Setengah berteriak, Dewa juga memukul meja dengan sangat kuat, hingga kaca pelapis atas meja tampak retak, tampak sekali terlihat rapuhnya seorang Dewa di mata Dyah saat ini, apalagi saat Dewa membanting badan di kursinya, kemudian mendongakkan wajahnya dengan mata terpejam.
Dyah terdiam, matanya menunduk menatap lantai, sungguh dia terjebak di tempat dan waktu yang salah.
"Kamu boleh keluar, ini kita kerjakan lagi nanti! Sekalian ... kau panggil Ina suruh ke sini!"
"Baik, Pak. Permisi." Dyah berdiri dari duduknya, memberikan hormat dengan menundukkan sedikit punggungnya, kemudian langsung membalikkan badan menuju ke pintu.
"Bapak memanggil saya?"
Ina masuk kedalam ruangan Dewa, dengan melabgkah sangat berhati hati, mungkin karena sebelum dia masuk, Ina sudah mendapatkan peringatan dari Dyah.
"Duduklah!"
Ina melangkah mendek
Dewa mengangguk saat Ina pamit kembali ke tempatnya, dengan wajah berpaling ke arah ponsel, kemudian tampak senyum di bibirnya saat tahu siapa yang sedang menghubunginya."Halo ...." sapa Dewa dengan senyum yang menghiasi bibir, tampak seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya."Pasti kamu yang nyuruh Ina." Rere langsung menuduh Dewa, dengan dugaannya."Iya, habisnya kamu nggak balik-balik. Pulang dong," rengek Dewa, tak ada lagi wibawa saat di hadapan Rere"Kamu udah selesaikan urusanmu, belum?""Sudah, atau ... kalau tidak, kita kan bisa menyelesaikan bersama, Sayang.""Kenapa ramai sekali, kamu ada di mana?"Rere kemudian menghadapkan ponsel miliknya ke arah Ema dan Yuni yang tersenyum, dan menyapanya dengan lambaian tangan mereka."Yuni nikah, Sayang?" tanya Dewa saat layar ponsel milik Rere sudah kembali ke wajahnya."Nggak, ini acara tunangan aja, kok.""Sampaikan salamku padanya, katakan pada mer
"Terimakasih ya, Pak. Saya nggak nyangka bakalan di ajak makan bersama seperti ini," kata Udin yang duduk di depan Dewa, hanya dengan di batasi sebuah meja, berterima kasih. Sedangkan Ina sibuk membuat dokumentasi untuk di pajang di status aplikasi hijaunya.Dewa mengangguk, hatinya ikut senang walau sedikit ada rasa iri, saat melihat Ina yang perhatian pada Udin dan juga Dyah dengan suaminya, yang dipaksa datang. Maka dari itu sengaja dia mesan meja dengan kursi yang lebih banyak dari biasanya.Bunyi ponsel seketika itu juga membuat Udin menjadi sorotan."Halo, Mbak." Sapa Udin yang sudah mencuci tangannya untuk menerima panggilan video call dari Rere."Statusmu dengan Ina kok bisa sama, di mana itu, Din? Kok makan rame-rame, ada acara apa?" Rere langsung bertanya dengan kekuatan seribu jurus."Iya, Mbak. Lagi pada ngumpul rame-rame.""Siapa saja
"Hari ini, hari Ayah terakhir ngajar, apakah kamu mau ikut ke kampus?" Sang ayah bertanya sambil menyiapkan berkas-berkas yang kenudian beliau masukkan ke dalam tas kerja berwarna coklat."Boleh?" tanya Rere dengan mata membesar dengan tak percaya. Jarang sekali ayahnya memperbolehkan ikut ke kampus, dan sekarang malah mengajaknya."Tentu saja boleh, Apa yang tidak untuk putri ayah yang paling cantik ini." ayah berkata sambil mencolek hidung bangir putrinya, gemas.Tak menjawab, Rere langsung berlari kecil naik anak tangga, masuk ke dalam kamarnya. Baginya ini adalah kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan."Ayah yakin bakalan ngajak Rere ke kampus? Apa nggak bakalan ganggu nantinya? Lagian apa iya dia nggak bakal bosan saat ayah tinggal?" tanya Bunda yang ikut mempersiapkan jaket almamater kampus tempat ayah kerja, yang selalu ayah pakai."Kamu itu nanya apa gimana, Bunda? Kok panjangnya mengalahkan putaran waktu.""Ayah .
