"Maksudmu, Mas?""Iya, aku ingin hadiahku karena aku sudah bekerja dengan baik. Bisakah aku memintanya sekarang?"Edwin bertanya dengan tatapan yang tampak begitu nakal dan menggoda. Senyumnya tersungging dan Davina langsung mengerti hadiah apa yang diinginkan oleh pria itu. Dan entah darimana dorongan itu berasal, Davina juga ingin menggoda pria itu sesekali."Lalu bagaimana kamu akan menikmati hadiahmu, Sayang?" Ucap Davina sembari mengelus dada Edwin dengan kedua telapak tangannya.Edwin mendekatkan bibirnya ke telinga Davina dan berbisik dengan suaranya yang seksi."Di meja ini. Aku akan menikmati hadiah itu di meja ini. Sepuasnya hingga kita berdua lelah."Davina melingkarkan lengannya memeluk Edwin dengan begitu erat. Bibirnya memagut bibir Edwin dan mencium kekasihnya dengan begitu dalam. Edwin melumat bibir manis itu dan sesekali menggigitnya. Bibir keduanya saling terbuka dan lidah saling beradu dalam ciuman yang begitu sensual.Tangan Edwin yang melingkar di pinggul Davina d
"Sayang, aku ke kantor dulu ya."Edwin berpamitan kepada Davina untuk ke kantor di hari Sabtu. Sesuatu yang benar-benar aneh dan tidak bisa dimengerti Davina. Karena Edwin selalu menyisihkan akhir pekannya di rumah. Menghabiskan waktunya bersama Davina dan Clay."Tumben, Mas? Biasanya kamu selalu libur kalau Sabtu.""Ada urusan mendadak. Aku pergi sama Roni kok, jangan khawatir ya." Jawab Edwin sambil tersenyum.Bohong. Davina tahu benar itu semua bohong. Edwin bahkan tidak pernah merasa perlu untuk menjelaskan dengan siapa ia pergi jika tidak ada sesuatu yang ia tutupi. Seolah Edwin berusaha keras meyakinkan Davina agar percaya bahwa Edwin benar-benar pergi ke kantor."Kalau begitu hati-hati di jalan, Mas. Makan siang di rumah saja ya? Aku akan memasak makanan kesukaanmu."Edwin memeluk Davina dan mengecup kening kekasihnya itu. Tangannya membelai pipi Davina dan matanya menatap Davina seolah ada sesuatu yang ia ingin ceritakan. Namun Edwin mengurungkannya. Membiarkan kebenaran itu k
"Vin, tunggu! Jangan pergi!"Edwin mengejar Davina dengan begitu tergopoh-gopoh. Davina menghentikan langkahnya dan terdiam tanpa menoleh ke arah Edwin."Ron, tolong kamu bawa mobil saya pulang. Biar saya pulang bersama Davina."Roni mengangguk dan segera pergi meninggalkan bosnya dan Davina."Kenapa kamu melakukan semua itu, Mas?" Tanya Davina saat keduanya berada di dalam mobil."Karena aku tidak mau kamu kecewa, Vin. Kamu sudah merindukan ayahmu begitu lama dan aku tahu harapanmu pasti sangat besar padanya. Aku tidak ingin kamu sedih saat mengetahui yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin kamu terluka, Sayang." Ujar Edwin sembari membelai lembut pipi Davina.Air mata mengalir dari mata indah itu. Membasahi pipinya dan menjadi tangisan sunyi di dalam mobil yang bergerak membelah jalanan."Aku malu, Mas. Aku malu mengakui pria itu sebagai Papaku." Ucap Davina dengan begitu lirih.Edwin menghentikan mobilnya di sebuah ruas jalanan yang lengang. Sepertinya Davina memang membutuhkan wakt
Lantunan musik indah terdengar memenuhi ballroom tempat pernikahan Davina dan Edwin akan dilaksanakan. Semuanya tampak begitu indah. Dekorasi dengan nuansa putih dan emas. Bunga-bunga cantik yang berada hampir di setiap jengkal ruangan, karpet merah yang mengantarkan keduanya ke pelaminan. Seperti negeri dongeng. Semuanya tampak begitu sempurna dan begitu menggambarkan perasaan sang pengantin hari ini.Davina menatap pantulannya di cermin. Ia tampak begitu memukau dengan pulasan riasan yang sangat apik. Bahkan Davina tampak secantik pengantin yang sering ia lihat di televisi. Begitu anggun dan elegan. Namun juga tampak hangat dan bersahabat. Seperti Davina."Cantik sekali, Mbak Vina. Saya yakin Mas Edwin pasti akan terpesona sekali." Puji Mbak Sekar, perias yang bertanggung jawab kepada Davina di hari spesialnya."Terimakasih banyak, Mbak Sekar. Mbak memang hebat sekali." Balas Davina kagum.Tak berapa lama, seorang wanita masuk ke ruangannya. Davina melihatnya dari cermin di hadapan
