Pagi itu, udara masih menggigit kulit. Lokasi syuting kembali ramai dengan aktivitas para kru, kamera, dan tawa lelah yang masih terdengar di sela kesibukan. Di sisi lain area, tim dokumentasi sudah bersiap untuk mengambil gambar behind the scene—bagian penting dari promosi yang akan disebarkan ke media sosial dan kanal resmi drama.
Namun, satu hal yang mencolok adalah ketidakhadiran Han Jiwon di kamera belakang layar. Ia lebih sering menghabiskan waktu di dalam mobil van-nya, menjauh dari sorotan kamera yang bukan milik drama.
"Hyung... kamu tahu kan aku gak nyaman tampil di kamera saat nggak akting?" ucap Jiwon sambil menyenderkan kepala di jok belakang, menatap langit-langit van.
Yoon Chan menutup pintu mobil dengan sedikit keras, napasnya terdengar berat. "Jiwon. Kamera behind the scene itu bagian dari promosi. Salah satu senjata utama untuk membangun fanbase dan menarik minat penonton!"
Jiwon hanya menoleh tanpa menjawab.
"Lihat drama-drama lain! Pemeran utamanya akrab, seru, banyak momen lucu. Fans suka itu, mereka makan semua momen kedekatan aktor! Kamu dan Sera—kalian pemeran utama! Tapi kamu selalu menghindar, seperti ini," suara Yoon Chan meninggi, tapi jelas diwarnai frustrasi.
"Aku paham, Hyung..." ujar Jiwon pelan. "Tapi hari ini, aku benar-benar nggak ingin."
Yoon Chan menggeleng cepat. "Tidak ada alasan. Kamu terlalu membiarkan emosimu bermain. Ini pekerjaan, Jiwon. Bukan tentang apa yang kamu mau atau nggak mau!"
Sebelum Jiwon bisa membalas, Yoon Chan sudah membuka pintu mobil, lalu memberi isyarat pada Sera dan kameramen yang sedang menunggu di luar. "Masuklah. Kita ambil footage singkat."
Sera melangkah masuk ke van dengan senyum profesional. Wajahnya cantik dalam balutan riasan ringan, tapi mata itu... menyiratkan ketidaknyamanan yang sama. Mungkin ia juga tahu bahwa yang akan mereka lakukan sekarang adalah akting... bukan di depan kamera drama, tapi kamera kenyataan yang dibuat-buat.
"Jiwon, ayo. Coba buat suasana lebih santai. Ngobrol, bercanda. Sedikit saja cukup," desak Yoon Chan dari luar kamera, memberi isyarat ke kameramen untuk mulai merekam.
Jiwon menarik napas panjang, lalu memaksa senyum ke arah Sera.
"Hai... kamu sudah sarapan?" sapanya datar.
Sera menoleh, ikut memalsukan tawa kecil. "Sudah. Kamu?"
Percakapan itu berjalan kaku. Meski kamera berputar, tak ada chemistry yang mengalir alami. Setiap detik terasa seperti drama yang dipaksakan. Bukan untuk layar kaca... tapi untuk mengisi feed media sosial.
Di luar van, Yoon Chan mengamati dari layar monitor kecil. Wajahnya tidak puas. Dia tahu betul—apa yang direkam hari ini takkan menyentuh hati penonton. Karena tidak ada kejujuran di dalamnya.
Sementara itu, di dalam van, mata Jiwon sempat melirik ke kejauhan—mencari sosok Hana di antara kerumunan. Tapi yang ia temukan hanya bayangan tubuhnya sendiri di kaca jendela. Dan bayangan itu... terasa kosong.
Setelah Sera keluar dari mobil van, atmosfer di dalamnya mendadak menegang lagi. Yoon Chan masuk sambil menghembuskan napas berat, lalu langsung mulai mengomel seperti mesin yang baru saja dinyalakan.
"Fokus, Jiwon! Tolong fokus! Aku sudah cukup pusing ditelepon agensi setiap hari, dan sekarang ibumu ikut-ikutan mencemask—"
Kalimat itu menggantung. Jiwon tak lagi mendengarkannya.
