LOGIN
Gundukan tanah itu sudah dipenuhi oleh berbagai macam bunga.
Semua orang sudah pergi, namun sang keluarga dari almarhum enggan mengangkat kakinya untuk meninggalkan area itu. Tepat di sebelah makam, dua sepasang anak dan Ibu sedang menangisi kepergian seseorang yang sangat penting dalam hidupnya. Alisha, perempuan yang sekarang berstatus janda itu, kini tengah tertunduk dalam. Mencoba menahan segala rasa sakit yang sedang menggerogoti jiwa dan hatinya. Mereka baru menjalani pernikahan selama 3 tahun, namun Tuhan sudah mengambil suaminya untuk selamanya. Di sebelahnya, Leon memandangi gundukan tanah itu dengan sorot ingin tahu. Bocah kecil yang baru berusia 3 tahun itu, masih belum menyadari jika di dalam tanah yang dingin—terdapat tubuh Ayahnya yang telah tiada. Beberapa kali Leon memanggil dan bertanya apa benda di depannya itu, namun tidak satupun orang berani menjawab termasuk Alisha. “Bunda, ayo pulang … katanya mau liburan bareng Ayah, ayo Bundaaaa,” Rengek bocah itu sembari menarik lengan baju hitam milik sang Bunda. Di belakang, keluarga dari pihak suami tidak bisa berkata-kata. Bagaimana mereka mengatakannya pada anak yang baru berusia 3 tahun, tentang kematian Ayahnya? Ivana melirik suaminya untuk membujuk sang cucu. Haris berjongkok dan menyentuh pundak kecil ringkih itu, perlahan. “Leon … kita pulang sekarang ya? Katanya mau liburan? Kan Ayahnya Leon udah dateng.” “Kalo udah dateng, kok gak bilang ke Bunda sama Leon?” “Mungkin Ayah capek, pulang kerja langsung istirahat.” Bocah itu nampak berfikir keras. Meskipun sudah di jelaskan, namun rasa mengganjal di hatinya masih terasa. Seperti ada yang kurang, tapi ia tidak tahu apa. “Bunda ayo pulang. Kata Kakek Ayah udah ada di rumah.” Alisha berusaha bangkit dengan tubuh sedikit lunglai. Selama 3 hari ini, dirinya tidak cukup istirahat. Makan pun tidak teratur. Dirinya bahkan hampir saja melupakan putranya yang masih membutuhkan perhatian khusus. Tepat saat berdiri dan berbalik, pandangannya bersibobok dengan mata pria di balik kacamata hitamnya. Alisha tahu siapa pria itu, namun dirinya tidak begitu akrab dengan dia. Alisha menggapai lengan mungil milik putranya, menggenggamnya erat. “Aku sama Leon … bakal netep di rumah. Gak papa, rumahnya juga gak terlalu besar. Ma … Pa … mulai hari ini aku akan tinggal berdua bareng Leon.” “Kok tinggal berdua sih, Bunda? Kan sama Ayah, harusnya bertiga.” Timpal Leon yang masih belum mengerti situasi saat ini. Bocah itu juga tidak terima jika sang Bunda mengatakan hal demikian. “Iya, bertiga. Bareng Ayah,” Jawab Alisha supaya putranya tidak terlalu banyak bertanya. “Kamu beneran mau tinggal sendiri? Kenapa gak bareng Mama aja di rumah, Al? Kita ini kamu anggap apa?” “Mama tahu bukan itu maksud aku.” Alisha berusaha mengelak. Meskipun keluarga Reygan amat menyayanginya, namun dirinya juga tidak ingin merepotkan siapapun termasuk mereka. Setelah kepergian suaminya, Alisha sudah memantapkan hati untuk tidak terlalu menyusahkan mertuanya, apalagi … pria itu. Dari awal bertemu, Alisha merasa jika pria itu susah sekali untuk di dekati. “Mama sama Papa gak perlu khawatir. Aku bisa jaga Leon dan diri aku sendiri. Aku juga bakal pulang ke rumah Ibu kalo misalnya aku butuh sesuatu.” “Alisha! Kami bertiga juga keluarga kamu! Suami kamu itu anak Mama dan Papa. Bukan cuma Reygan dan Sebastian, kamu juga sudah kami anggap sebagai putri kami sendiri!” Ivana marah, jelas. Perkataan Alisha yang nampak tidak terlalu peduli akan ikatan keluarga, dan menganggap remeh keluarganya, Sebastian fikir, Alisha memang sangat keterlaluan. Namun dirinya juga tidak sepenuhnya menyalahkan Kakak iparnya itu. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa kasihan dan sedih. Haris berusaha menenangkan istrinya. Ia tahu kalau Alisha tidak bermaksud berkata demikian. “Untuk saat ini, biarkan Alisha sendiri dulu bareng, Leon. Kita tahu gimana perasaannya sekarang, Ma. Nanti kalo udah tenang, baru kita bicarakan lagi.” Ivana mengangguk. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk membentak menantunya. Hanya saja perkataan Alisha memang sedikit menyinggung dirinya. Ivana melihat bagaimana keadaan menantunya saat ini. Mungkin dirinya sebagai orang tua sangat terpukul akan kepergian putranya. Tapi Alisha? Jelas lebih menyedihkan. Baru menjalani pernikahan 3 tahun, sudah di tinggal pergi untuk selamanya. Bersama putra satu-satunya yang masih amat kecil. “Maaf kalau perkataan aku udah bikin Mama tersinggung. Tapi untuk saat ini … aku mohon biarin aku sendiri. Aku juga masih sadar dan waras. Aku masih ada seseorang yang harus aku jaga.” ******** Alisha memandangi layar ponsel di genggamannya selama 2 jam. Setelah memikirkan banyak hal, ada baiknya jika dirinya dan juga Leon tinggal serumah bersama sang mertua. Lagipula Ivana juga selama ini selalu baik kepadanya. Tapi … rasa tidak enak inilah yang selalu menghantui untuk tidak merepotkan keluarga itu? Apalagi ibarat terputus, dirinya tak ada urusan apapun lagi. Tapi Leon … juga butuh keluarga bukan? Ketukan keras di pintu mendadak membuyarkan lamunannya. Alisha tersentak, buru-buru menoleh. Saat pintu dibuka, sosok Bastian berdiri di sana—tatapannya tegas, seolah tak memberi ruang untuk penolakan. “Siapkan Leon. Aku antar kalian ke rumah,” ucapnya singkat, suaranya berat tapi tak terbantahkan. Alisha terdiam. Suara itu seperti perintah, bukan tawaran Bastian tak pernah benar-benar ramah dengannya, bahkan sejak ia menikahi kakaknya. “Ambil barang kalian. Aku tunggu di mobil,” ucapnya singkat. Lalu meninggalkan Alisha yang membeku di daun pintu. Ia belum menyiapkan apapun untuk kepindahan. Jadi, ia berniat membawa beberapa pakaian untuk beberapa hari. “Kamu disuruh Mama?” tanya Alisha, lirih, saat melihat Bastian dengan enteng mengangkat koper miliknya. Ia mendekap Leon yang tertidur pulas di pelukannya, sementara langkahnya pelan mengikuti punggung bidang Bastian. Laki-laki itu tidak menjawab. Bahunya hanya sedikit menegang, seolah enggan menanggapi. “Bastian …,” Alisha mencoba lagi, suaranya nyaris berbisik. “Aku tidak ingin merepotkan siapa-siapa.” Kali ini, pria itu berhenti di depan pintu, lalu menoleh sekilas. Tatapan matanya menusuk, dingin, namun ada sesuatu yang sulit diterjemahkan di sana. “Kalau bukan karena Mama, aku nggak akan ke sini,” ujarnya datar. “Jadi jangan salah paham. Aku hanya memastikan Leon nggak kehilangan apa yang jadi haknya.”Alisha tertegun. Kata-kata itu terngiang di kepalanya—apa sebenarnya yang dimaksud Sebastian dengan ‘hak Leon’?
