Home / Romansa / Paman Untuk Ibuku / 2. Kehangatan Dalam Keluarga

Share

2. Kehangatan Dalam Keluarga

Author: Mee Author
last update Huling Na-update: 2025-09-04 14:37:18

Pagi itu, aroma nasi goreng bercampur wangi teh hangat memenuhi ruang makan. Alisha sibuk menata piring dan sendok di meja, sesekali melirik ke ruang tengah.

Leon duduk manis di pangkuan Haris, menonton kartun kesukaannya sambil tertawa kecil ketika sang kakek pura-pura menjahilinya. Pemandangan itu membuat Alisha tersenyum. Untuk sejenak, hatinya terasa lebih ringan.

“Semuanya udah beres kan, Bi?”

“Sudah, Non. Sekarang Non Alisha duduk aja, sisanya biar Bibir yang urus.”

Alisha mengangguk. Ivana datang bersama dengan Sebastian. Pandangan mereka sempat terpaku lalu sama-sama saling mengalihkan. Alisha tidak tahu kenapa setiap berhadapan dengan Sebastian, hatinya diliputi perasaan aneh.

“Kan Mama udah bilang kamu jangan ikut campur urusan dapur, kamu bukan pembantu, Alisha. Kamu itu menantu Mama sama Papa, menantu di keluarga ini. Jangan merasa sungkan ataupun gak enak.”

“Iya, Ma.”

“Kamu itu selalu saja jawab iya, sama kayak Bastian. Didengar tapi gak pernah di pakai.” Alisha langsung menatap pria itu, merasa disamakan dengan Sebastian, Alisha sedikit tidak terima.

“Bedalah, Ma.” Timpal Sebastian sekenanya.

“Pa, Leon ayo makan! Udah siap nih …” Harris langsung sigap berdiri sembari menggendong Leon di pelukannya. Harus duduk dan menempatkan tubuh bocah itu di sebelah. Alisha ingin protes namun suara lucu bocah itu menghentikannya.

“Asyiiiik. Leon makan bareng Kakek sama Nenek!”

Alisha terdiam.

Sorot sayunya seketika mendung. Bocah itu … putranya sangat bahagia kan? Ia mengurungkan niatnya dan membiarkan Leon bersama mereka. Wajah kecil itu terlihat polos tanpa ternodai oleh dosa apapun. Wajah yang entah sampai kapan dirinya akan menyembunyikan kebenaran tentang Ayahnya.

“Bunda lihat? Leon di suapin sama Kakek,”

“Iya … bilang makasih kalau habis di suapin sama Kakek.”

“Makasih, Kakek.”

“Sama-sama Leon,”

Tawa pecah di meja makan. Ivana menepuk bahu suaminya, Haris terkekeh, Leon ikut tertawa sambil mengunyah suapan berikutnya. Pemandangan itu begitu hangat, seolah tak ada luka di masa lalu.

Alisha hanya bisa menatap, hatinya berdesir. Putranya begitu bahagia, sementara dirinya masih terbelenggu kesedihan atas kematian suaminya.

Sadar pikirannya melayang, Alisha beralih meraih piring lauk di depannya. Tapi tangannya berhenti ketika ia menyadari orang lain juga meraih lauk yang sama.

Sebastian.

Jari-jarinya yang panjang hampir bersentuhan dengan jemari Alisha. Ia sempat berhenti, mata kelamnya terangkat, menatap Alisha dalam-dalam.

Sekilas, waktu terasa melambat. Detak jantung Alisha mendesak sampai ke telinga. Ia buru-buru menarik tangannya, membiarkan Sebastian lebih dulu mengambil lauk itu.

“Silakan …” suaranya nyaris tak terdengar.

Sebastian tidak menjawab, hanya meletakkan potongan lauk di piringnya lalu menyodorkan sendok ke arah Alisha—gerakan sederhana, tapi tatapan matanya menusuk, seolah sengaja menantangnya untuk tidak lagi bersikap sungkan.

Ivana yang duduk di sisi mereka tersenyum tanpa sadar. “Nah, bagus kan kalau rukun begini. Kalau Reygan masih ada, pasti senang lihat kalian duduk bareng.”

