Aku hampir dibuat terlena oleh suaranya. Seperti menghipnotis, adem, tenang dan juga nyaman. Bahkan yang mendengar seolah ikut larut dalam kekhusuannya.
Aku tertunduk lesu, bagaimana pun aku merasa tak pantas disini, menjadi bagian dari orang-orang yang mengagungkan nama Allah, sedangkan diri ini?
Ah, aku memang manusia hina, tapi bukan berarti aku tak punya do'a yang selalu aku panjatkan. Menjadi manusia lebih baik tentunya itu do'a utama tapi entah kapan itu terjadi. Jalan itu belum terlihat.
Andai Ayah berhenti berjudi, bekerja layaknya suami yang tangung jawab pada istri dan anak-anaknya. Mungkin, aku lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang halal.
Sayangnya, ayahku yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu, tak jua insaf. Justru makin menjadi-jadi. Ibu harus banting tulang untuk sehari-hari dan akulah yang harus memberikannya uang untuk judinya. Jika tidak begitu, uang Ibu akan diminta dan aku kasihan pada adik-adikku yang masih harus sekolah.
Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adikku laki-laki dan perempuan. Arif adik pertama aku yang sekarang baru menginjak pendidikan menengah pertama dan yang kedua Intan, dia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Suara riuh pengunjung setelah sang ustadz selesai bershalawat membuat pikiranku yang jauh melayang, tersadar kembali ditempat.
Aku melihat sekeliling, bahkan sudah cukup malam namun pengunjung sepertinya makin membludak.
"Siapa sebenarnya pemuda yang disebut Ustadz Abu?" Batinku bertanya. Kenapa aku menyebut pemuda, karena wajahnya yang masih fres dan bersih, tak ada sedikitpun kerutan diwajahnya membuat aku yakin jika dia masih muda. Bahkan aku menebaknya dia baru berusia belum genap tiga puluh tahun.
Semua yang dipanggung berdiri, tak terkecuali aku. Kembali melantunkan shalawat. Kali ini pihak perempuan pun ikut mengumandangkan shalawat, senada dengan pemuda itu.
"Sebenarnya Ustadz Abu cocoknya sama Ning Sukma," dari belakang aku mendengar ada yang tengah berhibah.
"Iya, ini malah sama ... Ah, aku penasaran dibalik cadarnya. Jangan-jangan dia ngga cantik, giginya tonggos makanya pakai cadar!" Aku geram kala mendengar itu, tapi tentu aku tak bisa berbuat apa-apa. Walau aku tak peduli tentang si Abu Gosok itu, tapi terang-terangan dia bilang aku tonggos.
Jiwa bar-bar ku pun bergejolak. Ingin rasanya aku datangi perempuan-perempuan itu. Mereka tentu tepat berada tak jauh dari aku berdiri. Lebih tepatnya dipojok panggung. Memang suara sound mengelengkan keseluruh penjuru, namun sepertinya suara mereka sengaja dikeraskan agar aku dengar.
Akhirnya usai sudah acara itu, satu persatu perempuan yang berada dikiri panggung turun, tak terkecuali Ning Sukma, dia sudah melesat dan tak terlihat batang hidungnya saat aku mulai menuruni anak tangga.
Aku bingung, harus kemana. Celingukan melihat Abu gosok itu sudah turun atau belum dari panggung.
"Uhty, ayo ikut kami!" Beberapa orang berseragam resmi itu memberi jalan. Aku pun mengangguk. Ternyata Abu Gosok sudah menunggu.
"Kita ke Ndalem dulu ya!" Ajaknya. Aku hanya mengangguk walau tak tahu Ndalem itu apa.
Ternyata kerumah megah berlantai dua didalam pesantren. Mungkin ini rumah si pemilik.
Disana terlihat banyak orang tua bersorban dan terlihat wajahnya tak bersahabat.
"Abu! Abu gosok!" Bisikku mendekat padanya. Dia menoleh dengan perasaan heran.
"Kamu bilang apa?" tanyanya.
"Mas Abu Gosok, aku pengen buang air kecil! Dimana ada toilet?" tanyaku dengan sedikit menekan.
Dia menggelengkan kepala. Kenapa kebiasaan itu tak hilang juga. Geleng-geleng kepala kok ngga capek! Gerutuku.
"Ning Sukma, bisa bantu Ukhty ke kamar mandi?" Abu gosok kembali menyuruh si Ning yang sepertinya memang sengaja menguntit kemanapun Abu gosok berada.
"Monggo, Ukhty," dia mempersilakan aku untuk ikut dengannya. Aku pun beranjak menuju ke toilet yang melewati dapur.
