Langit sore memayungi taman kecil di dekat rumah Jenna. Suasana teduh dan angin yang berembus lembut menciptakan ketenangan semu. Beberapa anak terlihat berlarian di kejauhan, tawa mereka menyatu dengan suara gemericik air dari pancuran kolam di tengah taman.
Ziandra duduk di bangku kayu di bawah pohon besar. Jemarinya saling menggenggam di pangkuan, menanti dalam diam. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Entah karena gelisah, atau karena mencoba menyiapkan hatinya untuk sesuatu yang belum ia pahami.
Saat suara langkah kaki mendekat dari arah kanan, Ziandra langsung menoleh. Belvina berjalan perlahan ke arahnya, mengenakan blouse sederhana.
Ziandra hampir saja berdiri, berniat menyambut atau sekadar menunjukkan sopan santun, namun Belvina mengangkat tangannya pelan. “Tidak usah berdiri. Duduk saja.”
Ziandra mengangguk pelan, menahan napas. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah, tapi ia tidak menyangka detik pert
Pagi di perusahaan dimulai seperti biasa, dengan langkah-langkah cepat para karyawan, suara pintu lift yang terbuka dan tertutup, serta dering telepon yang bersahutan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari sosok Angga pagi ini. Wajahnya tidak sekeras biasanya, tak ada sorot tajam atau aura tekanan yang kerap memancar setiap kali ia memasuki lantai kerja.Senyum tipis tampak di wajahnya, seperti ada cahaya yang meredupkan bayang-bayang lelah di bawah matanya. Ia menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya, bahkan sempat mengangguk sopan saat seseorang memberi salam pagi. Hal-hal kecil yang selama ini jarang ia lakukan.Begitu sampai di ruangannya, Angga membuka jas, menggantungnya di balik pintu, lalu duduk di kursi kerja dengan gerakan santai. Jemarinya membuka layar ponsel yang dari tadi menggetar pelan.[Kira-kira foto ini cocok diberi caption apa? Bagaimana kalau ‘Menantu dan Mertua yang Sedang Berdamai bersama dengan pagi’ menurutmu bagus,
Malam itu, Ziandra masih terbaring dalam posisi yang sama. Mata terpejam, namun pikirannya belum benar-benar tertidur. Bayangan kata-kata Angga terus terulang di benaknya, tentang ayahnya yang akhirnya mengakui kesalahan, tentang cinta yang terus ia perjuangkan, dan tentang dirinya yang akhirnya benar-benar dianggap.Pintu kamar kembali terbuka. Aroma lezat yang menguar dari luar perlahan menyusup masuk, menggoda indera penciumannya.Langkah kaki Angga terdengar ringan kali ini, seperti sedang menyimpan sesuatu yang istimewa.“Ziandra ...,” panggilnya pelan, nyaris seperti membangunkan anak kecil.Perempuan itu membuka matanya perlahan, lalu berbalik menatap suaminya yang kini berdiri di sisi tempat tidur dengan nampan di tangan.“Aku tahu kau belum makan apa-apa sejak siang tadi. Kau boleh pura-pura tidur seharian, tapi jangan pura-pura kenyang. Aku tidak mau kau sakit,” ucap Angga dengan lembut.Ziandra tersenyum ti
Langkah kaki Angga terdengar pelan saat ia dan Ziandra memasuki halaman rumah keluarga besarnya. Suasana rumah itu lengang, seolah menyesuaikan dengan hati mereka yang masih dipenuhi sisa emosi dari pertemuan di taman tadi.Mobil baru saja diparkir. Angga sempat ingin langsung menggandeng tangan istrinya masuk ke dalam, namun pandangannya terhenti saat melihat seseorang duduk sendiri di taman belakang. Ayahnya.Pria tua itu mengenakan jaket hangat dan selimut tipis yang menutupi pahanya. Duduk diam di atas kursi roda, memandangi kolam kecil yang hampir mengering. Raut wajahnya kosong, seperti memandangi masa lalu yang hanya bisa ia sesali diam-diam.Beberapa hari sejak kepulangannya dari rumah sakit, Pak Yuda memang lebih sering diam. Tidak banyak bicara, tidak juga menunjukkan kemarahan seperti biasanya. Tapi itu justru membuat suasana rumah semakin aneh.Angga hanya menatap sekilas ke arah ayahnya, lalu mengalihkan pandangan dan bersiap masuk ke dalam.
Liam turun dari sepedanya dan dengan semangat berlari ke arah bangku taman tempat ibunya dan Ziandra duduk. Napasnya masih terengah karena terlalu banyak tertawa dan berlari, namun wajahnya bersinar penuh keceriaan.“Mama! Tante Ziandra! Tadi seru banget aku main sepedanya! Papa jago banget naik sepeda dan latih aku!” serunya antusias.Ziandra hanya tersenyum kecil, berusaha menanggapi dengan hangat meskipun dadanya sesak melihat antusias Liam yang begitu polos memanggil Angga dengan sebutan ‘Papa’.Tanpa banyak bicara, Liam langsung memanjat ke pangkuan Belvina, meringkuk manja sambil terus mengoceh tentang hal-hal kecil yang ia alami bersama Angga—tentang balapan sepeda, membeli es krim di minimarket, hingga memberi makan ikan di kolam kecil taman lain yang sempat mereka lewati.Belvina mengelus kepala anaknya perlahan. Wajahnya hangat, meski ada sisa-sisa haru yang belum hilang dari sorot matanya. Ia melirik ke arah Ziandr
Langit sore memayungi taman kecil di dekat rumah Jenna. Suasana teduh dan angin yang berembus lembut menciptakan ketenangan semu. Beberapa anak terlihat berlarian di kejauhan, tawa mereka menyatu dengan suara gemericik air dari pancuran kolam di tengah taman.Ziandra duduk di bangku kayu di bawah pohon besar. Jemarinya saling menggenggam di pangkuan, menanti dalam diam. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Entah karena gelisah, atau karena mencoba menyiapkan hatinya untuk sesuatu yang belum ia pahami.Saat suara langkah kaki mendekat dari arah kanan, Ziandra langsung menoleh. Belvina berjalan perlahan ke arahnya, mengenakan blouse sederhana.Ziandra hampir saja berdiri, berniat menyambut atau sekadar menunjukkan sopan santun, namun Belvina mengangkat tangannya pelan. “Tidak usah berdiri. Duduk saja.”Ziandra mengangguk pelan, menahan napas. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah, tapi ia tidak menyangka detik pert
Langkah kaki Belvina dan Jenna menghilang di ujung lorong, menyisakan keheningan yang kembali jatuh di antara mereka. Angga berdiri membatu, mematung di tempat dengan pandangan kosong, seolah belum bisa memproses kata-kata terakhir yang diucapkan Ziandra.Apa kau tidak ingin memeluk anakmu sebentar, Angga?Kalimat itu menggema kembali dalam kepalanya, menyanyat seperti bilah tajam yang menembus jantungnya. Suara istrinya tadi terdengar lembut, nyaris seperti bisikan. Tapi justru karena kelembutannya itu, hatinya semakin terasa remuk. Ziandra sedang menahan terlalu banyak rasa, dan ia tahu dirinya menjadi penyebab paling besar dari semua itu.Angga menunduk, menatap lantai rumah sakit yang dingin dan mengkilap. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, menggigil tanpa sebab. Ia ingin bergerak. Ingin mengejar Liam dan memeluk anak itu seperti yang diminta Ziandra. Tapi kakinya terasa berat. Hatinyalah yang menolaknya. Bukan karena ia tak ingin, melainkan karena i