Ziandra merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah duduk lama. Layar monitor di hadapannya sudah ia matikan dan bersiap untuk pulang. Namun, baru saja ia hendak merapikan mejanya, suara berat yang tak asing menyapanya dari belakang.
“Kau belum pulang?”
Ziandra hampir melompat saking kagetnya. Ia menoleh cepat dan menemukan Angga berdiri tak jauh di belakangnya, kedua tangannya terselip di saku celana, ekspresinya tetap datar seperti biasa.
Ziandra menelan ludah. “Saya menyelesaikan tugas sebelum—,”
“—sebelum kau resmi menjadi sekretarisku,” potong Angga sambil menatapnya. “Bagus. Tapi jangan terlalu membebani dirimu sendiri. Mulai besok, kau akan jauh lebih sibuk.”
Ziandra mendesah pelan. “Saya tahu....”
Ziandra kembali membereskan dokumen-dokumennya, berharap Angga segera pergi. Tapi bukannya beranjak, pria itu justru mengambil salah satu dokumen yang baru saja ia rapikan dan membolak-baliknya dengan santai.
“Jadi, bagaimana rasanya mendapatkan promosi mendadak?” tanya Angga, nada suaranya mengandung sedikit ejekan.
Ziandra mengernyitkan kening tidak suka. “Saya tidak menganggap ini promosi, Pak. Saya hanya menjalankan kesepakatan kita.”
Angga terkekeh kemudian meredakan tawanya. Kesenyapan kemudian melingkupi keduanya. Ziandra yang sibuk mengemasi dokumen, sedangkan Angga hanya membolak-balik halaman dokumen tanpa berucap apapun setelahnya.
“Anda sendiri kenapa belum pulang?” ujar Ziandra sambil tangannya mengambil dokumen yang ada di genggaman Angga dengan sopan. Ia ingin cepat pulang dan menjauhi atasannya ini.
Angga berjalan menjauhi meja Ziandra dan menatapnya dengan tenang, menunggu wanita itu selesai.
Ketika Ziandra sudah merapikan mejanya, ia berjalan mendekatinya untuk keluar kantor bersama, barulah ketika itu ia menjawab dengan enteng. “Aku sengaja ambil lembur malam ini. Sekaligus, aku ingin mengantarmu pulang.”
Langkah Ziandra yang sebelumnya sejajar dengan Angga seketika memelan. “Apa maksud Bapak?”
Belum sempat Angga menyahut, suara samar terdengar dari lorong di luar. Seperti suara langkah kaki seseorang yang terburu-buru menjauh.
Ziandra dan Angga sama-sama menoleh ke arah pintu yang sedikit terbuka. Namun, tak ada siapa pun di sana.
“Siapa, ya?” gumam Ziandra, merasa bulu kuduknya meremang.
Angga berdecak. “Mungkin hanya petugas kebersihan.” Ia mengangkat bahu tak peduli.
Ziandra mengekori Angga hingga ke lobi pelataran luar kantor. Ia membungkukkan badan seraya berucap sopan. “Kalau begitu, saya pamit pergi dulu, Pak.”
“Tidak bisa. Aku sudah katakan bahwa akan mengantarmu pulang. Alasanku memilih lembur juga karena hal ini.” Angga berucap tegas dengan mata memicing tak suka.
“Tapi, saya tidak minta untuk Bapak mengantar, kok. Saya bisa pulang sendiri.” Dengan berani Ziandra menggelengkan kepala.
Dia bermaksud untuk bersikeras menolak, namun malah Angga mengambil tasnya yang terselempang di bahu dan berjalan cepat menuju ke parkiran yang ada di samping kiri bangunan kantor.
Ziandra berusaha mengejar sambil berupaya merebut kembali tasnya, namun sia-sia. Tasnya dilempar begitu saja ke dalam jok mobil dan membuat Ziandra mendengus tak senang.
“Apa maumu, sih?” sungutnya bernada kesal.
“Masuk ke dalam dan biar aku antar pulang! Kau hanya perlu duduk tenang di mobil, tapi kenapa sulit sekali bagimu untuk menurut?” kecam Angga mulai hilang kesabaran.
Keduanya saling beradu tatapan sengit, tetapi Angga yang lebih dulu memutuskannya. Jika terus berdebat, keduanya akan pulang semakin larut malam.
Sama halnya dengan Angga, Ziandra juga tak mau berlama-lama berdebat dengan atasannya ini. Ia sudah sangat lelah dan tak kuasa meladeni Angga yang menyebalkan.
Dengan wajah tertekuk kesal, Ziandra duduk ke jok mobil di samping kursi kemudi. Sedetik kemudian Angga menyusul dan langsung tancap gas menjalankan mobilnya.
Tanpa mereka sadari, seseorang keluar dari tempat persembunyiannya di sudut gelap koridor. Ia mengamati kepergian mereka dengan mata tajam penuh minat.