Pandangan matanya melekat pada sosok Hana di kejauhan. Seorang pria tinggi, mengenakan jaket hitam tebal dan membawa dua tray penuh gelas kopi, baru saja datang menghampiri Hana. Senyum lebar Hana menyambutnya. Tatapan mereka... terlalu akrab. Terlalu nyaman.
"Siapa pria itu?" gumam Jiwon, seolah bicara pada dirinya sendiri.
Yoon Chan menatapnya tajam. "Jiwon! Apa kau tidak mendengar satu pun dari yang aku katakan tadi?!"
Jiwon tetap tak mengalihkan pandangannya.
"Itu mungkin saja pacarnya!" tukas Yoon Chan, frustasi, sebelum membuka pintu van dan keluar sambil menggerutu sendiri, "Ya Tuhan, bocah ini benar-benar bikin aku gila."
Jiwon tetap diam, matanya tak lepas dari pemandangan di kejauhan. Pria itu sekarang menyerahkan satu gelas kopi ke Hana, lalu menepuk ringan kepalanya sambil tertawa. Reaksi Hana? Tertawa lepas. Seolah mereka punya cerita yang hanya mereka berdua pahami.
Perut Jiwon terasa seperti diremas. Cemburu? Ia tidak tahu pasti. Tapi dadanya panas.
"Oke... kamera behind the scene, ya? Baik," ucap Jiwon, berdiri cepat. Sorot matanya berubah. "Kalau itu yang kalian mau... akan aku tunjukkan."
Ia keluar dari van, mencarinya—kamera behind the scene yang masih berada di sudut lokasi, merekam aktivitas seadanya. Begitu menemukannya, ia langsung menarik Sera mendekat. Tanpa aba-aba, ia merangkul bahu Sera, membisikkan lelucon, lalu tertawa keras-keras. Canggung, tapi cukup untuk menarik perhatian siapa pun yang melihatnya.
Kameramen segera mengarahkan lensa. Mereka senang akhirnya punya momen hangat antara dua pemeran utama.
Tapi bukan itu yang diinginkan Jiwon.
Matanya, dari sudut paling tersembunyi, melirik ke arah Hana—berharap mendapatkan sedikit reaksi.
Namun, Hana hanya melihat sebentar, tanpa ekspresi, lalu dengan santai menyerahkan kopi terakhir ke salah satu figuran dan melangkah pergi dari area syuting. Tidak marah. Tidak peduli. Hanya... biasa saja.
Jiwon menghentikan tawanya. Lengan yang tadi menggantung di bahu Sera perlahan turun. Senyum pura-pura itu pun lenyap.
Untuk pertama kalinya hari itu, ia merasa... kalah.
———
Sementara jauh dari area set yang sibuk dan penuh teriakan teknis, suasana di bawah pohon rindang itu terasa berbeda—lebih tenang, lebih personal. Udara dingin menusuk tulang, tapi tak menghalangi kehangatan di antara dua orang yang kini duduk bersisian di atas bangku kayu yang sudah mulai berembun.
Jungwon menepuk-nepuk kedua tangannya yang sedikit beku, lalu menyerahkan secangkir kopi hangat pada Hana. Wajahnya cerah, senyum kecilnya selalu punya cara membuat Hana merasa seperti gadis biasa—bukan figuran, bukan aktris yang sedang menapak awal, tapi hanya... Hana.
"Makasih udah datang jauh-jauh ke sini," ucap Hana pelan, namun tulus. Matanya menatap Jungwon dengan binar hangat.
Jungwon mengangkat alisnya, seolah menahan tawa. "Jelas aku harus datang. Hari ini hari ulang tahunmu. Kalau bukan aku, siapa yang akan ucapin duluan?" katanya sambil menyenggol bahu Hana dengan manja.
Hana terkekeh. "Jangan salah! Ayah dan adikku sudah kirim pesan tadi malam. Jadi kamu bukan yang pertama."
"Yah, minimal aku yang pertama datang langsung," balas Jungwon tak mau kalah, memasang wajah bangga seperti anak kecil yang baru menang main kelereng.
