Hari terakhir syuting untuk para figuran selalu menghadirkan perasaan campur aduk—antara lega dan enggan untuk mengucapkan selamat tinggal. Bagi Hana, ini bukan hanya akhir dari pekerjaan singkatnya sebagai figuran, tapi juga akhir dari kebersamaan singkatnya dengan dunia yang sempat membuat hatinya berdebar—terutama karena satu nama: Han Jiwon.Pagi itu, Hana bangun lebih awal dari biasanya. Ia melipat semua pakaiannya dengan rapi, menyusun perlengkapan make-up dan alat tulisnya ke dalam koper. Ketika membuka laci terakhir, matanya terhenti pada syal abu-abu yang semalam melingkar hangat di lehernya—hadiah dari Jiwon.Ia memandangi syal itu cukup lama, seolah sedang berdialog dalam hati. Ada perasaan ragu, malu, sekaligus hangat yang tak bisa diabaikan. Namun akhirnya, dengan senyum kecil, Hana memutuskan untuk memakainya. Ia melilitkannya perlahan di lehernya, merapikan ujungnya, lalu melihat pantulan dirinya di cermin. Tak banyak, tapi syal itu memberi semacam keberanian baru.Di l
Syuting hari itu berakhir larut malam. Angin dingin menusuk masuk di sela-sela kostum tipis para figuran yang kini mulai berkemas, lelah dan menggigil. Namun di balik tenda kecil yang menjadi tempat berkumpul para figuran, ada suasana yang tak biasa—bukan hanya kelelahan, tapi sebuah getaran bahagia yang mencoba disembunyikan dalam keremangan cahaya.Hana, yang baru kembali dari toilet dengan rambut sedikit berantakan dan wajah letih, tertegun saat mendapati beberapa temannya berkerumun di sekitar meja kecil. Di atasnya, berdiri kue mungil dengan lilin yang menyala. Lampu tenda sengaja dipadamkan, menyisakan hanya cahaya lilin yang menari pelan, memberi warna hangat di tengah gelapnya malam.“Selamat ulang tahun, Hana!!” seru Mina riang, seperti meledakkan keheningan yang sedari tadi tertahan.Hana terdiam. Matanya membulat, lalu perlahan mulai berkaca-kaca.“Ini… buat aku?” tanyanya nyaris berbisik.“Tentu saja! Ayo tiup lilinnya! Kamu pasti bahagia banget hari ini karena pacar kamu
Pagi itu, udara masih menggigit kulit. Lokasi syuting kembali ramai dengan aktivitas para kru, kamera, dan tawa lelah yang masih terdengar di sela kesibukan. Di sisi lain area, tim dokumentasi sudah bersiap untuk mengambil gambar behind the scene—bagian penting dari promosi yang akan disebarkan ke media sosial dan kanal resmi drama.Namun, satu hal yang mencolok adalah ketidakhadiran Han Jiwon di kamera belakang layar. Ia lebih sering menghabiskan waktu di dalam mobil van-nya, menjauh dari sorotan kamera yang bukan milik drama."Hyung... kamu tahu kan aku gak nyaman tampil di kamera saat nggak akting?" ucap Jiwon sambil menyenderkan kepala di jok belakang, menatap langit-langit van.Yoon Chan menutup pintu mobil dengan sedikit keras, napasnya terdengar berat. "Jiwon. Kamera behind the scene itu bagian dari promosi. Salah satu senjata utama untuk membangun fanbase dan menarik minat penonton!"Jiwon hanya menoleh tanpa menjawab."Lihat drama-drama lain! Pemeran utamanya akrab, seru, ban
Hembusan angin pagi membawa aroma embun dan tanah basah. Cuaca perlahan berubah, menandakan musim dingin yang mulai mengetuk. Para kru mulai mengenakan jaket tebal, dan para figuran terlihat saling menghangatkan tangan dengan kopi sachet yang dibagikan seadanya.Di tengah hiruk pikuk lokasi syuting yang kembali aktif, Han Jiwon berdiri tak jauh dari monitor sutradara. Matanya memandangi satu titik—bukan layar, bukan naskah, tapi sosok gadis di pojok tenda figuran yang tengah meniup nasi dingin dari kotak makanannya.Lee Hana.Ada sesuatu dari gadis itu yang membuat pikirannya tak bisa diam. Bukan karena dia cantik luar biasa atau berperilaku menonjol. Justru karena kesederhanaan dan sikapnya yang... tulus. Tidak menjilat. Tidak mencoba menarik perhatiannya. Justru itu yang membekas di benaknya sejak malam di belakang bangunan itu."Hana," bisiknya lirih, seolah nama itu begitu pas di lidahnya."Hyung," ucapnya kemudian pada Yoon Chan, yang tengah asyik menyeruput kopi panas."Hm?""Bi
Udara malam mulai menggigit kulit, menyusup pelan ke balik jaket tipis Hana. Langit gelap pekat tanpa bintang, hanya diterangi lampu sorot sisa syuting yang masih menyala samar. Tenda-tenda kru dan pemain figuran kini sunyi, sebagian besar penghuninya sudah tertidur lelah setelah hari panjang yang melelahkan.Hana menggeliat di ranjang lipatnya yang sempit. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terlalu penuh untuk bisa tidur. Ia memutuskan bangkit, mengenakan jaket dan menyelinap keluar. Mencari udara segar. Mencari ketenangan.Kakinya melangkah pelan, menyusuri lorong kayu set kerajaan yang kini kosong. Setiap langkah kakinya menimbulkan suara ringan yang terdengar jelas dalam kesunyian. Saat melewati bangunan utama yang digunakan untuk adegan kerajaan, ia menangkap samar-samar cahaya kecil dari balik dinding.Seketika langkahnya terhenti.Asap.Lalu suara napas yang berat.Hana melongok perlahan ke sisi bangunan, dan matanya membelalak pelan.Han Jiwon.Bersandar di tiang kayu, satu tang
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul saat Lee Hana sudah melangkah cepat di trotoar menuju coffee shop tempat ia biasa bekerja paruh waktu. Udara pagi Seoul masih menusuk, tapi senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan. Hari ini adalah hari pertamanya syuting sebagai figuran dalam drama saeguk—dan dunia terasa begitu hidup baginya.Ketika pintu kaca coffee shop terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, aroma kopi yang hangat langsung menyambutnya. Di balik meja kasir, Jungwon, pemilik sekaligus sahabat lamanya, langsung menoleh dan mengangkat alis."Kamu datang juga," katanya sambil tersenyum kecil, mengenakan apron hitamnya. "Aku pikir kamu sudah naik kereta duluan."Hana melangkah cepat ke belakang meja, memeriksa tasnya sekali lagi. "Aku cuma mau pamit dulu... dan ambil charger yang tertinggal semalam."Tanpa banyak kata, Jungwon mengambil sebuah kotak makan dari bawah meja dan menyelipkannya ke dalam tas Hana dengan gerakan terbiasa. "Ini sandwich buat kamu. Makan di