Hai hai... selamat pagi semuanya. Sudah pada sarapan belum? Kalau belum diajakin Zayden sarapan bareng nih. heheheh BTW, Teman-temannya chintaaaaaa terima kasih dukungannya ya... semoga bukunya bisa terus naik dan masuk di pilihan pembaca, hehehe ( ˘ ³˘)♥ Buat Kak Susanti dan Harjanti, makasih yaaaa tambahan hadiahnyaaa... Sayang kalian banyak-banyak!!! (♡ >ω< ♡) semoga ceritanya bisa terus memberikan hiburan buat semuanya!!
Alisha pura-pura tidak mendengarnya, dia bersikap biasa saja dan tidak terlalu menggubris Bella.Entah Bella ini bodoh atau bagaimana, padahal sudah jelas dia memperingatinya saat itu, tetapi dia sepertinya tetap mencari masalah.Alisha jalan santai masuk ke dalam lift, sementara banyak yang tidak mau masuk bersamanya ke sana. Tanpa banyak bicara, Alisha menutup pintu lift dengan santai. Terkadang orang memang cepat terprovokasi.Penasaran dengan obrolan itu, akhirnya Alisha mencari tahu obrolan yang panjang itu dan membacanya secara perlahan.Saat membacanya, Alisha paham betul kenapa orang menjadi kepanasan karena berita ini, tulisan Bella benar-benar masih dianggap berita paling benar di kantor ini karena dia dulunya adalah mantan sekretaris CEO dan juga saat ini dia ada di bawah naungan Restia yang mereka tahu hubungan Restia dan Bella cukup dekat.“Jadi apa benar berita itu, Bel?” “Bella, jangan membuat kita jadi was-was dong! Kalo memang akan ada PHK masal setidaknya yang terli
Alisha melangkah pelan menuruni tangga. Aroma nasi goreng yang baru dimasak menyeruak ke seluruh ruangan, bercampur dengan bau kopi hitam yang masih mengepul di atas meja makan. Suasana rumah pagi ini terasa berbeda, lebih hangat dari biasanya.Dari kejauhan, terdengar tawa kecil. Begitu sampai di anak tangga terakhir, Alisha mendapati pemandangan yang membuatnya tertegun. Zayden dan Nariza duduk berhadapan di meja makan, tampak akrab. Nariza bahkan tertawa lepas, sesuatu yang sudah lama tak pernah Alisha lihat sejak kejadian kelam itu.Untuk sesaat, Alisha hanya berdiri di situ, memperhatikan. Ada rasa hangat yang merayap pelan di dadanya, bercampur rasa asing yang tak bisa dijelaskan.“Wah, seru sekali, kalian sedang membicarakan apa?” tanya Alisha sambil memandang keduanya secara bergantian.“Ah, Kakak! Tidak apa-apa, Kak Zayden hanya cerita tentang perjalanan dinas kalian kemarin,” ucap Nariza tersenyum lebar.Alisha melirik Zayden dengan pandangan curiga. “Ay, kamu cerita apa aja
Cahaya pagi menembus celah tirai, menyapu ruangan dengan semburat hangat keemasan. Alisha menggeliat pelan di balik selimut, merasakan sisa kehangatan yang semalam begitu akrab memeluknya. Tangannya meraba sisi ranjang, mencari sosok yang sempat mengisi ruang di sampingnya — kosong. Tak ada Zayden di sana. Matanya terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang lembut. Hening yang menggantung di sekelilingnya seketika membiarkan kenangan semalam menyeruak, membanjiri pikirannya tanpa ampun. Wajahnya langsung menghangat, rasa malu yang nyaris kekanak-kanakan membuatnya buru-buru menarik selimut, menutup tubuhnya hingga ke kepala, seolah bisa bersembunyi dari segala ingatan yang terlalu jelas itu. “Ya Tuhan… apa yang sudah aku lakukan …,” bisiknya pelan, nyaris seperti angin, sementara bibirnya tak mampu menyembunyikan senyum malu yang entah kenapa justru makin sulit dihilangkan. Padahal, kemarin ia sudah menyusun semuanya dan mengatur agar malam itu menjadi malam tak terl
Alisha mengembuskan napas pelan setelah berada di ujung ceritanya. Terlihat di bawah penerangan minim itu, matanya berkaca-kaca, dia masih terus menyembunyikan kesedihannya, dia masih terlihat kuat. Zayden merangkulnya makin erat, dia tahu ini tidak mudah, apalagi terkadang rasa tidak percaya diri Alisha muncul begitu saja terkait dengan latar belakangnya yang tidak ada keluarga. “Aku berharap, suatu saat sebelum kasus itu benar-benar kadaluarsa ada keajaiban untuk memberikan keadilan untuk Nariza.” Alisha menghela napas panjang, lalu memejamkan matanya, sembari menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang sulit untuk ditahan. Zayden memeluk Alisha dari belakang, sementara Alisha membiarkan dirinya bersandar pada pria itu. Kali ini, dia baru tahu artinya memiliki pasangan, menyandarkan dirinya saat dia merasa lemah dan menguatkan saat dia semakin rapuh. “Aku akan membantumu,” ucap Zayden dengan suara pasti. “Tapi … dia adalah keluargamu, bagaimana mungkin …?” Alisha b
