MasukPagi itu, aroma nasi goreng bercampur wangi teh hangat memenuhi ruang makan. Alisha sibuk menata piring dan sendok di meja, sesekali melirik ke ruang tengah.
Leon duduk manis di pangkuan Haris, menonton kartun kesukaannya sambil tertawa kecil ketika sang kakek pura-pura menjahilinya. Pemandangan itu membuat Alisha tersenyum. Untuk sejenak, hatinya terasa lebih ringan. “Semuanya udah beres kan, Bi?” “Sudah, Non. Sekarang Non Alisha duduk aja, sisanya biar Bibir yang urus.” Alisha mengangguk. Ivana datang bersama dengan Sebastian. Pandangan mereka sempat terpaku lalu sama-sama saling mengalihkan. Alisha tidak tahu kenapa setiap berhadapan dengan Sebastian, hatinya diliputi perasaan aneh. “Kan Mama udah bilang kamu jangan ikut campur urusan dapur, kamu bukan pembantu, Alisha. Kamu itu menantu Mama sama Papa, menantu di keluarga ini. Jangan merasa sungkan ataupun gak enak.” “Iya, Ma.” “Kamu itu selalu saja jawab iya, sama kayak Bastian. Didengar tapi gak pernah di pakai.” Alisha langsung menatap pria itu, merasa disamakan dengan Sebastian, Alisha sedikit tidak terima. “Bedalah, Ma.” Timpal Sebastian sekenanya. “Pa, Leon ayo makan! Udah siap nih …” Harris langsung sigap berdiri sembari menggendong Leon di pelukannya. Harus duduk dan menempatkan tubuh bocah itu di sebelah. Alisha ingin protes namun suara lucu bocah itu menghentikannya. “Asyiiiik. Leon makan bareng Kakek sama Nenek!” Alisha terdiam. Sorot sayunya seketika mendung. Bocah itu … putranya sangat bahagia kan? Ia mengurungkan niatnya dan membiarkan Leon bersama mereka. Wajah kecil itu terlihat polos tanpa ternodai oleh dosa apapun. Wajah yang entah sampai kapan dirinya akan menyembunyikan kebenaran tentang Ayahnya. “Bunda lihat? Leon di suapin sama Kakek,” “Iya … bilang makasih kalau habis di suapin sama Kakek.” “Makasih, Kakek.” “Sama-sama Leon,” Tawa pecah di meja makan. Ivana menepuk bahu suaminya, Haris terkekeh, Leon ikut tertawa sambil mengunyah suapan berikutnya. Pemandangan itu begitu hangat, seolah tak ada luka di masa lalu. Alisha hanya bisa menatap, hatinya berdesir. Putranya begitu bahagia, sementara dirinya masih terbelenggu kesedihan atas kematian suaminya. Sadar pikirannya melayang, Alisha beralih meraih piring lauk di depannya. Tapi tangannya berhenti ketika ia menyadari orang lain juga meraih lauk yang sama. Sebastian. Jari-jarinya yang panjang hampir bersentuhan dengan jemari Alisha. Ia sempat berhenti, mata kelamnya terangkat, menatap Alisha dalam-dalam. Sekilas, waktu terasa melambat. Detak jantung Alisha mendesak sampai ke telinga. Ia buru-buru menarik tangannya, membiarkan Sebastian lebih dulu mengambil lauk itu. “Silakan …” suaranya nyaris tak terdengar. Sebastian tidak menjawab, hanya meletakkan potongan lauk di piringnya lalu menyodorkan sendok ke arah Alisha—gerakan sederhana, tapi tatapan matanya menusuk, seolah sengaja menantangnya untuk tidak lagi bersikap sungkan. Ivana yang duduk di sisi mereka tersenyum tanpa sadar. “Nah, bagus kan kalau rukun begini. Kalau Reygan masih ada, pasti senang lihat kalian duduk bareng.” Kalimat itu menusuk ulu hati Alisha. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Sementara Sebastian … tetap menatapnya. Untuk pertama kalinya sejak lama, mereka duduk bersama seperti ini. Terakhir kali—waktu SMA. Dan meski banyak hal sudah berubah, tatapan Sebastian sama sekali tidak. *********** “Aku … berusaha untuk melupakan Mas Reygan. Jadi, tolong jangan siksa aku dengan cara mengingat tentang kenangan kita, ya?” bisiknya lirih, seolah berbicara dengan angin. Udara pagi masih menusuk, embun tipis menggantung di atas rerumputan. Alisha duduk sendirian di bangku kayu taman belakang, memeluk kedua lututnya sambil menatap kosong ke arah langit yang masih pucat. Hawa sejuk menusap kulit, membuat rambut hitam sepunggungnya berayun pelan diterpa angin. Ada senyum tipis di bibirnya—bukan bahagia, melainkan usaha keras menenangkan hati yang rapuh. Ia sudah berjanji pada diri sendiri. Mulai hari ini, ia akan berhenti menengok ke belakang. Masa lalu bersama Reygan akan tetap tersimpan rapi di sudut memorinya, tapi tidak boleh lagi mengikat langkahnya. Untuk apa menahan diri dalam kesedihan? Leon masih kecil, butuh dirinya seutuhnya. Ia menghela napas dalam, menggigil sedikit, tapi tetap enggan bangkit. Dinginnya pagi justru menjadi semacam penopang, saksi bahwa ia sedang belajar melepaskan. Semua demi Leon. Demi bocah itu yang masih polos, yang tidak mengerti apa-apa tentang kehilangan. “Aku gak tega kasih tahu Leon tentang kamu, Mas. Leon masih kecil, dia mana ngerti tentang kematian.” Suara itu nyaris hilang terbawa angin. Ujung matanya basah, meski ia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan. Ia harus kuat. Ia harus belajar menata hidup. Tidak boleh terus-menerus larut. Namun suara berat tiba-tiba memecah kesendiriannya. “Kenapa diam di sini? Dingin. Nanti kamu sakit.” Alisha tersentak. Ia menoleh cepat, menatap Sebastian yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya. Pria itu mendekat dengan langkah tenang, lalu duduk di kursi seberang, hanya dipisahkan meja kaca kecil. “Nanti, aku masih ingin di sini,” ucap Alisha, menunduk. “Kenapa?” tanyanya datar. “Ya?” “Kenapa kamu masih ingin duduk di sini?” ulang Sebastian, kali ini lebih menekan. Alisha menggigit bibir bawahnya. Kenapa? Haruskah ia jujur? Bahwa di tempat sepi seperti inilah ia bisa menangis diam-diam tanpa terlihat siapa pun? Bahwa di udara dingin inilah ia merasa masih terhubung dengan Reygan? “Kamu … lagi gak kerja?” tanyanya tiba-tiba, berusaha mengalihkan pembicaraan. Pertanyaan receh itu justru membuat Sebastian menoleh cepat, seakan heran kenapa ia bertanya begitu. Sekilas ada senyum yang hampir tidak terlihat. “Kenapa? Perusahaan itu kan punyaku?” Alisha terbata. “Tapi kamu jadi menggantikan Reygan di kantor, kan?” “Kenapa?” “Apanya kenapa?” tanyanya lagi. “Kenapa aku harus menggantikan Reygan?” Jawaban singkat namun terkesan bertanya itu membuat Alisha bungkam. Dadanya terasa penuh, denyut jantungnya melonjak tak keruan. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana—antara ingin marah atau sekadar pergi dari hadapan pria itu. “Kamu yang bilang perusahaan itu milikmu. Berarti kini kamu yang atur, kan?” tanyanya akhirnya, sekadar memastikan sambil mengulur waktu. Padahal, sejujurnya Alisha hanya ingin membuatnya bicara lebih lama. Dengan begitu, Sebastian tidak akan memaksa dirinya meninggalkan bangku taman. Karena ia sendiri masih enggan beranjak, masih ingin menghirup udara yang sama … udara yang dulu juga pernah dipenuhi oleh Reygan. Sebastian berdiri, merapatkan coat hitamnya. Sebelum pergi, ia sempat menunduk sedikit, berbisik di telinganya. “Kamu salah kalau mengira aku cuma sekadar pengganti Reygan. Ada banyak hal yang tidak kamu tahu, Alisha.” Lalu ia pergi, meninggalkan Alisha dengan jantung berdegup kencang dan kepala penuh tanda tanya.Yuuna mengompres kedua matanya dengan es batu yang sempat ia ambil didalam kulkas, saat ingin makan. Ternyata, efek dari perkataan itu sangat menguras seluruh energi dan juga batinnya. Siapa sangka, kedua matanya akan membengkak seperti ini layaknya disengat lebah? Maka dari itu Yuuna malu untuk turun, takut dianggap cengeng dan menyedihkan. Lagipula, ini tempat bukanlah rumahnya. Ia tidak ingin banyak tingkah dan memilih patuh. Saat melihat dicermin, kedua matanya tidak terlalu membengkak lagi. Tapi masih bisa dibilang masih meninggalkan jejak. Ketika es batu ditangannya mulai mencair, suara ketukan pintu mengejutkannya. Siapa lagi malam-malam begini yang mengetuk pintu kamarnya? Batin Yuuna. Tidak ingin membuatnya menunggu, Yuuna berdiri untuk membuka pintu. Sesaat tubuhnya terpaku dengan kedua mata sedikit dingin dan basah. Sosok didepan nya begitu menjulang tinggi seperti tiang listrik. “Abang?” Eh? Tanpa sadar Yuuna menutup mulutnya. Entah panggilannya yang terdengar salah,
Alisha mengetuk beberapa kali pintu kamar itu. Berharap sang pemilik membukanya dan turun untuk ikut makan malam. Tapi sepertinya, Yuuna tidak dengar atau mungkin … ada hal lain? Alisha berniat untuk masuk dan memeriksa. Saat pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, ternyata gadis itu meringkuk didalam selimut, mungkin sedang tidur. Ia melangkah pelan penuh kehati-hatian. Takut jika kedatangannya membangunkan gadis itu yang sedang terbuai kedalam mimpi. Saat Alisha sudah sampai di samping ranjang, hendak menyentuh kepala itu, suara Yuuna mengejutkannya. Sedikit serak dan bergetar. “Kakak, aku malam ini gak ikut makan malam.”“Loh, kenapa? Gak lapar?”Sebuah gelengan lemah membuatnya sedikit terkesiap. “Enggak. Cuma males aja mau makan. Kakak duluan aja, nanti kalau aku laper, aku turun makan.”Helaan nafas terdengar dan Alisha tidak memaksa. Jika itu kemauan Yuuna, ia pun tidak ingin bertindak lebih jauh lagi. Dari tadi pagi dirinya memang sudah berangkat untuk melihat keadaan toko.
Eh? Adik? Dia?Sontak dengan kepala ditengokan sedikit cepat, Reksa mulai mengamati gadis itu dari atas sampai bawah. Yuuna yang merasa diperhatikan, merasa risih dan canggung. “Lo bercanda?”“Enggak. Minggir,” Sebastian menyenggol bahu pria itu dan melewatinya. Masuk terlebih dahulu tanpa mempersilakan Reksa masuk. “Galak amat. Beberapa bulan gak ketemu, malah lihat cewek baru disini.” Reksa mengerling genit. Yuuna kaget lalu mendengus dan pergi begitu saja. Merasa tidak dihargai, Reksa melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumah. Ivana sudah terlebih dahulu berada diruang tamu, menyambut kedatangan Sebastian dan juga Reksa. “Eh? Ada Nak Reksa. Baru dateng apa dari tadi?”“Baru aja nyampek dari Jepang.” Reksa menyalami wanita itu dan tersenyum ramah. Sebastian yang duduk di sofa, tampak melonggarkan dasinya. Dari arah pintu belakang, sosok bertubuh mungil berlari mendatangi Reksa. “Eh ada Leon? Wah … Om kangen berat nih.”“Om Reksa kangen Leon? Kalau kangen oleh-olehnya mana?”
Karena Yuuna masih belum masuk sekolah, ditambah hari ini adalah hari minggu, jadi jadi dirinya harus ikut menjaga Leon bermain di halaman belakang. Bersama dengan Ivana lebih tepatnya. Yuuna berdeham pelan, saat Ivana sampai dan meletakan secangkir teh hangat diatas meja. Mereka sedang bersantai sesekali memperhatikan sekecil bermain layang-layang yang Sebastian beli waktu perjalanan pulang ke rumah. “Terima kasih.” Yuuna berucap sopan. Ia teguk teh hangat itu sedikit, merasakan hawa panas yang menjalar dari mulut hingga kedalam tubuh. “Kamu pasti terkejut saat tahu Alisha membelamu.” Ivana tiba-tiba berucap. Perihal itu, memang dirinya sangat terkejut. Tapi tidak ada yang bisa ia katakan saat itu. “Alisha … perempuan baik yang pernah saya temui.” Perempuan … baik? Jika diingat-ingat, saat pertemuannya dimalam itu, dan bagaimana dia memperlakukannya layaknya seorang adik, Yuuna tidak akan menyangkal perkataan Ivana. “Dia menantu saya yang paling saya hargai. Saya mengh
Yuuna berdiri didepan cermin.Dengan rasa gugup yang menyerang, gadis itu menatap dirinya dari atas sampai bawah tanpa sedikitpun melewatinya. Hari ini dirinya hanya ikut sarapan pagi, tapi entah kenapa seolah sedang menunggu antrean untuk interogasi selanjutnya. Dengan keyakinan yang kuat, Yuuna mulai melangkahkan kakinya keluar. Menapaki lantai marmer berwarna putih, ia mendengar suara bising dari bawah. Terutama saat suara bocah itu meramaikan suasana di meja makan. Saat hendak turun, dirinya termangu tepat di ujung anak tangga. Dapat ia lihat betapa harmonisnya keluarga itu, dan dirinya masuk begitu saja sebagai perusak suasana. Yuuna merasa demikian. Namun, ketika dirinya hendak berbalik untuk menuju kamar, suara lembut yang menyapanya terlebih dahulu, memanggilnya.Yuuna terkesiap. “Yuuna?” Gadis itu tak jadi pergi. Dengan gerakan pelan ia memutar tubuh, dan melihat bahwa Alusha sedang melambaikan tangan kearahnya. Reflek Yuuna membalas lambaian itu. Tidak peduli jika ada tata
Karena kalimat sudah terlanjur diucapkan, dan keputusan sudah terlanjur dibuat, dirinya tidak akan mundur. Dengan tekad yang kuat, Alisha mengucapkan kata yang hampir seluruh penghuni rumah terperangah tak percaya. Apalagi saat melihat ekspresi terkejut Ivana disebelahnya, antara menyesal dan juga terkejut.Haris sudah pergi dan menuju kamar, diruang tamu itu hanya ada mereka berempat. Leon masih duduk anteng namun matanya bergerak seolah ingin tahu siapa gadis didepannya itu.“Sayang, kamu yakin?” Beberapa kali Sebastian bertanya dan mengucapkan kata “yakin” dari bibirnya takut jika keputusan sang istri salah dan hanya sebatas kasihan semata. “Aku yakin.” Gadis didepan nya itu masih membutuhkan sekolah dan pendidikan. Mungkin dia juga ingin mengejar mimpinya. Meskipun keluarganya hancur akibat ulah sang Ayah, dapat ia lihat jika tekad pada diri gadis itu sangatlah besar. “Aku gak mungkin salah sama keputusan dan penilaianku sendiri.”Sebastian nampak menghela nafas, mungkin juga sed







