“Aku sedang sibuk. Tidak ada waktu mengobrol denganmu.” Alvin mengabaikan pertanyaan Mireya dan mengambil langkah mundur.
“Tunggu!” Mireya mencengkeram lengan pria itu, menahan kepergiannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujarnya. Alvin mendengkus kesal. “Apa kamu tidak dengar? Aku sedang sibuk!” Tanpa terasa air bening berlinang dari pelupuk mata Mireya, membasahi pipinya. Hanya dengan melihat reaksi Alvin, Mireya dapat menemukan sendiri jawabannya. “Kalian benar-benar berpacaran, ya?” tanya Mireya sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Alvin memang benar menjalin hubungan dengan wanita lain. Hening. Baik Alvin maupun Shela sama-sama memilih bungkam. “Kenapa, Al? Apa kamu marah karena semalam aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar?” Mireya mulai menebak-nebak. “Al, tolong dengarkan dulu penjelasanku, aku tidak—” Alvin menyela, “Sudahlah, Reya! Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu. Mulai sekarang jangan hubungi aku lagi!” Mireya menggeleng cepat. “Kita masih bisa membicarakannya baik-baik. Kamu hanya perlu mendengar penjelasanku.” Alvin merasa sangat risih. Berulang kali dia menepis tangan Mireya, tapi wanita itu bersikeras menahan kepergiannya. Shela ikut kesal, lalu memaki, “Dasar murahan! Kalau Alvin bilang tidak mau, tidak usah dipaksa! Apa kamu sudah tidak punya harga diri lagi, sampai rela mengemis begini?” Seketika Mireya terkekeh. “Kamu bilang, aku murahan?” ulangnya. “Bukankah kamu yang menjadi orang ketiga dalam hubungan kami? Kamu yang seharusnya disebut murahan, bukan aku!” Shela berdecih sinis, menatap Alvin dan menggandeng lengannya agar Mireya semakin cemburu. “Sayang, benarkah yang dia katakan? Apa aku hanya orang ketiga dalam hubungan kalian? Ah ... aku sangat sedih sekarang,” ucapnya dengan nada manja yang dibuat-buat. “Itu tidak benar, Sayang. Kamu adalah satu-satunya untukku,” balas Alvin seraya mengecup lembut pelipis Shela. Dada Mireya semakin sesak mendengar pengakuan langsung dari mulut Alvin. Hatinya semakin terluka menelan pahitnya kecewa. “Apa aku tidak salah dengar?” Mireya bergumam pelan sambil terkekeh hambar, merasa sangat bodoh sekarang. “Katakan ... ini hanya bercanda, ‘kan?” harapnya. Shela memasang wajah murung, tapi matanya melirik Mireya dengan angkuh. “Sepertinya masih ada yang tidak percaya di sini. Bisakah kamu menjelaskan lebih detail untukku, Sayang?” Alvin mengangguk, menarik pandangan tajam ke wajah Mireya. “Jangan bersikap seperti orang gila, Reya! Kamu dan aku tidak pernah berpacaran!” tegasnya. “Tidak pernah berpacaran?” Mireya segera mendongak, menatap nanar Alvin. “Lalu apa arti dari ucapanmu satu bulan lalu? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan suka padaku?” tukasnya. “Aku hanya mengatakan kagum pada perempuan sebaik kamu, tapi tidak pernah mengajakmu menjalin hubungan seserius itu,” beber Alvin sembari memperhatikan penampilan Mireya yang selalu terlihat sederhana setiap harinya. Hanya memakai blus putih berbalut cardian, juga celana bahan panjang yang sudah menjadi ciri khasnya. Alvin menegaskan, “Aku dan kamu bagaikan bumi dan langit, Reya! Kenapa berlebihan sekali mengira aku jatuh cinta padamu? Cih!” “Lalu apa alasan kamu mendekatiku?” tanya Mireya. “Oh, itu?” Alvin terkekeh santai tanpa merasa bersalah. “Aku bertaruh dengan orang-orang kantor.” Kepalan tangan Mireya mengendur seketika. Tubuhnya begitu lemas seakan tulang lepas serentak dari