Hai-hai! Bagaimana kabar hari ini? Semoga kita semua dalam keadaan sehat-sehat selalu ya! Untuk teman-teman yang sudah memberikan vote gemsnya, terima kasih ya! Sayang kalian banyak-banyak!
Seperti yang dikatakan oleh Alisha, pulang dari kantor dia kembali ke apartemennya, di sana dia mengambil barang-barang yang dia perlukan untuk mengerjakan pekerjaan sampingannya sebagai seorang videographer. Tidak banyak yang tahu kalau selama ini Alisha adalah sosok yang sangat kreatif dibalik akun media sosial besar yang dipegangnya, hanya beberapa orang saja yang tahu dia orang yang cukup profesional dalam hal pembuatan video iklan brand-brand ternama untuk produk mereka.Termasuk tempatnya bekerja pernah bekerja sama dengannya untuk membuat video campaign untuk pengenalan brand perusahaan, hanya saja kerjasama itu batal dengan alasan yang terbilang tidak masuk akal. Kalau mengingat hal ini dia cukup kesal dengan CEO yang menjabat sebelum Zayden, beruntunglah kabarnya dia dipecat dan digantikan oleh Zayden.Baru saja keluar dari lobi apartemennya, Alisha terkejut karena sudah ada Zayden yang menunggunya di sana.“Loh, kok kamu di sini?” tanya Alisha heran.Namun, Zayden tidak langs
Sejak menerima telepon itu, Alisha mulai menyadari perubahan dalam diri Zayden. Pria itu tampak sedikit gelisah, meski berusaha setenang biasanya, tapi kali ini, Alisha tidak mudah dibohongi.Zayden memang berdiri di sampingnya, tapi pikirannya jelas melayang entah ke mana.“Zay, tolong ambilin itu, dong,” ujar Alisha, menunjuk satu barang di rak.Namun Zayden hanya terus mendorong troli tanpa menoleh sedikit pun. Seolah tak mendengar permintaannya.Alisha hanya bisa tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan.‘Ternyata benar dugaanku. Ada sesuatu yang bikin dia nggak tenang,’ gumamnya dalam hati. ‘Apa mungkin penelpon itu?’Awalnya, Alisha hanya ingin menguji—ingin tahu seberapa dalam pria itu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dan reaksi Zayden barusan cukup jadi jawaban.Sejujurnya Alisha sangat penasaran siapa pria itu, hanya saja … berdasarkan kontrak perjanjian pernikahan mereka, tertulis jelas kalau terdapat poin bahwa: Tidak diperkenankan mencampuri urusan pribadi masing-masing.A
Daripada bertanya maksud Zayden, Alisha lebih tertarik untuk tahu tentang pria itu.“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya hati-hati.Zayden kembali duduk tanpa menjawab, pandangannya kosong. Jemarinya menaut di atas meja. Alisha bisa melihat betapa pria itu sedang menahan sesuatu. Sesuatu yang besar.Setelah pelayan mengantarkan pesanan makanan mereka yang terakhir, akhirnya Zayden berkata, “Besok, aku akan pergi lebih pagi, aku akan ke rumah mama lebih dulu.” Rasa penasaran ini makin menjadi-jadi hingga akhirnya Alisha tidak tahan untuk bertanya tanpa basa-basi lagi. “Kuperhatikan sejak mendapatkan telepon tadi, kamu menjadi gelisah, apa aku boleh tahu siapa yang menghubungimu?” Zayden menghentikan gerakan tangannya yang akan menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Terlihat seperti sedang berpikir. “Itu bukan apa-apa,” jawabnya singkat, tetapi jelas saja itu tidak membuat Alisha puas.Wanita itu terlihat mendesah berat dan meletakkan sendok dan garpunya. “Bukan apa-apa tapi wajahmu kentara s
