"Permisi, Ustadz! Semua telah siap dan ustadz sudah ditunggu." Dari luar terdengar suara seseorang memanggilnya.
"Ayo, Mbak, ikut aku!" Ajaknya.
"Sebentar, Mas, aku mau benerin lipstik dulu sama bedakan, kayanya udah ilang ini kena keringat!" Aku merogoh tas yang tergeletak tak jauh dari aku duduk.
Dapat kudengar dia menghela nafas berlahan. Kemudian keluar dan berbicara pada orang yang tadi mengundang, namun tak lama ia kembali.
"Sudah?" tanyanya lagi.
"Belum, Mas, bentar ini! Masih belum selesai." Aku masih sibuk berkutat pada cermin. "Duluan saja ngga papa, nanti aku nyusul!" Aku yang gemas melihat ia tak sabar memilih jalan alternatif.
"Bukan aku tak mau pergi dulu, tapi disana nanti itu ramai sekali, aku ngga mungkin biarkan kamu sendiri. Mana ngga ada yang kenal lagi, bagaimana aku mencari kamu di ribuan manusia!" Cicitnya.
Aku yang tengah memakai lipstik sampai mencoret kebawah karenan kaget jika katanya ada ribuan orang.
"Duh kan!" Aku ngedumel. Ia masih saja kelakuannya cuma geleng-geleng. "Terus bagaimana caranya kita kencan didepan ribuan orang?"
"Astaghfirullah, Mbak! Kamu itu kenapa sih? Pikirannya anu-anuan mulu!" Dia protes.
"Lah kan bukannya kamu booking aku untuk itu? Kan itu kerjaan aku! Bagaimana sih?" Aku nyerocos."udahlah diam, nanti makin lama aku berdandan.
Benar saja dia menurut dan tak berkomentar apapun. Aku selesai dan langsung kembali memakai cadar lagi.
"Sudahkan? Ngga pakai drama lagi?" tanyanya, aku mengangguk, berjalan dengan lemah lembut. Ia tersenyum, berjalan beriringan.
Benar apa yang dia katakan, bahwa ada ribuan orang disana. Panggung besar dengan lampu yang besar menyorot pada ribuan orang. Bahkan saat kami lewat harus dijaga oleh polisi. Sebenarnya acara apa ini?
"Nanti kamu ke sebelah sana ya!" Dia menunjuk pada sisi kiri dimana di atas panggung ada beberapa perempuan berhijab dan berpakaian putih. Kemudian disisi kiri juga ada segerombolan laki-laki berpeci putih.
Aku melihat dekor di panggung yang menampilkan foto laki-laki yang membooking aku dengan tulisan "Gebyar salawat bersama ustadz Abu Bakar."
Aku melonggo, tak percaya bahwa aku ini di booking bukan untuk tidur dengannya melainkan untuk ikut bersalawat.
"Duh ... Sepertinya ada bau-bau tak enak ini jika dilanjutkan!" gumamku, aku celingukan.
"Ngga usah berniat kabur!" Dia membisikkan itu tepat ditelingaku. Aku menatapnya sinis.
Tahu begini ogah aku! Bukan ngga mau, tapi merasa belum pantas saja. Wanita hina berlumpur dosa harus berkumpul dengan para bidadari.
Dia memberi aku jalan agar bisa lebih dulu, suasana riuh kala melihat kami menaiki panggung. Ah, lebih tepatnya dia yang jadi pusat perhatian.
Aku duduk sesuai perintah tadi. Para wanita itu memberi aku duduk didepan dan tak membiarkan aku di belakang.
"Uhty, sini saja bareng Ning!" Dia menunjuk pada wanita yang tadi didepan mencuri pandang pada Abu.
"Oh ... Jadi dia namanya Ning? Kok kampungan banget sih namanya!" Aku melirik sekilas padanya. Dia memang cantik dan kalem. Wajahnya putih, matanya sendu dengan hidung bangir dan bibir tipis.
"Monggo, Ning!" Dia menyerahkan buku padaku. Kenapa dia yang bernama Ning justru memanggil aku Ning?
"Kalau boleh tahu, Ning ini dari pesantren mana?" tanyanya lagi. Tentu aku celingukan. Lagi-lagi dia panggil aku Ning, heran aku!
"Eee, anu ... Aku dari pesantren Utara!" Aku menjawab asal. Dia mengerutkan kening.
"Pesantren Utara? Dimana itu?"
Dia itu kepo banget sih, kan aku sebel jadinya.
