Benda yang kami naiki melaju menyusuri jalan. Terkadang, benda itu berhenti sebentar namun kembali melaju saat lampu di pinggir jalan berubah warna menjadi hijau. Benda yang kami tumpangi ini sangat menarik perhatianku. Menaiki benda ini lebih praktis daripada menaiki kuda kerajaan.
Tak lama kemudian, benda itu berhenti lagi. Pria di depan mengatakan bahwa kami sudah sampai di tujuan. Aku melihat keluar dari jendela. Terlihat bangunan menjulang tinggi. Kami pun tak sabar untuk keluar dari benda ini dan memanjat bangunan tinggi tersebut.
“Biayanya 2.435 yen,” ujar pria di kursi depan.
Aku memandang Kenji dan Masaki secara bergantian. Kami tidak paham dengan maksud pria tersebut.
Pria dewasa yang awalnya berbicara dengan lembut itu mendadak berubah sikap. Raut wajahnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Nada bicaranya langsung naik. Kejadian ini seperti deja vu. Reaksi pria di depan mirip dengan si pemilik tempat makan di mana kami sempat makan tempo hari. Aku pun tersadar bahwa situasi saat ini tidaklah baik. Kami terjebak di dalam benda ini bersama pria yang tampak seperti hendak memakan kami hidup-hidup.
Aku menyuruh Kenji dan Masaki untuk membuka pintu. Mereka sekuat tenaga membukanya namun sia-sia. Tampaknya pintu itu terkunci. Di saat seperti ini, tidak ada cara lain. Mereka pun berulang kali membantingkan tubuh ke pintu tersebut. Mencoba membukanya dengan paksa. Akhirnya, pintu pun terbuka. Tak perlu menunggu lama, kami pun langsung menghambur ke luar. Tanpa perlu diberi aba-aba, kaki kami langsung melangkah dengan cepat. Berlari sekuat tenaga, menerobos orang-orang yang menghalangi jalan kami.
“Hei, berhenti kalian!” teriak pria itu dengan keras.
Kami tidak menghiraukannya. Suara pria tersebut justru memacu kami untuk berlari semakin kencang. Akan tetapi, sekuat apa pun kami berlari, masih tetap saja kalah dengan pria yang mengendarai benda berjalan itu. Alhasil, kami pun menyiasatinya dengan masuk ke jalan sempit, jalan yang tidak bisa dilalui oleh benda bergerak tersebut.
Setelah merasa berlari cukup jauh, kusempatkan diri untuk menoleh ke belakang. Pria itu sudah tak terlihat lagi. Sepertinya, kami sudah berhasil kabur dari kejaran pria tersebut.
Hosh hosh hosh…
Napasku memburu. Aku sudah tidak kuat lagi berlari.
“Ber.. henn.. ti… hosh hosh hosh. Berhenti du.. lu… hosh hosh.”
Kami pun berhenti sejenak. Berusaha untuk mengatur napas.
Kriuk… kriiiuuuk… kriiiuuukkk…
Suara itu mengejutkanku. Kami bertiga saling berpandangan.
“Lagi-lagi perutmu itu menimbulkan suara berisik,” omel Masaki ke Kenji.
“Kali ini bukan aku. Aku berani bersumpah demi kehormatanku sebagai prajurit,” ujar Kenji cepat.
“Hmm!” aku berdeham keras. “Kita sudah berjuang sangat keras untuk lari dari kejaran pria bumi tadi. Sudah saatnya kita beristirahat sejenak sambil mengisi tenaga.”
Kenji dan Masaki manggut-manggut mendengar ucapanku.
Kami pun bergerak menuju taman yang letaknya tak jauh dari tempat kami dan duduk di sebuah bangku. Kenji membuka bungkusan yang diberikan Nari. Mengeluarkan onigiri yang dibuat wanita tersebut.
Aku segera melahap nasi kepal tersebut. Terus mengunyah hingga mulutku kosong.
