Share

Bab 14

Author: Gunung Api
Delis sulit tidur sepanjang malam.

Dia berguling-guling di tempat tidur dan tidak bisa tidur. Sesekali dia mengeluarkan ponselnya dan melihat foto Kelven berulang kali.

Akhirnya, pada pukul dua belas malam, Delas tak tahan lagi dan menelepon Kelven.

Ternyata Kelven belum tidur, hanya beberapa detik berdering, dia sudah menjawab panggilannya.

“Ada apa?” terdengar suara merdu penuh pesona pria itu.

Delis bersembunyi di balik selimut, menggigit tangannya, suaranya gemetar ketika berbicara,

“Kelven, aku merindukanmu.”

Ingin bersamanya dan ingin bertemu dengannya.

Memikirkan sebelumnya, Kelven selalu memeluknya setiap malam.

Kelven menggenggam ponselnya, menatap Herli yang masih belum tidur. “Aku keluar sebentar untuk angkat telepon.”

Herli langsung berpura-pura buta dan berkata,

“Kelven, jangan pergi. Aku nggak bisa lihat apa-apa, jangan tinggalkan aku.”

Kelven berkata, “Aku hanya di depan pintu.”

Setelah keluar dari ruangan, Kelven baru bertanya pada lawan bicara di balik telepon, “Kamu di mana?”

Tentu saja Delis mendengar suara teriakan tangisan Herli.

Meskipun dia tak suka, dia harus berpura-pura seolah tidak apa-apa. “Aku di kampus.”

“Aku nggak bisa pergi sekarang, Herli belum tidur.”

Mendengar ini, perasaan Delis tidak enak, dia berkata, “Yasudah, kamu temani dia saja, aku akan menutup teleponnya.”

“Iya, istira … Herli.”

Belum selesai Kelven bicara, dia melihat Herli berdiri sendiri dari tempat tidur dan mencoba berjalan keluar.

Melihat Herli yang hampir jatuh, Kelven langsung mendekat dan menopangnya.

Herli yang ditopang langsung memeluk erat Kelven, sambil menangis ketakutan, dia berteriak histeris,

“Kelven, Kelven jangan tinggalkan aku. Aku hanya punya kamu sekarang. Aku nggak bisa lihat apa-apa. Hanya ketika ada kamu di sampingku aku merasa aman.”

“Kelven, peluk aku, aku takut.”

“Jangan takut, ada aku di sini, aku nggak akan tinggalkan kamu.”

Seketika Kelven lupa bahwa teleponnya masih terhubung. Dia memasukkan ponsel ke dalam saku dan memeluk Herli, lalu mereka kembali ke ruangan.

Di dalam asrama, Delis yang berada di bawah selimut mematikan panggilan teleponnya. Air matanya tidak bisa dihentikan.

Suaminya sudah menjadi milik orang lain.

Ketika bersama Herli, Kelven juga begitu lembut dan perhatian.

Ternyata dia bersikap seperti itu terhadap setiap wanita.

Tidak heran Kelven tak ingin dirinya hamil, ternyata khawatir akan menimbulkan masalah ke depannya. Khawatir akan adanya keterlibatan yang rumit.

Delis menggulung dirinya, kedua tangannya menyentuh perutnya. Merenungkan dirinya sedang hamil, sementara Kelven tak lagi menginginkannya, membuat Delis sangat putus asa, tidak tahu harus bagaimana.

Delis menggigit tangannya sendiri, berusaha keras untuk tidak membiarkan tangisannya terdengar.

Malam ini, dia tidak tidur lagi sepanjang malam.

Sehingga ketika ujian pada hari berikutnya, dia benar-benar tidak bisa fokus.

Setelah melewati ujian yang begitu sulit, dia mendapat panggilan dari Kelven.

Delis melihat layar ponselnya untuk waktu yang lama dan tidak menjawab panggilan tersebut.

Namun, pada akhirnya Delis mengangkatnya.

Di balik telepon, pria itu bertanya, “Kenapa tidak angkat begitu lama?”

Dengan nada penuh kekesalan, Delis menjawab, “Aku nggak dengar. Ada apa?”

Nadanya juga terdengar lebih dingin.

Kelven menyadarinya, tetapi dia tidak menghiraukannya. Dengan suara datar, dia berkata, “Hari ini Herli sudah bisa keluar rumah sakit, aku akan menjemputnya … “

“Kelven, bisakah kamu nggak membahas dia di depanku? Aku tahu kalian dua seperti bayangan yang tak bisa dipisahkan. Aku nggak akan kesal kalau nggak melihatnya. Kenapa kamu harus membicarakannya denganku?”

