Share

7. Melanjutkan Perjalanan

Setelah berpisah dengan Nari, aku melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Langit bersama dengan Kenji dan Masaki. Kami bertiga terus melangkah meski tak tahu betul arah mana yang harus dituju agar bisa kembali ke Kerajaan Langit.

Sepanjang perjalanan, aku memperhatikan tingkah laku manusia di sekeliling. Mereka semua tampak aneh di mataku. Bagaimana tidak? Kebanyakan dari mereka menggenggam benda kecil berbentuk persegi panjang. Pria dewasa berpakaian rapi mendekatkan benda tersebut di telinganya kemudian terus berbicara seorang diri, padahal tidak ada orang di hadapannya. Dua orang gadis duduk di taman sambil memegang benda serupa. Mereka tiba-tiba tertawa keras sambil menunjuk-nunjuk ke arah benda tersebut. Tak hanya sampai di situ, di bangku taman lainnya ada seorang anak kecil. Awalnya, sang anak menangis kencang, namun tiba-tiba tangisan tersebut berubah menjadi senyum begitu sang ayah menyodorkan benda kecil tersebut. Aku pun tergelitik untuk mengetahui kelebihan yang dimiliki oleh benda tersebut.

“Masaki, kamu tahu benda apa yang dipegang oleh anak kecil itu?”

“Tidak. Ini baru pertama kali aku melihatnya.”

“Coba cari tahu benda apa itu. Semua orang sepertinya memiliki benda tersebut. Siapa tahu benda itu bisa membantu kita untuk menuju jalan pulang.”

“Baiklah. Aku akan mencoba untuk menyelidikinya.”

Masaki langsung mendekati anak kecil yang kira-kira berusia empat tahun itu.

“Apa yang sedang kau lakukan, nak?” tanyanya pada si anak.

“Game,” jawab sang anak tanpa memalingkan pandangannya dari benda di hadapannya itu.

Sadar bahwa keberadaannya tidak terlalu dianggap oleh si anak tersebut, tanpa basa-basi Masaki pun mengambil benda yang dipegang oleh si anak. Setelah berhasil mendapatkan benda itu, Masaki menyerahkan benda itu padaku. Aku sibuk mengamat-amati benda tersebut. Di lain pihak, anak kecil itu menangis sekencang-kencangnya. Suara tangisan si anak memancing kemarahan sang ayah. Ayahnya langsung melihat ke arah kami.

“Berani-beraninya kalian membuat anakku menangis. Cepat kembalikan handphone itu.”

Aku masih sibuk mengusap-usap benda yang kemudian kuketahui bernama handphone itu saat sang ayah merampasnya dari genggamanku.

“Jangan sembarangan mengambil barang orang kalau tidak ingin kulaporkan ke polisi!”

Sang ayah itu pun pergi menjauh sambil mengajak anaknya. Mereka tampaknya menganggap kami orang aneh sehingga buru-buru menjauh dari kami.

“Benda bernama handphone itu sangat canggih. Benda itu mengeluarkan cahaya dan suara.”

Aku dibuat terkesan dengan kecanggihan benda itu. Sayangnya, aku tidak memilikinya.

“Sudahlah. Tidak ada waktu untuk bermain-main dengan handphone itu. Kita harus sesegera mungkin menemukan jalan pulang,” ucapku kemudian.

“Pangeran, coba lihat…”

“Eits, bukankah kita sudah berjanji pada Nari untuk memanggil satu sama lain dengan nama masing-masing?” ujarku cepat, memotong perkataan Masaki.

“Aku tidak ingat berjanji seperti itu,” ucap Masaki.

“Kita tidak berjanji untuk memanggil satu sama lain dengan nama masing-masing, tapi kita berjanji untuk tidak memakai pakaian Kerajaan Langit selama di bumi,” lanjut Kenji.

Iyakah? Aku tidak terlalu ingat detailnya. Satu hal yang melekat erat di pikiranku adalah Nari selalu mengomel setiap kami melakukan ini dan itu. Wanita satu itu benar-benar berisik. Untungnya kini kami bisa terbebas dari omelannya.

“Itu benar, Pangeran. Lagi pula, saat ini hanya ada kita bertiga. Aku rasa tidak masalah jika menyebutmu Pangeran. Aku merasa takut setiap menyebut namamu, takut diperhatikan oleh Raja dan Ratu Langit dari atas sana.”