“Tidak kusangka bekal buatannya seenak ini,” ujar Masaki.
“Iya, aku juga tak menyangkanya. Kenapa dia sedikit sekali membuatnya? Dasar pelit,” lanjut Kenji.
Cacing di perutku juga masih menginginkan tambahan asupan.
“Yosh! Kalau begitu, mari kita cari makanan lagi agar dapat segera melanjutkan perjalanan,” ujarku akhirnya.
Kami pun beranjak dari duduk. Kali ini, aku memercayakan arah pada endusan hidung Kenji. Setelah cukup lama mengendus-endus, Kenji tiba-tiba berhenti. Ia menajamkan pandangannya menembus ke dalam jendela kaca. Tangannya menunjuk-nunjuk ke dalam.
“Itu… itu dia,” ujar Kenji.
Aku dan Masaki memandang ke arah yang ditunjuk Kenji. Mataku langsung berbinar saat mengetahui maksud Kenji.
“Itu onigiri!”
Tanpa menunggu lama, kami pun bergegas masuk ke dalam tempat itu dan berjalan menuju rak yang dipenuhi deretan onigiri.
Aku mengambil salah satu onigiri itu dan membuka bungkusnya. Aku pun langsung mendaratkan gigitan ke onigiri itu. Saat onigiri yang sudah aku kunyah tersebut masuk ke dalam perutku, dapat kurasakan cacing-cacing di perutku berjoget ria.
Tak tinggal diam melihatku makan, Kenji dan Masaki juga masing-masing mengambil onigiri tersebut dan melahapnya. Tak cukup satu, setelah menghabiskan bungkusan pertama, kami pun mengambil lagi dan lagi.
“Hei, apa yang kalian bertiga lakukan di sana?” tanya seseorang dengan nada suara tinggi.
Kami bertiga terkesiap mendengar suara tersebut. Saat membalikkan badan, seorang wanita paruh baya berdiri dengan kedua tangan berkacak di pinggang.
“Lihatlah, kalian sudah memakan habis onigiri itu dan membiarkan sampahnya berserakan di lantai!” ujar wanita itu lagi sembari menunjuk ke arah lantai.
Lagi-lagi aku memiliki firasat buruk. Tampaknya wanita di hadapan kami sangat marah karena onigirinya telah dimakan habis. Setelah memperlihatkan senyuman yang dipaksakan, aku pun memberikan kode ke Masaki dan Kenji untuk segera pergi dari tempat itu. Kami pun bergegas melangkah menuju pintu.
Bruk!
Tubuhku menubruk sesuatu. Tabrakan yang tiba-tiba itu membuat aku, Masaki, dan Kenji terjatuh ke lantai.
“Aduh!” aku seperti mengenal suara itu.
Betapa kagetnya aku saat melihat sosok di depanku yang juga terjatuh di lantai. Nari. Wanita itu bangun dan berusaha mengumpulkan barang bawaannya yang kini berhampuran di lantai. Aku sangat terkejut melihatnya sampai-sampai tak sadar bahwa mulutku terbuka lebar. Belum sempat kukembalikan kesadaranku, aku sudah lebih dulu tertangkap oleh tatapan wanita itu. Nari juga tak kalah terkejut melihat kami.
“Kalian lagi, apa yang kalian bertiga lakukan di sini?”
“Bukan apa-apa, kami baru akan keluar dari sini,” jawabku asal.
“Nari, kamu mengenal mereka bertiga?”
Nari terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari wanita di belakangku. Tampaknya, ia sedang membaca situasi, memikirkan dampak positif dan negatif bila mengaku mengenal kami.
Nari mengenakan pakaian yang sama dengan yang dipakai oleh wanita di belakang kami. Otakku sedang mencerna hal yang dilakukan Nari di tempat ini.
“Tidak, aku tidak mengenal mereka,” jawab Nari akhirnya.
