Home / Romansa / Paman Untuk Ibuku / 1. Prolog : Pindah Rumah

Share

Paman Untuk Ibuku
Paman Untuk Ibuku
Author: Mee Author

1. Prolog : Pindah Rumah

Author: Mee Author
last update Last Updated: 2025-09-03 23:42:14

Gundukan tanah itu sudah dipenuhi oleh berbagai macam bunga.

Semua orang sudah pergi, namun sang keluarga dari almarhum enggan mengangkat kakinya untuk meninggalkan area itu. Tepat di sebelah makam, dua sepasang anak dan Ibu sedang menangisi kepergian seseorang yang sangat penting dalam hidupnya.

Alisha, perempuan yang sekarang berstatus janda itu, kini tengah tertunduk dalam. Mencoba menahan segala rasa sakit yang sedang menggerogoti jiwa dan hatinya. Mereka baru menjalani pernikahan selama 3 tahun, namun Tuhan sudah mengambil suaminya untuk selamanya.

Di sebelahnya, Leon memandangi gundukan tanah itu dengan sorot ingin tahu. Bocah kecil yang baru berusia 3 tahun itu, masih belum menyadari jika di dalam tanah yang dingin—terdapat tubuh Ayahnya yang telah tiada. Beberapa kali Leon memanggil dan bertanya apa benda di depannya itu, namun tidak satupun orang berani menjawab termasuk Alisha.

“Bunda, ayo pulang … katanya mau liburan bareng Ayah, ayo Bundaaaa,”

Rengek bocah itu sembari menarik lengan baju hitam milik sang Bunda. Di belakang, keluarga dari pihak suami tidak bisa berkata-kata. Bagaimana mereka mengatakannya pada anak yang baru berusia 3 tahun, tentang kematian Ayahnya? Ivana melirik suaminya untuk membujuk sang cucu.

Haris berjongkok dan menyentuh pundak kecil ringkih itu, perlahan.

“Leon … kita pulang sekarang ya? Katanya mau liburan? Kan Ayahnya Leon udah dateng.”

“Kalo udah dateng, kok gak bilang ke Bunda sama Leon?”

“Mungkin Ayah capek, pulang kerja langsung istirahat.”

Bocah itu nampak berfikir keras. Meskipun sudah di jelaskan, namun rasa mengganjal di hatinya masih terasa. Seperti ada yang kurang, tapi ia tidak tahu apa.

“Bunda ayo pulang. Kata Kakek Ayah udah ada di rumah.”

Alisha berusaha bangkit dengan tubuh sedikit lunglai. Selama 3 hari ini, dirinya tidak cukup istirahat. Makan pun tidak teratur. Dirinya bahkan hampir saja melupakan putranya yang masih membutuhkan perhatian khusus. Tepat saat berdiri dan berbalik, pandangannya bersibobok dengan mata pria di balik kacamata hitamnya. Alisha tahu siapa pria itu, namun dirinya tidak begitu akrab dengan dia.

Alisha menggapai lengan mungil milik putranya, menggenggamnya erat.

“Aku sama Leon … bakal netep di rumah. Gak papa, rumahnya juga gak terlalu besar. Ma … Pa … mulai hari ini aku akan tinggal berdua bareng Leon.”

“Kok tinggal berdua sih, Bunda? Kan sama Ayah, harusnya bertiga.” Timpal Leon yang masih belum mengerti situasi saat ini. Bocah itu juga tidak terima jika sang Bunda mengatakan hal demikian.

“Iya, bertiga. Bareng Ayah,” Jawab Alisha supaya putranya tidak terlalu banyak bertanya.

“Kamu beneran mau tinggal sendiri? Kenapa gak bareng Mama aja di rumah, Al? Kita ini kamu anggap apa?”