"Maaf ya, jangan panggil aku, Ning! Kamu sendiri yang bernama Ning kok manggil aku Ning juga. Namaku Kiara!" Aku berkata sedikit keras. Bahkan sampai dibagian laki-laki menoleh.
Dia terlihat bingung. Aku sih masa bodoh. Membuka buku yang ternyata tulisannya Arab semua. Bagaimana aku bisa baca?
Aku sampai keringetan memegang buku itu, kulihat Abu dengan santai dan duduk bersila tenang. Berbeda dengan aku yang gemetar karena melihat didepan sana lautan manusia.
Duh, bagaimana nanti kalau aku dapat giliran baca? Mana bisa aku baca beginian. Dulu saja aku ngajinya cuma sampai iqro dua. Apalagi ini tulisan Arab ngga ada tanda harakatnya.
Didepan mix mulai dihidupkan. Kibaran bendera hijau di bawah panggung terlihat ramai. Lampu warna warni serta riuh suara membuat suasana makin sumringah. Hanya hatiku saja yang sepertinya galau.
Setelah sambutan dan sambutan, juga ceramah dari pemilik pesantren. Suara MC mengatakan bahwa tiba waktunya akan dimulai acara gebyar salawat yang di hadiri oleh Ustadz Abu.
Tepuk tangan terdengar memekakkan telinga. Aku sampai merasa berdenging karena kerasnya.
"Kita awali salawat pertama, salawat badar yang akan di mulai oleh Ning Sukma, beri tepuk tangan!" MC menyebutkan dan mengarahkan tangan pada wanita tadi. Dia mulai membenar mic.
Ah salawat badar mah kecil! Aku hafal itu. Salawat badar, salawat nariah mah diluar kepala.
Satu wanita memberikan aku mix juga, tentu aku tak dapat menolaknya. Dengan percaya diri, aku yakin bisa. Lagian kalau suara tak perlu diragukan karena walau sekarang jadi Kupu-Kupu malam dulunya juga ratu dangdut.
Wanita yang disebutkan dengan nama panjang Ning Sukma mulai bersuara. Suaranya lembut dan melengking. Cukup bagus untuk bersalawat. Aku ikut bersalawat walau dengan pelan dan mix kujauhkan. Rasanya sudah lama aku tak mengagungkan sang pemilik segala alam.
Aku yang merasa putus asa dengan kehidupan, mencoba berjalan tanpa tujuan apalagi Tuhan. Keyakinan aku bahwa tanpa campur tangan Tuhan aku tetap bisa begini. Mungkin aku kurang bersyukur.
Saat tengah melamun dengan mulut mengucapkan shalawat tiba-tiba musik berhenti, begitu juga dengan Ning itu. Tentu hanya suaraku yang terdengar di mic.
Aku dicolek oleh wanita yang duduk tepat dibelakang aku hingga tersadar. Sejenak hening saat aku menghentikan shalawat yang aku kumandangkan sampai akhirnya kembali tepuk tangan riuh terdengar.
Aku melirik pada Ning Sukma yang terlihat menutupi mulutnya. Tapi aku yakin dia tengah mengejekku. Sialan!
Aku mendengkus kesal. Bunyi suara rebana terdengar namun belum ada tanda-tanda Abu mulai bersuara. Aku penasaran bagaimana laki-laki itu seperti sangat di puja-puja. Bahkan tadi sempat dengar saat menaiki panggung, jika dia diberi sebutan raja shalawat di Nusantara.
Membuat aku penasaran. Aku memilih memilin buku tadi, sedangkan Ning Sukma tengah berbincang dengan sebelahnya dengan mata menatap lekat pada Abu.
"Ehemm!" Aku berdehem agar ia menghentikan acara hibahnya.
Dia seketika membenarkan duduknya. Tepat disaat suara Abu mulai terdengar. Baru satu kata yang terucap namun luar biasa antusias pengunjung.
"Suaranya?" Aku seperti ingin pingsan tapi tak punya sandaran. Suaranya begitu indah dan empuk. Sangat nyaman ditelinga.
'Ah, sepertinya boleh juga kalau besok kita ajak duet lagu dangdut!'