Mendengar kalimat yang diucapkan oleh temannya itu, membuat kepala Alisha berdenyut hebat. “Ke-kenapa?” tanya Alisha tidak terima. “Ini sangat sulit, Al, kamu bisa datang ke kantorku.” Tanpa banyak pertimbangan Alisha segera mendatangi temannya tersebut. Pria itu dengan wajah penuh penyesalan mengatakan pada Alisha kalau mereka harus mengikhlaskan masalah ini. Darah Alisha berdesir hebat. Bahkan belum sampai 24 jam dia memberikan laporan ke polisi kasus ini harus dihentikan begitu saja? Ini sangat tidak masuk akal baginya. “Al, kita harus realistis, kita tidak bisa menyeret anak-anak itu ke kasus hukum, ditambah lagi sebagian dari mereka masih di bawah umur dan masih mendapatkan perlindungan hukum.” Teman Alisha itu mengatakan dengan tegas kalau dia tidak bisa mengawal Alisha untuk melanjutkankasus ini. “Di samping itu juga, ada banyak tekanan yang akan aku terima kalau aku masih terus melanjutkannya. Kusarankan padamu, lebih baik kamu fokus dengan pemulihan adikmu saja.” Saran
Pelukan Alisha makin erat. Dada perempuan itu terasa sesak, napasnya berat, tapi tak ada setetes pun air mata yang jatuh dari matanya. Bukan karena dia tak hancur — justru sebaliknya. Hatinya berkeping-keping, hancur jadi serpihan kecil yang mustahil bisa dipungut utuh lagi. Tapi Alisha bukan tipe yang membiarkan orang lain melihat dirinya lemah. Bahkan saat dunia seolah meruntuh di pundaknya, dia tetap berdiri.Kalimat yang diucapkan oleh Nariza itu seperti pisau tumpul yang perlahan menusuk ulu hati Alisha, berputar di dalamnya, menyayat pelan tapi pasti. Sakit. Sangat. Tapi wajah Alisha tetap tenang. Tangannya menggenggam kepala Nariza erat, seolah ingin memindahkan separuh beban itu ke dirinya.Tidak ada tangis di wajahnya. Tidak ada isak. Hanya rahang yang mengeras, dan napas yang sesekali ditahan dalam-dalam agar semua emosi itu tak tumpah di depan adiknya.“Dengarkan Kakak, Sayang,” ucapnya pelan tapi mantap, suara itu serak tapi tetap terdengar kuat. “Apa kamu masih punya tenag
Alisha terkejut mendengar ucapan Zayden barusan. “Kamu … tahu?” tanya Alisha saat Zayden mengatakan hal tersebut padanya saat mengurai dekapannya. Zayden mengangguk. “Kenapa kamu tidak langsung mengatakannya padaku, hehm?” Alisha diam, wajahnya menunduk. Sejujurnya dia juga tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan masalah ini pada Zayden. “Hei, dengar, aku. Sekarang kamu memilikiku, tidak peduli seberat apa masalahmu, kamu bisa menceritakan semuanya padaku. Setidaknya aku bisa menjadi pendengarmu.” Zayden menangkupkan tangannya ke wajah Alisha hingga membuat wajah itu mendongak ke arah Zayden. Pandangan mata mereka bertemu, terlihat jelas guratan kesedihan yang dalam dari pancaran mata Alisha, dia tidak bisa menyembunyikan apa yang ada dalam hatinya lagi di depan pria itu. “Ceritakan padaku, bagaimana bisa semuanya terjadi,” ucap Zayden dengan nada rendah dan penuh ketulusan di sana. Alisha merasakan kehangatan yang luar biasa menjalar dalam tubuhnya. Setidaknya masalah ini menj
Kevin Thamrin.Alisha tidak akan pernah melupakannya.Nama itu membekas dalam pikirannya—sosok yang telah menghancurkan hidup Nariza dengan kejam. Seorang laki-laki dari keluarga terpandang, terbiasa mendapatkan segala yang ia inginkan. Ketika cintanya ditolak, ia berubah menjadi sosok yang mengerikan.Tuan Muda itu menghancurkan kehidupan orang lain tanpa rasa bersalah, alih-alih menyesal, dia merasa mendapatkan kepuasan.Hari itu, Nariza tidak bisa menghindar. Dan di hari itu juga masa depan Nariza terenggut tanpa adanya keadilan yang bisa dia rasakan.“Tuan…” Suara Arsel terdengar berat di seberang telepon. “Saya sudah menyelidikinya sekali lagi.” Arsel menarik napas pelan sebelum melanjutkan. “Kali ini… datanya benar-benar valid.”“Kamu yakin?” Zayden menekankan.“Yakin tuan dan masalahnya … salah satu dari pelakunya adalah Tuan Muda Kevin.” Arsel berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Dan… dia yang mengatur semuanya.”Tubuh Zayden langsung menegang. Matanya menatap tajam ke luar jen
Dada Alisha bergejolak hebat. Detik ini, rasanya seperti ada yang menyesak di dadanya, membuat napasnya terasa berat. Dia harus memastikan. Harus. Dengan suara pelan nyaris tak terdengar, Alisha akhirnya bertanya, “Di sebelah Tania itu… Austin, kan?” Zayden mengangguk pelan tanpa menoleh. “Lalu yang di belakangnya… siapa?” tanya Alisha, kali ini nadanya bergetar, seakan takut dengan jawaban yang akan didengarnya. Zayden menarik napas singkat. “Itu… Kevin. Adiknya.” Tubuh Alisha langsung menegang. Suara tercekat keluar dari bibirnya. “Kevin Thamrin…?” Zayden kembali mengangguk, pandangannya tetap lurus ke depan, sama sekali tak menyadari perubahan drastis di wajah istrinya. Wajah Alisha mendadak muram, tatapannya gelap, giginya bergemeletuk pelan, dan jantungnya berdebar tak beraturan. “Dia adiknya Austin… anak Tante Vivian,” Zayden menambahkan, seolah itu adalah hal biasa. “Jadi… dia benar-benar Kevin Thamrin,” gumam Alisha, kedua tangannya mengepal begitu erat di pangkua