“Baiklah, selama hanya ada kita bertiga, kalian berdua seperti biasa bisa memanggilku dengan sebutan pangeran. Tapi, bila ada manusia bumi, agar kita tidak dianggap aneh kalian bisa sebut aku dengan namaku.”

“Baik, Pangeran,” ucap Kenji dan Masaki berbarengan.

“Oh, ya. Apa yang tadi ingin kau katakan?”

“Coba lihatlah ke sekitar. Ada banyak bangunan tinggi.”

Aku pun memperhatikan bangunan-bangunan di sekitar. Memang, bangunan-bangunan itu sangat tinggi menjulang ke atas.

“Ada apa dengan bangunan itu?”

“Pangeran lihat, bangunan itu sangatlah tinggi.”

“Lalu?”

“Sebaiknya kau langsung berbicara pada intinya. Jangan bertele-tele seperti itu,” kata Kenji tidak sabaran.

“Bukankah bangunan itu terlihat dekat dengan langit? Bila kita bisa menuju ke puncak bangunan itu, mungkin kita bisa melompat sampai ke langit,” ucap Masaki menggebu-gebu.

Aku berpikir sejenak. Kenapa hal itu tidak terpikirkan sebelumnya olehku? “Kau memang pantas dinobatkan sebagai pengawal paling cerdas di Kerajaan Langit.”

Masaki langsung nyengir. Tampaknya ia langsung besar kepala setelah kupuji seperti itu.

“Kalau begitu, pertama-tama kita harus mencari tahu bangunan tertinggi di sini,” ucapku kemudian.

Masaki dan Kenji secara kompak menggaruk-garuk kepala mereka yang aku yakin tidak terasa gatal sama sekali. Mereka berdua tampaknya bingung, tidak tahu bagaimana cara mengetahui bangunan yang paling tinggi itu.

Apa boleh buat, bumi memang masih sangat asing bagi kami. Masaki dan Kenji hendak bertanya ke manusia bumi yang berlalu-lalang, tapi tampaknya mereka sedang terburu-buru. Tidak ada yang berhasil dicegat untuk ditanyai. Sadar bahwa tidak ada gunanya mencoba untuk menghadang manusia bumi, kami pun kembali berjalan sembari menebak arah mana yang sebaiknya dituju.

Ketika mulai lelah berjalan, kami pun berhenti sejenak di pinggir jalan. Saat itulah, aku melihat seorang wanita berdiri di pinggir jalan dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tak lama kemudian, sebuah benda berbentuk boks yang mirip dengan yang tempo hari kulihat, berdiri di depan wanita tersebut. Wanita itu lantas masuk ke dalamnya dan menghilang di kejauhan.

“Ayo kita juga naik benda itu!” ujarku pada Kenji dan Masaki.

Kami pun mengikuti hal yang dilakukan wanita tadi. Kami bertiga berdiri di tempat yang sama dengan wanita tadi. Kami juga mengangkat tangan tinggi-tinggi. Aku sangat bersemangat saat ada benda boks yang datang mendekat.

Wuss

Benda itu melaju kencang tanpa menghiraukan keberadaan kami.

Aku mencoba mengabaikan hal itu. Tidak masalah. Kami masih bisa mencari benda lainnya.

Benda lainnya datang mendekat.

Wusss

Lagi-lagi, dia tidak mau berhenti. Ada apa ini? Apa benda itu hanya mau berhenti jika wanita yang mengangkat tangan? Aku mulai putus asa dan menurunkan tanganku. Aku mundur perlahan. Menjauh dari Kenji dan Masaki yang masih berusaha untuk menyetop benda itu.

Anehnya, tak lama kemudian, ada yang tiba-tiba berhenti di depan kami. Pintu bagian belakangnya pun terbuka.

“Silakan naik,” ujar pria yang ada di bangku depan.

Tanpa ragu, kami pun naik ke dalam benda itu.

“Mau diantar ke mana?” tanya pria yang mengendalikan kemudi.

“Antar kami ke bangunan paling tinggi di tempat ini,” jawabku mantap.

“Bangunan paling tinggi?”

“Ya, kami ingin pergi ke langit.”

“Apa mungkin bangunan yang Anda maksud adalah Tokyo Skytree?” tanyanya lagi.

“Apa kau bilang? Tokyo Skytree?”

“Ya, Tokyo Skytree. Sky berarti langit dan tree artinya pohon. Secara gampangnya bisa disebut pohon yang menghadap ke langit. Tingginya mencapai 634 meter.”

“Segera antar kami ke tempat itu.”

“Baik, saya akan mengantar kalian menuju Tokyo Skytree.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status