Malam itu, Ziandra pergi ke kelab malam untuk meluapkan emosinya sehabis memergoki kekasihnya berselingkuh. Dalam kondisi mabuk berat, tanpa banyak berpikir ia menerima ajakan seorang pria asing untuk one-night stand di sebuah hotel. Keesokan harinya, Ziandra melarikan diri tanpa meninggalkan jejak, berpikir bahwa semuanya akan berlalu begitu saja. Namun takdir mempertemukannya kembali dengan pria dari malam itu yang ternyata adalah Anggara Dhanesswara, CEO baru yang dilantik di kantornya. Ziandra bertekad menghindari Angga agar gosip buruk yang sedang menerpanya tidak makin memperburuk reputasinya. Sayangnya, keadaan rumit yang menimpa Ziandra membuatnya terpaksa terlibat dengan Angga lebih jauh. Mampukah Ziandra keluar dari situasi yang semakin tak terkendali atau ia akan terjerat dengan permainan Angga?
View MoreZiandra duduk di sudut kafe favoritnya, menatap secangkir kopi yang hampir dingin. Suasana ramai di sekelilingnya seolah tak ada artinya. Ia awalnya sangat bersemangat ketika Elden mengajaknya untuk bertemu sehabis pulang kerja, tapi setelah menunggu satu jam lamanya Elden mengabari bahwa dirinya akan lembur malam ini, sehingga terpaksa untuk membatalkan janji temunya dengan Ziandra.
Ziandra tidak marah dan memutuskan tetap di kafe itu untuk beberapa saat kemudian. Tepat 15 menit, barulah Ziandra pergi dari kafe dengan lesu. Ia sangat menantikan pertemuannya dengan sang pacar yang akhir-akhir ini sulit sekali dihubungi.
Elden selalu beralasan sedang sibuk sehingga tak ada waktu untuk mengabari apalagi sampai menyempatkan waktu untuk bertemu. Ziandra berusaha untuk mengerti kondisi Elden dan tak mengeluhkan hal itu. Padahal, mereka satu perusahaan dan hanya beda divisi saja, namun rasanya begitu sulit untuk berkomunikasi layaknya pasangan pada umumnya.
“Sebaiknya aku bawakan Elden makanan, dia pasti lapar. Sekalian agar aku bisa beralasan untuk bertemu dirinya,” kekeh Ziandra sambil menenteng kresek berisi makanan yang disukai Elden.
Dengan tersenyum senang ia masuk ke kantor yang sudah sepi dan langsung menuju ke meja kerja Elden, namun tak mendapati keberadaan pacarnya. Tak habis akal, Ziandra mencari Elden di ruang rapat. Pacarnya selalu bilang jika sedang lembur lebih suka berada di ruangan tertutup itu, jadi Ziandra berpikir dia pasti di sana.
Wajah berseri Ziandra berubah dalam sekejap. Senyuman yang awalnya timbul ketika dirinya bersiap mengejutkan Elden atas kedatangannya yang mendadak, langsung luntur.
“Ap—apa yang kalian berdua lakukan!?” ucap Ziandra tergagap dengan bulir air mata yang menetes membasahi pipinya.
Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat berusaha mengusir pandangan matanya. Ia berharap apa yang dilihatnya hanyalah mimpi.
Elden langsung berdiri dan merapikan kemejanya yang kancingnya sudah terbuka hampir keseluruhan. Dengan panik dirinya mendekati Ziandra dan berusaha menutupi pandangan pacarnya itu agar tidak melihat penampilan wanita lain yang sedang terlentang di meja tempat ruangan rapat.
“Ini tidak seperti yang kau pikirkan! Aku dengan wanita itu hanya—,”
“Melakukan hal tak senonoh di kantor, kau bilang hanya? Aku tidak sebodoh itu untuk ditipu oleh omonganmu, El! Sekarang menjauh dariku! Kau membuatku jijik dengan apa yang sudah kau perbuat,” bentak Ziandra mendorong-dorong tubuh Elden agar menjauhinya.
Wanita yang sebelumnya ada di meja berjalan mendekati. Dengan tatapan merendahkan ke arah Ziandra, ia sengaja mengibaskan rambutnya ke wajah Ziandra dan berjalan melewatinya keluar ruangan. Tak ada kata maaf atau alasan apapun yang dia utarakan.