"Kamu ngga lihat bagaimana Ning Sukma seperti patah hati kala melihat Ustadz Abu bawa calon istri?" Ternyata dimana-mana orang ngehibah ada aja.
"Ehemm!" Ning Sukma berdehem, membuat para penghibah itu langsung membubarkan diri.
"Silahkan, Ukhty!" Dia menunjukkan toilet.
"Terima kasih." Aku langsung menyelinap masuk kedalam toilet dan menghabiskan air yang diperut tak tersisa. Walau dengan susah payah karena gamis yang menjuntai panjang.
Huffh! Ternyata ribet juga pakai gamis begini.
"Ayo kita pulang!" Ajaknya setelah cukup lama duduk. Entah apa yang mereka obrolkan aku memilih untuk fokus dengan ponsel. Beberapa teman menanyakan keberadaan aku yang tak terlihat dipangkalan, tentu aku tak bercerita jika kini tengah di booking seorang ustadz untuk menemani tampil dipanggung.
Aku melangkah keluar, sebelum akhirnya disalami beberapa perempuan yang aku yakini dia adalah santri. Dilihat dari kompaknya baju dan sarung yang mereka gunakan.
"Tunggu, Tadz!" Panggil Ning Sukma membuat aku langsung menoleh.
"Ini oleh-oleh buat Ukhty!" Dia menyodorkan paperbag. Abu gosok menatapku, memberi isyarat padaku agar aku menerimanya.
"Tadz, jangan lupa undangannya," kembali dia berkata dengan tangan didepan saling mengengam. Entahlah dengan orang disini, kenapa suka menunduk, mencium tangan bolak balik juga berjalan dengan dengkul dan kali ini mengengam tangannya.
Aku melirik pada Abu Gosok, dia seperti biasa hanya tersenyum. Entah kenapa kebiasaannya hanya dua senyum-senyum dan geleng kepala. Kayanya ngga ada yang lain. Bicara pun irit sekali, mungkin takut suaranya yang merdu itu sia-sia diumbar.
"Insya Allah, Ning." Hanya itu jawaban Abu gosok yang kemudian memilih melanjutkan langkah, sedangkan kulirik, Ning Sukma hanya menunduk.
"Kita segera pulang, Tadz?" tanya supir. Aku hanya memutar bola mata malas padanya.
"Kita antar dia dulu, Pak. Ini sudah setengah dua, aku takut melebihi jam dua sesuai janji, nanti dia malah minta tambahan tarif!" Seloroh Abu gosok.
Aku yang merasa disindir langsung membulatkan mata. Apa dia bilang aku se matre itu? Sekarang aku jadi tahu kalau dia perhitungan juga. Jangan-jangan bayaran aku di potong untuk beli gamis lagi! Awas aja kalau demikian.
"Abu gosok, itu Ning Sukma naksir berat sama kamu loh!" Aku memecahkan kebisuan saat mobil mulai melaju.
Si sopir terkekeh. "Kasih panggilan buruk banget sih!" Protes si sopir.
"Biarkan, Pak. Terserah dia saja panggil aku siapa? Aku suka dan tak akan memaksa orang memangil aku dengan nama yang benar." Abu Gosok menimpali.
Aku mencibirkan bibir pada si supir. Aku sudah melepas cadarku yang dirasa menganggu, rasanya begah harus menutupi hidung dan bibir dengan kain yang lebar.
"Ustadz Abu mah, bukan cuma Ning Sukma saja yang naksir. Banyak Ning-Ning yang lain di seluruh penjuru Indonesia, bahkan tak segan-segan mereka yang melamar atau menawarkan diri untuk menjadi pendamping Ustadz." Entah kenapa kali ini aku lihat si sopir lebih banyak bicara dari pada tadi saat berangkat.
"Kok bisa ya, yang naksir Abu gosok bernama Ning semua? Tapi ... Tadi aku juga di panggil Ning?" Aku berfikir.
Seketika si supir tertawa terbahak-bahak. Namun segera di colek oleh Abu gosok.
"Ning itu maksudnya panggilan seorang perempuan dari anak seorang ustadz, Mbak," jelas Abu gosok langsung membuat wajahku memerah. Bagaimanapun tidak, tadi aku protes saat Ning Sukma panggil aku Ning.
Duhh ... Malunya aku!