“Ternyata Ziandra tidak se-sederhana kelihatannya. Bahkan sekarang dia sudah mendekati Angga yang baru beberapa hari dilantik jadi CEO. Dia pintar menemukan tangkapan besar untuk dimanfaatkan.” Orang itu bergumam lirih dengan smirk tersemat di bibirnya. Mengakui kehebatan Ziandra yang mudah mendapatkan jackpot.
***** “Loh, kenapa kita berhenti di sini?” tanya Ziandra mempertanyakan alasan Angga menghentikan mobilnya ke area parkir sebuah restoran.“Tentu saja untuk makan. Apa menurutmu aku bukan manusia yang tidak butuh makan?” celetuk Angga sembari keluar dari mobilnya.
Dengan cepat Ziandra membuka pintu mobilnya dan menghadang langkah Angga yang ingin masuk restoran.
“Iya, aku tahu ini restoran untuk makan. Tapi, kenapa kau membawaku juga? Aku tidak bilang bahwa setuju datang ke sini denganmu, Bapak Angga yang Terhormat.” Meski diselimuti rasa kesal yang mendera, Ziandra tidak lupa bahwa pria menyebalkan di depannya ini masihlah bos yang harus ia segani.
Angga tersenyum mendengar Ziandra tidak terlalu bicara formal padanya, berbeda ketika saat masih di kantor. Bukannya peduli gerutuan Ziandra padanya, ia malah menggandeng tangan Ziandra untuk diajaknya masuk ke dalam. Sepenuhnya mengabaikan delikan tajam bawahannya itu.
“Aku tahu kau belum makan sejak tadi siang. Aku juga yakin selepas pulang kau hanya akan langsung tidur tanpa memperdulikan perutmu. Jadi, berhenti menolak dan ikuti apa kataku!”
“Memang kau siapaku hingga aku harus menurut?” tukas Ziandra berusaha melepaskan cekalannya.
Angga menoleh padanya dengan alis menukik tajam sambil mengeratkan cekalannya. “Kau kekasihku. Kau kubayar untuk menjadi kekasih sewaanku selama 3 bulan. Bukankah harusnya kau menurut pada tuanmu, hem?”
Ziandra terhenyak mendengar ucapan Angga yang sarat akan tekanannya meski dengan suara lirih dan hanya dirinya yang mendengar.
“Sekarang, ayo duduk dan makan!”
Tak ada penolakan lagi dari Ziandra. Ia diam dan menuruti ucapan Angga tanpa bantahan sedikit pun. Ia seketika berubah seperti patung hidup yang hanya menuruti ucapan tuannya.
Melihat sekilas pada Ziandra yang berubah menjadi pendiam membuat Angga sedikit menyesal atas ucapan pedasnya. Dengan telaten ia mendekatkan mangkuk sup ke hadapan Ziandra dan menuntun tangannya untuk memegang sendok.
“Makanlah keburu dingin nanti. Sehabis ini, aku akan langsung mengantarmu pulang dengan selamat.”
Suara Angga melembut dengan sorot mata tenang ke arah Ziandra yang terpaku dengan perlakuannya.
“Terima kasih atas makanannya.” Hanya itu yang mampu Ziandra ucapkan. Lalu, keheningan kembali menyerang keduanya.
Pagi di perusahaan dimulai seperti biasa, dengan langkah-langkah cepat para karyawan, suara pintu lift yang terbuka dan tertutup, serta dering telepon yang bersahutan. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari sosok Angga pagi ini. Wajahnya tidak sekeras biasanya, tak ada sorot tajam atau aura tekanan yang kerap memancar setiap kali ia memasuki lantai kerja.Senyum tipis tampak di wajahnya, seperti ada cahaya yang meredupkan bayang-bayang lelah di bawah matanya. Ia menyapa beberapa staf yang berpapasan dengannya, bahkan sempat mengangguk sopan saat seseorang memberi salam pagi. Hal-hal kecil yang selama ini jarang ia lakukan.Begitu sampai di ruangannya, Angga membuka jas, menggantungnya di balik pintu, lalu duduk di kursi kerja dengan gerakan santai. Jemarinya membuka layar ponsel yang dari tadi menggetar pelan.[Kira-kira foto ini cocok diberi caption apa? Bagaimana kalau ‘Menantu dan Mertua yang Sedang Berdamai bersama dengan pagi’ menurutmu bagus,
Malam itu, Ziandra masih terbaring dalam posisi yang sama. Mata terpejam, namun pikirannya belum benar-benar tertidur. Bayangan kata-kata Angga terus terulang di benaknya, tentang ayahnya yang akhirnya mengakui kesalahan, tentang cinta yang terus ia perjuangkan, dan tentang dirinya yang akhirnya benar-benar dianggap.Pintu kamar kembali terbuka. Aroma lezat yang menguar dari luar perlahan menyusup masuk, menggoda indera penciumannya.Langkah kaki Angga terdengar ringan kali ini, seperti sedang menyimpan sesuatu yang istimewa.“Ziandra ...,” panggilnya pelan, nyaris seperti membangunkan anak kecil.Perempuan itu membuka matanya perlahan, lalu berbalik menatap suaminya yang kini berdiri di sisi tempat tidur dengan nampan di tangan.“Aku tahu kau belum makan apa-apa sejak siang tadi. Kau boleh pura-pura tidur seharian, tapi jangan pura-pura kenyang. Aku tidak mau kau sakit,” ucap Angga dengan lembut.Ziandra tersenyum ti