Zayden mendadak terdiam. Rahangnya mengeras, dan seulas senyum masam terbit di wajahnya, lebih mirip seringai kecut daripada tawa. Sorot matanya meredup sejenak, seolah menahan sesuatu yang tidak ingin ia ungkap. Ada kilatan tidak suka di matanya, meski mencoba menutupinya dengan sikap acuh. “Jangan banyak tanya,” ujarnya akhirnya, nada suaranya datar namun mengandung tekanan. “Makan saja. Nanti kamu akan tahu sendiri.” Mendapatkan respons yang seperti itu dari Zayden mendadak Alisha tersadar akan sesuatu. ‘Mana mungkin juga Zayden punya pacar, kan? Bukannya dia ini menyimpang!’ Alisha lalu melanjutkan makannya dengan cukup santai sambil menertawai canggung kebodohannya yang berkata hal itu pada Zayden. Namun, jauh di dalam lubuk hati Alisha, ada perasaan tidak enak. Kalau bukan persoalan mantan pacar, maka … kiranya siapa yang mampu membuat Zayden mengeluarkan ekspresi seperti itu? *** Sepanjang perjalanan mereka tidak terlibat percakapan yang cukup serius, pun Alisha
Helena Wijaya, satu-satunya pewaris tunggal keluarga Wijaya. Pernikahannya dengan Henry Wicaksana-kakek Zayden-putra dari keluarga Wicaksana membuat bisnis kedua keluarga ini kian membesar. Insting bisnisnya cukup kuat, dan keputusan yang dia buat nyaris tidak pernah meleset. Dia tidak kalah hebat dengan suaminya dalam membesarkan bisnis mereka, hanya saja sejak beberapa bulan yang lalu, kondisi kesehatan Henry mengalami penurunan hingga akhirnya membuat Helena harus menetap sementara di luar negeri demi memastikan semuanya tetap berjalan stabil—baik bisnis, maupun kesehatan sang suami. Kini, di ruang yang sama, Alisha saat ini sudah duduk di samping Zayden. Tangan pria itu masih menggenggam tangan Alisha erat, seolah tak ingin melepaskannya. Akan tetapi, perhatian Alisha teralih bukan pada genggaman itu, melainkan pada interaksi diam-diam yang terjadi antara Zayden dan Helena. Ada sesuatu yang terasa janggal. Apalagi ketika Zayden menyapa neneknya dengan sebutan formal—“Nyonya
Suasana mendadak hening sejenak sesaat setelah Helena mengatakan hal itu. Helena mengundang Alisha untuk makan malam di rumahnya? Hal ini jelas membuat Zayden menatap Helena dengan cukup dalam. “Mengenalnya lebih dalam?” pertanyaan yang keluar dari mulut Zayden ini terkesan sangat dingin sekali.Helena mengangguk memastikan. “Tidak perlu mengenalnya lebih dalam, lagipula bukankah Anda punya pekerjaan yang lebih penting daripada sekedar mengurusi masalah pernikahanku ini.” Zayden jelas menolak perintah Helena tersebut.Akan tetapi Helena tersenyum tipis dan melihat ke arah Alisha dengan tatapan yang cukup tajam.“Alisha kan namamu?” Helena berkata pada Alisha.Alisha mengangguk pelan, saat mata tajam Helena tertuju padanya.“Aku mengundangmu ke kediamanku besok. Seharusnya, kamu tidak menolak ajakan dari tetua keluarga besar suamimu, kan?” Pertanyaan itu terdengar sedikit menekan.Zayden kembali ingin menjawab, hanya saja Alisha mengeratkan genggaman tangan mereka untuk membuatnya dia
Begitu duduk di dalam mobil, Alisha memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan lewat mulut. “Hmm... lumayan lega,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri akibat dari tekanan yang dia terima dari nenek Zayden tadi. Tapi ketenangannya hanya bertahan sekejap. Saat membuka mata dan melihat ke arah Zayden—pria itu melihatnya dengan sorot mata gelap penuh tekanan—tubuhnya spontan berlonjak karena terkejut. “Ya ampun! Kaget tahu! Muka kamu serem banget kayak ib ….” sadar kalau mulutnya nyaris melakukan kesalahan Alisha langsung merapatkan bibirnya dan tidak meneruskan kalimatnya. “Apa?” Zayden berkata dengan nada dingin. “Mau mengatakan aku ini seperti iblis?” lanjut pria itu lagi. “Itu ….” Alisha langsung menunduk dan memainkan ujung-ujung jarinya, karena merasa bersalah sudah keterlaluan bicara dengan bahasa yang tidak pantas pada atasanya dan juga ‘suami’-nya itu. “Atau … mau mengatakan kalau kamu tidak suka wajah dinginku karena terlihat sepe