Kalimat itu menusuk ulu hati Alisha. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Sementara Sebastian … tetap menatapnya.

Untuk pertama kalinya sejak lama, mereka duduk bersama seperti ini. Terakhir kali—waktu SMA. Dan meski banyak hal sudah berubah, tatapan Sebastian sama sekali tidak.

***********

“Aku … berusaha untuk melupakan Mas Reygan. Jadi, tolong jangan siksa aku dengan cara mengingat tentang kenangan kita, ya?”

bisiknya lirih, seolah berbicara dengan angin.

Udara pagi masih menusuk, embun tipis menggantung di atas rerumputan. Alisha duduk sendirian di bangku kayu taman belakang, memeluk kedua lututnya sambil menatap kosong ke arah langit yang masih pucat. Hawa sejuk menusap kulit, membuat rambut hitam sepunggungnya berayun pelan diterpa angin. Ada senyum tipis di bibirnya—bukan bahagia, melainkan usaha keras menenangkan hati yang rapuh.

Ia sudah berjanji pada diri sendiri. Mulai hari ini, ia akan berhenti menengok ke belakang. Masa lalu bersama Reygan akan tetap tersimpan rapi di sudut memorinya, tapi tidak boleh lagi mengikat langkahnya. Untuk apa menahan diri dalam kesedihan? Leon masih kecil, butuh dirinya seutuhnya.

Ia menghela napas dalam, menggigil sedikit, tapi tetap enggan bangkit. Dinginnya pagi justru menjadi semacam penopang, saksi bahwa ia sedang belajar melepaskan. Semua demi Leon. Demi bocah itu yang masih polos, yang tidak mengerti apa-apa tentang kehilangan.

“Aku gak tega kasih tahu Leon tentang kamu, Mas. Leon masih kecil, dia mana ngerti tentang kematian.”

Suara itu nyaris hilang terbawa angin. Ujung matanya basah, meski ia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan. Ia harus kuat. Ia harus belajar menata hidup. Tidak boleh terus-menerus larut. Namun suara berat tiba-tiba memecah kesendiriannya.

“Kenapa diam di sini? Dingin. Nanti kamu sakit.”

Alisha tersentak. Ia menoleh cepat, menatap Sebastian yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya. Pria itu mendekat dengan langkah tenang, lalu duduk di kursi seberang, hanya dipisahkan meja kaca kecil.

“Nanti, aku masih ingin di sini,” ucap Alisha, menunduk.

“Kenapa?” tanyanya datar.

“Ya?”

“Kenapa kamu masih ingin duduk di sini?” ulang Sebastian, kali ini lebih menekan.

Alisha menggigit bibir bawahnya. Kenapa? Haruskah ia jujur? Bahwa di tempat sepi seperti inilah ia bisa menangis diam-diam tanpa terlihat siapa pun? Bahwa di udara dingin inilah ia merasa masih terhubung dengan Reygan?

“Kamu … lagi gak kerja?” tanyanya tiba-tiba, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Pertanyaan receh itu justru membuat Sebastian menoleh cepat, seakan heran kenapa ia bertanya begitu. Sekilas ada senyum yang hampir tidak terlihat.

“Kenapa? Perusahaan itu kan punyaku?”

Alisha terbata. “Tapi kamu jadi menggantikan Reygan di kantor, kan?”

“Kenapa?”

“Apanya kenapa?” tanyanya lagi.

“Kenapa aku harus menggantikan Reygan?”

Jawaban singkat namun terkesan bertanya itu membuat Alisha bungkam. Dadanya terasa penuh, denyut jantungnya melonjak tak keruan. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana—antara ingin marah atau sekadar pergi dari hadapan pria itu.

“Kamu yang bilang perusahaan itu milikmu. Berarti kini kamu yang atur, kan?” tanyanya akhirnya, sekadar memastikan sambil mengulur waktu.

Padahal, sejujurnya Alisha hanya ingin membuatnya bicara lebih lama. Dengan begitu, Sebastian tidak akan memaksa dirinya meninggalkan bangku taman. Karena ia sendiri masih enggan beranjak, masih ingin menghirup udara yang sama … udara yang dulu juga pernah dipenuhi oleh Reygan.