Aku memilih diam, setelah merasa malu karena minimnya ilmu. Tentu aku yang bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan ahli agama, tentu tak tahu menahu tentang panggilan khusus itu."Duh, malunya jika nanti aku ketemu Ning Sukma lagi," aku membatin, tapi kemudian sadar kalau Ning Sukma tak mengenali wajahku. Jadi buat apa aku malu?Aku memilih diam, bermain ponsel adalah jalan ninjaku agar tak terasa boring. "Mbak mau turun dimana?" tanyanya membuyarkan konsentrasiku."Ditempat tadi juga ngga papa, Mas Abu gosok!" ujarku."Ini ngga ke hotel dulu, Tadz. Mubasir loh udah di booking ngga dipakai. Aku juga mau," celoteh si supir."Hust, ngga boleh, Pak! Aku tak akan mengizinkan itu. Kalau bisa do'akan dia agar segera berhenti dari pekerjaannya. Mencari pekerjaan yang lebih halal." Kali ini Abu gosok menimpali.Aku cuek dan pura-pura tak mendengar. Takut lama-lama dia malah tauziah, kan males jadinya."Mbak, kapan mau taubat dan berhenti menjadi Kupu-Kupu malam?" tanyanya kemudian padaku.
Mataku membulat sempurna kala melihat uang merah yang jumlahnya tak sedikit."Astaga, ini?" Aku mulai menghitungnya yang ternyata berjumlah empat puluh lima, artinya keseluruhan uang yang dia berikan adalah lima juta."Andai tiap malam nemu pelanggan yang beginian terus, cepat tobat aku." Aku bergumam sendiri. Memandangi uang pecahan seratus ribu itu.Aku tersenyum mengingat wajah Abu gosok. Pemuda berwajah bersih dengan jambang tipis didagu sampai ke pipi. Ah! Kini imajinasi aku melayang jauh. Merasakan bagaimana jika Jampang itu menyentuh pipiku.Hufh, Kiara kamu jangan ngimpi terlalu tinggi. Benar kata sopir usil itu, jika tak mungkin seorang ustadz tampan nan terkenal menikah dengan seorang pe la cur seperti dirinya. Sadar diri sepertinya lebih baik, tapi jujur hati ini begitu tertarik akan dirinya.Apa aku akan menjadi punguk yang merindukan bulan?Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Bahkan uang pun masih tergeletak di kasur. Membayangkan wajah sang ustadz tampan itu seolah
Mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Ya Allah ... Ampunilah dosa-dosaku! Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.Aku membuka mata, merasakan sakit yang teramat dibagian kepala. Aku memeganginya dan mendapati sudah diperban.Kutatap sekeliling dan baju yang aku gunakan. Aku sudah berada di rumah sakit."Dok, dia sudah sadar!" Seorang suster berkata pada laki-laki yang berjas putih dengan stetoskop di lehernya."Sudah sadar, Mbak? Apa yang anda rasakan?" Dia mulai menempelkan stetoskop pada dada bagian atas ku."Ini sakit banget, Dok." Aku menjawab dengan jujur."Iya, Mbak. Itu luka cukup lebar, bahkan sampai sepuluh jahitan. Apa pusing atau mual?" tanya dokter lagi."Sedikit, Dok.""Ya sudah, kita lihat perkembangannya lagi. Istirahat ya!" Setelah dokter selesai memeriksa, ia pun keluar. Tak lama muncul seorang gadis masuk."Mbak sudah sadar? Siapa yang bisa saya hubungi, Mbak. Takutnya keluarga khawatir." gadis itu terlihat panik. Aku menyempitkan mata."Ngga papa, Dek. Aku sendiri
"Astaghfirullah!" Abu gosok meletakan aku pada brankar dengan kasar. Bahkan aku sampai sakit pinggang."Pelan kenapa? Sakit tahu!" Gerutuku. "Ngga usah ketakutan begitu, Allah pasti mengampuni dosa-dosa hambanya yang tak sengaja." Sengaja aku menyindir, seperti kata dia tadi."Kalau apa-apa panggil saja aku! Jangan lakukan apapun sendiri. Aku ngga mau kamu makin parah karena nanti adikku yang akan disalahkan!" ujarnya dengan nada sedikit ketus. Aku memilih memalingkan wajah.Dia mengaduh dan mengangkat kakinya yang berdarah."Astaga! Itu kena beling, Bu!" ujarku melihat dia tapi tak dapat berbuat apapun.Dia berjalan dengan pincang menuju sofa. Mencoba mencabut pecahan gelas yang menancap pada kakinya.Aku memanggil suster saat melihat ada suster lewat."Sus, bisa bantu obati lukanya dan sapu pecahan kacanya!" "Baik, Mbak. sebentar saya ambil alatnya."Tak lama datang dua suster, satu memegang sapu satunya membawa kotak P3K."Saya obati ya, Mas!" ujar suster yang bertugas mengobati