Alisha berkedip pelan, matanya masih berat oleh kantuk. Tapi ada sorot aneh di matanya—bukan sepenuhnya sadar, tapi cukup membuat Zayden menahan napas. Tatapan itu ... seperti menggambarkan sesuatu yang seharusnya tak tertangkap. Seperti mendengar bisikan yang tak ditujukan untuknya. “Kamu …,” gumam Alisha, suaranya serak dan pelan, seolah hendak mengulang potongan kalimat yang baru saja melayang di telinganya. Zayden membeku. Mata Alisha menatap lurus ke arah Zayden. “Kamu bilang aku pasti melin—” Tok! Panik singkat membuat Zayden tanpa pikir panjang menyentil kening Alisha dengan sedikit keras. “Aw!” Alisha meringis pelan, tangannya spontan menutup keningnya yang memerah. “Apa-apaan sih?!” protesnya dengan wajah kesal, matanya kini terbuka lebar karena rasa nyeri di keningnya akibat sentilan yang dibuat oleh zayden barusan. Zayden pura-pura bersikap santai, padahal jelas gugup. Ia mengangkat bahu, acuh. “Kamu mengigau, jadi aku bantu bangunin. Daripada kamu mimpi bica
Nariza melihat Alisha yang turun dengan wajah sumringah tersenyum menatap kakaknya ini.“Kakak seneng banget pagi ini,” godanya pada Alisha.“Wuih, kamu sudah masak ternyata!” Alisha mengalihkan pembicaraannya, dia hanya tidak ingin Nariza menyinggung paginya dengan Zayden barusan. Entah kenapa dia menjadi salah tingkah saat Zayden melakukan hal itu padanya, untungnya dia bisa menahan diri dan segera menjauh! Kalau tidak …?!“Iya, aku sudah masak! Nungguin kakak turun kelamaan! Tapi aku gak tau ya, apa Kak Zayden suka dengan sarapannya, kan beda tangan yang ngebuatnya.” Nariza berkata sambil terkekeh ringan.“Eh, Iza, nanti kakak mau pergi sama mamanya Kak Zayden, kamu … tinggal di rumah sendiri tidak apa-apa?” Alisha berkata pada Nariza sambil mengambil kerupuk yang ada di dalam toples di atas meja.“Kakak mau pergi sama mama mertua?” Nariza senyum menanggapi ucapan kakaknya itu.Sambil mengunyah kerupuk itu, Alisha mengangguk.“Ya tidak masalah! Pasti mamanya Kak Zayden ini baik bang
Pilihannya tidak semudah itu, karena ada satu hal yang membuat Zayden masih tetap ragu. Alisha juga masih tahu kalau hubungan dan perasaan mereka ini masih terlalu awal.“Entahlah, bisa dipikirkan saja nanti? Kita harus bekerja hari ini.” Alisha berkata dengan suara seraknya.Sementara Zayden dia hanya tersenyum ringan. “Hari ini ada libur nasional, seharusnya kita masih bisa bersantai di rumah.” “Oh, ya?!” tanya Alisha dengan mata membulat.Zayden mengangguk lalu memperlihatkan kalender yang ada di ponselnya.“Ah! Enaknya, artinya aku masih bisa tidur, dong!” Alisha terkekeh puas.Namun, belum sempat niat itu terlaksana ponsel Alisha berdering di atas nakas, dengan gerakan yang malas-malasan, dia kemudian mengambil benda itu.Mama Martha.“Mama menghubungiku,” ucap Alisha pada Zayden.Zayden hanya mengangguk, memberi isyarat agar Alisha menerimanya. Segera, Alisha menggeser tombol hijau di layar.“Halo, Ma,” sapa Alisha saat panggilan tersebut tersambung.“Sayang, apa hari ini kamu s