Pandangan Ziandra kembali pada Elden. “Jadi kau bermain gila dengan Liona?—Bagaimana bisa kau melakukan hal menjijikkan itu dengan musuh bebuyutanku, hah? Di mana otakmu!?” raungnya merasa sakit teramat sangat di hatinya.
Elden menggigit bibir bawahnya dengan resah, bingung menjelaskan situasinya agar membuat Ziandra mengerti. Tapi mau bagaimanapun dia beralasan, kenyataan bahwa dia adalah pria brengsek tentu saja tak merubahnya.
Ziandra menantikan Elden untuk memberikan kata-kata pembelaannya, namun pacarnya itu sama sekali tak berkutik. Di saat itu pula Ziandra makin sadar, betapa rendahnya pria yang begitu dicintainya ini.
Ia tak pernah menyangka bahwa rasa cintanya yang begitu besar pada Elden malah dibalas pengkhianatan olehnya. Dengan perasaan kecewa dan hati yang seperti tersayat-sayat, Ziandra memutuskan pergi. Bahkan saat seperti inipun, Elden tak berminat mengejarnya, membiarkan dirinya pergi tanpa secuil harapan apapun.
Tangis Ziandra pecah ketika dia berjalan seorang diri di trotoar. Keadaan malam yang makin pekat tak membuatnya takut. Ia terus berjalan hingga sampai di sebuah kelab malam di ujung jalan. Meski berada di tempat agak tersembunyi, kelab malam yang didatanginya cukup ramai pengunjung.
Ziandra mengusap kasar air mata di pipinya dan berjalan dengan langkah yakin untuk memasuki tempat laknat itu. Dia putuskan untuk meluapkan rasa marahnya dengan mabuk hari ini. Paling tidak, untuk sementara ia mau melupakan masalahnya.
Kelab malam itu penuh dengan hiruk-pikuk musik dan lampu berkelap-kelip. Ziandra melangkah masuk, merasa asing namun juga tertarik oleh atmosfer tempat yang belum pernah dikunjunginya itu. Agak gemetar dan bingung, ia berjalan menuju meja bar dan memesan minuman beralkohol tinggi.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya seorang bartender dengan nada prihatin ketika menyadari bahwa Ziandra mulai kehilangan kendali.
Ziandra hanya menggelengkan kepala tanpa berkata apa-apa. Ia tidak ingin berbicara, tidak ingin menjelaskan, dan hanya ingin melupakan.
Beberapa jam berlalu, dan Ziandra mulai merasakan pusing teramat sangat. Kepalanya terasa mau pecah. Dirinya memutuskan untuk berhenti, dan setelah membayar minumannya ia mencoba meninggalkan kursinya. Langkah gontai, mata sayu, dan ia berulang kali menubruk tubuh orang-orang yang sedang sibuk berjoget, nyatanya tak meruntuhkan niatnya untuk segera pergi.
“Kau tidak bisa pulang sendiri dalam keadaan seperti ini. Biarkan aku membantumu,” kata seorang pria asing yang berdiri menghadangnya.
Ziandra yang kesadarannya makin melemah, tak mampu untuk menolak. Ia pun hanya bisa pasrah ketika tubuhnya dituntun begitu lembut oleh pria asing menuju ke sebuah hotel. Ziandra berulang kali berusaha mendapatkan kesadarannya, namun sia-sia semata.
“Kau butuh melampiaskan kesedihanmu, bukan? Biarkan aku mewujudkan hal itu untukmu.”
Ziandra menganggukkan kepalanya, memberi tanda bahwa pria asing itu bebas berbuat apapun padanya. Dirinya dengan sukarela menyerahkan keperawanannya untuk pria yang sama sekali tak dikenalnya. Ia harap setelah ini semua kesakitannya akan lenyap.
*****
Keesokan paginya, Ziandra bangun dengan rasa pengar akibat ulahnya yang semalam mabuk berat. Tapi, yang membuatnya terkejut bukan main adalah saat di sampingnya ada seorang pria yang sedang tidur membelakanginya.