Tanpa banyak kata, Jungwon membuka cool box kecil yang ia bawa. Aroma manis kue stroberi dan gurih sandwich langsung menyebar, melawan hawa dingin malam.
"Kamu tampak kurus. Aku tahu lokasi syuting sering kasih makan asal-asalan, jadi aku bawain beberapa makanan," katanya, meletakkan kotak itu di bangku.
"Aku simpan di cool box biar awet, biar kamu bisa makan nanti juga. Ada sandwich ayam keju favoritmu, dan kue ulang tahun kecil. Jangan bilang kamu gak suka karena gak ada lilin," tambahnya, seperti seorang ayah yang mengomeli anaknya.
Hana menatap Jungwon sambil tersenyum geli. "Oke, terima kasih... ayah," katanya, menekankan kata terakhir dengan nada bercanda.
Mereka tertawa bersamaan. Bukan tawa canggung seperti yang sering terjadi di dunia akting, melainkan tawa dari ruang masa lalu yang pernah mereka miliki—dari kedekatan yang sudah terbangun bertahun-tahun, sebelum Hana mengejar mimpi besarnya ke dunia hiburan.
Namun di kejauhan, seseorang melihat mereka.
Hari terakhir syuting untuk para figuran selalu menghadirkan perasaan campur aduk—antara lega dan enggan untuk mengucapkan selamat tinggal. Bagi Hana, ini bukan hanya akhir dari pekerjaan singkatnya sebagai figuran, tapi juga akhir dari kebersamaan singkatnya dengan dunia yang sempat membuat hatinya berdebar—terutama karena satu nama: Han Jiwon.Pagi itu, Hana bangun lebih awal dari biasanya. Ia melipat semua pakaiannya dengan rapi, menyusun perlengkapan make-up dan alat tulisnya ke dalam koper. Ketika membuka laci terakhir, matanya terhenti pada syal abu-abu yang semalam melingkar hangat di lehernya—hadiah dari Jiwon.Ia memandangi syal itu cukup lama, seolah sedang berdialog dalam hati. Ada perasaan ragu, malu, sekaligus hangat yang tak bisa diabaikan. Namun akhirnya, dengan senyum kecil, Hana memutuskan untuk memakainya. Ia melilitkannya perlahan di lehernya, merapikan ujungnya, lalu melihat pantulan dirinya di cermin. Tak banyak, tapi syal itu memberi semacam keberanian baru.Di l
Syuting hari itu berakhir larut malam. Angin dingin menusuk masuk di sela-sela kostum tipis para figuran yang kini mulai berkemas, lelah dan menggigil. Namun di balik tenda kecil yang menjadi tempat berkumpul para figuran, ada suasana yang tak biasa—bukan hanya kelelahan, tapi sebuah getaran bahagia yang mencoba disembunyikan dalam keremangan cahaya.Hana, yang baru kembali dari toilet dengan rambut sedikit berantakan dan wajah letih, tertegun saat mendapati beberapa temannya berkerumun di sekitar meja kecil. Di atasnya, berdiri kue mungil dengan lilin yang menyala. Lampu tenda sengaja dipadamkan, menyisakan hanya cahaya lilin yang menari pelan, memberi warna hangat di tengah gelapnya malam.“Selamat ulang tahun, Hana!!” seru Mina riang, seperti meledakkan keheningan yang sedari tadi tertahan.Hana terdiam. Matanya membulat, lalu perlahan mulai berkaca-kaca.“Ini… buat aku?” tanyanya nyaris berbisik.“Tentu saja! Ayo tiup lilinnya! Kamu pasti bahagia banget hari ini karena pacar kamu
Pagi itu, udara masih menggigit kulit. Lokasi syuting kembali ramai dengan aktivitas para kru, kamera, dan tawa lelah yang masih terdengar di sela kesibukan. Di sisi lain area, tim dokumentasi sudah bersiap untuk mengambil gambar behind the scene—bagian penting dari promosi yang akan disebarkan ke media sosial dan kanal resmi drama.Namun, satu hal yang mencolok adalah ketidakhadiran Han Jiwon di kamera belakang layar. Ia lebih sering menghabiskan waktu di dalam mobil van-nya, menjauh dari sorotan kamera yang bukan milik drama."Hyung... kamu tahu kan aku gak nyaman tampil di kamera saat nggak akting?" ucap Jiwon sambil menyenderkan kepala di jok belakang, menatap langit-langit van.Yoon Chan menutup pintu mobil dengan sedikit keras, napasnya terdengar berat. "Jiwon. Kamera behind the scene itu bagian dari promosi. Salah satu senjata utama untuk membangun fanbase dan menarik minat penonton!"Jiwon hanya menoleh tanpa menjawab."Lihat drama-drama lain! Pemeran utamanya akrab, seru, ban