Sebastian berdiri, merapatkan coat hitamnya. Sebelum pergi, ia sempat menunduk sedikit, berbisik di telinganya.

“Kamu salah kalau mengira aku cuma sekadar pengganti Reygan. Ada banyak hal yang tidak kamu tahu, Alisha.”

Lalu ia pergi, meninggalkan Alisha dengan jantung berdegup kencang dan kepala penuh tanda tanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Paman Untuk Ibuku   10. Cemburu

    Ini tidak bisa di biarkan. Beberapa kali bibirnya bergumam kasar bahkan sampai mengumpat pelan karena Leon berada di ruangannya. Ia berusaha untuk tidak bersuara takut jika keponakannya akan terdengar lalu menirunya. Jika Leon mendengar lalu balik mengucapkan apa yang ia katakan, Mau di taruh mana wajah tampannya ini ketika berhadapan dengan Alisha nanti? Ia tidak mau di cap sebagai Paman yang tidak bisa di andalkan. Tidak mau! Berkas di depannya juga memang kurang ajar. Sedari tadi dirinya memilah namun tidak ada yang cocok dan kurang pas. Alhasil Sebastian memanggil Hendi dan menyuruh pria itu untuk memperbaiki ulang. Entah kenapa dirinya menjadi berubah lelet seperti ini. Apa karena beberapa jam yang lalu ia melihat Alisha bersama Reksa? Meskipun hanya kawan lama, tapi dirinya merasa tidak tahan dan tidak nyaman. Ada perasaan kesal dan aneh di hatinya saat ini. Apa yang sedang mereka bicarakan? “Gue gak bisa gini terus. Apa gue harus tanya langsung sama Alisha? Kalau tanya lan

  • Paman Untuk Ibuku   9. Dia … Reksa

    Di sepanjang perjalanan, yakni di dalam mobil, bocah itu—Leon tak ada hentinya mengoceh tentang mainannya dan kebersamaannya dengan sang Bunda. Bagaimana dia menjahilinya, bahkan pura-pura menangis supaya Bundanya mau membelikannya es krim. Sebastian yakin jika Alisha sudah cukup kewalahan menghadapi putranya yang teramat nakal namun baik itu. Namun sekarang pembahasannya sedikit berbeda. Tiba-tiba saja Leon membahas tentang Sekolah. Keinginannya untuk segera bersekolah sudah mendarah daging sejak beberapa bulan yang lalu. Umurnya masih 3, mungkin satu tahun lagi Leon akan di sekolahkan oleh Alisha. “Om, nanti kalo Leon udah sekolah, berangkatnya bareng ya Om, Bas? Biar Bunda gak capek nganterin Leon.” Timpal Leon dengan suara lucunya. Sebastian bergumam sebagai tanggapan untuk bocah itu. Begitu senang sekali keponakannya ini? “Terus nanti yang jemput juga Om Bas boleh gak?” “Boleh kalo Om ada waktu. Kalo gak ada Om gak bisa jemput.” Memang itulah kenyataannya. Tapi sebisa mungki

  • Paman Untuk Ibuku   8. Pria Lain

    Sebastian sedang berada di dalam kamarnya. Setelah acara makan malam bersama, pria itu memutuskan untuk kembali ke atas karena masih ada beberapa berkas yang belum terselesaikan. Kedua matanya bergerak liar seiring jemarinya menari di atas keyboard. Kacamata bening ya menjadi pelindung bagi retinanya ketika sinar cahaya dari laptop mengarah ke arahnya. Suara ketukan pintu terdengar pelan—seperti menyiratkan keraguan dari balik benda panjang berwarna cokelat itu. Kepala Sebastian enggan berpaling namun pendengarannya masih berguna untuk mendengar siapa pelaku dari ketukan itu. “Om, Bas … boleh Leon masuk?” Lah? Bocah itu?Gerakan ketikannya terhenti. Sebastian menutup separuh laptop itu setelah sosok kecil berdiri di ambang pintu dengan wajah polosnya. Nampak sebuah boneka berbentuk singa yang menjadi teman tidurnya pun tak lupa dia bawa. Kenapa keponakannya datang ke kamarnya? Leon berjalan pelan dan menutup pintu saat Sebastian menyuruhnya. Setelah berada di dekatnya, Leon bertany

  • Paman Untuk Ibuku   7. Bertemu Kawan Lama

    Sudah 3 bulan Alisha berada di rumah sang mertua, kali ini dirinya sudah terbiasa dengan mereka—terkecuali pria itu, Sebastian. Setiap kali bertemu pandang, terkadang dirinya yang harus menyapanya terlebih dahulu. Jika tidak, Sebastian hanya menatap lalu melenggang pergi. Itupun kalau dia sadar diri dan langsung menyapanya balik.Namun Alisha tidak mengambil pusing hal itu. Bisa di terima di keluarga ini saja, sudah membuatnya bahagia dan merasa nyaman. Apalagi Ivana—mertuanya itu kerap kali mengajaknya berbincang seperti biasa. Kepribadiannya yang sangat ramah dan mudah bergaul, menunjukkan jika sifat Reygan memang menurun dari wanita itu. Seperti sekarang ini, Alisha tiba-tiba saja mengajaknya untuk belanja kebutuhan rumah. Karena Leon memaksa untuk ikut, mereka harus membeli mainan untuk bocah itu. Padahal sebelumnya, Ivana selalu menyuruh pembantu untuk pergi ke supermarket bersama sopir, tapi entah kenapa dia mengajaknya. Setelah di tanya alasannya kenapa, katanya ingin keluar

  • Paman Untuk Ibuku   6. Merasa Kehilangan

    Sebastian tak ada hentinya tertawa ringan saat mengingat jawaban tak masuk akal di waktu mobil tadi.Apa tadi katanya? Leon sangat mirip seperti dirinya waktu kecil? Jawaban macam apa itu?Sangat lucu dan tidak … masuk akal. Jika Alisha tahu bagaimana dirinya dulu, mungkin perempuan itu akan berekspresi ragu dan memandang dirinya aneh. Sebastian merasa lucu, bukan karena jawabannya tadi, tapi karena sikapnya yang benar-benar tak ingin Alisha menganggapnya sebagai orang lain. Keinginan terbesar ini akan dijadikan sebuah hadiah jika perempuan itu menyadarinya. Tapi … sampai kapan? Sampai kapan Alisha akan tahu?Dari dulu … dirinya tak pernah berani.Dengan langkah pelan, Sebastian berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Meringankan segala pikiran yang berkecamuk entah sampai kapan. Beberapa menit berlalu, Sebastian keluar dengan lilitan handuk di pinggangnya. Rambut basahnya meneteskan air dari sisa pancuran itu. Sesaat, pikirannya melayang saat di mana dirinya ber

  • Paman Untuk Ibuku   5. Membicarakannya

    Semua pasang mata melihat ke arah ruangan yang pintunya sengaja di buka lebar. Bosnya itu memang sengaja membukanya atau karena ada anak kecil di dalam sana? Leon sedang asyik bermain dengan mainan yang sempat Sebastian belikan beberapa menit yang lalu. Mulai sekarang Leon mungkin akan ia bawa setiap hari, daripada diam di rumah, lebih baik bocah itu dia bawa ke kantornya. Yang penting anak itu anteng dan tidak berbuat apa-apa. Supaya Alisha juga datang kesini menjemput langsung putranya. Ruangan itu sudah di penuhi oleh mainan anak-anak. Tapi Leon bukanlah tipikal anak yang begitu susah di atur saat bermain. Lihatlah sekarang, jika dia sudah mulai bosan dengan mainan yang satunya, maka dia dengan telaten mengembalikan mainan itu ke tempat asalnya lalu mengambil mainan yang satunya lagi. Leon adalah anak yang pintar. Dan Alisha berhasil mendidiknya. “Om, Bunda kok gak ada nanyain Leon?” Sebastian sudah selesai dengan pekerjaannya. Pria itu menaruh kaca mata bening nya dan menat

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status