Ziandra menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia panik dengan keadaan tubuhnya yang tak memakai sehelai kain pun. Ingatan samar kejadian semalam di mana ia bercinta dengan pria di sebelahnya itu membuat Ziandra tak mau percaya atas ulah gilanya sendiri.
Ziandra bergegas turun dari kasur dengan perlahan agar tidak membangunkan pria asing yang tampak nyaman tidurnya. Ia memungut pakaiannya yang berserakan di lantai, memakainya dengan cepat, lalu pergi dengan rasa malu yang tak bisa ia hindari.
“Kau sungguh wanita gila, Ziandra. Gimana bisa kau tidur dengan sembarang pria hanya karena putus cinta? Aku tak habis pikir, di mana kau menaruh otakmu ini!?”
Di perjalanan pulang, Ziandra tak henti-hentinya merutuki kebodohannya. Sesampainya di kosnya, ia langsung masuk untuk mandi. Ia membasuh tubuhnya dengan sabun yang banyak dan air tak berhenti ia guyurkan.
Duduk di depan cermin dengan rambut yang masih basah, Ziandra menangis. Ia merasa sangat jijik dan marah pada dirinya sendiri. Ia menyesal sudah membiarkan tubuhnya dinodai oleh orang asing. Martabatnya seolah lenyap malam itu juga dan ia tak tahu bagaimana untuk menata hidupnya setelah ini.
Saat sedang merenungi kepahitannya, ponselnya berdering yang membuatnya terpaksa mengangkat. Satu kabar dari keluarganya di desa membuat pukulan menyakitkan kembali menyerang ulu hatinya.
“Akan kuusahakan untuk mendapatkan uangnya. Nenek akan baik-baik saja di sana, percaya padaku. Baiklah, secepatnya akan kukirimkan uangnya.” Ziandra bahkan tak yakin dengan janji yang baru saja ia katakan ini.
Pagi di perusahaan dimulai seperti biasa, dengan langkah-langkah cepat para karyawan, suara pintu lift yang terbuka dan tertutup, serta dering telepon yang bersahutan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari sosok Angga pagi ini. Wajahnya tidak sekeras biasanya, tak ada sorot tajam atau aura tekanan yang kerap memancar setiap kali ia memasuki lantai kerja.Senyum tipis tampak di wajahnya, seperti ada cahaya yang meredupkan bayang-bayang lelah di bawah matanya. Ia menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya, bahkan sempat mengangguk sopan saat seseorang memberi salam pagi. Hal-hal kecil yang selama ini jarang ia lakukan.Begitu sampai di ruangannya, Angga membuka jas, menggantungnya di balik pintu, lalu duduk di kursi kerja dengan gerakan santai. Jemarinya membuka layar ponsel yang dari tadi menggetar pelan.[Kira-kira foto ini cocok diberi caption apa? Bagaimana kalau ‘Menantu dan Mertua yang Sedang Berdamai bersama dengan pagi’ menurutmu bagus,
Malam itu, Ziandra masih terbaring dalam posisi yang sama. Mata terpejam, namun pikirannya belum benar-benar tertidur. Bayangan kata-kata Angga terus terulang di benaknya, tentang ayahnya yang akhirnya mengakui kesalahan, tentang cinta yang terus ia perjuangkan, dan tentang dirinya yang akhirnya benar-benar dianggap.Pintu kamar kembali terbuka. Aroma lezat yang menguar dari luar perlahan menyusup masuk, menggoda indera penciumannya.Langkah kaki Angga terdengar ringan kali ini, seperti sedang menyimpan sesuatu yang istimewa.“Ziandra ...,” panggilnya pelan, nyaris seperti membangunkan anak kecil.Perempuan itu membuka matanya perlahan, lalu berbalik menatap suaminya yang kini berdiri di sisi tempat tidur dengan nampan di tangan.“Aku tahu kau belum makan apa-apa sejak siang tadi. Kau boleh pura-pura tidur seharian, tapi jangan pura-pura kenyang. Aku tidak mau kau sakit,” ucap Angga dengan lembut.Ziandra tersenyum ti
Langkah kaki Angga terdengar pelan saat ia dan Ziandra memasuki halaman rumah keluarga besarnya. Suasana rumah itu lengang, seolah menyesuaikan dengan hati mereka yang masih dipenuhi sisa emosi dari pertemuan di taman tadi.Mobil baru saja diparkir. Angga sempat ingin langsung menggandeng tangan istrinya masuk ke dalam, namun pandangannya terhenti saat melihat seseorang duduk sendiri di taman belakang. Ayahnya.Pria tua itu mengenakan jaket hangat dan selimut tipis yang menutupi pahanya. Duduk diam di atas kursi roda, memandangi kolam kecil yang hampir mengering. Raut wajahnya kosong, seperti memandangi masa lalu yang hanya bisa ia sesali diam-diam.Beberapa hari sejak kepulangannya dari rumah sakit, Pak Yuda memang lebih sering diam. Tidak banyak bicara, tidak juga menunjukkan kemarahan seperti biasanya. Tapi itu justru membuat suasana rumah semakin aneh.Angga hanya menatap sekilas ke arah ayahnya, lalu mengalihkan pandangan dan bersiap masuk ke dalam.