Yuuna mengompres kedua matanya dengan es batu yang sempat ia ambil didalam kulkas, saat ingin makan. Ternyata, efek dari perkataan itu sangat menguras seluruh energi dan juga batinnya. Siapa sangka, kedua matanya akan membengkak seperti ini layaknya disengat lebah? Maka dari itu Yuuna malu untuk turun, takut dianggap cengeng dan menyedihkan. Lagipula, ini tempat bukanlah rumahnya. Ia tidak ingin banyak tingkah dan memilih patuh. Saat melihat dicermin, kedua matanya tidak terlalu membengkak lagi. Tapi masih bisa dibilang masih meninggalkan jejak. Ketika es batu ditangannya mulai mencair, suara ketukan pintu mengejutkannya. Siapa lagi malam-malam begini yang mengetuk pintu kamarnya? Batin Yuuna. Tidak ingin membuatnya menunggu, Yuuna berdiri untuk membuka pintu. Sesaat tubuhnya terpaku dengan kedua mata sedikit dingin dan basah. Sosok didepan nya begitu menjulang tinggi seperti tiang listrik. “Abang?” Eh? Tanpa sadar Yuuna menutup mulutnya. Entah panggilannya yang terdengar salah,
Alisha mengetuk beberapa kali pintu kamar itu. Berharap sang pemilik membukanya dan turun untuk ikut makan malam. Tapi sepertinya, Yuuna tidak dengar atau mungkin … ada hal lain? Alisha berniat untuk masuk dan memeriksa. Saat pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, ternyata gadis itu meringkuk didalam selimut, mungkin sedang tidur. Ia melangkah pelan penuh kehati-hatian. Takut jika kedatangannya membangunkan gadis itu yang sedang terbuai kedalam mimpi. Saat Alisha sudah sampai di samping ranjang, hendak menyentuh kepala itu, suara Yuuna mengejutkannya. Sedikit serak dan bergetar. “Kakak, aku malam ini gak ikut makan malam.”“Loh, kenapa? Gak lapar?”Sebuah gelengan lemah membuatnya sedikit terkesiap. “Enggak. Cuma males aja mau makan. Kakak duluan aja, nanti kalau aku laper, aku turun makan.”Helaan nafas terdengar dan Alisha tidak memaksa. Jika itu kemauan Yuuna, ia pun tidak ingin bertindak lebih jauh lagi. Dari tadi pagi dirinya memang sudah berangkat untuk melihat keadaan toko.
Eh? Adik? Dia?Sontak dengan kepala ditengokan sedikit cepat, Reksa mulai mengamati gadis itu dari atas sampai bawah. Yuuna yang merasa diperhatikan, merasa risih dan canggung. “Lo bercanda?”“Enggak. Minggir,” Sebastian menyenggol bahu pria itu dan melewatinya. Masuk terlebih dahulu tanpa mempersilakan Reksa masuk. “Galak amat. Beberapa bulan gak ketemu, malah lihat cewek baru disini.” Reksa mengerling genit. Yuuna kaget lalu mendengus dan pergi begitu saja. Merasa tidak dihargai, Reksa melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumah. Ivana sudah terlebih dahulu berada diruang tamu, menyambut kedatangan Sebastian dan juga Reksa. “Eh? Ada Nak Reksa. Baru dateng apa dari tadi?”“Baru aja nyampek dari Jepang.” Reksa menyalami wanita itu dan tersenyum ramah. Sebastian yang duduk di sofa, tampak melonggarkan dasinya. Dari arah pintu belakang, sosok bertubuh mungil berlari mendatangi Reksa. “Eh ada Leon? Wah … Om kangen berat nih.”“Om Reksa kangen Leon? Kalau kangen oleh-olehnya mana?”