Aku hampir dibuat terlena oleh suaranya. Seperti menghipnotis, adem, tenang dan juga nyaman. Bahkan yang mendengar seolah ikut larut dalam kekhusuannya.Aku tertunduk lesu, bagaimana pun aku merasa tak pantas disini, menjadi bagian dari orang-orang yang mengagungkan nama Allah, sedangkan diri ini?Ah, aku memang manusia hina, tapi bukan berarti aku tak punya do'a yang selalu aku panjatkan. Menjadi manusia lebih baik tentunya itu do'a utama tapi entah kapan itu terjadi. Jalan itu belum terlihat.Andai Ayah berhenti berjudi, bekerja layaknya suami yang tangung jawab pada istri dan anak-anaknya. Mungkin, aku lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang halal.Sayangnya, ayahku yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu, tak jua insaf. Justru makin menjadi-jadi. Ibu harus banting tulang untuk sehari-hari dan akulah yang harus memberikannya uang untuk judinya. Jika tidak begitu, uang Ibu akan diminta dan aku kasihan pada adik-adikku yang masih harus sekolah.Aku anak pertama dari tiga b
Aku memilih diam, setelah merasa malu karena minimnya ilmu. Tentu aku yang bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan ahli agama, tentu tak tahu menahu tentang panggilan khusus itu."Duh, malunya jika nanti aku ketemu Ning Sukma lagi," aku membatin, tapi kemudian sadar kalau Ning Sukma tak mengenali wajahku. Jadi buat apa aku malu?Aku memilih diam, bermain ponsel adalah jalan ninjaku agar tak terasa boring. "Mbak mau turun dimana?" tanyanya membuyarkan konsentrasiku."Ditempat tadi juga ngga papa, Mas Abu gosok!" ujarku."Ini ngga ke hotel dulu, Tadz. Mubasir loh udah di booking ngga dipakai. Aku juga mau," celoteh si supir."Hust, ngga boleh, Pak! Aku tak akan mengizinkan itu. Kalau bisa do'akan dia agar segera berhenti dari pekerjaannya. Mencari pekerjaan yang lebih halal." Kali ini Abu gosok menimpali.Aku cuek dan pura-pura tak mendengar. Takut lama-lama dia malah tauziah, kan males jadinya."Mbak, kapan mau taubat dan berhenti menjadi Kupu-Kupu malam?" tanyanya kemudian padaku.
Mataku membulat sempurna kala melihat uang merah yang jumlahnya tak sedikit."Astaga, ini?" Aku mulai menghitungnya yang ternyata berjumlah empat puluh lima, artinya keseluruhan uang yang dia berikan adalah lima juta."Andai tiap malam nemu pelanggan yang beginian terus, cepat tobat aku." Aku bergumam sendiri. Memandangi uang pecahan seratus ribu itu.Aku tersenyum mengingat wajah Abu gosok. Pemuda berwajah bersih dengan jambang tipis didagu sampai ke pipi. Ah! Kini imajinasi aku melayang jauh. Merasakan bagaimana jika Jampang itu menyentuh pipiku.Hufh, Kiara kamu jangan ngimpi terlalu tinggi. Benar kata sopir usil itu, jika tak mungkin seorang ustadz tampan nan terkenal menikah dengan seorang pe la cur seperti dirinya. Sadar diri sepertinya lebih baik, tapi jujur hati ini begitu tertarik akan dirinya.Apa aku akan menjadi punguk yang merindukan bulan?Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Bahkan uang pun masih tergeletak di kasur. Membayangkan wajah sang ustadz tampan itu seolah
Mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Ya Allah ... Ampunilah dosa-dosaku! Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.Aku membuka mata, merasakan sakit yang teramat dibagian kepala. Aku memeganginya dan mendapati sudah diperban.Kutatap sekeliling dan baju yang aku gunakan. Aku sudah berada di rumah sakit."Dok, dia sudah sadar!" Seorang suster berkata pada laki-laki yang berjas putih dengan stetoskop di lehernya."Sudah sadar, Mbak? Apa yang anda rasakan?" Dia mulai menempelkan stetoskop pada dada bagian atas ku."Ini sakit banget, Dok." Aku menjawab dengan jujur."Iya, Mbak. Itu luka cukup lebar, bahkan sampai sepuluh jahitan. Apa pusing atau mual?" tanya dokter lagi."Sedikit, Dok.""Ya sudah, kita lihat perkembangannya lagi. Istirahat ya!" Setelah dokter selesai memeriksa, ia pun keluar. Tak lama muncul seorang gadis masuk."Mbak sudah sadar? Siapa yang bisa saya hubungi, Mbak. Takutnya keluarga khawatir." gadis itu terlihat panik. Aku menyempitkan mata."Ngga papa, Dek. Aku sendiri