Hembusan angin pagi membawa aroma embun dan tanah basah. Cuaca perlahan berubah, menandakan musim dingin yang mulai mengetuk. Para kru mulai mengenakan jaket tebal, dan para figuran terlihat saling menghangatkan tangan dengan kopi sachet yang dibagikan seadanya.Di tengah hiruk pikuk lokasi syuting yang kembali aktif, Han Jiwon berdiri tak jauh dari monitor sutradara. Matanya memandangi satu titik—bukan layar, bukan naskah, tapi sosok gadis di pojok tenda figuran yang tengah meniup nasi dingin dari kotak makanannya.Lee Hana.Ada sesuatu dari gadis itu yang membuat pikirannya tak bisa diam. Bukan karena dia cantik luar biasa atau berperilaku menonjol. Justru karena kesederhanaan dan sikapnya yang... tulus. Tidak menjilat. Tidak mencoba menarik perhatiannya. Justru itu yang membekas di benaknya sejak malam di belakang bangunan itu."Hana," bisiknya lirih, seolah nama itu begitu pas di lidahnya."Hyung," ucapnya kemudian pada Yoon Chan, yang tengah asyik menyeruput kopi panas."Hm?""Bi
Udara malam mulai menggigit kulit, menyusup pelan ke balik jaket tipis Hana. Langit gelap pekat tanpa bintang, hanya diterangi lampu sorot sisa syuting yang masih menyala samar. Tenda-tenda kru dan pemain figuran kini sunyi, sebagian besar penghuninya sudah tertidur lelah setelah hari panjang yang melelahkan.Hana menggeliat di ranjang lipatnya yang sempit. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terlalu penuh untuk bisa tidur. Ia memutuskan bangkit, mengenakan jaket dan menyelinap keluar. Mencari udara segar. Mencari ketenangan.Kakinya melangkah pelan, menyusuri lorong kayu set kerajaan yang kini kosong. Setiap langkah kakinya menimbulkan suara ringan yang terdengar jelas dalam kesunyian. Saat melewati bangunan utama yang digunakan untuk adegan kerajaan, ia menangkap samar-samar cahaya kecil dari balik dinding.Seketika langkahnya terhenti.Asap.Lalu suara napas yang berat.Hana melongok perlahan ke sisi bangunan, dan matanya membelalak pelan.Han Jiwon.Bersandar di tiang kayu, satu tang
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul saat Lee Hana sudah melangkah cepat di trotoar menuju coffee shop tempat ia biasa bekerja paruh waktu. Udara pagi Seoul masih menusuk, tapi senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan. Hari ini adalah hari pertamanya syuting sebagai figuran dalam drama saeguk—dan dunia terasa begitu hidup baginya.Ketika pintu kaca coffee shop terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, aroma kopi yang hangat langsung menyambutnya. Di balik meja kasir, Jungwon, pemilik sekaligus sahabat lamanya, langsung menoleh dan mengangkat alis."Kamu datang juga," katanya sambil tersenyum kecil, mengenakan apron hitamnya. "Aku pikir kamu sudah naik kereta duluan."Hana melangkah cepat ke belakang meja, memeriksa tasnya sekali lagi. "Aku cuma mau pamit dulu... dan ambil charger yang tertinggal semalam."Tanpa banyak kata, Jungwon mengambil sebuah kotak makan dari bawah meja dan menyelipkannya ke dalam tas Hana dengan gerakan terbiasa. "Ini sandwich buat kamu. Makan di