Langkah kaki Angga terdengar pelan saat ia dan Ziandra memasuki halaman rumah keluarga besarnya. Suasana rumah itu lengang, seolah menyesuaikan dengan hati mereka yang masih dipenuhi sisa emosi dari pertemuan di taman tadi.Mobil baru saja diparkir. Angga sempat ingin langsung menggandeng tangan istrinya masuk ke dalam, namun pandangannya terhenti saat melihat seseorang duduk sendiri di taman belakang. Ayahnya.Pria tua itu mengenakan jaket hangat dan selimut tipis yang menutupi pahanya. Duduk diam di atas kursi roda, memandangi kolam kecil yang hampir mengering. Raut wajahnya kosong, seperti memandangi masa lalu yang hanya bisa ia sesali diam-diam.Beberapa hari sejak kepulangannya dari rumah sakit, Pak Yuda memang lebih sering diam. Tidak banyak bicara, tidak juga menunjukkan kemarahan seperti biasanya. Tapi itu justru membuat suasana rumah semakin aneh.Angga hanya menatap sekilas ke arah ayahnya, lalu mengalihkan pandangan dan bersiap masuk ke dalam.
Liam turun dari sepedanya dan dengan semangat berlari ke arah bangku taman tempat ibunya dan Ziandra duduk. Napasnya masih terengah karena terlalu banyak tertawa dan berlari, namun wajahnya bersinar penuh keceriaan.“Mama! Tante Ziandra! Tadi seru banget aku main sepedanya! Papa jago banget naik sepeda dan latih aku!” serunya antusias.Ziandra hanya tersenyum kecil, berusaha menanggapi dengan hangat meskipun dadanya sesak melihat antusias Liam yang begitu polos memanggil Angga dengan sebutan ‘Papa’.Tanpa banyak bicara, Liam langsung memanjat ke pangkuan Belvina, meringkuk manja sambil terus mengoceh tentang hal-hal kecil yang ia alami bersama Angga—tentang balapan sepeda, membeli es krim di minimarket, hingga memberi makan ikan di kolam kecil taman lain yang sempat mereka lewati.Belvina mengelus kepala anaknya perlahan. Wajahnya hangat, meski ada sisa-sisa haru yang belum hilang dari sorot matanya. Ia melirik ke arah Ziandr
Langit sore memayungi taman kecil di dekat rumah Jenna. Suasana teduh dan angin yang berembus lembut menciptakan ketenangan semu. Beberapa anak terlihat berlarian di kejauhan, tawa mereka menyatu dengan suara gemericik air dari pancuran kolam di tengah taman.Ziandra duduk di bangku kayu di bawah pohon besar. Jemarinya saling menggenggam di pangkuan, menanti dalam diam. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Entah karena gelisah, atau karena mencoba menyiapkan hatinya untuk sesuatu yang belum ia pahami.Saat suara langkah kaki mendekat dari arah kanan, Ziandra langsung menoleh. Belvina berjalan perlahan ke arahnya, mengenakan blouse sederhana.Ziandra hampir saja berdiri, berniat menyambut atau sekadar menunjukkan sopan santun, namun Belvina mengangkat tangannya pelan. “Tidak usah berdiri. Duduk saja.”Ziandra mengangguk pelan, menahan napas. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah, tapi ia tidak menyangka detik pert
Langkah kaki Belvina dan Jenna menghilang di ujung lorong, menyisakan keheningan yang kembali jatuh di antara mereka. Angga berdiri membatu, mematung di tempat dengan pandangan kosong, seolah belum bisa memproses kata-kata terakhir yang diucapkan Ziandra.Apa kau tidak ingin memeluk anakmu sebentar, Angga?Kalimat itu menggema kembali dalam kepalanya, menyanyat seperti bilah tajam yang menembus jantungnya. Suara istrinya tadi terdengar lembut, nyaris seperti bisikan. Tapi justru karena kelembutannya itu, hatinya semakin terasa remuk. Ziandra sedang menahan terlalu banyak rasa, dan ia tahu dirinya menjadi penyebab paling besar dari semua itu.Angga menunduk, menatap lantai rumah sakit yang dingin dan mengkilap. Jemarinya mengepal di sisi tubuh, menggigil tanpa sebab. Ia ingin bergerak. Ingin mengejar Liam dan memeluk anak itu seperti yang diminta Ziandra. Tapi kakinya terasa berat. Hatinyalah yang menolaknya. Bukan karena ia tak ingin, melainkan karena i