daging. “Bertaruh?” gumamnya. Mireya terkekeh getir. Apakah Alvin mengira dirinya adalah barang yang bisa dipertaruhkan? “Kamu sangat licik ...” ujar Mireya dengan emosi besar yang menuntut untuk diledakkan. “Suatu saat kamu akan menyesalinya dan bertekuk lutut memohon maaf padaku!” “Teruslah bermimpi!” Alvin berdecih remeh. *** Kehidupan Mireya yang awalnya monoton—bahkan nyaris membosankan—kini menjadi sangat kacau setelah melewati satu malam bersama pria tak dikenal. Beban yang dia tanggung bertambah semakin berat, pun isi kepalanya terasa begitu sesak dan berisik. Selain meninggalkan luka dan rasa takut akan pandangan orang lain terhadapnya, kejadian di malam itu juga menyisakan gumpalan daging sebesar biji kacang yang terus bertumbuh di kantung rahimnya. Tiga minggu setelah kejadian, Mireya mengalami telat datang bulan dan cukup sering merasakan kram perut serta mual di jam-jam tertentu. Pikiran Mireya masih cukup positif kala itu. Jadi, dia mengira perubahan siklus haid yang dialaminya disebabkan oleh stress yang berlebihan, sedangkan mual dan kembung merupakan efek normal dari pola makan yang tidak teratur. Namun, dokter justru menyatakan dirinya hamil dan usia kandungannya sudah berjalan dua bulan ketika dia konsultasi perihal kondisinya. Mireya dilema, antara harus mempertahankan atau menggugurkan janin tak berdosa itu. Namun, mengingat dirinya juga terlahir sebagai anak yang tidak diharapkan akibat ‘kecelakaan’, dia tidak tega jika harus menghilangkan satu nyawa tak berdosa di rahimnya. Maka, dia bertekad untuk menjaga dan membesarkan bayi di kandungannya seorang diri. Hingga sampai kabar kehamilan itu terdengar, Mireya diusir dari rumah karena ayahnya sendiri bahkan sangat malu dan menganggap statusnya sebagai aib yang hanya akan mencoreng nama baik keluarga. “Wanita murahan sepertimu memang pantas diusir!” Karin melempar koper berisi pakaian Mireya ke lantai teras. Sambil menangis, Mireya menghampiri Henry, mencoba bernegosiasi supaya ayah kandungnya itu mau memberi kesempatan untuk dirinya menyelesaikan masalah yang terjadi. “Ayah, kumohon jangan usir aku!” pinta Mireya dengan wajah mengharap belas kasihan. “Apakah Ayah tidak khawatir bagaimana aku akan menjalani hidup setelah ini?” Henry melengos, menghindari tatapan Mireya. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya untuk menanggapi ucapan sang anak. Lantas Karin menggandeng lengan Henry. “Sayang, jika dia tetap tinggal bersama kita dalam kondisi hamil, itu bisa merusak nama baik keluarga dan kamu pasti akan menjadi bahan olokan di kantor. Jika kita tidak bertindak tegas, aku takut hal itu berdampak buruk juga untuk Felly. Dia pasti akan sangat malu jika sampai teman-temannya tahu masalah ini.” Di tengah rasa kecewa yang besar, Henry termakan oleh hasutan Karin dan berpikir bahwa Mireya memang perlu menerima konsekuensi atas situasi yang terjadi. “Ayah, semua ini bukan kesalahanku. Aku benar-benar tidak tahu kenapa pria itu bisa masuk ke kamar,” ungkap Mireya, masih belum menyerah. “Bisakah ... Ayah percaya padaku sekali ini saja?” lanjutnya. Pria paruh baya itu mengembuskan napas panjang dan melengos ke sembarang arah. Mireya mengulurkan tangan hendak menyentuh lengan Henry. “Ayah ....” Henry menepis tangan Mireya dengan penuh keterpaksaan. “Pergilah ...” ucapnya. “Ayah, tapi—” “Kubilang, pergilah!” potong Henry. Suaranya naik dua oktaf, sehingga itu membuat Mireya tertegun dan semakin luruh dalam kesedihan. Sore itu, Mireya terpaksa angkat kaki dari rumah karena tidak punya pilihan lain. Dia genggam rasa kecewa itu erat-erat. Dia biarkan air mata berceceran di atas luka-luka yang menggerogoti dadanya semakin parah. Mireya pergi tanpa arah dan tujuan. Mengingat Henry yang merupakan anak semata wayang, juga kakek, nenek dan ibu kandungnya yang telah tiada, membuatnya tidak memiliki tempat lain untuk pulang. Terlebih lagi, Mireya juga tidak dekat dengan keluarga maupun sanak saudara dari ibunya. Sebab, mereka tidak akan sudi mengakui dirinya yang dianggap sebagai anak haram. Beruntung, Mireya memiliki seorang sahabat yang menawarkan tinggal di rumahnya selama beberapa waktu. “Terima kasih, ya, Bell. Kalau bukan atas kebaikan kamu, aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi sekarang,” ujar Mireya. Gadis bernama Bella itu tersenyum sambil meletakkan kedua tangan di atas bahu Mireya. “Dengar, Mireya! Kita sudah saling kenal cukup lama, bahkan kamu juga selalu membantu segala kesulitan yang aku lalui. Jadi, bagaimana bisa aku membiarkanmu sendirian dalam kondisi begini?” Mireya sangat terharu dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Di tengah peliknya kisah yang dia jalani, setidaknya Mireya masih bisa bersyukur telah mengenal Bella. Akan tetapi, dia sadar, jika dirinya terus menumpang makan dan tidur, itu hanya akan menyusahkan Bella. Apalagi dia sudah memutuskan resign dari tempat kerjanya setelah bertengkar dengan Alvin. Mireya berpikir, akan jauh lebih baik jika dia menghasilkan uang agar tidak selalu menjadi beban bagi Bella. Maka, dia bertekad mencari pekerjaan. Apa pun itu, asalkan halal pasti akan dijalani. “Kamu yakin mau cari pekerjaan?” tanya Bella memastikan. “Yakin.” Mireya mengangguk pasti tanpa sedikit pun merasa ragu. “Tapi bagaimana dengan kehamilan kamu? Bukankah orang yang sedang hamil trimester pertama tidak boleh terlalu banyak bergerak, apalagi bekerja?” ucap Bella khawatir. Mireya tersenyum. “Kalau dapat posisi di bagian kantor, aku tidak perlu terlalu banyak gerak. Lagipula, kalau terus diam di rumah, itu hanya akan membuatku bosan dan stress. Bukankah itu juga tidak baik untuk kehamilan?” Melihat tekad Mireya yang sepertinya tidak main-main, Bella hanya bisa menghela napas dan tidak banyak berkomentar. Beberapa hari kemudian, Bella mengabarkan bahwa di perusahaan tempatnya bekerja kebetulan sedang membuka lowongan. Mireya pun segera membuka link pendaftaran yang dikirim oleh Bella, lalu memasukkan data dirinya di sana. Setelah menunggu selama hampir dua minggu, Mireya mendapatkan panggilan untuk melakukan interview kerja. Dia pun dengan senang hati datang ke perusahaan bersama Bella yang hendak bekerja. “Semangat, Mireya! Kamu pasti bisa,” ucap Bella sambil mengangkat tangan ke udara. Mireya mengembuskan napas panjang, mencoba mengusir gugup. “Terima kasih,” sahutnya. Sementara Bella mulai memasuki ruang kerjanya, Mireya diarahkan oleh seseorang untuk masuk ke lift menuju ke lantai nomor dua belas. Di sana sudah ada beberapa peserta yang duduk menunggu di depan ruangan. Mireya mengeluarkan selembar kertas berisi materi seputar job interview ketika dirinya baru saja duduk di kursi kosong. Meskipun yakin dengan kemampuannya sendiri, tetapi entah kenapa berhadapan dengan orang baru selalu saja membuat kadar kepercayaan dirinya menurun. Terlebih lagi, Mireya sudah mendengar cerita dari Bella mengenai sikap bosnya yang terkenal arogan dan menyebalkan. Maka, sejak satu minggu yang lalu Mireya telah menguatkan mental agar bersikap tenang dan sabar menghadapi orang begitu. “Tuan Mervyn sudah datang!” Mireya mendongak saat mendengar pengumuman mengenai kedatangan seseorang yang sepertinya membawa pengaruh besar di perusahaan. Orang-orang itu kembali fokus pada pekerjaannya masing-masing. Lorong yang tadinya masih dia temukan dua atau tiga orang yang berlalu-lalang, seketika menjadi sepi dalam hitungan detik. Tak lama setelah itu, pandangan Mireya beralih ke arah pintu lift yang terbuka. Ada dua pengawal berpakaian serba hitam yang berdiri menyambut di depan pintu. Hingga saat dirinya menatap wajah seseorang yang baru saja keluar dari lift, jantung Mireya berdesir kencang seperti mau copot. ‘Ya, Tuhan ... b–bukankah dia orang yang masuk ke kamar hotel di malam itu?’ batin Mireya mulai tidak tenang. Bersambung ….Setelah bernegosiasi dengan Mervyn, akhirnya Mireya diizinkan untuk tetap datang ke acara perkenalan istri CEO di perusahaan. Mireya pun telah berdandan dan mengenakan gaun yang tidak terlalu formal, tetapi tetap terlihat elegan.“Marcell, Michelle, kalian tunggu di rumah dulu, ya? Mami akan pergi ke perusahaan Papi untuk sebuah acara.”“Mami, apa aku tidak bisa ikut? Aku ingin melihat bagaimana perusahaan Papi di sini,” pinta Michelle dengan wajah memelas. “Apakah sama dengan perusahaan Jordan di kota B?”“Iya, Mami. Aku juga bosan di rumah terus. Boleh kami ikut, ‘kan?” Marcell menimpali perkataan adiknya.Mireya menghela napas seraya menyunggingkan senyuman tipis. “Anak-anak, sekarang Mami sedang ada urusan. Jadi, maaf, belum bisa mengajak kalian. Kalau Papi sudah datang, Mami akan bicara agar kalian sesekali diajak ke perusahaan Papi. Oke?” ujarnya.Kedua anak itu sempat murung dan kecewa. Namun, Mireya terus memberi mereka pengertian, sehingga keduanya bisa belajar memahami keada
Di ruang CEO, Mervyn tampak duduk di kursi putar seraya menatap Rayyan yang berdiri di depan meja kerjanya.“Apa sudah kamu informasikan kepada orang-orang itu mengenai kedatangan istriku hari ini?” tanya sang CEO.Rayyan menjawab, “Sudah, Pak. Persiapannya juga sudah matang.”“Bagus!” Mervyn mengangguk, merasa puas mendengar jawaban asistennya. “Bagaimana dengan hadiah yang aku bicarakan kemarin?”“Hadiahnya juga aman, Pak. Saya sudah menyuruh seseorang untuk memberikan hadiahnya kepada Nyonya, Tuan dan Nona Kecil ketika mereka sampai di rumah.”“Kerja bagus!” puji Mervyn. Rayyan memang selalu dapat diandalkan kapan dan di mana pun dia membutuhkannya.***Beberapa jam setelah melakukan perjalanan, Mireya, Marcell dan Michelle akhirnya tiba di lokasi tujuan.Kedatangan Mireya bersama kedua anaknya di tempat kediaman Mervyn disambut oleh banyak orang yang telah dipekerjakan oleh Mervyn dengan posisi bagian dan tugas yang berbeda-beda.Saat melewati pintu, ada beberapa penjaga yang lang
Mervyn meraih telapak tangan Mireya untuk digenggam. “Kamu tahu, ‘kan, alasan dari kedatangan aku ke sini hanya untuk mengurus project anak perusahaan Grup Jordan?”Mireya mengangguk pelan, tetapi dia mulai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin disampaikan oleh Mervyn.“Dan sekarang urusannya sudah selesai. Aku berencana akan membawa kamu dan anak-anak kembali ke kota A. Apa kamu keberatan?” tanya Mervyn tanpa banyak basa-basi. Sebab, cepat atau lambat dia memang harus bicara jujur pada Mireya.Wajah Mireya berubah murung ketika mendengar ucapan Mervyn.Bagi Mireya, kota A menyimpan banyak kenangan pahit yang telah lama berusaha dia kubur bersama luka-lukanya.Dari sejuta mimpi buruk yang dia miliki di kota tersebut, satu-satunya yang bisa dia syukuri hingga sekarang hanyalah kehadiran anak kembar dalam hidupnya. Sementara sisanya tak lebih dari tumpukan benang yang hanya akan memperparah bongkahan luka di dada.“Maksud kamu, kita akan tinggal di sana?” tanya Mireya dengan
Pertanyaan polos Michelle membuat Mireya gelagapan. Napasnya berhenti sejenak seiring kelopak mata yang terbuka lebar. Dengan cepat dia pun menyembunyikan jejak kemerahan di lehernya menggunakan telapak tangan.“I–ini ....” Mireya mencoba menemukan alasan yang masuk akal.Tapi apa?Tak jauh darinya, Mireya melihat Mervyn sedang berdiam diri di depan pintu toilet sembari menahan tawa. Membuatnya melotot kesal.Bisa-bisanya pria itu tertawa dengan sikap yang begitu tenang, sementara Mireya sedang pusing memikirkan jawaban!Padahal, tanda merah yang Mireya dapatkan jelas-jelas dibuat olehnya!Mireya kembali menatap Michelle. “Elle bisa tanya langsung pada Papi. Karena, Papi lebih tahu,” ucapnya seraya tersenyum lebar.“A–apa?” Mervyn mengerjap. Raut wajahnya berubah datar hanya dalam hitungan detik. “Kenapa harus aku yang jawab?”Mireya tersenyum miring. Merasa puas menyaksikan reaksi sang suami. “Bukankah kamu yang menyebabkan ini terjadi? Jadi, kamu saja yang jawab!” putusnya secara mu
Mervyn dan Mireya terkejut ketika ada yang mengetuk pintu dari luar. Setelah itu, suara imut khas anak kecil mulai terdengar.“Mami, Papi! Acell dan adik boleh buka pintunya, tidak?” tanya Marcell.Sepasang suami dan istri itu tampak kelimpungan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan kedua anak itu masuk dalam keadaan tubuh yang tidak mengenakan apa pun?Ah, kecuali Mervyn yang hanya memakai celana panjang.“T–tunggu sebentar! Mami akan membukanya,” sahut Mireya, lalu mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya.Usai keduanya mengenakan kembali pakaian mereka, Mireya pun berjalan untuk membukakan kunci pintu.“Elle, Acell, ada apa?” tanya Mireya, sementara Mervyn baru saja masuk ke toilet untuk buang air kecil.“Mami ... eum, ada yang ingin kami katakan, tapi kami khawatir Mami akan marah,” ujar Marcell dengan raut wajah terlihat sedikit cemas.Mireya mengernyit. “Bagaimana kalian bisa tahu Mami akan marah atau tidak, sedangkan kalian saja belum mengatakan apa-a
Di atas kasur, Mireya tampak mengenakan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh polosnya.Wanita itu memandang Mervyn yang baru saja memungut celana dan kaos miliknya yang berserakan di lantai, lalu mulai memakainya kembali.Mireya cukup terkejut menerima perlakuan suaminya yang tiba-tiba menjadi begitu liar dan brutal.Dugaan sementara, Mireya menaruh curiga bahwa semua yang dilakukan Mervyn disebabkan oleh rasa cemburu akibat kesalahpahaman antara pria itu, Mireya dan juga Julian.Selesai mengenakan celana panjang berbahan levis, dengan tubuh bagian atas yang masih telanjang, Mervyn naik ke atas kasur untuk kembali mendekati istrinya.Cup!Mervyn mendekap wanita itu seraya mengecup pelipisnya sekilas. “Ingat apa yang tadi kukatakan? Kamu, dan semua yang ada pada dirimu adalah milikku, Mireya. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya!”Mireya mengangguk, tetapi perasaannya tidak kunjung lega meskipun dirinya kini sedang ada dalam dekapan hangat sang suami.“Kenapa menatapku begitu, h