Pesta pernikahan itu berlalu bak sebuah film yang ditayangkan di depan mata. Adegan demi adegan dan momen demi momen berkelebat dan melayang. Tanpa terasa, tiga jam berlalu dan pesta pernikahan Davina dan Edwin resmi selesai. Keduanya sudah sah sebagai suami isteri dan berjanji akan ada di sisi satu sama lain hingga maut memisahkan.Tamu yang datang menyalami pasangan pengantin satu persatu. Mengucapkan selamat berbahagia, memuji betapa cantik dan tampannya kedua mempelai, dan ucapan indah lainnya. Sungguh, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Davina dan Edwin.Davina akhirnya bisa menikah dengan Edwin dan Edwin memberikan Davina kesempatan untuk melakukan pernikahan impiannya. Sementara Edwin, akhirnya menemukan cintanya setelah pencarian yang begitu panjang. Menemukan tempat kapalnya akan berlabuh setiap hari. Tempat dimana ia akan menemukan kehangatan dan kenyamanan dari seorang isteri. Dan tempat itu adalah Davina."Duh, pengantin baru, kalian mau bulan mau kemana s
"Clay! Hati-hati! Disana licin loh!"Davina berlari tergopoh-gopoh mengejar seorang bocah laki-laki berusia enam tahun yang berlari tak jauh darinya. Anak gemuk itu tampak begitu senang bermain dengan Davina.Belumlah lima menit dari kata-kata Davina diucapkan, bocah bernama Clay itu jatuh tersungkur karena terpeleset. Alhasil, Clay menangis begitu kencang dan membuat Davina berseru kaget."Clay!" Seru Davina panik sambil berlari mengejar Clay.Davina langsung menggendong Clay dalam pelukannya. Berusaha menenangkan anak itu agar tidak menangis lagi. Namun Clay malah makin menangis di dalam pelukan Davina. Jari-jarinya yang pendek dan gemuk meremas baju Davina karena menahan sakit."Sakit sekali, Miss." Ucap Clay lirih.Davina dengan cekatan membawa Clay masuk ke dalam klinik sekolah. Ia mendudukkan anak laki-laki itu di kasur pasien dan segera mencari kotak P3K untuk mengobatinya."Sabar ya, Clay. Miss Davina akan segera mengobati kamu. Miss janji nanti Clay tidak akan kesakitan lagi.
Bocah kecil bernama Clay itu berlari dengan gembira masuk ke rumah mewahnya. Sang ayah hanya tertawa kecil melihat anaknya yang tampak begitu bahagia. Clay memang selalu seperti itu. Ceria setiap saat terlebih lagi sejak dia mulai sekolah. Sepertinya Clay benar-benar menyukai sekolah barunya, khususnya gurunya yang bernama Davina itu."Bi, tolong bawakan tas Clay ke dalam ya." Pinta ayah Clay, Edwin, kepada asisten rumah tangganya.Wanita paruh baya yang kerap dipanggil Mbak Murni itu mengangguk patuh. Ia mengambil tas Clay dari tangan Edwin dan menggandeng Clay masuk ke kamarnya. Hendak mengganti baju Clay dengan pakaian bersih.Beberapa menit kemudian, Clay sudah menghilang di balik tangga bersama Mbak Murni. Edwin segera berjalan masuk ke ruang kerjanya dan menutup pintu ruangan itu seketika. Pria bertubuh tinggi atletis itu lalu duduk di kursi kerjanya yang nyaman. Menyenderkan punggungnya dan memijat keningnya yang sedikit berdenyut.Barulah ia hendak terlelap sebentar dalam tidu
Davina menyapa seluruh muridnya dengan ceria. Kebiasaan rutinnya setiap kali membuka kelasnya. Dan anak-anak itu juga membalas sapaannya dengan sama hebohnya. Gadis itu mengamati satu persatu muridnya yang hari ini tampak sangat menggemaskan dengan baju daerah.Hari ini akan diadakan karnaval mini di lingkungan sekolah dan setiap anak wajib memakai pakaian adat dari berbagai daerah. Ada yang tampak memakai baju adat Jawa Tengah. Dan ada pula yang memakai baju kebesaran khas Bugis di tubuhnya. Semua anak ini terlihat menggemaskan dan rasanya Davina ingin memeluk mereka satu persatu."Okay, class! Seperti yang Miss katakan kemarin, kita akan mengadakan karnaval kecil di lingkungan sekolah kita kan?" Ujar Davina bersemangat."Iya, Miss!" Jawab muridnya serempak.Davina menepuk kedua belah tangannya."Nah, jadi sekarang ayo kita berbaris membentuk kereta api dan berjalan keluar ya! Nanti kita akan bergabung dengan teman-teman dari kelas lain juga!" Ajak Davina lagi.Dengan tertib, anak-an