seperti mencernanya, lalu tersenyum. "Terima kasih. Dan terima kasih juga untuk makanannya tadi siang. Aku dengar itu semua dari kamu."

"Sama-sama," balas Jiwon singkat. "Senang rasanya bisa bikin orang-orang tersenyum."

Setelah jeda hening, Hana menoleh dengan nada menggoda, "Kamu nggak ngerokok? Sekarang cuma ada aku di sini. Aman, nggak akan bocor ke media."

Jiwon tertawa, sebuah tawa ringan yang jarang muncul di wajahnya. "Tidak. Rasanya nggak sopan merokok di depan kamu."

Hana terkekeh. "Padahal aku nggak sepolos itu, lho."

"Aku tahu. Tapi tetap saja... ada hal-hal yang terasa salah kalau dilakukan di depan orang tertentu."

Hening kembali menggantung, tapi bukan canggung. Justru nyaman. Seperti dua orang yang tak butuh banyak kata untuk menikmati kebersamaan.

Jiwon menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku, menatap ke arah langit yang kelabu. Lampu-lampu lokasi syuting yang masih menyala temaram memantulkan bayangan samar di wajah Hana.

"Tapi jujur," katanya pelan, suaranya serak tapi tulus, "Aku berharap kamu akan jadi bintang besar suatu hari nanti."

Hana menoleh, kaget. "Apa?"

"Serius. Kemampuan akting kamu... alami banget. Kamu punya ekspresi yang hidup, dan cara kamu menyampaikan emosi itu... kerasa. Gak semua aktor punya itu."

Hana terkekeh, seolah tidak percaya dengan pujian itu. "Kamu berlebihan. Aku bahkan belum belajar teknik akting secara mendalam. Aku cuma gadis desa yang datang ke Seoul bawa mimpi dan segepok nekat. Bisa masuk GoGo Agency aja, rasanya seperti menang undian hidup."

"Dan dari undian itu, kamu muncul di lokasi ini," kata Jiwon. "Kadang... takdir suka menyelinap di antara hal-hal kecil, Hana."

Ia menyebut namanya dengan lembut. Untuk sesaat, dunia terasa menyempit. Hanya ada suara angin, lampu yang berkedip samar, dan napas mereka yang mengepul tipis.

"Kalau kamu mau," lanjut Jiwon, suaranya kini terdengar lebih ringan, "Aku bisa mengajarimu akting."

Hana langsung membelalakkan mata. "Serius?!"

Jiwon mengangguk sambil tersenyum kecil. "Ya. Aku kan juga dulu diajarin. Sudah seharusnya aku membagikan itu. Anggap saja ini... semacam bayar utang budi ke dunia akting."

Hana tertawa senang, matanya bersinar di tengah dingin malam. "Kalau begitu, aku terima tawarannya! Tapi... hanya kalau kamu berkenan dan benar-benar punya waktu, ya."

Jiwon mengangguk pelan. "Kita cari waktu di sela-sela syuting. Gak perlu yang rumit, mulai dari hal-hal kecil dulu."

"Wah, aku senang banget!" kata Hana antusias, menggenggam kedua tangannya erat seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah.

Mereka berdua terdiam lagi, tapi kali ini dengan senyuman yang masih bertahan di wajah masing-masing. Jiwon melirik ke arah Hana yang terlihat begitu tulus dan bersemangat.

"Aku suka orang yang mencintai proses," gumamnya pelan.

Hana menoleh, menatap Jiwon. "Kenapa?"

"Karena itu berarti kamu akan bertahan, apa pun yang terjadi," jawabnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pacar Rahasia Sang Aktor   Syal

    Hari terakhir syuting untuk para figuran selalu menghadirkan perasaan campur aduk—antara lega dan enggan untuk mengucapkan selamat tinggal. Bagi Hana, ini bukan hanya akhir dari pekerjaan singkatnya sebagai figuran, tapi juga akhir dari kebersamaan singkatnya dengan dunia yang sempat membuat hatinya berdebar—terutama karena satu nama: Han Jiwon.Pagi itu, Hana bangun lebih awal dari biasanya. Ia melipat semua pakaiannya dengan rapi, menyusun perlengkapan make-up dan alat tulisnya ke dalam koper. Ketika membuka laci terakhir, matanya terhenti pada syal abu-abu yang semalam melingkar hangat di lehernya—hadiah dari Jiwon.Ia memandangi syal itu cukup lama, seolah sedang berdialog dalam hati. Ada perasaan ragu, malu, sekaligus hangat yang tak bisa diabaikan. Namun akhirnya, dengan senyum kecil, Hana memutuskan untuk memakainya. Ia melilitkannya perlahan di lehernya, merapikan ujungnya, lalu melihat pantulan dirinya di cermin. Tak banyak, tapi syal itu memberi semacam keberanian baru.Di l

  • Pacar Rahasia Sang Aktor   Ulang Tahun

    Syuting hari itu berakhir larut malam. Angin dingin menusuk masuk di sela-sela kostum tipis para figuran yang kini mulai berkemas, lelah dan menggigil. Namun di balik tenda kecil yang menjadi tempat berkumpul para figuran, ada suasana yang tak biasa—bukan hanya kelelahan, tapi sebuah getaran bahagia yang mencoba disembunyikan dalam keremangan cahaya.Hana, yang baru kembali dari toilet dengan rambut sedikit berantakan dan wajah letih, tertegun saat mendapati beberapa temannya berkerumun di sekitar meja kecil. Di atasnya, berdiri kue mungil dengan lilin yang menyala. Lampu tenda sengaja dipadamkan, menyisakan hanya cahaya lilin yang menari pelan, memberi warna hangat di tengah gelapnya malam.“Selamat ulang tahun, Hana!!” seru Mina riang, seperti meledakkan keheningan yang sedari tadi tertahan.Hana terdiam. Matanya membulat, lalu perlahan mulai berkaca-kaca.“Ini… buat aku?” tanyanya nyaris berbisik.“Tentu saja! Ayo tiup lilinnya! Kamu pasti bahagia banget hari ini karena pacar kamu