Karena Yuuna masih belum masuk sekolah, ditambah hari ini adalah hari minggu, jadi jadi dirinya harus ikut menjaga Leon bermain di halaman belakang. Bersama dengan Ivana lebih tepatnya. Yuuna berdeham pelan, saat Ivana sampai dan meletakan secangkir teh hangat diatas meja. Mereka sedang bersantai sesekali memperhatikan sekecil bermain layang-layang yang Sebastian beli waktu perjalanan pulang ke rumah. “Terima kasih.” Yuuna berucap sopan. Ia teguk teh hangat itu sedikit, merasakan hawa panas yang menjalar dari mulut hingga kedalam tubuh. “Kamu pasti terkejut saat tahu Alisha membelamu.” Ivana tiba-tiba berucap. Perihal itu, memang dirinya sangat terkejut. Tapi tidak ada yang bisa ia katakan saat itu. “Alisha … perempuan baik yang pernah saya temui.” Perempuan … baik? Jika diingat-ingat, saat pertemuannya dimalam itu, dan bagaimana dia memperlakukannya layaknya seorang adik, Yuuna tidak akan menyangkal perkataan Ivana. “Dia menantu saya yang paling saya hargai. Saya mengh
Yuuna berdiri didepan cermin.Dengan rasa gugup yang menyerang, gadis itu menatap dirinya dari atas sampai bawah tanpa sedikitpun melewatinya. Hari ini dirinya hanya ikut sarapan pagi, tapi entah kenapa seolah sedang menunggu antrean untuk interogasi selanjutnya. Dengan keyakinan yang kuat, Yuuna mulai melangkahkan kakinya keluar. Menapaki lantai marmer berwarna putih, ia mendengar suara bising dari bawah. Terutama saat suara bocah itu meramaikan suasana di meja makan. Saat hendak turun, dirinya termangu tepat di ujung anak tangga. Dapat ia lihat betapa harmonisnya keluarga itu, dan dirinya masuk begitu saja sebagai perusak suasana. Yuuna merasa demikian. Namun, ketika dirinya hendak berbalik untuk menuju kamar, suara lembut yang menyapanya terlebih dahulu, memanggilnya.Yuuna terkesiap. “Yuuna?” Gadis itu tak jadi pergi. Dengan gerakan pelan ia memutar tubuh, dan melihat bahwa Alusha sedang melambaikan tangan kearahnya. Reflek Yuuna membalas lambaian itu. Tidak peduli jika ada tata
Karena kalimat sudah terlanjur diucapkan, dan keputusan sudah terlanjur dibuat, dirinya tidak akan mundur. Dengan tekad yang kuat, Alisha mengucapkan kata yang hampir seluruh penghuni rumah terperangah tak percaya. Apalagi saat melihat ekspresi terkejut Ivana disebelahnya, antara menyesal dan juga terkejut.Haris sudah pergi dan menuju kamar, diruang tamu itu hanya ada mereka berempat. Leon masih duduk anteng namun matanya bergerak seolah ingin tahu siapa gadis didepannya itu.“Sayang, kamu yakin?” Beberapa kali Sebastian bertanya dan mengucapkan kata “yakin” dari bibirnya takut jika keputusan sang istri salah dan hanya sebatas kasihan semata. “Aku yakin.” Gadis didepan nya itu masih membutuhkan sekolah dan pendidikan. Mungkin dia juga ingin mengejar mimpinya. Meskipun keluarganya hancur akibat ulah sang Ayah, dapat ia lihat jika tekad pada diri gadis itu sangatlah besar. “Aku gak mungkin salah sama keputusan dan penilaianku sendiri.”Sebastian nampak menghela nafas, mungkin juga sed