"Astaghfirullah!" Abu gosok meletakan aku pada brankar dengan kasar. Bahkan aku sampai sakit pinggang."Pelan kenapa? Sakit tahu!" Gerutuku. "Ngga usah ketakutan begitu, Allah pasti mengampuni dosa-dosa hambanya yang tak sengaja." Sengaja aku menyindir, seperti kata dia tadi."Kalau apa-apa panggil saja aku! Jangan lakukan apapun sendiri. Aku ngga mau kamu makin parah karena nanti adikku yang akan disalahkan!" ujarnya dengan nada sedikit ketus. Aku memilih memalingkan wajah.Dia mengaduh dan mengangkat kakinya yang berdarah."Astaga! Itu kena beling, Bu!" ujarku melihat dia tapi tak dapat berbuat apapun.Dia berjalan dengan pincang menuju sofa. Mencoba mencabut pecahan gelas yang menancap pada kakinya.Aku memanggil suster saat melihat ada suster lewat."Sus, bisa bantu obati lukanya dan sapu pecahan kacanya!" "Baik, Mbak. sebentar saya ambil alatnya."Tak lama datang dua suster, satu memegang sapu satunya membawa kotak P3K."Saya obati ya, Mas!" ujar suster yang bertugas mengobati
"Apa aku terlalu percaya diri? Atau kamu yang terlalu serius menanggapi sampai expresinya begitu!" Kelakarku. Melihat dia yang kaget seperti itu membuat aku kasihan padanya.Lagian jika aku yang dinikahi dia, bagaimana dia akan menyembunyikan wajahnya. Dia itu ustadz terkenal, masa nikah sama pe la cur seperti aku.Walau aku tahu, Allah maha pemurah, tapi jelas aku dan dia tetaplah berbeda. Dia rajin ibadah dan berpendidikan tentu akan mencari yang sepadan. Mana mau dia sama aku yang sekolah pun hanya SD dan ngaji cuma sampai jilid dua. Bisa di ketawain jamaah kalau pas manggung. "Ah, sepertinya kamu memang terlalu percaya diri. Kalau dilihat dari prinsip kamu, aku suka. Kamu itu pekerja keras dan optimis, bahkan sangat profesional." Pujinya membuat wajahku memerah.Tentu semua itu dari pengalaman masa lalu. Semua yang terbentuk dari diri seseorang sebagian besar adalah dari pengalaman masa lalu.Aku yang memiliki keluarga utuh namun tak harmonis, tentu tetap berefek pada aku yang me
Menjadi seorang ustadz bukan hal yang mudah dilalui, bukan juga sebuah kebanggaan yang harus dipamerkan.Tentu setiap manusia memiliki sisi kelam, begitu pun dengan aku. Walau sekarang mencoba untuk memperbaiki diri, juga Allah bukakan jalan taubat juga rezeki yang mengalir deras. Namun semua itu tetap menjadi noda hitam dalam hidupku.Itulah kenapa aku tak memandang rendah seseorang walau aku sudah tinggi. Aku tak malu bahkan tak segan bergaul dengan siapapun, dari preman, penjahat atau bahkan pelacur. Bagi aku selama mereka tak lagi menjerumuskan aku kepada dosa yang lebih besar lagi, itu hal yang wajar.Bahkan tentu aku harapkan mereka mau bertaubat, walau aku bukan ahli tauziah setidaknya pendekatan pelan aku mampu menyentuh hatinya."Tadz, apa ngga capek setiap mau tampil, Ustadz itu selalu saja bawa orang-orang ngga bener numpang. Saya sampai heran loh, Tadz. Duh ... Apalagi malam ini, bawa Pe la cur yang sangat percaya diri seperti wanita tadi," ujar Pak Yono supir yang selalu
"Terima kasih sudah mengurus semuanya." Aku berkata dengan datar. Malu karena topeng aku yang sebenarnya sudah ia ketahui.Dia tersenyum nakal, seolah tengah mengejek aku yang masih tak bisa berkata-kata setelah terbongkarnya aibku. Aib karena aku menggunakan nama samaran.***Aku memilih mengemasi barang-barang sendiri. Walau memang tadi suster mengatakan jika akan ada yang menjemput aku dan mengantarkan, tentu aku tak mau semua dilakukan orang lain. Pelan-pelan aku mulai mengemasi apa yang dibawa pulang."Assalamualaikum ...." Abu Gosok datang tepat waktu. Aku sudah selesai berberes."Sudah selesai?" tanyanya heran ketika melihat semuanya rapi."Iya, karena aku sudah tak sabar untuk tidur dikasurku yang empuk," ujarku dengan berdiri setelah tadi tengah duduk."Kamu aku bawa ke pesantren dan tinggal disana!" ucapnya tanpa penawaran."Apa? Aku di suruh tinggal di pesantren? Gila kamu ya! Apa aku harus me la cur disana?" Aku yang kaget langsung mencoba menatapnya. Mencari keseriusan da