“Mama tahu bukan itu maksud aku.” Alisha berusaha mengelak. Meskipun keluarga Reygan amat menyayanginya, namun dirinya juga tidak ingin merepotkan siapapun termasuk mereka. Setelah kepergian suaminya, Alisha sudah memantapkan hati untuk tidak terlalu menyusahkan mertuanya, apalagi … pria itu. Dari awal bertemu, Alisha merasa jika pria itu susah sekali untuk di dekati. “Mama sama Papa gak perlu khawatir. Aku bisa jaga Leon dan diri aku sendiri. Aku juga bakal pulang ke rumah Ibu kalo misalnya aku butuh sesuatu.”

“Alisha! Kami bertiga juga keluarga kamu! Suami kamu itu anak Mama dan Papa. Bukan cuma Reygan dan Sebastian, kamu juga sudah kami anggap sebagai putri kami sendiri!”

Ivana marah, jelas.

Perkataan Alisha yang nampak tidak terlalu peduli akan ikatan keluarga, dan menganggap remeh keluarganya, Sebastian fikir, Alisha memang sangat keterlaluan. Namun dirinya juga tidak sepenuhnya menyalahkan Kakak iparnya itu. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa kasihan dan sedih.

Haris berusaha menenangkan istrinya. Ia tahu kalau Alisha tidak bermaksud berkata demikian.

“Untuk saat ini, biarkan Alisha sendiri dulu bareng, Leon. Kita tahu gimana perasaannya sekarang, Ma. Nanti kalo udah tenang, baru kita bicarakan lagi.”

Ivana mengangguk. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk membentak menantunya. Hanya saja perkataan Alisha memang sedikit menyinggung dirinya. Ivana melihat bagaimana keadaan menantunya saat ini. Mungkin dirinya sebagai orang tua sangat terpukul akan kepergian putranya. Tapi Alisha? Jelas lebih menyedihkan. Baru menjalani pernikahan 3 tahun, sudah di tinggal pergi untuk selamanya. Bersama putra satu-satunya yang masih amat kecil.

“Maaf kalau perkataan aku udah bikin Mama tersinggung. Tapi untuk saat ini … aku mohon biarin aku sendiri. Aku juga masih sadar dan waras. Aku masih ada seseorang yang harus aku jaga.”

********

Alisha memandangi layar ponsel di genggamannya selama 2 jam. Setelah memikirkan banyak hal, ada baiknya jika dirinya dan juga Leon tinggal serumah bersama sang mertua. Lagipula Ivana juga selama ini selalu baik kepadanya. Tapi … rasa tidak enak inilah yang selalu menghantui untuk tidak merepotkan keluarga itu? Apalagi ibarat terputus, dirinya tak ada urusan apapun lagi.

Tapi Leon … juga butuh keluarga bukan?

Ketukan keras di pintu mendadak membuyarkan lamunannya. Alisha tersentak, buru-buru menoleh. Saat pintu dibuka, sosok Bastian berdiri di sana—tatapannya tegas, seolah tak memberi ruang untuk penolakan.

“Siapkan Leon. Aku antar kalian ke rumah,” ucapnya singkat, suaranya berat tapi tak terbantahkan.

Alisha terdiam. Suara itu seperti perintah, bukan tawaran

Bastian tak pernah benar-benar ramah dengannya, bahkan sejak ia menikahi kakaknya.

“Ambil barang kalian. Aku tunggu di mobil,” ucapnya singkat. Lalu meninggalkan Alisha yang membeku di daun pintu. Ia belum menyiapkan apapun untuk kepindahan.

Jadi, ia berniat membawa beberapa pakaian untuk beberapa hari.

“Kamu disuruh Mama?” tanya Alisha, lirih, saat melihat Bastian dengan enteng mengangkat koper miliknya.

Ia mendekap Leon yang tertidur pulas di pelukannya, sementara langkahnya pelan mengikuti punggung bidang Bastian.

Laki-laki itu tidak menjawab. Bahunya hanya sedikit menegang, seolah enggan menanggapi.

“Bastian …,” Alisha mencoba lagi, suaranya nyaris berbisik. “Aku tidak ingin merepotkan siapa-siapa.”

Kali ini, pria itu berhenti di depan pintu, lalu menoleh sekilas. Tatapan matanya menusuk, dingin, namun ada sesuatu yang sulit diterjemahkan di sana.

“Kalau bukan karena Mama, aku nggak akan ke sini,” ujarnya datar. “Jadi jangan salah paham. Aku hanya memastikan Leon nggak kehilangan apa yang jadi haknya.”

Alisha tertegun. Kata-kata itu terngiang di kepalanya—apa sebenarnya yang dimaksud Sebastian dengan ‘hak Leon’?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Paman Untuk Ibuku   11. Mereka Kenapa?

    Kedua alisnya kian mengkerut dalam saat mendapati putranya pulang dengan wajah tertekuk masam. Ada apa? Kenapa putranya seperti sedih? Di belakangnya sosok Sebastian baru turun dari dalam mobil. Biasanya … ketika mereka berdua pulang dari kantor, Alisha selalu melihat putranya itu riang gembira, melepas tawa lalu bercerita bagaimana dirinya begitu senang berada di kantor. Namun kali ini … hm, seperti ada yang salah. Lihatlah, saat Leon sudah ada di depannya, bocah itu diam dan tidak semangat seperti biasa. Alisha berjongkok, menyamai tinggi putranya. Sembari mengelus surai legam yang mirip seperti suaminya. “Kenapa? Kok tumben Leon diem?” Alisha berusaha untuk bertanya. Pandangannya beralih tepat di mana Sebastian berada, saat Leon mencuri pandang, namun dengan wajah sedikit … ketakutan. Alisha mulai was-was. Ekspresi Leon saat ini menggambarkan bahwa bocah ini sepertinya telah melakukan kesalahan entah apa itu. Karena ketika Sebastian ingin menyerahkan tas milik Leon, pria itu malah

  • Paman Untuk Ibuku   10. Cemburu

    Ini tidak bisa di biarkan. Beberapa kali bibirnya bergumam kasar bahkan sampai mengumpat pelan karena Leon berada di ruangannya. Ia berusaha untuk tidak bersuara takut jika keponakannya akan terdengar lalu menirunya. Jika Leon mendengar lalu balik mengucapkan apa yang ia katakan, Mau di taruh mana wajah tampannya ini ketika berhadapan dengan Alisha nanti? Ia tidak mau di cap sebagai Paman yang tidak bisa di andalkan. Tidak mau! Berkas di depannya juga memang kurang ajar. Sedari tadi dirinya memilah namun tidak ada yang cocok dan kurang pas. Alhasil Sebastian memanggil Hendi dan menyuruh pria itu untuk memperbaiki ulang. Entah kenapa dirinya menjadi berubah lelet seperti ini. Apa karena beberapa jam yang lalu ia melihat Alisha bersama Reksa? Meskipun hanya kawan lama, tapi dirinya merasa tidak tahan dan tidak nyaman. Ada perasaan kesal dan aneh di hatinya saat ini. Apa yang sedang mereka bicarakan? “Gue gak bisa gini terus. Apa gue harus tanya langsung sama Alisha? Kalau tanya lan

  • Paman Untuk Ibuku   9. Dia … Reksa

    Di sepanjang perjalanan, yakni di dalam mobil, bocah itu—Leon tak ada hentinya mengoceh tentang mainannya dan kebersamaannya dengan sang Bunda. Bagaimana dia menjahilinya, bahkan pura-pura menangis supaya Bundanya mau membelikannya es krim. Sebastian yakin jika Alisha sudah cukup kewalahan menghadapi putranya yang teramat nakal namun baik itu. Namun sekarang pembahasannya sedikit berbeda. Tiba-tiba saja Leon membahas tentang Sekolah. Keinginannya untuk segera bersekolah sudah mendarah daging sejak beberapa bulan yang lalu. Umurnya masih 3, mungkin satu tahun lagi Leon akan di sekolahkan oleh Alisha. “Om, nanti kalo Leon udah sekolah, berangkatnya bareng ya Om, Bas? Biar Bunda gak capek nganterin Leon.” Timpal Leon dengan suara lucunya. Sebastian bergumam sebagai tanggapan untuk bocah itu. Begitu senang sekali keponakannya ini? “Terus nanti yang jemput juga Om Bas boleh gak?” “Boleh kalo Om ada waktu. Kalo gak ada Om gak bisa jemput.” Memang itulah kenyataannya. Tapi sebisa mungki

  • Paman Untuk Ibuku   8. Pria Lain

    Sebastian sedang berada di dalam kamarnya. Setelah acara makan malam bersama, pria itu memutuskan untuk kembali ke atas karena masih ada beberapa berkas yang belum terselesaikan. Kedua matanya bergerak liar seiring jemarinya menari di atas keyboard. Kacamata bening ya menjadi pelindung bagi retinanya ketika sinar cahaya dari laptop mengarah ke arahnya. Suara ketukan pintu terdengar pelan—seperti menyiratkan keraguan dari balik benda panjang berwarna cokelat itu. Kepala Sebastian enggan berpaling namun pendengarannya masih berguna untuk mendengar siapa pelaku dari ketukan itu. “Om, Bas … boleh Leon masuk?” Lah? Bocah itu?Gerakan ketikannya terhenti. Sebastian menutup separuh laptop itu setelah sosok kecil berdiri di ambang pintu dengan wajah polosnya. Nampak sebuah boneka berbentuk singa yang menjadi teman tidurnya pun tak lupa dia bawa. Kenapa keponakannya datang ke kamarnya? Leon berjalan pelan dan menutup pintu saat Sebastian menyuruhnya. Setelah berada di dekatnya, Leon bertany

  • Paman Untuk Ibuku   7. Bertemu Kawan Lama

    Sudah 3 bulan Alisha berada di rumah sang mertua, kali ini dirinya sudah terbiasa dengan mereka—terkecuali pria itu, Sebastian. Setiap kali bertemu pandang, terkadang dirinya yang harus menyapanya terlebih dahulu. Jika tidak, Sebastian hanya menatap lalu melenggang pergi. Itupun kalau dia sadar diri dan langsung menyapanya balik.Namun Alisha tidak mengambil pusing hal itu. Bisa di terima di keluarga ini saja, sudah membuatnya bahagia dan merasa nyaman. Apalagi Ivana—mertuanya itu kerap kali mengajaknya berbincang seperti biasa. Kepribadiannya yang sangat ramah dan mudah bergaul, menunjukkan jika sifat Reygan memang menurun dari wanita itu. Seperti sekarang ini, Alisha tiba-tiba saja mengajaknya untuk belanja kebutuhan rumah. Karena Leon memaksa untuk ikut, mereka harus membeli mainan untuk bocah itu. Padahal sebelumnya, Ivana selalu menyuruh pembantu untuk pergi ke supermarket bersama sopir, tapi entah kenapa dia mengajaknya. Setelah di tanya alasannya kenapa, katanya ingin keluar

  • Paman Untuk Ibuku   6. Merasa Kehilangan

    Sebastian tak ada hentinya tertawa ringan saat mengingat jawaban tak masuk akal di waktu mobil tadi.Apa tadi katanya? Leon sangat mirip seperti dirinya waktu kecil? Jawaban macam apa itu?Sangat lucu dan tidak … masuk akal. Jika Alisha tahu bagaimana dirinya dulu, mungkin perempuan itu akan berekspresi ragu dan memandang dirinya aneh. Sebastian merasa lucu, bukan karena jawabannya tadi, tapi karena sikapnya yang benar-benar tak ingin Alisha menganggapnya sebagai orang lain. Keinginan terbesar ini akan dijadikan sebuah hadiah jika perempuan itu menyadarinya. Tapi … sampai kapan? Sampai kapan Alisha akan tahu?Dari dulu … dirinya tak pernah berani.Dengan langkah pelan, Sebastian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Meringankan segala pikiran yang berkecamuk entah sampai kapan. Beberapa menit berlalu, Sebastian keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya. Rambut basahnya meneteskan air dari sisa pancuran itu. Sesaat, pikirannya melayang saat di mana dirinya ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status