Liam turun dari sepedanya dan dengan semangat berlari ke arah bangku taman tempat ibunya dan Ziandra duduk. Napasnya masih terengah karena terlalu banyak tertawa dan berlari, namun wajahnya bersinar penuh keceriaan.“Mama! Tante Ziandra! Tadi seru banget aku main sepedanya! Papa jago banget naik sepeda dan latih aku!” serunya antusias.Ziandra hanya tersenyum kecil, berusaha menanggapi dengan hangat meskipun dadanya sesak melihat antusias Liam yang begitu polos memanggil Angga dengan sebutan ‘Papa’.Tanpa banyak bicara, Liam langsung memanjat ke pangkuan Belvina, meringkuk manja sambil terus mengoceh tentang hal-hal kecil yang ia alami bersama Angga—tentang balapan sepeda, membeli es krim di minimarket, hingga memberi makan ikan di kolam kecil taman lain yang sempat mereka lewati.Belvina mengelus kepala anaknya perlahan. Wajahnya hangat, meski ada sisa-sisa haru yang belum hilang dari sorot matanya. Ia melirik ke arah Ziandr
Langit sore memayungi taman kecil di dekat rumah Jenna. Suasana teduh dan angin yang berembus lembut menciptakan ketenangan semu. Beberapa anak terlihat berlarian di kejauhan, tawa mereka menyatu dengan suara gemericik air dari pancuran kolam di tengah taman.Ziandra duduk di bangku kayu di bawah pohon besar. Jemarinya saling menggenggam di pangkuan, menanti dalam diam. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Entah karena gelisah, atau karena mencoba menyiapkan hatinya untuk sesuatu yang belum ia pahami.Saat suara langkah kaki mendekat dari arah kanan, Ziandra langsung menoleh. Belvina berjalan perlahan ke arahnya, mengenakan blouse sederhana.Ziandra hampir saja berdiri, berniat menyambut atau sekadar menunjukkan sopan santun, namun Belvina mengangkat tangannya pelan. “Tidak usah berdiri. Duduk saja.”Ziandra mengangguk pelan, menahan napas. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah, tapi ia tidak menyangka detik pert
Langkah kaki Belvina dan Jenna menghilang di ujung lorong, menyisakan keheningan yang kembali jatuh di antara mereka. Angga berdiri membatu, mematung di tempat dengan pandangan kosong, seolah belum bisa memproses kata-kata terakhir yang diucapkan Ziandra.Apa kau tidak ingin memeluk anakmu sebentar, Angga?Kalimat itu menggema kembali dalam kepalanya, menyanyat seperti bilah tajam yang menembus jantungnya. Suara istrinya tadi terdengar lembut, nyaris seperti bisikan. Tapi justru karena kelembutannya itu, hatinya semakin terasa remuk. Ziandra sedang menahan terlalu banyak rasa, dan ia tahu dirinya menjadi penyebab paling besar dari semua itu.Angga menunduk, menatap lantai rumah sakit yang dingin dan mengkilap. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, menggigil tanpa sebab. Ia ingin bergerak. Ingin mengejar Liam dan memeluk anak itu seperti yang diminta Ziandra. Tapi kakinya terasa berat. Hatinyalah yang menolaknya. Bukan karena ia tak ingin, melainkan karena i
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments