Saat melihat wajah Mervyn, Mireya yakin seratus persen bahwa itu adalah laki-laki asing yang telah merenggut kesuciannya di sebuah hotel.
Mervyn melangkah percaya diri diikuti beberapa pengawal di belakangnya. Mireya terpaku dan jantungnya berdebar kencang saat Mervyn tak sengaja meliriknya. Tatapan Mervyn begitu tajam dan menyimpan banyak rahasia, sehingga Mireya tak mampu menemukan makna di balik sorot matanya yang penuh misteri. Adegan saling pandang itu terjadi tidak lebih dari tiga detik. Mervyn mengalihkan tatapan ke depan dan mengabaikan Mireya seperti bukan sesuatu yang berarti. “Sepertinya dia tidak mengingatku.” Mireya bergumam pelan yang hanya dapat didengar oleh diri sendiri. Dia berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika Mervyn tidak mengenalinya. Bisa jadi Mervyn sudah memiliki pacar atau bahkan seorang istri. Mireya tentu akan terlibat masalah besar jika pasangan Mervyn tahu kalau pria itu pernah tidur dengannya. Di sisi lain, bercinta dengan orang asing bahkan sekalipun dia adalah pemimpin negara, itu tetap saja aib bagi Mireya. Apalagi tanpa adanya status pernikahan. “Mireya Jasmeen!” Panggilan itu menyadarkan Mireya dari lamunan. Seorang wanita di depan pintu baru saja membaca nama berdasarkan urutan nomor peserta yang tertulis pada selembar kertas. Awalnya, Mireya sempat berpikir untuk meninggalkan kursi dan menyerah saja. Akan tetapi, dia sudah terlanjur basah dan kini hanya bisa mengikuti job interview sesuai prosedur. Mireya berdiri dan mendekat, lalu diperintahkan masuk ke ruangan yang sebelumnya dimasuki oleh Mervyn. Setelah masuk, dapat Mireya temukan laki-laki dengan potongan rambut belah samping yang sedang duduk tenang di atas kursinya sambil memegang berkas. “Tutup pintunya.” Suara itu begitu dingin hingga tubuh Mireya membeku saat mendengarnya. Meski ketakutan, Mireya tetap mematuhi perintahnya. Dia tak ingin terlihat terlalu gugup dan menimbulkan rasa curiga di benak Mervyn. Pintu tertutup. Kemudian, Mireya melangkah sedikit ragu sambil memilin jari-jari tangannya dengan gelisah. Dia merasa energi Mervyn terlalu kuat dan itu membuatnya tidak nyaman, sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah menunduk. “Duduk!” suruh Mervyn. Mireya lagi-lagi menuruti permintaannya dengan patuh. Mervyn memperhatikan sekilas berkas di tangannya, lalu diletakkan ke atas meja begitu saja. “Silakan perkenalkan diri.” Mireya mengernyit. Semua tentang dirinya sudah tertulis secara lengkap di dalam map coklat yang dia gunakan untuk melamar kerja, tetapi isinya tidak dibaca oleh Mervyn—bahkan dibuka pun tidak. Padahal Mireya memerlukan modal untuk biaya cetak foto, membeli kertas polio, isi ulang tinta, bahkan juga fotokopi. Namun, semua itu seakan tidak berharga di mata Mervyn yang baru dia ketahui merupakan CEO di perusahaan bonafit tersebut. “N–nama lengkap saya ... Mireya Jasmeen. Panggil saja Mireya atau Reya,” ucap wanita itu seraya memberitahukan beberapa hal penting mengenai dirinya, termasuk usia, tempat tinggal, status dirinya dan ijazah pendidikan terakhir. “Lulusan SMA?” Mervyn mengerutkan kening, hampir tidak percaya. “Perusahaan kami sedang membutuhkan karyawan untuk mengisi posisi sebagai sekretaris. Cukup mengejutkan karena kamu berani melamar dengan status ijazah di bawah standar.” Ucapan itu cukup menyinggung perasaan Mireya. Berbeda dengan Felly yang selama ini selalu diagung-agungkan dan diberi dukungan penuh untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, kedua orangtuanya justru mewanti-wanti agar Mireya fokus mencari kerjaan saja setelah lulus SMA. Alasannya, nilai raport Mireya tidak sebagus Felly, sehingga Felly dianggap lebih memiliki peluang untuk menata masa depan yang lebih cerah dibandingkan dirinya. Terkait perkataan Mervyn, Mireya membalas dengan sopan, “Maaf, Pak, jika memang tidak berkenan dan menganggap status pendidikan saya sebagai masalah, maka saya akan pergi.” “Tidak, tidak. Maksudku, apa yang membuatmu sangat percaya diri bisa diterima di perusahaan ini?” Hening. Mireya sudah memprediksi akan dicecar pertanyaan semacam itu, bahkan dia juga telah menyiapkan serta menghafal jawaban terbaik. Akan tetapi, segalanya mendadak buyar setelah tahu siapa yang berhadapan dengannya sekarang. “Saya ... tidak tahu.” Mireya kembali mengalihkan pandangan. Dia tidak lagi menganggap penting hasil nilai tesnya setelah ini. Seandainya harus gagal, percayalah, Mireya tidak akan pernah menyesal. Mervyn mendengkus pelan usai mengamati ekspresi Mireya yang kelihatan begitu gugup, membuatnya hilang kepercayaan untuk memilih wanita di hadapannya sebagai sekretaris. “Sudah cukup! Kamu boleh keluar sekarang. Terima kasih,” kata Mervyn seraya bersandar pada punggung kursi. Tanpa banyak protes, Mireya pamit undur diri dan segera bangkit dari kursi. Baru saja membuka pintu, dia tak sengaja berpapasan dengan seorang laki-laki yang kebetulan akan memasuki ruangan. Itu adalah Rayyan, orang yang telah mendedikasikan diri bekerja sebagai asisten Mervyn selama lebih dari enam tahun. Rayyan mengabaikan kehadiran Mireya dan sekarang sudah berdiri di depan meja CEO. “Permisi, Pak, ada tawaran dari Pak Harris terkait kerja sama dalam upaya pengembangan proyek baru perusahaan,” beritahunya. “Cari tahu apa tujuannya dan pastikan mereka bukanlah mata-mata,” titah Mervyn. Rayyan mengangguk patuh seraya membalas, “Siap, Pak!” Mireya hampir benar-benar akan melewati pintu, tapi kalimat lain yang terlontar dari bibir Mervyn berhasil menarik lebih banyak rasa penasarannya. “Satu lagi,” ucap pria itu seraya mengangkat telunjuk ke udara, “apa kamu sudah menemukan wanita yang tidur denganku malam itu?” Bersambung ....Setelah bernegosiasi dengan Mervyn, akhirnya Mireya diizinkan untuk tetap datang ke acara perkenalan istri CEO di perusahaan. Mireya pun telah berdandan dan mengenakan gaun yang tidak terlalu formal, tetapi tetap terlihat elegan.“Marcell, Michelle, kalian tunggu di rumah dulu, ya? Mami akan pergi ke perusahaan Papi untuk sebuah acara.”“Mami, apa aku tidak bisa ikut? Aku ingin melihat bagaimana perusahaan Papi di sini,” pinta Michelle dengan wajah memelas. “Apakah sama dengan perusahaan Jordan di kota B?”“Iya, Mami. Aku juga bosan di rumah terus. Boleh kami ikut, ‘kan?” Marcell menimpali perkataan adiknya.Mireya menghela napas seraya menyunggingkan senyuman tipis. “Anak-anak, sekarang Mami sedang ada urusan. Jadi, maaf, belum bisa mengajak kalian. Kalau Papi sudah datang, Mami akan bicara agar kalian sesekali diajak ke perusahaan Papi. Oke?” ujarnya.Kedua anak itu sempat murung dan kecewa. Namun, Mireya terus memberi mereka pengertian, sehingga keduanya bisa belajar memahami keada
Di ruang CEO, Mervyn tampak duduk di kursi putar seraya menatap Rayyan yang berdiri di depan meja kerjanya.“Apa sudah kamu informasikan kepada orang-orang itu mengenai kedatangan istriku hari ini?” tanya sang CEO.Rayyan menjawab, “Sudah, Pak. Persiapannya juga sudah matang.”“Bagus!” Mervyn mengangguk, merasa puas mendengar jawaban asistennya. “Bagaimana dengan hadiah yang aku bicarakan kemarin?”“Hadiahnya juga aman, Pak. Saya sudah menyuruh seseorang untuk memberikan hadiahnya kepada Nyonya, Tuan dan Nona Kecil ketika mereka sampai di rumah.”“Kerja bagus!” puji Mervyn. Rayyan memang selalu dapat diandalkan kapan dan di mana pun dia membutuhkannya.***Beberapa jam setelah melakukan perjalanan, Mireya, Marcell dan Michelle akhirnya tiba di lokasi tujuan.Kedatangan Mireya bersama kedua anaknya di tempat kediaman Mervyn disambut oleh banyak orang yang telah dipekerjakan oleh Mervyn dengan posisi bagian dan tugas yang berbeda-beda.Saat melewati pintu, ada beberapa penjaga yang lang
Mervyn meraih telapak tangan Mireya untuk digenggam. “Kamu tahu, ‘kan, alasan dari kedatangan aku ke sini hanya untuk mengurus project anak perusahaan Grup Jordan?”Mireya mengangguk pelan, tetapi dia mulai bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang ingin disampaikan oleh Mervyn.“Dan sekarang urusannya sudah selesai. Aku berencana akan membawa kamu dan anak-anak kembali ke kota A. Apa kamu keberatan?” tanya Mervyn tanpa banyak basa-basi. Sebab, cepat atau lambat dia memang harus bicara jujur pada Mireya.Wajah Mireya berubah murung ketika mendengar ucapan Mervyn.Bagi Mireya, kota A menyimpan banyak kenangan pahit yang telah lama berusaha dia kubur bersama luka-lukanya.Dari sejuta mimpi buruk yang dia miliki di kota tersebut, satu-satunya yang bisa dia syukuri hingga sekarang hanyalah kehadiran anak kembar dalam hidupnya. Sementara sisanya tak lebih dari tumpukan benang yang hanya akan memperparah bongkahan luka di dada.“Maksud kamu, kita akan tinggal di sana?” tanya Mireya dengan
Pertanyaan polos Michelle membuat Mireya gelagapan. Napasnya berhenti sejenak seiring kelopak mata yang terbuka lebar. Dengan cepat dia pun menyembunyikan jejak kemerahan di lehernya menggunakan telapak tangan.“I–ini ....” Mireya mencoba menemukan alasan yang masuk akal.Tapi apa?Tak jauh darinya, Mireya melihat Mervyn sedang berdiam diri di depan pintu toilet sembari menahan tawa. Membuatnya melotot kesal.Bisa-bisanya pria itu tertawa dengan sikap yang begitu tenang, sementara Mireya sedang pusing memikirkan jawaban!Padahal, tanda merah yang Mireya dapatkan jelas-jelas dibuat olehnya!Mireya kembali menatap Michelle. “Elle bisa tanya langsung pada Papi. Karena, Papi lebih tahu,” ucapnya seraya tersenyum lebar.“A–apa?” Mervyn mengerjap. Raut wajahnya berubah datar hanya dalam hitungan detik. “Kenapa harus aku yang jawab?”Mireya tersenyum miring. Merasa puas menyaksikan reaksi sang suami. “Bukankah kamu yang menyebabkan ini terjadi? Jadi, kamu saja yang jawab!” putusnya secara mu
Mervyn dan Mireya terkejut ketika ada yang mengetuk pintu dari luar. Setelah itu, suara imut khas anak kecil mulai terdengar.“Mami, Papi! Acell dan adik boleh buka pintunya, tidak?” tanya Marcell.Sepasang suami dan istri itu tampak kelimpungan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan kedua anak itu masuk dalam keadaan tubuh yang tidak mengenakan apa pun?Ah, kecuali Mervyn yang hanya memakai celana panjang.“T–tunggu sebentar! Mami akan membukanya,” sahut Mireya, lalu mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan segera mengenakannya.Usai keduanya mengenakan kembali pakaian mereka, Mireya pun berjalan untuk membukakan kunci pintu.“Elle, Acell, ada apa?” tanya Mireya, sementara Mervyn baru saja masuk ke toilet untuk buang air kecil.“Mami ... eum, ada yang ingin kami katakan, tapi kami khawatir Mami akan marah,” ujar Marcell dengan raut wajah terlihat sedikit cemas.Mireya mengernyit. “Bagaimana kalian bisa tahu Mami akan marah atau tidak, sedangkan kalian saja belum mengatakan apa-a
Di atas kasur, Mireya tampak mengenakan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh polosnya.Wanita itu memandang Mervyn yang baru saja memungut celana dan kaos miliknya yang berserakan di lantai, lalu mulai memakainya kembali.Mireya cukup terkejut menerima perlakuan suaminya yang tiba-tiba menjadi begitu liar dan brutal.Dugaan sementara, Mireya menaruh curiga bahwa semua yang dilakukan Mervyn disebabkan oleh rasa cemburu akibat kesalahpahaman antara pria itu, Mireya dan juga Julian.Selesai mengenakan celana panjang berbahan levis, dengan tubuh bagian atas yang masih telanjang, Mervyn naik ke atas kasur untuk kembali mendekati istrinya.Cup!Mervyn mendekap wanita itu seraya mengecup pelipisnya sekilas. “Ingat apa yang tadi kukatakan? Kamu, dan semua yang ada pada dirimu adalah milikku, Mireya. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya!”Mireya mengangguk, tetapi perasaannya tidak kunjung lega meskipun dirinya kini sedang ada dalam dekapan hangat sang suami.“Kenapa menatapku begitu, h