"Apa aku terlalu percaya diri? Atau kamu yang terlalu serius menanggapi sampai expresinya begitu!" Kelakarku. Melihat dia yang kaget seperti itu membuat aku kasihan padanya.Lagian jika aku yang dinikahi dia, bagaimana dia akan menyembunyikan wajahnya. Dia itu ustadz terkenal, masa nikah sama pe la cur seperti aku.Walau aku tahu, Allah maha pemurah, tapi jelas aku dan dia tetaplah berbeda. Dia rajin ibadah dan berpendidikan tentu akan mencari yang sepadan. Mana mau dia sama aku yang sekolah pun hanya SD dan ngaji cuma sampai jilid dua. Bisa di ketawain jamaah kalau pas manggung. "Ah, sepertinya kamu memang terlalu percaya diri. Kalau dilihat dari prinsip kamu, aku suka. Kamu itu pekerja keras dan optimis, bahkan sangat profesional." Pujinya membuat wajahku memerah.Tentu semua itu dari pengalaman masa lalu. Semua yang terbentuk dari diri seseorang sebagian besar adalah dari pengalaman masa lalu.Aku yang memiliki keluarga utuh namun tak harmonis, tentu tetap berefek pada aku yang me
Menjadi seorang ustadz bukan hal yang mudah dilalui, bukan juga sebuah kebanggaan yang harus dipamerkan.Tentu setiap manusia memiliki sisi kelam, begitu pun dengan aku. Walau sekarang mencoba untuk memperbaiki diri, juga Allah bukakan jalan taubat juga rezeki yang mengalir deras. Namun semua itu tetap menjadi noda hitam dalam hidupku.Itulah kenapa aku tak memandang rendah seseorang walau aku sudah tinggi. Aku tak malu bahkan tak segan bergaul dengan siapapun, dari preman, penjahat atau bahkan pelacur. Bagi aku selama mereka tak lagi menjerumuskan aku kepada dosa yang lebih besar lagi, itu hal yang wajar.Bahkan tentu aku harapkan mereka mau bertaubat, walau aku bukan ahli tauziah setidaknya pendekatan pelan aku mampu menyentuh hatinya."Tadz, apa ngga capek setiap mau tampil, Ustadz itu selalu saja bawa orang-orang ngga bener numpang. Saya sampai heran loh, Tadz. Duh ... Apalagi malam ini, bawa Pe la cur yang sangat percaya diri seperti wanita tadi," ujar Pak Yono supir yang selalu
"Terima kasih sudah mengurus semuanya." Aku berkata dengan datar. Malu karena topeng aku yang sebenarnya sudah ia ketahui.Dia tersenyum nakal, seolah tengah mengejek aku yang masih tak bisa berkata-kata setelah terbongkarnya aibku. Aib karena aku menggunakan nama samaran.***Aku memilih mengemasi barang-barang sendiri. Walau memang tadi suster mengatakan jika akan ada yang menjemput aku dan mengantarkan, tentu aku tak mau semua dilakukan orang lain. Pelan-pelan aku mulai mengemasi apa yang dibawa pulang."Assalamualaikum ...." Abu Gosok datang tepat waktu. Aku sudah selesai berberes."Sudah selesai?" tanyanya heran ketika melihat semuanya rapi."Iya, karena aku sudah tak sabar untuk tidur dikasurku yang empuk," ujarku dengan berdiri setelah tadi tengah duduk."Kamu aku bawa ke pesantren dan tinggal disana!" ucapnya tanpa penawaran."Apa? Aku di suruh tinggal di pesantren? Gila kamu ya! Apa aku harus me la cur disana?" Aku yang kaget langsung mencoba menatapnya. Mencari keseriusan da
"Maaf, maksudnya ustadz Abu, pasalnya ini cuma ada empat piring?" Aku membenarkan ucapan."Nggak, Mbak. Aa Abu mah ngga pernah makan bareng, dia itu sukanya menyendiri, apa-apa sendiri dan terpisah, itulah yang membuat Abah juga Umi khawatir tak dapat jodoh." Nay berkata dengan antusias. Aku mendengar dengan segsama."Nay!" Pangil Abah terdengar tak suka anak perempuannya berkata terus terang."Tak usah pikirkan itu, Nduk, makan dulu! Setelah itu istirahat, Nay sudah menyiapkan kamar untukmu." Kali ini Umi yang bersuara, aku hanya mengangguk dan mulai memakan hidangan yang tersaji.Aku menikmati dengan khusu, makanan yang terhidang memang lezat, apalagi gratis."Mbak sebentar lagi kan puasa, nanti kita salat tarawih bareng ya!" Ajak Nay berbicara disela makan.Tarawih? Ah rasanya sudah lama sekali aku tak melakukan salat itu, entah sudah berapa tahun, aku tak mengikuti puasa. Mungkin lebih tepatnya saat aku di nikahi oleh juragan Komar. Jangankan untuk salat tarawih bersama, bahkan s