Zayden terdiam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, tapi matanya seketika redup. Jawaban Alisha sepertinya adalah sebuah jawaban yang dia pikir tidak akan pernah dia dengar. Ada jeda. Hening menyergap di antara mereka. Zayden menutup mata sejenak, menghela napas panjang. Saat kembali membuka matanya, senyum samar terlukis di sudut bibirnya — senyum getir. “Aku mengerti,” ucapnya akhirnya, lirih. “Apa yang kamu mengerti?” tanya Alisha dengan suaranya yang terdengar stabil. “Aku mengerti, jawabanmu memang sangat normal, kupikir hanya aku yang sedikit naif untuk mendengarkan alasan tidak logis.” Zayden berkata datar. Alisha menggelengkan kepalanya beberapa kali, lalu melipat tangannya di depan dada. “Aku ada di sini saat ini, jelas karena kamu adalah Zayden Wicaksana. Tahu kenapa?” Alisha berkata datar menatap tajam ke arah suaminya itu. “Karena saat itu…” Alisha membuka suara, nadanya terdengar santai, tapi ada getaran halus yang samar. “Kamu berhasil membuatku menyetujui se
Suasana di ruangan itu masih membeku. Zayden tetap diam di tempatnya, rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Tatapan matanya tidak sedikit pun bergeser dari wajah Helena. Helena menarik napas perlahan, menyandarkan punggung ke kursi antik yang didudukinya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan banyak makna. “Tak peduli kau suka atau tidak, Zayden. Posisi itu akan tetap jatuh ke tanganmu. Dan sebagai pemilik masa depan keluarga Wicaksana, kau tak boleh membuat keputusan yang sembrono, apalagi menyangkut urusan pribadi.” Zayden mendengkus pelan. “Jadi ini semua tentang kuasa?” “Bukan hanya kuasa,” jawab Helena pelan, tapi suaranya cukup untuk memotong udara. “Ini tentang garis warisan, reputasi, dan harga diri keluarga. Kau harus tahu, setiap langkah yang kau ambil akan selalu memiliki dampak. Bukan hanya untuk dirimu, tapi untuk semua orang yang membawa nama Wicaksana di belakangnya.” Zayden mengepalkan tangannya lebih erat, meredam
Zayden langsung mendatangi kediaman kakek dan neneknya. Dia tahu ini sudah waktunya untuk mereka beristirahat, hanya saja, Zayden tidak suka dengan cara neneknya yang menekan orang-orangnya. Setidaknya dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin! Bukankah dia juga mengatakan pada Arsel untuk segera menemuinya setelah dia sampai?Kali ini Zayden sudah di tahap tidak peduli dengan jam kunjungan tamu! Dia sungguh tidak bisa mentolerir tindakan neneknya lagi kali ini.“Tuan Zayden, Tuan dan Nyonya Besar baru saja istirahat.” Kepala pelayan di rumah ini berkata sopan pada Zayden.“Katakan pada Nyonya Helena, aku datang, kalau dia tidak menemuiku sekarang aku yang akan datang langsung ke kamarnya!” Zayden berkata dengan tegas. Ucapannya seolah-olah tak terbantahkan.“Tapi, Tuan … Nyonya pasti sangat lelah, pagi tadi beliau baru sampai dari luar kota dan juga langsung mengurus Tuan Besar ke untuk berobat dan —”“Katakan saja padanya aku sudah disini. Apa kamu tidak mengerti dengan bah
Beberapa jam sebelumnya.Saat Arsel memasuki kediaman Keluarga Wicaksana, selalu saja ada hal yang perlu dia waspadai, jelas ini akan berkaitan dengan Zayden. Hanya saja, kali ini dia masih belum bisa menebaknya secara jelas.Arsel mengiringi langkah Danti yang membawanya ke ruang kerja Helena.“Masuklah Pak Arsel, Nyonya sudah menunggu di dalam.” Danti menghentikan langkahnya tepat di depan pintu besar itu.“Terima kasih,” ucap Arsel lalu mendorong pintu itu.Baru saja menutup pintu, aura dominan ruangan ini sangat menekannya. Bahkan walau dia sudah terbiasa dengan Zayden yang memang tampak dingin itu, Helena jauh lebih dari itu.“Duduklah,” ucap Helena dengan suara datar, menyuruh Arsel untuk duduk di sofa tamu.Arsel mengangguk sopan, dalam hati jelas sudah tenang. Apalagi tatapan Helena sangat tajam dan menusuk.Kemudian Helena membawa beberapa file dan meletakkannya di atas meja yang ada di depan Arsel.“Ini … apa Nyonya?” tanya Arsel pelan, di depannya sudah ada amplop coklat bes
