MasukBelum sempat Afgan menyelesaikan kata-katanya, Vincent sudah menerjang dengan cepat. Tubuh besar Vincent membentur Afgan dengan keras. Keduanya jatuh berguling di lantai, saling memukul tanpa aturan.
Bak!
Buk!
Dugh!
Brak!
Jannah terlonjak kaget, memutar tubuh dan mendorong kelambu agar bisa melihat. Hatinya mencelus ketika melihat keduanya saling banting dan saling cekik.
Ia segera memungut pakaian dan memakai ala kadarnya.
"ARGGH!" teriak Vincent saat Afgan menarik rambutnya lalu dengan cepat menghantamkan kepalanya ke lantai.
*DUAK!*
Vincent memekik kesakitan.
“Beraninya kau mengacaukan malam pernikahanku?!” Afgan meraung.
Vincent tidak bisa berbicara, tetapi tangannya meraih tiang ranjang dan menghantamkannya ke pelipis Afgan.
Ranjang dengan kelambu itu roboh seketika dan Jannah menghindar dengan panik.
*BRAAK!*
Afgan jatuh terhuyung ke samping.
"Pernikahan? Kalian
Sopir itu terpaku melihat Deon yang pucat, penuh keringat, masih ada bekas jarum infus di lengannya.“Tapi… Pak, itu jauh… dan—”“JALAN.” suara Deon pecah. “Atau saya cari sopir lain.”Sopir menelan ludah, mengangguk cepat, dan mesin segera menyala. Taksi itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan rumah sakit yang masih memanggil-manggil nama Deon.Di kursi belakang, Deon menunduk, tangannya mencengkeram kuat-kuat ponselnya.“Bertahan, Jannah…” bisiknya dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Aku datang… jangan apa-apa…”Setengah jam kemudian, taksi berhenti mendadak ketika mereka memasuki area yang tampak terlalu sunyi untuk ukuran pusat kota Berlin. Bangunan besar tanpa nama berdiri seperti monster gelap, tidak ada lampu papan, tidak ada penjaga terlihat… tetapi hawa dinginnya terasa menusuk, seperti tempat yang menyembunyik
**Sementara itu, di rumah sakit…**Lampu-lampu redup meresap di antara bayangan pria yang tertidur seolah tidak tahu kejadian apa pun yang sedang berlangsung.Namun di atas ranjang itu, tubuh Deon mulai bergerak.Alisnya berkerut. Jari-jarinya bergerak pelan. Nafasnya yang tadi berat mulai berubah, sedikit lebih cepat. Perawat jaga yang melihat monitor berkedip langsung mendekat.Kelopak mata Deon akhirnya terbuka, perlahan, berat, seperti seseorang yang bangun dari mimpi buruk panjang. Cahaya putih membuat penglihatannya kabur. Namun satu hal segera muncul dalam pikirannya… satu nama.*“Jannah…”*Suara itu nyaris tak terdengar, hanya gumaman lemah yang terbentuk di bibirnya, namun beban emosinya begitu besar hingga dada Deon terasa sesak. Ia mengedip beberapa kali, mencoba fokus, tetapi matanya langsung membasah tanpa ia sadari.Ingatan terakhir yang muncul adalah Jannah… tangisny
Penjaga itu bertubuh besar. Wajah gelap. Pakaian hitam dan terlihat kuat.“KAMU!” penjaga itu meraung dan berlari ke arah mereka.Jannah terlonjak mundur.Vincent langsung mendorong Jannah ke belakangnya. “Lari kalau aku bilang!”Penjaga itu mendekat, langkahnya menghentak.Vincent meraih tiang ranjang yang dipegangnya tadi lalu memukulkannya.Bunyi logam bertemu tulang menggema keras.Namun penjaga itu masih berdiri.“Hhh… dasar nyamuk!” geramnya sambil mengacungkan tangan besar untuk mencekik Vincent.Jannah menjerit. “Vincent!”Tetapi Vincent menangkis, memutar, dan menghantamkan tongkat kedua kali, lebih keras.*DUAAK!*Penjaga itu roboh. Vincent terengah.“Jannah—sekarang! Lari!”Mereka berdua berlari menuruni tangga, menembus koridor gelap, hingga sebuah pintu tua terlihat di ujung lorong. Hanya satu pintu. S
Belum sempat Afgan menyelesaikan kata-katanya, Vincent sudah menerjang dengan cepat. Tubuh besar Vincent membentur Afgan dengan keras. Keduanya jatuh berguling di lantai, saling memukul tanpa aturan.Bak!Buk!Dugh!Brak!Jannah terlonjak kaget, memutar tubuh dan mendorong kelambu agar bisa melihat. Hatinya mencelus ketika melihat keduanya saling banting dan saling cekik.Ia segera memungut pakaian dan memakai ala kadarnya."ARGGH!" teriak Vincent saat Afgan menarik rambutnya lalu dengan cepat menghantamkan kepalanya ke lantai.*DUAK!*Vincent memekik kesakitan.“Beraninya kau mengacaukan malam pernikahanku?!” Afgan meraung.Vincent tidak bisa berbicara, tetapi tangannya meraih tiang ranjang dan menghantamkannya ke pelipis Afgan.Ranjang dengan kelambu itu roboh seketika dan Jannah menghindar dengan panik.*BRAAK!*Afgan jatuh terhuyung ke samping."Pernikahan? Kalian
Di saat yang sama, di kamar pengantin—Afgan kini hanya berjarak tiga jari dari Jannah, napasnya hangat menyentuh kulit lehernya. Jannah menahan seluruh tubuhnya agar tidak gemetar. Seluruh ototnya menegang, matanya menatap lurus ke arah langit-langit yang ditutupi kelambu putih.“Jannah…” tangan Afgan menyentuh bahunya perlahan. “Tubuhmu bergetar layaknya dirimu masih perawan saja," kekeh Afgan."Kamu taku? ... Sayangku, suami istri tidak perlu saling takut.”Jannah menutup mata, mencoba mengingat suara Alfie tertawa, wajah Amara tidur pulas, bau tubuh Deon yang dulu membuatnya merasa aman. Semua itu ia gunakan untuk bertahan."Demi mereka, laki-laki ini hanya menginginkan tubuh, aku harus bertahan malam ini dan semua selesai," gumam Jannah dalam hati, berusaha menguatkan dirinya.“Aku tidak takut,” katanya dengan suara lemah. “Aku hanya… belum siap.”J
Pintu kayu besar di ujung lorong terbuka. Di baliknya, ruangan itu tidak tampak seperti kamar pengantin yang kuno namun mewah, bukan seperti kamar mana pun yang pernah Jannah lihat.Dindingnya putih pucat. Langit-langitnya tinggi, dihiasi ukiran klasik. Ranjang besar di tengah ruangan dipenuhi kelambu tipis yang berayun karena angin entah dari mana. Ruangannya dingin, terlalu dingin, seperti tidak dihuni manusia.Di atas ranjang dengan sprei putih itu sudah ditabur banyak sekali pecahan kelopak bunga rose berwarna merah.Aroma wangi dari lilin aromaterapi yang terpasang membuat suasana di ruangan itu seharusnya menjadi nyaman, namun hati Jannah semakin galau atas apa yang diinginkan Afgan dalam waktu beberapa saat lagi.Afgan menurunkannya perlahan ke atas ranjang, menarik kelambu seakan menutup sebuah adegan pertunjukan.“Ini malam kita, Sayang,” katanya."Aku sudah menahan diri begitu lama..."Jantung Jannah melompat ke tenggorokan, tangannya mencari pegangan. Tidak ada. Tidak ada s