  • Pacar Rahasia Sang Aktor   Cemburu Buta

    Pagi itu, udara masih menggigit kulit. Lokasi syuting kembali ramai dengan aktivitas para kru, kamera, dan tawa lelah yang masih terdengar di sela kesibukan. Di sisi lain area, tim dokumentasi sudah bersiap untuk mengambil gambar behind the scene—bagian penting dari promosi yang akan disebarkan ke media sosial dan kanal resmi drama.Namun, satu hal yang mencolok adalah ketidakhadiran Han Jiwon di kamera belakang layar. Ia lebih sering menghabiskan waktu di dalam mobil van-nya, menjauh dari sorotan kamera yang bukan milik drama."Hyung... kamu tahu kan aku gak nyaman tampil di kamera saat nggak akting?" ucap Jiwon sambil menyenderkan kepala di jok belakang, menatap langit-langit van.Yoon Chan menutup pintu mobil dengan sedikit keras, napasnya terdengar berat. "Jiwon. Kamera behind the scene itu bagian dari promosi. Salah satu senjata utama untuk membangun fanbase dan menarik minat penonton!"Jiwon hanya menoleh tanpa menjawab."Lihat drama-drama lain! Pemeran utamanya akrab, seru, ban

  • Pacar Rahasia Sang Aktor   Food Truck

    Hembusan angin pagi membawa aroma embun dan tanah basah. Cuaca perlahan berubah, menandakan musim dingin yang mulai mengetuk. Para kru mulai mengenakan jaket tebal, dan para figuran terlihat saling menghangatkan tangan dengan kopi sachet yang dibagikan seadanya.Di tengah hiruk pikuk lokasi syuting yang kembali aktif, Han Jiwon berdiri tak jauh dari monitor sutradara. Matanya memandangi satu titik—bukan layar, bukan naskah, tapi sosok gadis di pojok tenda figuran yang tengah meniup nasi dingin dari kotak makanannya.Lee Hana.Ada sesuatu dari gadis itu yang membuat pikirannya tak bisa diam. Bukan karena dia cantik luar biasa atau berperilaku menonjol. Justru karena kesederhanaan dan sikapnya yang... tulus. Tidak menjilat. Tidak mencoba menarik perhatiannya. Justru itu yang membekas di benaknya sejak malam di belakang bangunan itu."Hana," bisiknya lirih, seolah nama itu begitu pas di lidahnya."Hyung," ucapnya kemudian pada Yoon Chan, yang tengah asyik menyeruput kopi panas."Hm?""Bi

  • Pacar Rahasia Sang Aktor   Berbahaya

    Udara malam mulai menggigit kulit, menyusup pelan ke balik jaket tipis Hana. Langit gelap pekat tanpa bintang, hanya diterangi lampu sorot sisa syuting yang masih menyala samar. Tenda-tenda kru dan pemain figuran kini sunyi, sebagian besar penghuninya sudah tertidur lelah setelah hari panjang yang melelahkan.Hana menggeliat di ranjang lipatnya yang sempit. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terlalu penuh untuk bisa tidur. Ia memutuskan bangkit, mengenakan jaket dan menyelinap keluar. Mencari udara segar. Mencari ketenangan.Kakinya melangkah pelan, menyusuri lorong kayu set kerajaan yang kini kosong. Setiap langkah kakinya menimbulkan suara ringan yang terdengar jelas dalam kesunyian. Saat melewati bangunan utama yang digunakan untuk adegan kerajaan, ia menangkap samar-samar cahaya kecil dari balik dinding.Seketika langkahnya terhenti.Asap.Lalu suara napas yang berat.Hana melongok perlahan ke sisi bangunan, dan matanya membelalak pelan.Han Jiwon.Bersandar di tiang kayu, satu tang

  • Pacar Rahasia Sang Aktor   Han Jiwon

    Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul saat Lee Hana sudah melangkah cepat di trotoar menuju coffee shop tempat ia biasa bekerja paruh waktu. Udara pagi Seoul masih menusuk, tapi senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan. Hari ini adalah hari pertamanya syuting sebagai figuran dalam drama saeguk—dan dunia terasa begitu hidup baginya.Ketika pintu kaca coffee shop terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, aroma kopi yang hangat langsung menyambutnya. Di balik meja kasir, Jungwon, pemilik sekaligus sahabat lamanya, langsung menoleh dan mengangkat alis."Kamu datang juga," katanya sambil tersenyum kecil, mengenakan apron hitamnya. "Aku pikir kamu sudah naik kereta duluan."Hana melangkah cepat ke belakang meja, memeriksa tasnya sekali lagi. "Aku cuma mau pamit dulu... dan ambil charger yang tertinggal semalam."Tanpa banyak kata, Jungwon mengambil sebuah kotak makan dari bawah meja dan menyelipkannya ke dalam tas Hana dengan gerakan terbiasa. "Ini sandwich buat kamu. Makan di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status