Di tempat lain, jauh dari hiruk pikuk hotel tempat Zayden dan Alisha berada, suasana di sebuah ruangan megah dengan interior klasik-modern itu terasa tenang, hanya diisi suara detik jam dinding antik yang menggema pelan.Helena Wicaksana duduk anggun di balik meja kerjanya. Di hadapannya, secangkir teh melati masih mengepulkan uap harum. Wanita paruh baya itu tampak tenang, membaca sebuah laporan yang baru saja diberikan asistennya, Danti.Senyum tipis mengembang di wajah Helena saat beberapa lembar foto terpampang jelas — Zayden dan Alisha, tertangkap kamera sedang berjalan berdua, duduk berdekatan, bahkan sebuah foto samar ketika Zayden tanpa ragu memegang tangan Alisha di pinggir pantai.Bahkan laporan video tentang keduanya juga terlihat jelas saat ini, hal ini membuat Helena mengangguk pelan, walau dalam hatinya masih tersirat sedikit kecurigaan terhadap hubungan keduanya saat melihat foto dan video ini rasanya semuanya memudar begitu saja.Helena menegakkan duduknya. “Sepertinya
Usai mandi, Alisha tampak jauh lebih segar. Rambutnya yang masih sedikit basah di bagian ujung dibiarkan tergerai alami, menyentuh bahu dengan manis. Wajahnya bersih tanpa riasan berlebih, hanya sedikit sapuan lip balm dan bedak tipis yang membuat kulitnya terlihat cerah alami. Mengenakan blouse merah muda sederhana dipadukan celana kain lembut, penampilannya tampak rapi sekaligus nyaman.Baru saja ia selesai merapikan rambut di depan cermin, suara bel kamar terdengar pelan namun jelas.TING TONG!Alisha refleks menoleh saat suara bel terdengar, lalu berjalan santai ke arah sekat kamar. Begitu membuka pintu, aroma segar dari tubuhnya masih samar tercium, menyisakan suasana nyaman di ruang itu.Dari ruang tengah, terdengar suara ringan Farhan yang sempat ingin berdiri. Namun sebelum sempat melangkah, Alisha sudah bersuara. “Eh, kalian lanjutkan saja. Pasti itu dari hotel, bawain sarapan,” ucapnya santai dengan senyum kecil.Ketiganya langsung menoleh, dan Zayden yang tengah duduk di sof
Suasana di ruangan itu tiba-tiba membeku. Alisha berdiri kaku di ambang pintu, matanya langsung menangkap sosok Zayden yang sudah terlihat segar dan rapi dalam balutan kemeja dan celana dasarnya, menatap ke arahnya sambil menggeleng pelan. Ekspresi pria itu seakan berkata tanpa suara, ‘Nah, itu salahmu sendiri, aku tidak memberitahukan hubungan kita pada temanmu.’Tika yang sejak tadi masih terbelalak akhirnya memberanikan diri membuka suara.“Al, kamu…,” ucapnya, tapi kalimat itu menggantung di udara. Wajahnya jelas menunjukkan banyak pertanyaan, namun sadar ini bukan situasi untuk interogasi terang-terangan, apalagi Zayden ada di antara mereka.Alisha buru-buru menyambut ucapan setengah jadi itu dengan senyum kaku. “Ah, iya… kalian ini… sedang kerja, ya?”‘Ya ampun, Alisha… tentu saja mereka kerja! Apa coba yang mereka lakukan kalau bukan kerja?!’ batin Alisha berteriak panik dalam kepalanya.Tika, Farhan, dan Aldian saling pandang cepat. Ketegangan masih terasa menggantung, sementar