Delis tak dapat menahan emosionalnya.

Dulu, Delis tak pernah berani marah pada Kelven, tetapi kali ini dia tak bisa mengendalikan dirinya.

Delis marah, sangat marah.

Ledakan kemarahannya juga memicu kekesalan pria itu.

“Delis, kamu semakin berani ya? Berani sekali kamu bicara seperti ini padaku.”

Delis hendak membalas, tetapi tidak jauh darinya, ada seorang pemuda tampan berbaju putih mendekat, tersenyum dengan lembut sambil berjalan ke arahnya.

“Delis … “

Suara pemuda itu terdengar merdu, seperti kicauan belalang di musim panas.

Delis melihat pemuda itu semakin mendekat, dengan terburu-buru dia langsung menutup teleponnya dan menghindar.

Wiliam melihat Delis menghindarinya dan langsung mengejarnya. “Delis … “

Di sisi lain, Kelven juga mendengar jelas suara pria lain dari balik telepon.

Delis …

Panggilan yang begitu lembut.

Delis memiliki hubungan yang baik dengan lawan jenis di kampus?

Entah mengapa, tiba-tiba Kelven merasa gelisah tanpa alasan.

Ketika dirinya hendak menelepon balik, terdengar suara Herli di ruangan, “Kelven, kamu sudah siap?”

Kelven menyimpan ponselnya dan kembali ke ruangan. “Sudah, ayo kita pergi.”

Selama perjalanan, pikiran Kelven penuh dengan panggilan pria tadi.

Biasanya Delis tak akan mematikan telepon darinya.

Ketika pria itu memanggilnya, Delis bahkan tidak mengatakan apa-apa, langsung menutup teleponnya.

Delis bahkan berani marah padanya, sepertinya semakin dewasa, Delis semakin tidak menghargainya.

Sepertinya harus memberikan sedikit pelajaran padanya.

Setelah masuk ke gedung asrama, Delis akhirnya berhasil menghindari diri dari senior itu.

Begitu masuk ke asrama, dia melihat teman-teman sekamarnya sedang membereskan barang. Delis duduk di meja belajarnya dengan santai.

Novi bertanya, “Delis, kenapa kamu nggak membereskan barangmu? Sudah selesai ujian, sudah waktunya liburan.”

Delis tersenyum tipis dan menjawab, “Iya, aku istirahat sebentar dulu.”

“Tapi bukankah rumahmu di sini, orang tuamu pasti akan menjemputmu nanti, enak sekali! Nggak seperti aku, harus naik kereta api selama 5 jam untuk pulang, sungguh melelahkan.”

Delis tersenyum tanpa menjawab.

Membayangkan kembali ke rumah dan harus menjalani kehidupan sendirian di sana, membuatnya merasa lebih baik tak pulang.

Padahal dirinya sudah menikah, suaminya malah pergi menemani wanita lain. Delis tersenyum getir, memikirkan mungkin tidak ada istri yang begitu besar hati seperti dirinya di dunia ini.

Sebenarnya Delis juga tahu bahwa jika situasinya terus berlanjut seperti ini, hatinya akan hancur dan mungkin benar-benar akan meninggalkan Kelven.

“Delis, kami duluan ya, masih harus mengejar kereja api. Sampai jumpa.”

Teman-temannya sudah membawa koper dan bersiap-siap pergi.

Delis mengantar mereka keluar. Ketika tiga temannya sudah pergi, dia sendirian di dalam kamar asrama. Kesunyian membuatnya merasa takut.

Delis benci dengan ketenangan seperti ini.

Teringat masih ada Bibi Siti di rumah, Delis membereskan barang-barangnya dan pulang sendiri dengan kereta bawah tanah.

Ketika sampai di rumah sudah pukul enam sore.

Berdiri di depan rumah, Delis mengangkat tangan untuk menekan kata sandi, lalu membuka pintu dan masuk.

Kemudian!

Delis baru saja melangkah masuk ke dalam rumah, dia melihat pemandangan seorang pria dan wanita yang saling berpelukan di ruang tamu.

Dari sudut pandang dirinya, terlihat keduanya seperti sedang …

Berciuman?

Delis seperti dilanda petir di siang bolong. Tas di pundaknya jatuh, matanya terasa seperti kemasukan pasir, hidungnya terasa perih dan tenggorokkannya terasa kering.