"Bagaimana, kamu bosan tidak? Tadi, saat ayah meninggalkanmu sendirian?" tanya Ayah yang baru saja datang dan langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Rere, hanya di batasi oleh meja saja."Tidak, aku malah sudah menyelesaikan banyak tugas kantor, karena tadi sekretarisku meminta untuk kerja secara online." Rere menjawab sambil tersenyum."Mau aku pesankan sesuatu buat ayah?" Rere menawarkan ayah. Dengan mata menatap lelaki yang akan selalu menjadi cinta pertamanya itu, lembut."Kok bisa? Tidak, ayah belum haus." tolak ayah, yang terlihat dengan gelengan kepala. Matanya nampak menyapu seluruh ruangan kantin."Dewa menelpon dan merasa kasihan karena melihat aku sendirian, jadi tadi kami berempat zoom bersama untuk menyelesaikan pekerjaan kantor.""Baguslah kalau begitu," seru sang ayah yang menganggukkan kepalanya berulang kali, tanpa mengerti artinya.Rere ikut mengangguk sambil menyesap sedikit minumnya dengan sedota
Rere histeris melihat kondisi ayahnya dengan kepala berlumur darah terjepit di dalam mobil, dia mengguncangkan pintu mobil. Namun, tak sedikit pun ada hasil hingga akhirnya dia lemas, dan jatuh pingsan, mungkin Rere tak sanggup melihat kuncuran darah dan rintihan kesakitan yang keluar dari mulut sang ayah.Untung saja, karena mini market yang mereka datangi masih dekat dengan area kampus, banyak mahasiswa yang kenal dengan pak Satria. Memudahkan pertolongan segera untuk pak Satria dan Rere."Ayaaah!" Rere tiba tiba menjerit, dia sadar dari pingsannya, dan langsung melihat bunda dengan wajahnya yang sembab, berdiri hampir bersamaan dengan bu Zeza, dan Dewa."Ayah, bagaimana?" tanya Rere, dengan pandangan mata menatap penuh selidik ke arah bunda."Ayah masih di ruang ICU. Ada om Bagas yang menjaganya," jawab Bu Zeza, dengan senyum di bibirnya."Aku mau ke ayah." Rere bangun dari ranjangnya, tentu saja dia tidak apa apa, karena hanya pingsan saja.&nbs
"Bun ...." panggil seorang lelaki yang berwajah hampir sama dengan bunda.Datang dengan sikap gelisah, di belakang lelaki itu, seorang perempuan cantik berambut hitam panjang terurai juga menyiratkan hal yang sama, mengikuti dari belakang."Ayah, bagaimana dengan ayah?"Rio, kakak lelaki satu-satunya Rere datang dan langsung memeluk bunda yang kembali terisak, karena kedatangan anak lelakinya."Mas Rio, bapak masih di dalam ICU," ujar Rere dengan tangan menunjuk ke kamar tempat ayah di rawat. Sengaja dia menjawab karena yakin bunda sudah tak kuasa untuk sekedar menjawab.Tanpa berkata apa apa lagi, Rio langsung melangkah masuk ke dalam kamar, entah apa yang terjadi di dalam kamar tempat ayah di rawat. Namun, selanjutnya tampak pak Bagas yang keluar dari kamar. Kesedihan tak bisa di sembunyikan dari raut wajahnya."Om, ayah bagaimana?" tanya Rere saat om Bagas berada sangat dekat dengannya."Kita hanya bisa berdoa unt
Sekitar tiga puluh menit, Ema dan Elang menjenguk pak Satria.Namun, hanya bisa di luar kamar saja, itu pun tanpa kursi. Mereka berempat berdiri, sambil bercerita."Dik, besok kita balik lagi aja, ya." Akhirnya Elang berinisiatif untuk mengajak Ema, apalagi tampak oleh Rere dan Dewa bagaimana Elang berulang kali menggerakkan kakinya tak beraturan."Iya, Ma. Kasihan Elang, sudah capek berdirinya." Dewa pun ikut sepakat, setengah menggoda Elang.Semua tersenyum, dan Ema menuruti apa yang Elang mau, mereka berdua pamit dan berjanji akan datang lagi.Baru saja Elang dan Ema berbelok langkah, pundak Rere di tepuk pelan. Seketika itu juga Rere dan Dewa membalikkan badannya."Kalian juga pulang, biar aku yang jaga di sini." Ternyata Mbak Santi, entah sudah berapa lama dia berdiri di belakang Rere dan Dewa."Sendirian? Nggak ah, aku di sini juga." tolak Rere pada iparnya."Be
Rere membuka matanya dengan malas, entah sudah berapa lama dia tertidur, andaikan goncangan di badannya tidak dia rasakan, mungkin akan lama dirinya terbangun."Re ...."Rere langsung menengok kearah samping kanan, di temukannya wajah Dewa yang sudah segar dengan tersenyum.Rere langsung mengubah pandangannya, ada rasa yang aneh tadi, saat dia dan Dewa saling temu tatap."Kok kamu sudah bangun?" tanya Rere sambil sesekali mengucek matanya dan menutup mulut saat sedang menguap."Sudah dari jam lima, tadi.""Sekarang jam berapa?" tanya Rere lagi."Jam tujuh lewat tiga puluh menit.""Waah, sudah siang, ya?" seru Rere yang kemudian menegakkan badannya dan mengangkat ksdua tangannya ke atas, melakukan peregangan hingga berbunyi."Kok nggak tidur di rumah? Malah balik ke sini." tegur Dewa, dengan tangan kirinya mengusap pelan kepala Rere yang terbungkus hijab."Nggak pa-pa kasihan aja ke kamu, pa