“Apa yang kau katakan? Bukankah kemarin kami bertiga menginap di tempatmu?” ujar Kenji merasa tak terima.
Masaki langsung menyikut keras Kenji setelah mendengar celetukannya.
“Jadi, kalian saling mengenal?”
Wanita itu memperhatikan kami berempat dari atas ke bawah. Berjalan mengitari kami. Di tangannya, ada sebuah tongkat panjang.
“Kalian berempat sengaja berkomplot untuk mencuri di toko ini, hah?” tanya wanita itu lagi dengan nada tinggi.
Nari menggelengkan kepalanya keras. “Tidak. Aku sama sekali tidak berniat buruk. Aku murni ingin bekerja di sini,” jawab Nari dengan memelas. “Aku secara tidak sengaja beberapa kali bertemu dengan mereka tapi aku tidak tahu dengan jelas asal-usul mereka bertiga.”
“Jangan bohong! Aku tidak mau mendengar banyak alasan. Kalian harus membayar apa yang telah kalian lakukan!”
Aku tidak bisa menolak permintaan ayah. Akhirnya, aku pun kini berdiri di hadapan para wartawan yang sudah sejak tadi bergerombol di depan gedung kantor. Di sampingku, ada Hoshie. Tak jauh dari kami, ada manajer Hoshie, Kenji, dan Masaki. Kini sudah waktunya untuk berpura-pura.Hoshie sejak tadi sudah menggandeng tanganku. Wajahnya sangat ceria hari ini. Aku pun berusaha untuk mengimbanginya dengan memasang raut wajah bahagia. Namun, yang terlukis di wajahku justru senyum kecut yang dipaksakan. “Apakah kalian sudah resmi berpacaran?” tanya salah satu wartawan. Tampaknya para wartawan tersebut menyoroti tangan Hoshie yang menggandengku.Aku lagi-lagi hanya bisa memasang senyum yang dipaksakan. Tidak sanggup berkata-kata untuk menjawab pertanyaan tersebut. Di lain pihak, Hoshie justru sangat bersemangat menghadapi para wartawan.“Apakah menurut kalian kami sudah tampak serasi?” tanya Hoshie sembari semakin menempelkan badannya
Aku terkesiap saat menyaksikan Niji menceburkan dirinya ke laut. Aku lebih terkejut lagi saat Niji kemudian muncul seraya membawa tubuh Nari. Wajahnya terlihat sangat pucat.Niji berulang kali mendekatkan mulutnya ke mulut Nari. Ia juga menekan bagian dada Nari, mencoba mengeluarkan air laut yang ditelan oleh Nari. Menit demi menit berlalu, namun Nari tak kunjung memberikan reaksi. Para undangan yang melihat kejadian ini pun mulai berisik, beranggapan bahwa Nari sudah tak dapat diselamatkan.Aku hendak melihatnya dari jarak yang lebih dekat, namun Hoshie menghentikan langkahku dengan menarik lenganku.“Percuma saja kamu mendekat, tidak ada yang akan berubah,” ucap Hoshie.Ucapan Hoshie tersebut memang ada benarnya. Kakiku langsung lemas. Aku lunglai di tempat.Niji tampak hampir putus asa lantaran Nari tak kunjung sadar. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Nari yang tampak kaku itu.“Nari, bukalah matamu!” ujar Niji.