Pada akhirnya, Delis benar-benar tidak bisa mengendalikan emosinya. Dia berbalik dan lari menjauh.

Ketika mendengar suara pergerakan, Kelven menoleh.

Melihat Delis kembali, Kelven dengan cepat meletakkan Herli di sofa. Dia hendak berbalik untuk memanggil Delis, tapi Herli menahan tangannya dan tidak melepaskannya.

“Kelven, apa yang mau kamu lakukan? Jangan tinggalkan aku.”

“Aku hanya mengambil barang di sana, nggak lama.”

Kelven melepaskan tangan Herli dan berjalan keluar dari vila.

Ketika Delis hendak meninggalkan halaman, Kelven memanggilnya, “Delis.”

Delis menghentikan langkahnya, air matanya mulai mengalir tanpa bisa dikendalikan.

Namun, dia tidak menangis dengan keras, hanya berusaha mempertahankan posisinya yang membelakangi Kelven.

Kelven berkata, “Mau ribut apa lagi kamu? Herli nggak bisa melihat sekarang dan kakinya masih belum sembuh. Aku hanya membantunya.”
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Visitor
Dokter nya dpt gelar nya sebagai dokter dri mn kok gak tau mata herli udah sembuh???
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Kenapa masih bertahan dari pada selalu sakit hati,mending tinggalin aja suami modelan kelven
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Paman, Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya   Bab 906

    Menerima ucapan selamat dari adiknya, Peter dan Angel juga mengangkat gelas mereka.“Adikku, selamat menempuh hidup baru.”Angel juga mengucapkan, “Delis, selamat menempuh hidup baru.”“Eh, aku juga.”Kelven yang merasa diabaikan juga mengangkat gelasnya dan berkata, “Kalau begitu, mari kita semua bersulang untuk kehidupan baru kita. Semoga cinta kita selalu abadi.”Keempat orang itu saling tersenyum dan bersiap untuk minum bersama.Namun tiba-tiba, gelas Delis diambil oleh Kelven dan diletakkan di samping.Delis memandangnya dengan bingung.Kelven menggantinya dengan segelas jus dan menyodorkannya ke hadapan Delis, sambil mengelus kepalanya dan berkata, “Kamu nggak cocok minum alkohol, minum jus saja.”Mereka punya rencana besar malam ini.Delis memang tidak kuat minum alkohol. Setiap kali meminum sedikit saja, dia bisa mabuk hingga lupa diri.Di malam yang indah seperti ini, Kelven tidak ingin Delis mabuk.“Iya, Delis nggak boleh minum alkohol, minum jus saja.”Ujar Peter, lalu menol

  • Paman, Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya   Bab 905

    Sepasang mata hitam menatap wanita kecil di sampingnya dengan kesal.“Kamu nggak bisa berbicara dengan sopan?”Delis tertawa kecil sambil berjalan ke depan, tidak mau berdebat dengan pria tua itu.Bagaimanapun, hari ini adalah hari yang special, dirinya harus tampil maksimal.Meski tidak begitu mempersiapkan diri.Namun, karena kakaknya sudah memesan ruang makan di hotel bintang enam, dirinya tidak mungkin datang dengan pakaian santai.Mungkin saja kak Angel berpakaian lebih cantik daripada dirinya.Kelven mengikuti langkah Dleis, lalu mereka masuk ke dalam lift.Di dalam lift yang sempit, pria tua itu terus memandangi wanita kecil di sampingnya.Melihat betapa muda dan cantiknya dia, lagi-lagi Kelven tidak bisa menahan diri untuk mendekat, merangkul pinggang kecilnya yang ramping dan mencium rambutnya yang harum dengan penuh hasrat.“Delis, kamu jujur padamu, kamu nggak merasa aku sudah tua, ‘kan?”Ehem, konon pria berusia empat puluhan sangat liar, dirinya masih belum berusia empat p

  • Paman, Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya   Bab 904

    Saat sedang menyetir, pria itu tetap menggenggam tangan wanita di sebelahnya dengan erat. Seolah-olah jika dirinya melepaskan genggamannya, istrinya akan terbang keluar dari jendela mobil.Angel mencoba menarik tangannya, tetapi tidak berhasil karena pria itu menggenggamnya terlalu erat.Angel mengingatkan, “Kamu melanggar aturan lalu lintas, lepaskan tanganku.”“Nggak mau, paling juga hanya kena tilang saja. Aku begitu susah payah, baru berhasil menikahimu. Kalau aku nggak menggenggam tanganmu, bagaimana kalau kamu melarikan diri?”Peter menatap lurus ke depan dan menyetir dengan serius, tetapi sudut bibirnya menyiratkan senyuman bahagia yang tak bisa disembunyikan.Angel memandangnya. Dari sudut pandangnya, Peter terlihat dengan hidung yang mancung, bibir yang tipis dan paras wajah yang tegas.Terlihat seperti seseorang yang begitu sempurna.Bagaimana bisa dirinya dipertemukan dengan orang seperti ini.Apa yang membuat dirinya layak menjadi istri pria ini?Hingga saat ini, Angel masi

  • Paman, Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya   Bab 903

    Namun mereka malah bermesraan di depan umum.Sungguh keterlaluan.Benar-benar memalukan.Angel setuju denga napa yang Delis katakan.Dua pria ini memang benar-benar tidak tahu malu.Tidak peduli dengan mereka, Angel dan Delis dengan menggendong Lesi, keluar lebih dulu dari kantor urusan sipil.Sementara itu, Kelven dan Peter yang masing-masing memegang dua surat nikah di tangan mereka, berjalan mendekat dan berjabat tangan, saling mengucapkan selamat.“Selamat, akhirnya kamu berhasil menikahi wanita yang kamu cintai.”Albert sungguh malang.Saat ini, dia mungkin sedang meringkuk di pojokan sambil menangis.Peter tertawa kecil dan menjawab, “Selamat juga untukmu, akhirnya berhasil menjebak adikku lagi.”Kelven tidak senang mendengar itu dan membalas, “Menjebak apa? Delis sukarela menikah denganku. Kamu bisa melihatnya sendiri, apakah aku memaksanya?”“Iya, dia sukarela,” jawab Peter.Eter tidak ingin berdebat dengannya dan berjalan keluar dari kantor urusan sipil.Kelven mengikutinya, l

  • Paman, Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya   Bab 902

    Saat menerima surat nikah, Peter begitu bersemangat hingga langsung memegang wajah kecil Angel dan menciumnya di depan para petugas.Angel merasa sangat canggung dan segera mendorongnya.“Hei, bisa nggak kamu sedikit lebih tenang.”Namun, bagaimana mungkin Peter bisa tenang. Dia malah berdiri dan menggendong Angel, lalu berputar di tempat dua kali, sambil berseru gembira,“Akhirnya kamu jadi istriku, aku akhirnya berhasil menikahimu … “Peter sepenuhnya larut dalam kebahagiaannya.Tidak peduli sama sekali dengan pandangan para petugas di sekitarnya.Saat ini, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.Sementara itu, Angel yang diputar hingga kepalanya pusing, sekilas melihat dua wajah yang familiar.Angel segera menepuk Peter, memberi isyarat agar Peter menurunkannya.Peter terpaksa menurunkan Angel. Saat dia hendak mencium wajahnya lagi, Angel berkata, “Lihat ke belakang, siapa itu?”Peter menoleh.Ketika melihat Delis dan Kelven yang sedang menertawakannya, dia merasa

  • Paman, Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya   Bab 901

    “Iya, aku sudah memikirkannya dengan matang. Bagaimana kalau hari ini?”Kelven tidak bisa menahan kegembiraannya, dia memeluk Delis dan menciumnya dengan keras. Kemudian berdiri dan menggendong anaknya.“Ayo, kita pergi ke kantor urusan sipil sekarang.”Lagipula, dokumen diri mereka selalu dibawa ke mana-mana.Delis tersenyum dan bertanya padanya, “Kamu nggak menyelesaikan pekerjaanmu dulu?”“Pekerjaanku nggak sepenting Delis.”“Baiklah.”Delis mengambil dokumen diri dari tasnya di atas meja dan bertanya pada Kelven, “Di mana punyamu?”“Di dalam mobil.”Jadi, mereka hanya berada di kantor kurang lebih satu jam dan buru-buru mengendarai mobil menuju kantor urusan sipil.Tak disangka.Saat mobil mereka berhenti di depan kantor urusan sipil, mereka melihat dua sosok yang familiar sedang menaiki tangga menuju gedung itu.Delis langsung berkata, “Kebetulan sekali! Kak Peter dan kak Angel juga datang mengurus surat pernikahan hari ini?”Kelven tersenyum dan menjawab, “Sepertinya hari ini mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status