Nari mematung di tempat saat melihat Hoshie memberikan potongan kue ulang tahunnya ke Sora. Para undangan yang lainnya tentu juga sama terkejutnya dengan Nari.“Wow, potongan kue ketiga rupanya diberikan kepada seorang pria tampan yang sedang berdiri di sana. Agar para undangan yang hadir bisa melihat wajah pria yang beruntung ini, aku mohon padamu untuk maju ke depan,” ujar sang pembawa acara.Orang-orang langsung bersorak, ikut menyerukan agar Sora maju ke depan. Mata Nari tak bisa lepas dari lengan Hoshie yang menggaet lengan Sora. Tidak bisa dipungkiri, Sora dan Hoshie tampak serasi.Sang pembawa acara terus mengorek hubungan antara Sora dan Hoshie. Para undangan nampak sangat antusias, ingin mengetahui hubugan di antara mereka.“Hubungan kami memang berawal dari mitra kerja, tapi siapa yang tahu jika nantinya kami menjalin hubungan yang lebih serius.” Jawaban Hoshie itu semakin membuat hawa memanas. Tampak beberapa undangan me
Hari ini adalah hari ulang tahun Hoshie. Aku datang bersama dengan Kenji dan Masaki. Sebelumnya, aku sudah mendapat persetujuan dari Hoshie untuk mengajak Kenji dan Masaki ke pestanya. Aku tentu tidak ingin bengong sendirian jika saat di pesta Niji dan Nari asyik ngobrol berdua tanpa mempedulikan keberadaanku.Sesampainya di lokasi berkumpul, aku melihat Niji dan Nari sudah lebih dulu datang. Nari tampak sedikit berbeda dari biasanya. Ia yang dalam kesehariannya tidak terlalu memaki riasan, kini terlihat memakai lipstik berwarna merah menyala. Pipinya juga sedikit kemerahan.“Kenapa kamu bengong begitu melihat penampilanku? Apa aku terlihat aneh?” tanya Nari.“Bukannya begitu. Hanya saja hari ini kamu tidak terlihat seperti biasanya,” jawabku.“Aku menghormati Hoshie yang mengundangku untuk datang ke pesta ini. Jadi, aku pun harus berpenampilan selayaknya orang yang datang ke pesta.”Setelah selesai berbasa-basi,
Pagi ini, kepalaku terasa pening. Ucapan Niji kemarin terus terngiang-ngiang di telingaku. Aku masih merasa tidak percaya lantaran ucapannya itu sama dengan ucapan Pangeran Pelangi saat mengakui perasaannya terhadap Putri Petir. Apakah mereka selalu mengatakan hal itu jika ada orang yang disukai? Atau jangan-jangan… Entahlah. Aku tidak ingin terlalu memikirkan hal tersebut. Tapi, tetap saja hal itu belum bisa lepas dari benakku.“Selamat pagi. Bagaimana keadaanmu hari ini? Apakah sudah lebih baik daripada kemarin?” tanya Niji yang baru tiba.“Ya. Seperti yang kau lihat. Keadaanku sudah lebih baik.”“Maaf karena perkataanku kemarin sepertinya membuatmu sangat terkejut.”“Justru aku yang harus minta maaf karena kemarin aku sudah merepotkanmu.”Kemarin, Niji yang membantu membersihkan muntahanku. Ia juga memanggilkan taksi untukku.“Hal itu sama sekali tidak merepotkanku. Kemarin, set
Setelah selesai makan malam dengan Hoshie, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kantor. Karena sudah hampir jam sembilan malam, tidak banyak orang yang masih ada di kantor. Aku sengaja kembali untuk mengambil tas yang aku letakkan di ruang departemen sales dan marketing.Aku merasa beruntung karena meletakkan tasku di ruang departemen sales dan marketing yang terletak di lantai delapan. Jika saja tadi aku meletakkan tas di ruanganku, tentu kini aku harus naik sampai ke lantai sepuluh. Malas rasanya naik sampai ke lantai sepuluh. Pasalnya, sejumlah lampu di kantor sudah dimatikan. Tentu akan merepotkan jadinya jika harus menyusuri ruangan yang gelap.Sesampainya di lantai delapan, aku melihat lampu masih menyala. Apakah masih ada orang di ruangan tersebut? Aku pun melangkah memasuki ruangan.“Hentikan itu, jangan mengatakannya lagi. Kamu membuatku sakit perut.”“Kalau begitu, bagaimana jika aku ganti topik saja. Mau mendengar kisah horor